Rabu, 11 Maret 2009

Gerbong Maut

Imam Muhtarom
http://www.balipost.co.id/

Bagian 1

Kami berada di atas gerbong yang melaju tak terkendali. Seperti menaiki sebuah perahu kayu yang berputar di atas ombak dan telah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Perahu itu belum pernah berhenti. Kami seperti tersesat di perairan maha luas dan kami hanya bisa menduga-duga tentang keluasan itu.

SEWAKTU kami telah menghabiskan buntalan nasi daun pisang yang bercampur aduk dengan sayur nangka muda sehingga nasi itu berwarna kecoklatan, sangat pedas sampai mulut kami seperti usai makan api dan berkata merajuk, ''Ibu, perut kami mulas!'', ibu tidak memperhatikan bunyi suara kami. Apakah yang kami katakan berlainan dalam pendengaran ibu ataukah telinga ibu selalu mengartikan lain dari perkataan kami? Ibu tak hiraukan kami lagi?

Kereta yang kami tumpangi terus berderak-derak melintasi persawahan lengang senja hari. Tampak langit di belahan barat merona kuning kemerahan menyaput dan satu-dua tampak burung melintas. Kami termangu. Kami berderet bertiga di mulut pintu gerbong. Gerbong yang kami tumpangi merupakan gerbong barang yang gelap tanpa tempat duduk dengan beberapa penumpang yang kepalanya menekuk di antara kakinya, dengan punggung bersandar di dinding gerbong yang kasar. Bapak ibu kami di pojok gerbong lamat-lamat tampak dalam pandangan kami.

Kami merasa dalam perjalanan di atas kereta api ini -- kereta yang dihidupi api, menurut cerita kakek kami -- seperti menuju daerah tanpa batas. Daerah di mana kami yang jauh di balik gunung yang selalu tampak hitam lereng-lerengnya, mengelilingi tempat kami bersama bapak-ibu-kakak-saya-adik, tinggal. Sering kami dan sangat suka apabila sekali-sekali di tengah perjalanan kami, daerah tempat tinggal kami digenangi air sehingga setiap pagi menjelang terbit atau menjelang matahari tenggelam di bagian barat tempat kami tinggal, kami dapat meluncur bersama sebuah sampan, mengulurkan tali pancing seraya girang melihat kelap-kelip cahaya matahari terpantul oleh permukaan air. Burung-burung terbang menyisiri tepi-tepi perairan, awan-awan menggumpal membentuk bundaran-bundaran besar kecil seperti asap gunung yang menurut bapak ibu kami pernah berkali-kali meletus, angin yang ringan berhembus menyentuh-nyentuh permukaan badan kami. Kami senang.

Bayangan, keinginan itu, timbul tenggelam dalam benak kami karena kami sering bertemu omongan-omongan yang entah kami tidak tahu asal muasal dan dengan maksud apa, mengatakan bahwa di balik gunung-gunung yang mengelilingi kami terdapat sebuah daerah, sebuah tanah, yang dalam musim hujan kami tidak akan menemui setetes pun air yang turun dari langit melainkan untaian bunga warna-warni yang wanginya sangat menusuk hidung hingga apabila terdapat tubuh manusia yang subur-suburnya dibusukkan oleh belatung dan tepat berada di depan hidung kami, maka kami hanya merasa bahwa tubuh penuh belatung mengeluarkan lendir itu merupakan sumber wangi. Walaupun demikian tanah tetap sejuk, matahari bersinar lebih redup dan kami dapat menyaksikan sebuah pemandangan laut terpampang di angkasa. Begitu pula ketika musim kemarau, begitu omongan-omongan itu melanjutkan omongannya. Matahari memang lebih terang daripada waktu musim penghujan. Tetapi tidak membuat keringat mengucur dari pori-pori badan. Cahaya matahari yang akan menyentuh kulit kami akan meresapkan rasa sejuk dan rasa sejuk itu akan menebar di seluruh urat-urat yang disebut otot, dan akan memasukkan zat -- entah zat apa karena omongan-omongan itu tidak menyebut suatu nama -- yang membuat urat-urat silang sengkarut bentuknya menghasilkan sebuah perasaan senang pada tubuh yang disesapi zat itu tanpa tahu apakah warna kulitnya hitam, sawo matang, kuning atau putih.

Dan demikianlah kami akhirnya perlahan-lahan tidak pernah mengimpikan lagi mengenai sebuah danau yang sore hari kami meluncur ke tengahnya, membuat garis permukaan air timbul, mengombak pelan dan menyemburatkan cahaya matahari yang tampak merona yang membuat kami terpesona. Kami tidak mengimpikan lagi seekor burung melayap, menyisiri bibir danau, permukaan danau yang menyerupai cermin raksasa sebab apapun diatasnya akan terpantul olehnya, sehingga kami tidak diangan-angani dalam tidur kami tentang sebuah daerah terindah yang akan membuat kami kecewa sepanjang umur kami apabila kami tidak segera memasukinya.

Begitulah kami kemudian merayu bapak-ibu kami dengan cara apa saja sehingga bapak ibu kami luluh lantak dalam kemauan kami, dalam kehendak kami. Mulanya mereka -- bapak ibu kami -- tidak segera menjawab karena padi yang menguning belum dipetik dan karena itu, mereka menyuguhkan alasan, kami tidak bisa makan. Kelaparan. Kurus kering tubuh kami dan kami busung lapar. Perut membuncit seperti balon yang tidak kami punyai sebagai hadiah lebaran yang bagi kami sangat menjengkelkan dan mengesalkan. Setiap hari lebaran kami tidak diberikan apa-apa kecuali sarung, peci dan berbeda dengan teman-teman kami dibelikan pakaian yang bisa digunakan untuk, seperti perkataan guru sekolah kami, silaturahmi. Kami merajuk sekali ini bahwa permintaan kami harus diluluskan.

Dengan disertai omelan dan segenap ancaman-ancaman yang sangat baru dan kami tidak tahu bagaimana bapak ibu kami dapat mengeluarkan perintah-perintah yang menurut kami aneh. Kami dalam perjalanan kereta api itu tidak boleh berbicara sepatah katapun baik dengan mereka -- bapak ibu kami -- maupun kepada para penumpang yang barangkali menyertai dalam perjalanan nanti dan juga diantara masing-masing kami bertiga. Mulanya kami menyangka itu adalah perintah yang dapat kami samakan dengan tidak boleh bergurau pada saat kami menjelang tidur di kamar tengah yang lampunya ditaruh di luar kamar -- sebuah lampu minyak -- agar kami dapat bermimpi yang indah, bertemu buyut-buyut kami di angkasa yang tidak pernah kami lihat di siang hari. Di saat mata kami terbuka dan bagi kami tidak ada yang tersembunyi oleh tatapan mata kami yang bulat, jernih dan menurut orang tua kami sendiri, sangat hebat.

Kami menurut. Perjalanan disiapkan. Kami berlima berjalan mengarah ke stasiun tua yang berada di pinggir kota yang mempunyai bangunan warna-warni, dinding-dindingnya adalah tembok dan berbeda sekali dari rumah kami yang hanya dilapisi sayatan-sayatan anyaman bambu. Stasiun itu sangat kekar, dindingnya sangat lebar dan lebih menyerupai bangunan kuno. Kata bapak-ibu kami itu peninggalan nenek moyang kami yang bukan berwarna sawo matang semacam kami ini melainkan putih seperti kerbau bule yang kami gembalakan di lapangan rumput yang kesukaannya menunggangi para betinanya maupun kerbau lain yang berwarna hitam. Bapak ibu kami tidak membeli karcis seperti yang diceritakan omongan-omongan itu. Kami langsung disuruh naik ke gerbong dekat kepala kereta yang berwarna hitam legam menyerupai arang. Begitu kami naik kereta segera berangkat, perlahan, dengan ledakan-ledakan di kepala kereta dan getaran-getaran pada badan kereta yang membuat kami, mula-mula, merontak sekujur permukaan kulit kami yang oleh bapak ibu kami disebut sebagai sawo matang.

Kami memang tidak bercakap apa dan kepada siapapun. Kami hanya memandang-mandang dengan perasaan takut-takut kepada orang-orang menyertai dalam perjalanan kami yang sama sekali tidak menampakkan raut mukanya karena ditekukkan di antara dua kakinya sehingga kami sempat menduga bahwa mereka sedang melakukan perjalanan sangat jauh dan mereka sangat kelelahan. Sehingga mereka sepanjang perjalanan adalah tidur dan tidur. Alangkah sayangnya perbuatan demikian, pikir kami. Mereka telah menyia-nyiakan untuk pemandangan yang tidak ada di kampung halamannya, yang tidak dapat setiap hari dijumpainya, dan mungkin akan berubah setiap kali orang yang mengadakan perjalanan itu dengan naik kereta yang ditumpanginya sama dengan kereta yang sekarang ini bersama kami.

Maka kami dengan sesuka hati menghadapkan muka kami ke luar gerbong kereta dengan pemandangan sungai-sungai yang tampak kecil apabila kereta yang kami tumpangi melintasi sebuah jembatan yang jaraknya dengan sungai itu sangatlah tinggi. Sungai itu tampak tenang, air mengalir di sela-sela batu runcing dan dalam bayangan kami pasti terdapat ikan-ikan gabus yang kecil, gesit, sisik-sisiknya mengkilau apabila tubuhnya mengkelok diantara bebantuan dan tepat pada saat itu secercah cahaya matahari menerpanya sehingga sangat menggembirakan hati bila dipandang dengan tidak bermaksud menangkapnya dan memotong-motongnya untuk kemudian melemparkannya ke dalam penggorengan yang berisi minyak panas mendidih.

Kemudian kami mendapati rumah-rumah yang berada di lereng-lereng gunung yang tampak seperti menempel dan begitu saja diletakkan dengan semacam lem yang kami cemas apabila mendadak terjadi gempa yang dahsyat diiringi hujan lebat tiga hari tiga malam tanpa henti dan mendadak pula gunung itu meletus. Rumah-rumah kecil yang menempel itu terpental seperti potongan kardus dan entah bagaimana rupanya setelah terlempar begitu jauh di atas permukaan tanah yang bergunung-gunung itu. Mungkin akan bukan dampak sebagai bekas rumah melainkan kardus-kardus kue yang bertumpukan di belakang rumah kami dan berlepotan lumpur seperti yang selalu kami jumpai usai hari lebaran. ***


Bagian 2-Habis

Tetapi anehnya, kami tidak melihat seorang pun di sela-sela rumah yang tidak berbeda dengan kardus-kardus kue itu. Menangis tersedu-sedukah anak-anaknya? Atau tubuh-tubuh bergelimpangan berlumuran tanah dan darahkah? Atau malah berlari-lari seraya tertawa-tawa karena mereka telah terbiasa dengan peristiwa itu sehingga mereka telah terlatih menghadapinya dan setiap letusan gunung itu berulang mereka menganggapnya latihan tubuh belaka?

PEKARANGAN-PEKARANGAN semuanya kosong. Tak terlihat seorang penggembala pun yang mungkin tengah berdiri agak jauh seraya duduk bersandar pada sebuah pohon yang daunnya melambai-lambai ditiup angin, mengundang siapapun dan apapun untuk berlindung di bawahnya.

Tapi ini kan bukan siang hari, pikir kami karena yang memancar sekarang bukan bundaran putih yang mengkilau di angkasa yang oleh orang-orang disebut matahari -- matanya hari, menurut kami -- melainkan bundaran kuning yang agak lonjong menyerupai telur ayam disebut sebagai bulan. Mungkin para penggembala itu sedang tidur dan sekarang bermimpi mengenai apa yang sesungguhnya terjadi dibalik gunung itu di mana rumahnya beserta rumah para tetangganya bertempelan, sebagaimana mimpi-mimpi kami yang datang pada awal kami tidur namun tiba-tiba berubah pada ujungnya menjadi pertarungan sengit antara berpuluh-puluh orang yang pakaiannya sama, warna kulitnya sama dan dalam seruan-seruan yang sama. Tapi meskipun senjata mereka sama mereka saling menyerang dengan beringas diantara rumah-rumah yang terpetak-petak, di sela-sela pepohonan dan entah sebenarnya berapa lama telah saling menikam. Semuanya berakhir dengan kematian.

Kami terbengong oleh mimpi itu. Apakah kami sungguh-sungguh? Kami ketakutan sekali sebab kami berada dalam bagian dari penyerangan itu dan kami tidak mungkin bermain-main lagi. Di mana bapak-ibu kami? Apakah terjebak dalam arak-arakan saling tikam dan saling penggal sehingga yang terdengar adalah kegeraman, jerit kesakitan, lolongan kepedihan di tengah-tengah kegelapan malam pegunungan. Kami berlari dan tidak sekalipun berhenti ketika kami tiba-tiba terbangun oleh pertengkaran bapak-ibu kami apakah setuju atau tidak dengan ajakan kami untuk pergi ke balik bukit dengan kereta api yang memiliki gerbong hitam panjang setelah kami merengek-rengek meminta bapak-ibu kami menyertai menuju tempat impian.

Tetapi sepanjang perjalanan yang menyerupai mimpi terus berlangsung di bawah keremangan cahaya bulan, menembus kabut, menembus lorong-lorong gelap perbukitan yang dibongkar untuk rel kereta api, dengan tikungannya yang semakin lama semakin tajam, di antara pohon-pohon yang daunnya berjuntaian menyentuh permukaan tanah, udara semakin mendingin dan orang-orang dalam gerbong terus-menerus tidak bergerak dari terpekurnya. Kami lama-lama jemu menanti daerah yang, katanya, tidak pernah menjemukan itu.

Kami mengantuk dan kami beranjak dari mulut pintu gerbang mencari bapak ibu kami yang seingat kami, tadi, duduk di pojok gerbong. Tetapi kami tidak menemukannya. Ketika kami memanggilnya bapak-ibu kami tidak juga segera bangkit, merengkuh badan kami dan memasukkannya dalam dekapan. Kami kedinginan dan kebingungan. Orang-orang yang terpekur tetap tidak segera beranjak. Kami menangis tetapi kami sangat lelah sehingga kami tiba-tiba terjatuh di sandar gerbong tepat mengenai orang-orang yang sejak tadi terpekur. Tetapi tubuh kami oleng oleh gerak gerbong yang terus berguncang-guncang, oleh lelah yang merasuki badan kami, dan kami terloncat (atau terlempar?) ke dinding gerbong sebelah.

Kami tiba-tiba menghirup bau busuk yang amat sangat ketika lobang hidung kami menempel di pakaian orang-orang yang sedang terpekur. Kami seperti membau sebuah bangkai binatang membusuk yang biasa dilemparkan tetangga-tetangga kami ke sungai dan beberapa hari selanjutnya tersangkut di dam desa bawah dengan dipenuhi belatung. Tetapi ini bukan binatang membusuk, pikir kami. Ini bau yang belum kami pernah tahu. Perut kami tiba-tiba seperti diputar-putar, bergerak-gerak sendiri dan pada akhirnya keluar semua apa yang tadi masuk ke dalam perut. Kami tidak tahu benar apa yang kemudian terjadi ketika tiba-tiba di antara kepusingan itu kereta tiba-tiba berhenti di sebuah tempat yang barangkali sebuah kota karena sekilat pandang kami menangkap lampu-lampu berpijaran, berderet membentuk garis-garis yang berputar teratur dengan sisi-sisinya gedung-gedung entah untuk apa berdiri tegak.

Dalam keadaan yang membuat kami mau menangis lagi, kami mendengar suara gerak dari luar gerbong yang ramai, berserak dan suara itu suara yang membuat kami gemetar. Apakah mereka seperti yang terdapat dalam mimpi kami. Kami tidak tahu. Kami hanya melihat dalam keremangan gerbong beberapa orang dari luar gerbong, mungkin berjumlah sepuluh sampai lima belas orang sedang melempar dengan sepenuh tenaga dan apa yang dilemparkan itu adalah tubuh manusia yang tampak kaku, mungkin mati, mungkin tidur, mungkin setengah mati, saling membentur dan satu atau dua diantaranya membentur dinding yang terbuat dari lempengan besi dengan suara yang diakibatkannya menyerupai benturan batu.

Kami mundur dan tubuh terhuyung oleh pikiran: apakah dua diantaranya merupakan ibu-bapak kami? Kami harus tidak percaya dengan pikiran kami sendiri. Apakah bapak ibu kami tega meninggalkan kami sendirian dan tidak tahu ke mana kami mesti pergi dan... kenapa orang-orang melempar orang-orang sesamanya dengan begitu keras dan dengan begitu tidak penuh perasaan sebagaimana bapak ibu kami membelai rambut dan kadang-kadang, perut kami.

Kami semakin tidak tahu apa yang disebut tanah impian yang kami dengar dari omongan-omongan yang tidak pernah menyebut dirinya dengan terus terang sehingga kami tidak sebegini jauh tidak tahunya; sehingga kami menyerupai anjing yang ditinggal sang induk karena induk itu tidak didapatkan saat anak-anaknya tiba-tiba, ketika malam hari di tengah teriakan serigala, terbangun, dan menggigil kedinginan oleh hujan lebat di luar dan karena itu ketakutan.

Gerbong yang kami tumpangi terus dipenuhi tubuh-tubuh manusia yang semakin lama semakin sesak dan kami hanya dapat melihat sebatas gelap menyelubung. Bau-bau semakin menyesak dalam dada kami seolah kami adalah bangkai itu. Pintu digeret dengan keras dalam gelap yang diantaranya kami mendengar erangan-erangan yang semakin lama semakin memilukan karena menyebut ke manakah ayah ibunya, ke manakah anak cucunya, sehingga kami menjadi bertanya dalam diri kami sendiri: apakah satu dua diantaranya adalah bapak-ibu kami yang tengah mencari-cari kami yang kini tengah mencari-cari, tetapi sangat begitu lemah sehingga suaranya menjadi serupa orang tengah melihat mati? Kami tidak tentu. Kami tidak membalasnya dengan panggilan balik sehingga kami tidak dapat menyatakan dan menegaskan bahwa suara itu suara milik bapak atau ibu kami.

Kereta berderak dan suara-suara yang mengerang makin hilang dan kami seperti di sebuah dunia yang tiba-tiba memuat kami harus berteriak keras-keras sebab apakah yang kami bayangkan (atau dipaksa membayangkan) adalah gambar khayali yang semakin lama semakin terang namun tidak kami mengerti di manakah sesungguhnya kami tengah berada. Kereta semakin tidak terkendali dengan benak kami yang penuh tanya tujuan mana dan dengan maksud apa kereta itu berderak. Dengan nafas sesak oleh bau busuk yang menyelusup ke lobang hidung, batang tenggorok dan paru, kami terbayang sebuah danau yang luas ketika hari sehabis hujan, udara cerah, dan kami sedang berlayar di tengahnya. Di mana sebuah senja tengah menyuruk ke belahan langit sebelah barat, diantaranya burung melintas dan kami lihat bayang-bayangnya bersama warna lengkungan langit yang diwarnai senja tengah terpantul.

Kami menduga gerbong hitam ini tengah menuju ke dalam senja yang sedang menyuruk di antara kunang-kunang yang semakin lama semakin nyata dalam pandangan kami. Menerobos ke dalamnya, ke jantung senja dalam waktu yang kami sendiri tidak dapat memperkirakannya. Mungkin perjalanan dalam gerbong hitam yang kepalanya meledak-meledak dan badannya berderak-derak akan memakan waktu seumur kami bahkan lebih sehingga mencapai anak-cucu kami, buyut-buyut kami, dan tidak akan tahu bagaimana sesungguhnya peristiwa perjalanan di atas gerbong hitam dalam nafas bau busuk bangkai manusia ini bermula dan hendak kapan mesti berakhir. Kami tidak tahu. Kami tekukkan kepala kami diantara dua kali kami sendiri-sendiri. Sunyi. ***

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae