M. Shoim Anwar
http://www.jawapos.com/
HARI-HARI ini di sekitar kita benar-benar dipenuhi oleh suasana dan media kampanye dengan simbol-simbol politik. Poster, baliho, spanduk, foto, selebaran, dan sejenisnya tumbuh seperti rumput liar di pinggir-pinggir jalan. Radio yang kita dengar, televisi yang kita tonton, serta koran yang kita baca telah dikepung oleh nuansa politik. Persuasi yang dimunculkan simbol-simbol itu terus berulang, mengalami repetisi dari waktu ke waktu untuk merogoh simpati kita. Ibarat menu, semua itu disajikan secara bersama-sama dan kita dipaksa untuk melahapnya. Atas nama pesta, awalnya kita memang sangat bernafsu melahapnya, tapi lama-lama kita pun muntah dibuatnya.
Kita memang selalu belajar dari sejarah. Masa lampau, hari ini, dan masa mendatang adalah ruang gerak perjalanan sejarah. Ironisnya, politik dan kekuasaan hampir selalu memberi sejarah ketidakpastian dalam kenyataan hidup. Berbagai isi media politik yang ada di sekeliling kita bukanlah kenyataan sebenarnya. Seni dengan ruang imajinasinya telah membangun politik pencitraan seperti halnya iklan kecap atau obat sakit kepala. Foto para caleg dan tayangan iklannya dengan berbagai simbol yang melekat diusahakan sedemikian rupa agar seakan-akan mendekati realita.
Pada tahap seperti ini pandangan Plato tentang mimesis dalam seni jadi relevan, seni di satu sisi telah menjauhkan kita dari realita. Bagi Plato, seni yang ideal harus mendekatkan kita pada kebenaran (truthful). Bila tidak, seni justru menjauhkan kita dari akal budi. Itulah sebabnya, seniman harus senantiasa santun (modest).
Kampanye dengan berbagai atributnya adalah seni. Dominasi ruang imajinasi di dalamnya terlalu besar jika dibanding dengan realita. Janji-janji dan impian yang disuguhkan adalah fiksi, mirip seperti the American Dream bahwa ”tukang semir dapat menjadi pemilik pabrik sepatu”. Pidato dan iklan yang ditampilkan adalah klaim sepihak, hitam putih, dan semua kebaikan diatasnamakan diri sendiri dan golongannya. Wacana yang telah dilontarkan bukanlah faktual, melainkan fiksional karena ada fakta lain yang disisihkan dan disembunyikan. Pada tataran semiotik, seperti dikatakan penyair Rusia Tyutcev, ”pikiran yang diucapkan adalah suatu kebohongan”.
Apakah dengan demikian seni dan imajinasi selalu bersifat merusak? Tentu saja tidak. Ini sangat bergantung pada siapa dan apa motivasinya. Albert Einstein pernah berkata, ”The imagination is more important than knowledge”, imajinasi lebih penting dibanding pengetahuan. Einstein adalah seorang ilmuwan. Baginya, imajinasi merupakan titik pijak untuk membangun penemuan dalam realita. Tetapi, bagi politikus, imajinasi dipakai untuk membangun kekuasaan, seperti halnya teori imajinatif Machiavelli tentang kekuasaan dalam Sang Pangeran (The Prince) yang menghalalkan segala cara. Kekuasaan dan politik secara praktis cenderung korup. Tak heran jika para pelakunya dijuluki zoon politicon, binatang yang berpolitik.
Seni bukanlah tindak tutur yang wajar (speech act). Seni tidak berbicara apa adanya. Mendengarkan iklan atau pidato kampanye bukanlah sesuatu yang aplikatif. Karena termasuk seni, keberadaannya selalu diwarnai ambiguitas atau ketidakpastian. Maka, jangan terlalu berharap pada ketidakpastian yang terlontar. Lebih dari 63 persen caleg, menurut KPU Pusat, tidak memiliki pekerjaan yang jelas. Itu artinya, ada tindak improvisasi yang dibangun. Sementara improvisasi adalah bayi yang dilahirkan oleh dunia kesenian. Pada situasi politis demikian, kita dihantui kecemasan, jangan-jangan para caleg adalah wrong man in a wrong place.
Sekarang kita berada dalam situasi ”jeruk makan jeruk”, yaitu dunia imajinatif yang dibangun lewat kampanye politik juga memanfaatkan media kesenian. Ini berarti seni makan seni. Memanfaatkan seni sebagai media pencitraan politik selalu memiliki ambivalensi. Bila dikaitkan dengan dunia politik dan kekuasaan, seni yang benar-benar seni memiliki naluri di luar pagar sebagai manivestasi kebebasannya. Seni yang isinya dipakai sebagai media kampanye politik dan kekuasaan akan jatuh pada wilayah pragmatisme.
Seorang caleg di Surabaya baru-baru ini memamerkan 23 lukisan dirinya karya 23 pelukis di Balai Pemuda, lantas disusul dengan konser musik bersama Sawung Jabo untuk memperkuat citranya. Seni model demikian akan runtuh, seperti halnya patung Karl Max, Lenin, dan Saddam Hussein yang ramai-ramai dirobohkan seiring dengan jatuhnya figur tersebut. Nasib yang sama menimpa lagu Bapak Pembangunan atau lukisan potret diri Soeharto oleh Dede Eri Supria. Bahkan uang yang bergambar potret diri Soeharto ditarik peredarannya ketika Soeharto jatuh.
Pada sisi lain, seni juga ketiban berkah saat iruk pikuk kampanye seperti ini. Tentu saja yang dimaksud adalah seni populer. Acara kampanye yang diramaikan dengan pertunjukan musik dan para artis umumnya dibanjiri orang. Tidak ada relevansi antara jumlah orang yang hadir dan besarnya dukungan terhadap caleg/partai penyelenggara. Mereka mungkin hanya menikmati hiburannya atau hadir karena diberi sesuatu. Ketika pertunjukan musik selesai dan giliran pidato kampanye para caleg, penonton pun bubar. Para artis hadir karena profesi mereka memang ditanggap. Muatan seninya umumnya tidak berkaitan dengan partai atau caleg tersebut.
Seni memang dapat ditempatkan di berbagai kemungkinan. Pada masa rezim komunis masih berkuasa di Uni Sovyet (Rusia) hampir semua karya seni diarahkan untuk pencitraan partai politik dan kekuasaan. Di samping tidak ada gaungnya, karya seni tersebut jatuh pada slogan kosong, mirip dengan karya sastra yang diproduksi oleh orang-orang Lekra di Indonesia. Sebaliknya, karya seni yang mengambil posisi berlawanan justru menjadi monumental seperti karya-karya Boris Pasternak, Solzhenitsyn, Anton Chekov, Joseph Brodsky, dan sebagainya. Maka, jika sajak-sajak perlawanan Rendra masih eksis hingga kini karena dia mengambil sikap perlawanan terhadap dunia politik dan kekuasaan yang dinilainya tidak beres: O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!/ O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!/ Dari sejak jaman Ibrahim dan Musa / Allah selalu mengingatkan/ bahwa hukum harus lebih tinggi/ dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.
Seni memang sudah lama dimanfaatkan untuk sarana pencitraan. Di masa lampau seni juga dimanfaatkan oleh penguasa dan raja-raja untuk membentengi kekuasaan agar rakyat tidak berani melawan. Tidak heran jika salah satu ciri sastra lama di berbagai negara dan daerah adalah istana sentris, di mana raja dan keluarganya selalu dikisahkan sebagai figur ideal dan keturunan dewa-dewa. Tidak heran bila para penguasa lebih suka menanggap wayang kulit. Ini adalah model kampanye istana. Di sisi lain, muncul pula seni perlawanan seperti ludruk yang egaliter. Penguasa umumnya tidak suka dengan kesenian rakyat karena sering bernada kritis.
Di tengah-tengah iruk pikuk kampanye caleg dan partai politik, lagu Wakil Rakyat dari Iwan Fals menjadi segar kembali. Citra legislatif semakin terpuruk karena para anggotanya di berbagai wilayah tanah air sering terlibat berbagai kasus pelanggaran etika dan hukum, khususnya perkara korupsi. Bila Iwan Fals di masa Orde Baru melontarkan kritik ”wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat”, atau cuplikan novel Belantik karya Ahmad Tohari yang menyatakan bahwa anggota parlemen kalau sidang ”ngantuk melulu” dan ”mereka bermusyawarah-mufakat sambil guyon”, kini kondisinya jauh lebih parah. Korupsi berjamaah yang dilakukan para wakil rakyat terjadi hampir merata di seluruh tanah air. Cocok dengan judul drama Parlemen Gombal yang pernah dipentaskan di Balai Pemuda Surabaya.
Di pengujung 1990-an, pelukis Yusuf Susilo Hartono memamerkan sebuah lukisannya yang berjudul Bebek-Bebek Senayan. Lukisan berobjek gerombolan bebek dengan latar belakang gedung DPR/MPR itu sangat jelas pesannya, bahwa anggota parlemen perilakunya seperti bebek, penurut, dan tidak memiliki integritas. Ini mirip dengan cerpen Jurdil karya Yudhistira A.N.M. Massardi yang menggambarkan ketragisan fungsi anggota legislatif yang mengabdikan dirinya kepada kepentingan raja serta sesekali menyuarakan aspirasi segenap keluarga dan kerabat. Sebuah kaca benggala legislatif yang buram. Sama juga seperti drama atau monolog Butet Kartarajasa Lidah Masih Pingsan atau Mayat Terhormat.
Politik pencitraan lewat seni yang dilakukan para politikus dan caleg telah menemukan tandingannya. Jika janji-janji imajinatif dalam kampanye selalu memberi angin surga, Danarto justru mematahkannya lewat puisi ”Negeri Bandit”: Tuhan tinggal pajangan di dinding-dinding hotel berbintang, meja seminar, gedung DPR/MPR, dan rak-rak file dari kebobrokan ekonomi dan moral para pejabat.
Rakyat memang semakin pandai. Perilaku para politisi dan janji para caleg yang tidak masuk akal akan dibiarkan di alam imajinasi. Rakyat akan menilai dengan logikanya sendiri, seperti bunyi sajak Darmanto Jatman ”Hukuman Karto”: Atas asma Allah. Kuhukum kamu dengan mendiamkan tanda gambarmu / Sekalipun katamu kamu memihakku, membebaskan kami dari biaya edukasi apalagi korupsi / Tapi pada masa putaran kampanye, perilakumu tak mengundang simpatiku/ Kamu gasak rokok daganganku, kamu geber saudara-saudaraku!
Politik praktis berorientasi kekuasaan. Ideologinya adalah pragmatisme atau tergantung kepentingan sesaat. Lihatlah ulah para politisi yang loncat sana loncat sini. Omongannya juga susah dipegang. Sementara seni (man), yang juga tak dapat melepaskan diri dari ideologi, memiliki ikatan sangat kuat dengan ideologi yang dianutnya. Maka, ketegangan ideologis antara seni dan politik akan selalu terjadi. Kata-kata John F. Kennedy akan selalu aktual, ”Ketika politik menjadi bengkok, maka puisi akan meluruskannya.” (*)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar