Imam Muhtarom
http://www.balipost.co.id/
Bagian 1
Kami berada di atas gerbong yang melaju tak terkendali. Seperti menaiki sebuah perahu kayu yang berputar di atas ombak dan telah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Perahu itu belum pernah berhenti. Kami seperti tersesat di perairan maha luas dan kami hanya bisa menduga-duga tentang keluasan itu.
SEWAKTU kami telah menghabiskan buntalan nasi daun pisang yang bercampur aduk dengan sayur nangka muda sehingga nasi itu berwarna kecoklatan, sangat pedas sampai mulut kami seperti usai makan api dan berkata merajuk, ''Ibu, perut kami mulas!'', ibu tidak memperhatikan bunyi suara kami. Apakah yang kami katakan berlainan dalam pendengaran ibu ataukah telinga ibu selalu mengartikan lain dari perkataan kami? Ibu tak hiraukan kami lagi?
Kereta yang kami tumpangi terus berderak-derak melintasi persawahan lengang senja hari. Tampak langit di belahan barat merona kuning kemerahan menyaput dan satu-dua tampak burung melintas. Kami termangu. Kami berderet bertiga di mulut pintu gerbong. Gerbong yang kami tumpangi merupakan gerbong barang yang gelap tanpa tempat duduk dengan beberapa penumpang yang kepalanya menekuk di antara kakinya, dengan punggung bersandar di dinding gerbong yang kasar. Bapak ibu kami di pojok gerbong lamat-lamat tampak dalam pandangan kami.
Kami merasa dalam perjalanan di atas kereta api ini -- kereta yang dihidupi api, menurut cerita kakek kami -- seperti menuju daerah tanpa batas. Daerah di mana kami yang jauh di balik gunung yang selalu tampak hitam lereng-lerengnya, mengelilingi tempat kami bersama bapak-ibu-kakak-saya-adik, tinggal. Sering kami dan sangat suka apabila sekali-sekali di tengah perjalanan kami, daerah tempat tinggal kami digenangi air sehingga setiap pagi menjelang terbit atau menjelang matahari tenggelam di bagian barat tempat kami tinggal, kami dapat meluncur bersama sebuah sampan, mengulurkan tali pancing seraya girang melihat kelap-kelip cahaya matahari terpantul oleh permukaan air. Burung-burung terbang menyisiri tepi-tepi perairan, awan-awan menggumpal membentuk bundaran-bundaran besar kecil seperti asap gunung yang menurut bapak ibu kami pernah berkali-kali meletus, angin yang ringan berhembus menyentuh-nyentuh permukaan badan kami. Kami senang.
Bayangan, keinginan itu, timbul tenggelam dalam benak kami karena kami sering bertemu omongan-omongan yang entah kami tidak tahu asal muasal dan dengan maksud apa, mengatakan bahwa di balik gunung-gunung yang mengelilingi kami terdapat sebuah daerah, sebuah tanah, yang dalam musim hujan kami tidak akan menemui setetes pun air yang turun dari langit melainkan untaian bunga warna-warni yang wanginya sangat menusuk hidung hingga apabila terdapat tubuh manusia yang subur-suburnya dibusukkan oleh belatung dan tepat berada di depan hidung kami, maka kami hanya merasa bahwa tubuh penuh belatung mengeluarkan lendir itu merupakan sumber wangi. Walaupun demikian tanah tetap sejuk, matahari bersinar lebih redup dan kami dapat menyaksikan sebuah pemandangan laut terpampang di angkasa. Begitu pula ketika musim kemarau, begitu omongan-omongan itu melanjutkan omongannya. Matahari memang lebih terang daripada waktu musim penghujan. Tetapi tidak membuat keringat mengucur dari pori-pori badan. Cahaya matahari yang akan menyentuh kulit kami akan meresapkan rasa sejuk dan rasa sejuk itu akan menebar di seluruh urat-urat yang disebut otot, dan akan memasukkan zat -- entah zat apa karena omongan-omongan itu tidak menyebut suatu nama -- yang membuat urat-urat silang sengkarut bentuknya menghasilkan sebuah perasaan senang pada tubuh yang disesapi zat itu tanpa tahu apakah warna kulitnya hitam, sawo matang, kuning atau putih.
Dan demikianlah kami akhirnya perlahan-lahan tidak pernah mengimpikan lagi mengenai sebuah danau yang sore hari kami meluncur ke tengahnya, membuat garis permukaan air timbul, mengombak pelan dan menyemburatkan cahaya matahari yang tampak merona yang membuat kami terpesona. Kami tidak mengimpikan lagi seekor burung melayap, menyisiri bibir danau, permukaan danau yang menyerupai cermin raksasa sebab apapun diatasnya akan terpantul olehnya, sehingga kami tidak diangan-angani dalam tidur kami tentang sebuah daerah terindah yang akan membuat kami kecewa sepanjang umur kami apabila kami tidak segera memasukinya.
Begitulah kami kemudian merayu bapak-ibu kami dengan cara apa saja sehingga bapak ibu kami luluh lantak dalam kemauan kami, dalam kehendak kami. Mulanya mereka -- bapak ibu kami -- tidak segera menjawab karena padi yang menguning belum dipetik dan karena itu, mereka menyuguhkan alasan, kami tidak bisa makan. Kelaparan. Kurus kering tubuh kami dan kami busung lapar. Perut membuncit seperti balon yang tidak kami punyai sebagai hadiah lebaran yang bagi kami sangat menjengkelkan dan mengesalkan. Setiap hari lebaran kami tidak diberikan apa-apa kecuali sarung, peci dan berbeda dengan teman-teman kami dibelikan pakaian yang bisa digunakan untuk, seperti perkataan guru sekolah kami, silaturahmi. Kami merajuk sekali ini bahwa permintaan kami harus diluluskan.
Dengan disertai omelan dan segenap ancaman-ancaman yang sangat baru dan kami tidak tahu bagaimana bapak ibu kami dapat mengeluarkan perintah-perintah yang menurut kami aneh. Kami dalam perjalanan kereta api itu tidak boleh berbicara sepatah katapun baik dengan mereka -- bapak ibu kami -- maupun kepada para penumpang yang barangkali menyertai dalam perjalanan nanti dan juga diantara masing-masing kami bertiga. Mulanya kami menyangka itu adalah perintah yang dapat kami samakan dengan tidak boleh bergurau pada saat kami menjelang tidur di kamar tengah yang lampunya ditaruh di luar kamar -- sebuah lampu minyak -- agar kami dapat bermimpi yang indah, bertemu buyut-buyut kami di angkasa yang tidak pernah kami lihat di siang hari. Di saat mata kami terbuka dan bagi kami tidak ada yang tersembunyi oleh tatapan mata kami yang bulat, jernih dan menurut orang tua kami sendiri, sangat hebat.
Kami menurut. Perjalanan disiapkan. Kami berlima berjalan mengarah ke stasiun tua yang berada di pinggir kota yang mempunyai bangunan warna-warni, dinding-dindingnya adalah tembok dan berbeda sekali dari rumah kami yang hanya dilapisi sayatan-sayatan anyaman bambu. Stasiun itu sangat kekar, dindingnya sangat lebar dan lebih menyerupai bangunan kuno. Kata bapak-ibu kami itu peninggalan nenek moyang kami yang bukan berwarna sawo matang semacam kami ini melainkan putih seperti kerbau bule yang kami gembalakan di lapangan rumput yang kesukaannya menunggangi para betinanya maupun kerbau lain yang berwarna hitam. Bapak ibu kami tidak membeli karcis seperti yang diceritakan omongan-omongan itu. Kami langsung disuruh naik ke gerbong dekat kepala kereta yang berwarna hitam legam menyerupai arang. Begitu kami naik kereta segera berangkat, perlahan, dengan ledakan-ledakan di kepala kereta dan getaran-getaran pada badan kereta yang membuat kami, mula-mula, merontak sekujur permukaan kulit kami yang oleh bapak ibu kami disebut sebagai sawo matang.
Kami memang tidak bercakap apa dan kepada siapapun. Kami hanya memandang-mandang dengan perasaan takut-takut kepada orang-orang menyertai dalam perjalanan kami yang sama sekali tidak menampakkan raut mukanya karena ditekukkan di antara dua kakinya sehingga kami sempat menduga bahwa mereka sedang melakukan perjalanan sangat jauh dan mereka sangat kelelahan. Sehingga mereka sepanjang perjalanan adalah tidur dan tidur. Alangkah sayangnya perbuatan demikian, pikir kami. Mereka telah menyia-nyiakan untuk pemandangan yang tidak ada di kampung halamannya, yang tidak dapat setiap hari dijumpainya, dan mungkin akan berubah setiap kali orang yang mengadakan perjalanan itu dengan naik kereta yang ditumpanginya sama dengan kereta yang sekarang ini bersama kami.
Maka kami dengan sesuka hati menghadapkan muka kami ke luar gerbong kereta dengan pemandangan sungai-sungai yang tampak kecil apabila kereta yang kami tumpangi melintasi sebuah jembatan yang jaraknya dengan sungai itu sangatlah tinggi. Sungai itu tampak tenang, air mengalir di sela-sela batu runcing dan dalam bayangan kami pasti terdapat ikan-ikan gabus yang kecil, gesit, sisik-sisiknya mengkilau apabila tubuhnya mengkelok diantara bebantuan dan tepat pada saat itu secercah cahaya matahari menerpanya sehingga sangat menggembirakan hati bila dipandang dengan tidak bermaksud menangkapnya dan memotong-motongnya untuk kemudian melemparkannya ke dalam penggorengan yang berisi minyak panas mendidih.
Kemudian kami mendapati rumah-rumah yang berada di lereng-lereng gunung yang tampak seperti menempel dan begitu saja diletakkan dengan semacam lem yang kami cemas apabila mendadak terjadi gempa yang dahsyat diiringi hujan lebat tiga hari tiga malam tanpa henti dan mendadak pula gunung itu meletus. Rumah-rumah kecil yang menempel itu terpental seperti potongan kardus dan entah bagaimana rupanya setelah terlempar begitu jauh di atas permukaan tanah yang bergunung-gunung itu. Mungkin akan bukan dampak sebagai bekas rumah melainkan kardus-kardus kue yang bertumpukan di belakang rumah kami dan berlepotan lumpur seperti yang selalu kami jumpai usai hari lebaran. ***
Bagian 2-Habis
Tetapi anehnya, kami tidak melihat seorang pun di sela-sela rumah yang tidak berbeda dengan kardus-kardus kue itu. Menangis tersedu-sedukah anak-anaknya? Atau tubuh-tubuh bergelimpangan berlumuran tanah dan darahkah? Atau malah berlari-lari seraya tertawa-tawa karena mereka telah terbiasa dengan peristiwa itu sehingga mereka telah terlatih menghadapinya dan setiap letusan gunung itu berulang mereka menganggapnya latihan tubuh belaka?
PEKARANGAN-PEKARANGAN semuanya kosong. Tak terlihat seorang penggembala pun yang mungkin tengah berdiri agak jauh seraya duduk bersandar pada sebuah pohon yang daunnya melambai-lambai ditiup angin, mengundang siapapun dan apapun untuk berlindung di bawahnya.
Tapi ini kan bukan siang hari, pikir kami karena yang memancar sekarang bukan bundaran putih yang mengkilau di angkasa yang oleh orang-orang disebut matahari -- matanya hari, menurut kami -- melainkan bundaran kuning yang agak lonjong menyerupai telur ayam disebut sebagai bulan. Mungkin para penggembala itu sedang tidur dan sekarang bermimpi mengenai apa yang sesungguhnya terjadi dibalik gunung itu di mana rumahnya beserta rumah para tetangganya bertempelan, sebagaimana mimpi-mimpi kami yang datang pada awal kami tidur namun tiba-tiba berubah pada ujungnya menjadi pertarungan sengit antara berpuluh-puluh orang yang pakaiannya sama, warna kulitnya sama dan dalam seruan-seruan yang sama. Tapi meskipun senjata mereka sama mereka saling menyerang dengan beringas diantara rumah-rumah yang terpetak-petak, di sela-sela pepohonan dan entah sebenarnya berapa lama telah saling menikam. Semuanya berakhir dengan kematian.
Kami terbengong oleh mimpi itu. Apakah kami sungguh-sungguh? Kami ketakutan sekali sebab kami berada dalam bagian dari penyerangan itu dan kami tidak mungkin bermain-main lagi. Di mana bapak-ibu kami? Apakah terjebak dalam arak-arakan saling tikam dan saling penggal sehingga yang terdengar adalah kegeraman, jerit kesakitan, lolongan kepedihan di tengah-tengah kegelapan malam pegunungan. Kami berlari dan tidak sekalipun berhenti ketika kami tiba-tiba terbangun oleh pertengkaran bapak-ibu kami apakah setuju atau tidak dengan ajakan kami untuk pergi ke balik bukit dengan kereta api yang memiliki gerbong hitam panjang setelah kami merengek-rengek meminta bapak-ibu kami menyertai menuju tempat impian.
Tetapi sepanjang perjalanan yang menyerupai mimpi terus berlangsung di bawah keremangan cahaya bulan, menembus kabut, menembus lorong-lorong gelap perbukitan yang dibongkar untuk rel kereta api, dengan tikungannya yang semakin lama semakin tajam, di antara pohon-pohon yang daunnya berjuntaian menyentuh permukaan tanah, udara semakin mendingin dan orang-orang dalam gerbong terus-menerus tidak bergerak dari terpekurnya. Kami lama-lama jemu menanti daerah yang, katanya, tidak pernah menjemukan itu.
Kami mengantuk dan kami beranjak dari mulut pintu gerbang mencari bapak ibu kami yang seingat kami, tadi, duduk di pojok gerbong. Tetapi kami tidak menemukannya. Ketika kami memanggilnya bapak-ibu kami tidak juga segera bangkit, merengkuh badan kami dan memasukkannya dalam dekapan. Kami kedinginan dan kebingungan. Orang-orang yang terpekur tetap tidak segera beranjak. Kami menangis tetapi kami sangat lelah sehingga kami tiba-tiba terjatuh di sandar gerbong tepat mengenai orang-orang yang sejak tadi terpekur. Tetapi tubuh kami oleng oleh gerak gerbong yang terus berguncang-guncang, oleh lelah yang merasuki badan kami, dan kami terloncat (atau terlempar?) ke dinding gerbong sebelah.
Kami tiba-tiba menghirup bau busuk yang amat sangat ketika lobang hidung kami menempel di pakaian orang-orang yang sedang terpekur. Kami seperti membau sebuah bangkai binatang membusuk yang biasa dilemparkan tetangga-tetangga kami ke sungai dan beberapa hari selanjutnya tersangkut di dam desa bawah dengan dipenuhi belatung. Tetapi ini bukan binatang membusuk, pikir kami. Ini bau yang belum kami pernah tahu. Perut kami tiba-tiba seperti diputar-putar, bergerak-gerak sendiri dan pada akhirnya keluar semua apa yang tadi masuk ke dalam perut. Kami tidak tahu benar apa yang kemudian terjadi ketika tiba-tiba di antara kepusingan itu kereta tiba-tiba berhenti di sebuah tempat yang barangkali sebuah kota karena sekilat pandang kami menangkap lampu-lampu berpijaran, berderet membentuk garis-garis yang berputar teratur dengan sisi-sisinya gedung-gedung entah untuk apa berdiri tegak.
Dalam keadaan yang membuat kami mau menangis lagi, kami mendengar suara gerak dari luar gerbong yang ramai, berserak dan suara itu suara yang membuat kami gemetar. Apakah mereka seperti yang terdapat dalam mimpi kami. Kami tidak tahu. Kami hanya melihat dalam keremangan gerbong beberapa orang dari luar gerbong, mungkin berjumlah sepuluh sampai lima belas orang sedang melempar dengan sepenuh tenaga dan apa yang dilemparkan itu adalah tubuh manusia yang tampak kaku, mungkin mati, mungkin tidur, mungkin setengah mati, saling membentur dan satu atau dua diantaranya membentur dinding yang terbuat dari lempengan besi dengan suara yang diakibatkannya menyerupai benturan batu.
Kami mundur dan tubuh terhuyung oleh pikiran: apakah dua diantaranya merupakan ibu-bapak kami? Kami harus tidak percaya dengan pikiran kami sendiri. Apakah bapak ibu kami tega meninggalkan kami sendirian dan tidak tahu ke mana kami mesti pergi dan... kenapa orang-orang melempar orang-orang sesamanya dengan begitu keras dan dengan begitu tidak penuh perasaan sebagaimana bapak ibu kami membelai rambut dan kadang-kadang, perut kami.
Kami semakin tidak tahu apa yang disebut tanah impian yang kami dengar dari omongan-omongan yang tidak pernah menyebut dirinya dengan terus terang sehingga kami tidak sebegini jauh tidak tahunya; sehingga kami menyerupai anjing yang ditinggal sang induk karena induk itu tidak didapatkan saat anak-anaknya tiba-tiba, ketika malam hari di tengah teriakan serigala, terbangun, dan menggigil kedinginan oleh hujan lebat di luar dan karena itu ketakutan.
Gerbong yang kami tumpangi terus dipenuhi tubuh-tubuh manusia yang semakin lama semakin sesak dan kami hanya dapat melihat sebatas gelap menyelubung. Bau-bau semakin menyesak dalam dada kami seolah kami adalah bangkai itu. Pintu digeret dengan keras dalam gelap yang diantaranya kami mendengar erangan-erangan yang semakin lama semakin memilukan karena menyebut ke manakah ayah ibunya, ke manakah anak cucunya, sehingga kami menjadi bertanya dalam diri kami sendiri: apakah satu dua diantaranya adalah bapak-ibu kami yang tengah mencari-cari kami yang kini tengah mencari-cari, tetapi sangat begitu lemah sehingga suaranya menjadi serupa orang tengah melihat mati? Kami tidak tentu. Kami tidak membalasnya dengan panggilan balik sehingga kami tidak dapat menyatakan dan menegaskan bahwa suara itu suara milik bapak atau ibu kami.
Kereta berderak dan suara-suara yang mengerang makin hilang dan kami seperti di sebuah dunia yang tiba-tiba memuat kami harus berteriak keras-keras sebab apakah yang kami bayangkan (atau dipaksa membayangkan) adalah gambar khayali yang semakin lama semakin terang namun tidak kami mengerti di manakah sesungguhnya kami tengah berada. Kereta semakin tidak terkendali dengan benak kami yang penuh tanya tujuan mana dan dengan maksud apa kereta itu berderak. Dengan nafas sesak oleh bau busuk yang menyelusup ke lobang hidung, batang tenggorok dan paru, kami terbayang sebuah danau yang luas ketika hari sehabis hujan, udara cerah, dan kami sedang berlayar di tengahnya. Di mana sebuah senja tengah menyuruk ke belahan langit sebelah barat, diantaranya burung melintas dan kami lihat bayang-bayangnya bersama warna lengkungan langit yang diwarnai senja tengah terpantul.
Kami menduga gerbong hitam ini tengah menuju ke dalam senja yang sedang menyuruk di antara kunang-kunang yang semakin lama semakin nyata dalam pandangan kami. Menerobos ke dalamnya, ke jantung senja dalam waktu yang kami sendiri tidak dapat memperkirakannya. Mungkin perjalanan dalam gerbong hitam yang kepalanya meledak-meledak dan badannya berderak-derak akan memakan waktu seumur kami bahkan lebih sehingga mencapai anak-cucu kami, buyut-buyut kami, dan tidak akan tahu bagaimana sesungguhnya peristiwa perjalanan di atas gerbong hitam dalam nafas bau busuk bangkai manusia ini bermula dan hendak kapan mesti berakhir. Kami tidak tahu. Kami tekukkan kepala kami diantara dua kali kami sendiri-sendiri. Sunyi. ***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 11 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar