Senin, 04 Mei 2009

Narasi Haji dalam Prosa Indonesia

Damanhuri
ttp://www.lampungpost.com/

Ke angkasa hitam, kulihat, jemaah itu tengadah. Langit gelap langit pekat…Ada langit lain, angkasa lain, di dalam dada. “Putih, benderang, melesat-lesat lempeng cahaya.” Lempeng! Adakah-adakah itu lempengan doa? Tuhan, tak ada hal yang ingin Kau sampaikan kecuali bahwa apa pun doa, dari hati yang bersih, adalah cahaya. Betapa. Tetapi, aku?…

Panggilan ini. Haji tahun lalu. Ingatan akan kampung. Betapa. Apakah sebenarnya makna kata “mampu” atau “sanggup”? Apakah yang telah kuperbuat di tahun lalu?

Kutipan di atas berasal dari paragraf-paragraf awal novel karya Gus tf Sakai, Ular Keempat (Kompas, 2005), yang memungut fakta sejarah seputar kisruh perhelatan haji tahun 1970 sebagai latar cerita. Sebuah novel unik dengan pilihan tematik yang juga langka: pergulatan spiritual Haji Janir, seorang pengusaha rumahmakan, yang “kecanduan” naik haji tapi sembari tetap tak menyisihkan kepedulian pada nasib sesamanya.

Gemar beribadah tapi selalu gagal menangkap pesan substansialnya. Gagal merengkuh religiositas otentik yang secara simbolik diterakan pengarang dalam sekujur novel sebagai empat ular yang terus mendesis dan bersikeras membelit tokoh utama novel: Haji Janir.

Novel Ular Keempat®MDBU¯ menarik disimak karena secara tematik menyuguhkan sengkarut persolan yang cukup “rawan” untuk diusung dalam karya sastra: pengalaman keagamaan. Tapi tentu saja bukan hanya itu penyebabnya. Sebab jika alat ukurnya berhulu di situ, Ular Keempat jelas buka satu-satunya karya dengan tema dan latar serupa. Dari khazanah sastra zaman baheula, Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936) karya Hamka, misalnya, adalah karya tentang kisah cinta-tak-sampai Hamid-Zainab yang juga mengambil peristiwa haji sebagai latar cerita dalam bagian terpenting tubuh roman.

Dari periode yang lebih mutakhir, dua cerpen Triyanto Triwikromo (”Mata Sunyi Perempuan Takroni” dan “Sayap Anjing”) atau cerpen Mustofa Bisri, (”Mbok Yem”), dengan capaian kualitas literernya masing-masing, juga merupakan beberapa sampel prosa yang memilih peristiwa haji sebagai tema sekaligus latar yang membingkai kisah yang ditenunnya.

Dalam “Mata Sunyi Perempuan Takroni”, cerpen berpusat pada pengisahan tentang penderitaan abadi tokoh utama, perempuan buta imigran asal Afrika, yang diperlakukan sebagai warga kelas dua oleh masyarakat sekitar Masjidil Haram. Perlakuan rasis yang secara plastis diungkapkan ayah sang tokoh: “Dan, sebagai orang Takroni, wahai anakku yang malang, ibarat air kita bukanlah zamzam. Sebagaimana Bilal, pria indah yang menyeru-nyeru nama Allah dalam nada paling indah, kau hanyalah dahak yang ditumpahkan dari langit hitam yang sedang batuk”.

Sedangkan dalam “Sayap Anjing”, pusaran kisah bertumpu pada pengalaman surealistik tokoh utama selama menunaikan ibadah haji: ditampar seonggok kotoran saat berada di toilet Bandara King Abdul Aziz; juga robek selangkangannya saat melakukan sai dari Bukit Safa ke Bukit Marwah.

Cerpen “Mbok Yem”, di sisi lain, mengungkai pengalaman haji pasangan Mbok Yem-Mbah Joyo yang, setelah tirakat berpuluh-puluh tahun menabung hartanya yang terbatas, akhirnya bisa menunaikan cita-cita pergi haji meski dalam usia yang telah renta. Kejutan yang disuguhkan di ujung cerpen ini adalah cerita yang dituturkan Mbok Yem bahwa di masa mudanya ia adalah pelacur; dan sang suami, Mbah Joyo, adalah salah seorang “langganan” yang kemudian jadi “dewa penyelamat” dengan menikahinya.
***

Tapi, sekali lagi, bukan pada soal pilihan tema atau latar peristiwa itu duduk perkara sesungguhnya. Yang lebih penting ditilik dan sebab itu novel Gus tf Sakai terasa istimewa serta menarik disimak justru kepiawaiannya “menyelamatkan” karyanya dari tendensi umum karya-karya sastra bertema keagamaan yang biasanya gagal menepis godaan untuk menjelma kompilasi seruan moral atau khotbah keagamaan. Kegagapan yang umum menghinggapi para sastrawan yang mencoba peruntungan dengan menulis karya sastra bertema keagamaan.

Titik rawan yang biasanya memang paling sulit ditampik karya sastra yang sejak awal berhasrat mengusungnya sebagai tema: tak jarang justru menjelma pusara yang siap “menguburnya hidup-hidup”; karena teks sastra jadi tak beda dengan untaian pesan agama di mimbar-mimbar masjid atau di tengah altar gereja.

Padahal kerja-kerja kesusastraan–seperti pernah diingatkan oleh, misalnya, Milan Kundera–sesungguhnya bukan “untuk mengkhotbahkan” (to preach a truth) kebenaran tertentu; melainkan sekadar “menyingkapnya” (to discover). Tak lebih, tak kurang. Karena itu, meskipun terkesan berlebihan, mungkin tak begitu keliru ketika dalam sebuah wawancara bertajuk “Sastra Islam vs Penyempitan Ilmu Islam” (Horison, 7/1984), Gus Dur, mantan presiden yang pecandu karya sastra dunia itu, menunjuk cerpen “Robohnya Surau Kami” A.A. Navis sebagai satu-satunya karya yang pantas disebut sastra Islam.

Di sekujur novel Ular Keempat, bahkan sejak bab-bab pertama, tak sulit memang mencium aroma pergulatan spiritual yang diembuskannya. Malah bisa dibilang, perkara inilah ujung sekaligus pangkal, hulu sekaligus muara, yang disengketakan dalam pergulatan spiritual tokoh Haji Janir di sekujur tubuh novel. Meskipun, tentu saja, bukan sebuah pergumulan spiritual yang tak dibauri pelbagai “keganjilan” bahkan suara-suara sumbang dan subversif jika dibaca dengan kacamata Islam eksoteris yang biasanya lebih memuliakan kulit ketimbang isi, memberhalakan sisi-wadag ketimbang sisi-dalam.

Gugatan atas tendensi a-sosial dan melenceng dari praktek keagamaan otentik, misalnya, disuarakan dalam kisah guru sufi dan murid-muridnya yang hadir dalam mimpi Haji Janir di bab Ular Pertama. Sebuah kisah tentang murid-murid seorang guru sufi yang berlomba berburu Lailat al-Qodar “berbulan-bulan, bertahun-tahun, serupa kesurupan, bagai kesetanan…Ada halte ada stasiun tetapi mereka terus. Ada kehidupan ada kematian tetapi mereka ngebut di kesendirian”.

Jika sikap a-sosial, dan egois di atas merupakan ular pertama yang melilit Haji Janir, berhaji karena kebanggaan adalah ular kedua yang dengan nyaring muncul secara simbolik dalam cemooh sang ular yang terus menggangu dan juga kerap hadir dalam mimpi-mimpi Haji Janir: “Jangan menyangkal, jangan mengelak. Aku tahu isi perutmu. Aku tahu isi perut orang kampungmu. Tetapi memang begitu. Memang begitulah kondisi suatu daerah yang sejak lama seolah taat beribadah. Klaim itu, yang sering didengungkan oleh orang-orang kampungmu: adat bersendi syarak (agama), syarak (agama) bersendi kitabullah, huah-hah-haitulah tempurung itu, tempat kau meringkuk dalam dagingmu” Dan kau, si malang: yang pergi haji, dan ingin kembali berhaji, karena kebanggaan”

Ular ketiga, di titik lain, secara simbolik hadir dalam mimpi lain Haji Janir yang ajaibnya, sebagaimana kisah tentang dua ular sebelumnya, serupa dengan isi pucuk surat ketiga yang diterimanya dari Haji Muqri–tokoh surealistik yang menemui Haji Janir saat berhaji pertama kali dan berjanji akan menghadiahinya tiga kisah lain saat ia berhaji berikutnya.

Apa yang menguras rasa heran sekaligus takjub Haji Janir tentang ular ketiga dalam mimpi dan surat tersebut adalah pemahaman mendalam pemilik kisah tentang warisan budaya Minangkabau dari mana secara etnik-budaya Haji Janir berasal: tambo dan kaba. Didasarkan pada salah satu entri yang hilang tentang permainan layang-layang yang seharusnya masuk dalam bab permainan rakyat tapi anehnya ada dalam bab kepemimpinan, dalam kisah ketiga itu dinujumkan tentang masa depan negara. Kisah perlombaan berebut layang-layang yang secara simbolik menunjukkan kisah kontestasi orang-orang tanah asal Haji Janir berebut kepemimpinan: “Ketika si layang-layang hampir mencapai tanah, kayu-kayu galah itu pun lantas menghadang. Menusuk, merenggut, seolah setiap orang berhak atas si layang-layang. Tak ada yang mereka dapatkan, kecuali sisa bingkai si layang-layang. Patah-patah, remuk, cerai-berai tak tentu bentuk.”

Begitulah, seolah melengkapi dua gulungan kisah sebelumnya (sikap a-sosial dan egois sebagai ular pertama; dan berhaji karena kebanggaan sebagai ular kedua), gulungan kisah ketiga yang diterima Haji Janir adalah kisah ihwal ketamakan, kelaliman, serta kerakusan manusia berebut kepemimpinan yang tak lain adalah ular ketiga. Dan, melengkapi tiga ular yang diperolehnya selama berhaji yang kedua itu, Haji Janir ternyata masih berhasrat beroleh ular keempat: alpa akan “pesan” kisah tiga ular sebelumnya dengan bertekad kembali melakukan haji di musim haji berikutnya–Alhamdulillah, langganan yang selama dua bulan lebih entah makan di mana, kini telah kembali ke tempat kami. Jika nanti kembali terpanggil pergi berhaji (ah!), mungkin harus kupertimbangkan untuk tidak tutup”.
***

Alhasil, seolah menjawab kerisauan Gus Dur dan sebagian (besar?) para kritikus yang kerap memicingkan sebelah matanya saat membincang kualitas literer dari apa yang disebut-sebut sebagai “sastra Islam”, Ular Keempat Gus tf Sakai mungkin sebuah tangkisan.

Apalagi, novel ini pun menjelma jadi kian kompleks dengan hadirnya beragam kutipan yang–karena pelbagai kutipan tersebut merupakan bagian integral dari jejaring kisah yang disodorkan–tak mengesankan sekadar “tempelan” dan berisiko mencederai kualitas literernya. Sebuah kerja literer yang tentu saja tak mudah. Sehingga, dalam batas-batas tertentu, bisalah dikatakan bahwa Ular Keempat merupakan sebuah novel yang menyuguhkan serangkaian intertekstualitas di mana teks-teks kitab suci, aforisme Rumi dan Rabiah al-Adawiyah, mitos lokal (kaba dan tambo; ingat novel lain Gus tf Sakai: Tambo, Sebuah Pertemuan 2000), atau sejarah politik lokal (PRRI), bisa bersanding intim saling topang saling tunjang meramaikan lalu lintas kisah.

Ya, begitulah, menyebal dari tendensi besar karya sastra Indonesia mutakhir yang seolah dihipnosis gairah tanpa lelah untuk merayakan tetek-bengek seputar seks; atau para penulis yang membaptis diri dan kelompoknya sebagai penyokong “sastra Islam” tapi sebagian (besar?) gagal membedakan antara teks khotbah dengan teks sastra; novel Ular Keempat mungkin salah satu kekecualian. Gus tf Sakai tampaknya sadar sepenuhnya untuk tak latah ikut-ikutan masuk digulung dua arus besar itu. Lewat novel yang memenangi juara Harapan I lomba penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta (2003) dan pernah dimuat bersambung di Harian Media Indonesia ini, pemenang SEA Write Award (2004) ini tampaknya tengah mengokohkan posisinya dalam belantara sastra kita dengan menyuguhkan rumbai kisah spiritual rekaannya yang bagi sebagian pembaca mungkin menerbitkan sejumput rasa waswas dan cemas.

*) Alumnus IAIN Raden Intan, Lampung; tinggal di Malang

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae