Sabtu, 28 Maret 2009

Bukittinggi di Peta Sastra

Adek Alwi*
http://www.suarakarya-online.com/

KOTA Bukittinggi, Sumatera Barat, boleh jadi sudah lenyap dalam peta sastra Indonesia. Atau bulatan-merahnya yang dulu tegas, nyata, sekarang samar saja. Tidak terdengar lagi aktivitas sastra di kota itu.

Juga tak terbaca karya sastrawan yang ada di kota itu, misalnya dalam jurnal dan majalah sastra atau ruang-ruang sastra surat kabar. Beda dengan kota tetangganya, dan yang lebih kecil, Payakumbuh. Payakumbuh satu-dua dasawarsa terakhir bersinar dengan kegiatan sastra serta karya sastrawan yang berdomisili di sana, seperti Gus tf, Adri Sandra, Iyut Fitra dan banyak yang lainnya.

Sebenarnya, pada dasawarsa 1950-an dan paling tidak sampai penggal pertama 1960-an, Bukittinggi justru kota penting dalam atlas sastra Indonesia. Keberadaannya tak hanya patut ditandai bulatan-merah, melainkan bulatan yang dikurung segi-empat. Persis keberadaan kota itu pada peta bumi Indonesia masa itu, yakni ibu kota Provinsi Sumatera Tengah (Sumatera Barat-Riau-Jambi); atau beberapa tahun sebelumnya, yaitu sebagai ibu kota PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia), ketika ibu kota RI, Yogyakarta, diduduki oleh Belanda.

Bukittinggi pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an bercahaya dalam jagat sastra Indonesia tentu tak ada kaitannya (secara langsung) dengan statusnya sebagai ibu kota provinsi berdaerah luas, atau ibu kota pemerintah darurat republik. Tapi, lebih karena, (1) di kota itu tinggal sejumlah sastrawan yang menghidupkan kegiatan sastra, dan (2) adanya penerbit yang memiliki komitmen menakjubkan terhadap kehidupan sastra.

AA Navis dkk

Sastrawan yang menetap di Bukittinggi pada dekade 1950-an diantaranya ialah AA Navis, juga sastrawan yang lebih muda, seperti Rusli Marzuki Saria, Nasrul Sidik, Motinggo Busye (sebelum kuliah sekaligus pindah ke Yogya). Merekalah, antara lain, yang menghidupkan kegiatan sastra di kota itu, dengan berbagai diskusi, pembacaan serta ulasan puisi di RRI Bukittinggi, dan (sudah tentu) penulisan karya-karya sastra secara individual. Cerpen Robohnya Surau Kami Navis yang terkenal itu juga dia tulis di kota itu, bulan Maret 1955, dan dimuat dalam Majalah Kisah edisi No.5/Th III Mei 1955. Lalu meraih Hadiah Majalah Kisah, pada tahun yang sama.

Rusli Marzuki Saria kemudian kita kenal sebagai penyair yang tak putus-putus berkarya, sehingga melahirkan banyak sekali kumpulan puisi (diantaranya: Pada Hari Ini Pada Jantung Hari; Ada Ratap Ada Nyanyi; Sendiri-Sendiri, Sebaris-Sebaris dan Sajak-Sajak Bulan Februari; Sembilu Darah). Rusli juga pernah jadi anggota DPRD Tk II Kodya Padang, dan redaktur kebudayaan (kini pensiun) Harian Haluan, Padang. Selama di Haluan pula (puluan tahun) ia menyediakan ruang untuk tempat anak-anak muda berolah sastra, dan kemudian tumbuh sebagai pengarang ataupun penyair andal.

Nasrul Sidik tokoh pers di Padang, dan terakhir Pemimpin Redaksi Mingguan Canang. Sedangkan Motinggo Busye adalah seniman sangat produktif, menunjukkan reputasinya di berbagai cabang kesenian: sastra (cerpen, novel, sajak, naskah drama), penulisan skenario maupun sutradara film, dan juga seni rupa dengan melukis.

Penerbit Nusantara

Mungkin tak banyak yang tahu bahwa Rendra, selain penyair, pemain film dan dramawan, adalah juga pengarang cerpen. Kumpulan cerpennya, Ia Sudah Bertualang (yang memuat sembilan cerpen) diterbitkan oleh NV Nusantara, Bukittinggi, tahun 1963.

Penerbit (juga percetakan) Nusantara berkantor pusat di Bukittinggi (cabang di Jakarta), dan sejak pertengahan 1950-an hingga pertengahan ‘60-an aktif menerbitkan karya sastra. Dedikasi Nusantara dalam hal ini sungguh menakjubkan (apalagi dilihat dari kacamata masa kini yang amat berorientasi ekonomis), karena menerbitkan karya sastra merupakan proyek rugi. Namun, langkah Nusantara itu dapat dimaklumi bila tahu siapa di balik penerbit tersebut.

Penerbit NV Nusantara didirikan Anwar Sutan Saidi, kelahiran Sungai Puar, Bukittinggi, 1910. Ia seorang saudagar, aktivis pergerakan, pejuang. Dia juga tokoh utama pendiri Bank Nasional tahun 1930 di Bukittinggi, yang latar belakang kelahiran bank ini khas mencerminkan semangat zaman itu: memajukan perekonomian rakyat yang tertindas oleh penjajah.

Pertengahan 1950-an Anwar Sutan Saidi menjabat Presdir NV Nusantara, dan anaknya, Rustam Anwar, selaku direktur. Sang anak rupanya tidak kalah idealis dari ayah. Maka mengalirlah lewat Penerbit NV Nusantara karya para sastrawan Indonesia yang tumbuh dan berkembang pada dekade 1950-an hingga paruh pertama 1960-an.

Di samping kumpulan cerpen Rendra di atas misalnya, Nusantara menerbitkan kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami dan Hujan Panas (AA Navis); Di Tengah Padang (A Bastari Asnin); Pertemuan Kembali (Ajip Rosidi); Malam Bimbang dan Supir Gila (Ali Audah); Datang Malam (Bokor Hutasuhut); Umi Kalsum (Djamil Suherman); Pesta Menghela Kayu dan Dara Di Balik Kaca (Dt B Nurdin Jacub); Dua Dunia (Nh Dini); Lukisan Dinding (M Alwan Tafsiri); Keberanian Manusia dan Matahari Dalam Kelam (Motinggo Busye); Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasjah Djamin); Mabuk Sake (Purnawan Tjondronagoro); Di Luar Dugaan dan Istri Seorang Sahabat (Soewardi Idris); Perjuangan dan Hati Perempuan (Titie Said); Di Medan Perang (Trisnojuwono). Beberapa kumplan cerpen ini mengalami cetak ulang, paling tidak dua kali, oleh penerbit yang sama.

Selain itu juga diterbitkan NV Nusantara sejumlah novel asli Indonsia, antara lain Kemarau (AA Navis); Tidak Menyerah (Motinggo Busye); Hati Yang Damai (Nh Dini); Midah Si Manis Bergigi Emas (Pramoedya Ananta Toer); Mendarat Kembali (Purnawan Tjondronagoro); Di Balik Pagar Kawat Berduri (Trisnojuwono). Dan juga terjemahan karya-karya pengarang luar seperti karya “raksasa” sastra Rusia masa lalu, Maxim Gorki.

Dengan buku-buku terbitan Nusantara itu, tak pelak jagat sastra Indonesia pun semarak serta semakin kaya pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an. Dan Bukittinggi, ditambah dengan aktivitas para sastrawan yang saat itu bermukim di sana, menerakan keberadaannya dalam peta sastra Tanah Air dengan bulatan merah yang tegas. Malah, bulatan yang dikurung tanda segi-empat, menyamai Yogya dan nyaris Jakarta!

Namun tanda itu belakangan pudar. Bukittinggi tinggal sejarah, persis posisi kota itu dalam sejarah Indonesia. Dan kita tidak tahu kenapa. Memang ironi, tetapi, bagaimana lagi? Sebab agaknya benar petuah orang bijak: mempertahankan lebih sulit ketimbang merebut. Apalagi, pada zaman yang menderas dengan semangat yang tak menyentuh (dan malah dapat membunuh) daya hidup sastra, seperti dewasa ini.***

*) Penulis, sastrawan dan wartawan

Jejak Religius dalam Perpuisian Indonesia

Lukman Asya
http://www.infoanda.com/

Dalam konteks tulisan ini religiositas dimaknai sebagai religious feeling or sentiment atau perasaan keagamaan. Religiusitas berarti termanifestasikannya suatu keyakinan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia; adanya suatu penyerahan diri, ketundukan dan ketaatan (Atmosuwito, 1989). Rohaniwan Muji Sutrisno mengartikan religiusitas sebagai intinya inti agama. Mangunwijaya (1982) memahami religiusitas lebih pada getaran hati nurani.

Religiusitas dalam sastra Indonesia selalu hadir dalam konteks wacana (pembacaan maupun penciptaan) sekularisme dan materialisme yang menjauhkan manusia dari nilai-nilai spiritualitasnya. Penghayatan yang intens terhadap Tuhan, menyoal aspek-aspek personalitas kebaktian makhluk kepada Tuhan, sedu-sedannya di dalam suatu karya bukan hanya karena alasan untuk memperoleh pengetahuan tentang religiositas an sich, melainkan juga karena secara pragmatis sebagai suatu gerakan mencari dimensi yang hilang dari religi. Religiositas, menurut Rumi, merupakan suatu yang dapat digunakan sebagai sarana pembinaan dan pendewasaan mental manusia.

Kemunculan karya sastra, baik prosa maupun puisi, yang berlandaskan religiusitas mengesankan kehadiran suatu genre sastra yang khas yang dianggap dekat dengan sastra falsafi. Sastra falsafi berbicara tentang esensi hidup dan kehidupan dan persoalan kemanusiaan seperti dalam tulisan Dostoyevsky, Rimbaud, Tolstoy, Kafka, Sartre atau Camus.

Sastra religius menampakkan pandangan yang lebih jernih dan transenden dibanding sastra falsafi. Ini dapat dilihat pada karya-karya Dante Alighieri dalam Divina Comedia, dan Johann Wolfgang van Goethe dalam Faust. Begitu juga karya-karya Muhammad Iqbal, Jalaluddin Rumi, Hamzah Fansuri, dan Raja Ali Haji.

Dalam khasanah sastra Indonesia, spirit religius yang kental juga dapat dilihat pada karya-karya Abdul Hadi WM, Kuntowijoyo, A Mustofa Bisri, Emha Ainun Nadjib, Jamal D Rahman, Rukmi Wisnu Wardhani, dan Din M Yanwari.

Hamzah Fansuri adalah seorang pujangga Melayu-Islam di zaman kegemilangan kerajaan Acheh. Lahir di Barus dan terkenal sebagai penyair dan ahli suluk yang hidup dalam abad ke-16. Dalam bidang ilmu agama, Hamzah Fansuri mengembangkan ajaran-ajarannya dengan dibantu oleh Syamsuddin al-Sumaterani.

Penyair sufi ini banyak memberikan sumbangan besar bagi khazanah perpuisian. Hamzah Fansuri adalah pembuka jalan sastra-sastra kitab yang mengedepankan unsur religiusitas. Bahkan, beberapa kalangan menempatkannya sebagai 'bapak puisi Indonesia'. Karya-karyanya secara alegoris mengandung kias-ibarat yang merujuk kepada Martabat Tujuh, mendedahkan keteladanan kemanusiaan di depan sang khalik.

Menurut Abdul Hadi WM, Hamzah Fansuri merupakan pencipta 'syair Melayu' yang bercirikan puisi empat baris dengan pola sajak akhir a-a-a-a. Bakatnya sebagai sastrawan besar tampak dalam kesanggupan kreatifnya merombak bahasa lama menjadi bahasa baru dengan cara memasukkan ratusan kata Arab, istilah konseptual dari Alquran dan falsafah Islam. Ia juga membuat sintesis antara puisi-puisi Arab Parsi dengan puisi-puisi tradisi Melayu. Bahasa Melayu lantas tampil sebagai bahasa intelektual yang dihormati, sebab dapat menampung gagasan baru yang diperlukan pada zaman itu.

Peranan penting Hamzah Fansuri bukan saja karena gagasan tasawufnya, tetapi puisinya yang mencerminkan pergulatan penyair menghadapi realitas zaman dan pengembaraan spiritualnya. Karya penting Hamzah Fansuri adalah Zinat Al-Wahidin yang ditulis pada akhir abad ke-16 ketika perdebatan sengit tentang paham wahdat al-wujud sedang berlangsung dengan tegang di Sumatera.

Prof Madya Hadijah Rahmat, dari Institut Pendidikan di Universiti Teknologi Nanyang, menulis bahwa Hamzah Fansuri mempunyai sifat berani bersuara dengan bersandarkan keyakinan ilmu, sehingga dikenal sebagai seorang pelopor dan pembaru melalui Syair Perahu, Syair Burung Pungguk, Syair Dagang, Syair Sidang Fakir dan Syair Burung Pingai.
Ia banyak mengeritik perilaku politik dan moral raja-raja, bangsawan, dan kaum kaya.

Pada hakekatnya yang ditekankan Hamzah Fansuri melalui karya-karyanya adalah bagaimana manusia hadir mencapai maqom kesempurnaan yakni apabila tidak menafikan aspek rohaniah dan batiniah. Manusia sebagai makhluk religi perlu berusaha meningkatkan martabat kerohanian, ilmu pengetahuan dan amalannya. Puncak seorang manusia yakni ketika dia tidak saja mengenal dirinya tetapi juga dapat mengenal siapa Tuhannya yang akhirnya mencapai ekstase: penyatuan antara manusia dengan Tuhan.

Penyair A Mustofa Bisri (Gus Mus) juga dikenal sebagai politisi dan kiai. Pengasuh Pondok Pesantren 'salafiah' Raudatut Thalibin, Rembang, ini termasuk seorang manusia yang multi talent. Karya-karyanya berupa puisi dan cerpen telah dibukukan dalam beberapa antologi. Ia memiliki komitmen sosial dan religius yang sangat kuat. Konsep hidupnya mengedepankan ruh ketimbang 'daging' terekspresikan dalam antologi puisinya Negeri Daging (Bentang Budaya, 2002). Buku itu memantapkan sosok dirinya sebagai penyair yang terlibat dengan masalah-masalah sosial, politik dan budaya.

Gus Mus mengingatkan semua orang untuk meyakini nilai ruhiah dan spiritualitas dalam kehidupan, sebagaimana tergambar dalam puisi Negeri Daging berikut ini:

di negeri daging
setiap hari banyak orang
asyik memperagakan daging
setiap hari banyak orang
hilir-mudik menjajakan daging
di negeri daging
setiap hari banyak orang mati
memperebutkan daging
di negeri daging
jagal-jagal berkeliaran
daging-daging berserakan

Dari kalangan yang lebih muda pasca-Abdul Hadi WM dan Emha Ainun Nadjib ada nama Ahmadun Yosi Herfanda, dengan buku kumpulan sajak terbarunya, Ciuman Pertama untuk Tuhan (Logung Pustaka, 2003), yang sedikit berbeda dengan beberapa antologi sebelumnya. Dalam Sembahyang Rumputan dan Fragmen-fragmen Kekalahan, ekspresi estetik sang penyair lebih mengedepankan kritik sosial dalam kerangka religiusitas atau meminjam terminologi Ahmadun sendiri sebagai karya sastra religius yang sosialistik.

Sedangkan dalam Ciuman Pertama untuk Tuhan Ahmadun lebih memperlihatkan "mabuk asyik" sang makhluk dengan Tuhannya. Puisi-puisi yang termuat di dalamnya ditaburi nama-nama sufi semisal Rabiah, Hallaj, Rumi dan lain-lain yang tentu saja ada tendensi positif tertentu dan tidak sekedar menyebut nama tetapi secara intertekstual membawa dan menghubungkan konteks kekinian yang dibangun si penyair dengan khazanah tasawuf di masa silam, minimal spiritualitasnya. Misalnya pada puisi Ciuman Pertama untuk Tuhan berikut ini:

merendahkan hati di bawah telapak kaki dalam tahajud paling putih dan sunyi, akhirnya sampai juga aku mencium tuhan, mungkin kaki atau telapak tangannya -- tapi aku ingin mengecup dahinya duhai, hangatnya sampai ke ulu jiwa

inilah ciuman pertamaku, setelah berabad-abad gagal meraihnya dengan beribu rakaat dan dahaga tiada kecerdasan kata-kata yang bisa menjangkaunya tak juga doa dalam tipu daya air mata -- duhai kekasih raihlah hatiku dalam hangatnya cinta

Begitu pula pada puisi-puisi lainnya, seperti Membaca Rumi, Solilokui, dan Syeh Siti Jenar, yang secara hermenetis membawa si aku lirik pada etos religiusitas yang khusuk dalam suluk kerinduannya: meneguhkan tradisi sufistik sebagai ittiba' yang dia pertaruhkan.

Penyair-penyair lain yang lebih muda dan karya-karyanya kental religiusitas adalah Rukmi Wisnu Wardhani dan Din M Yanwari. Nama yang terakhir itu adalah sosok penyair muda dari Bandung yang belum terkenal tetapi puisi-puisinya secara religiusitas cukup berpengharapan di belantika perpuisian Indonesia. Beberapa puisinya sempat dimuat di Galamedia, Pikiran Rakyat dan majalah Syir'ah. Antologi puisi tunggalnya, Arasy Imaji diterbitkan oleh Pustaka ADeDi, 2005.

Membaca puisi-puisi Din M Yanwari dalam antologi puisi tersebut kita dapat menemukan peristiwa nyata yang seakan hadir sebagai suatu perjalanan kemakhlukan yang menghanyutkan perasaan: meditasi batiniah. Seolah-olah puisi adalah pita kaset yang memutar kembali pengalaman-pengalaman keagamaan. Gambaran nyata suasana si aku lirik (penyair) itu secara sederhana terekspresikan dalam puisi puisi Dalam Yasin berikut ini:

Dalam gerimis
yasin-yasin melepas tiga rakaat senja
memancang tiga prasasti doa

Terpancang prasasti pertama:
"Ya Allah, panjangkan usiaku
sepanjang liku-liku jalan-Mu."

Tertanam prasasti kedua:
"Ya Allah, limpahkan rizkiku
semelimpah ayat-ayat-Mu."

Tertancap prasasti ketiga:
"Ya Allah, teguhkan imanku
seteguh ulul azmi-Mu."

Dalam puisi di atas tergambar sebuah kepasrahan, ketakziman dan keajrihan sekaligus penjarakan. Ada jarak yang coba diciptakan si penyair guna menegaskan dirinya benar-benar "tukang kebun" di lahan milik "tuan" Tuhan. Ya, si penyair cuma hamba yang biasa dengan kendaraan kata-kata yang biasa. Tetapi dari itulah kian tegas secara posisioning siapa hamba siapa Mu (dalam M besar). Si hamba adalah seseorang yang sedang melakukan kerja-kerja kecil dalam laku estetiknya berusaha konsisten di jagat konvensi kata dan religiusitas.

Bahasa yang sederhana pada sebagian besar puisi-puisi dalam antologi Arasy Imaji tersebut digunakan penyair sebagai medium untuk meyakinkan dirinya cuma hamba dengan seribu keluh dan sedu sebagai si 'tolol' yang berlayar dengan perahu puisinya di tengah lautan ilmu Allah yang maha luas.

*) Penyair dan penyiar radio.

Jumat, 20 Maret 2009

Gaya Barok pada Puisi Indonesia

Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/

Pada dasa warsa akhir abad XX dan hingga kini, kiranya terjadi perubahan konsepsi dalam perwujudan puisi-puisi Indonesia. Kekangan spirit eksistensial yang mengambil bentuk Simbolis bukan lagi menjadi pilihan yang menarik. Model-model semacam puisi Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang, Taufik Ismail serasa ketinggalan zaman. Maka muncullah nama-nama penyair seperti Acep Zamzam Noor, Afrizal Malna, Sitok Srengenge, HU Mardi Luhung, Arief B. Prasetyo, W. Haryanto, Adi Wicaksono, Oka Rusmini. Puisi-puisi merekalah yang menciptakan masa silam bagi kepenyairan terdahulu.

Puisi ”Mahasukha” dari Arief B. Prasetyo, misalnya: Di pinggulmu selusin sayap ingin mengerjap, kungang-kunang terbang, menikung, mengiang, membandang, terus, terus, cepat, ringkus, remas, hempas, keras-keras, jadi jerit bianglala yang terkulai di telaga, yang terberai, terkapar menggapai-gapai akar darah… Pilihan kata dan pola perakitan kata pada puisi Arief serasa chaos. Struktur puitik yang mecah-memecah, pendar-memendar, saling menyingkir, dan saling berpusaran. Model puisi ini mengingatkan pada gaya puisi Barok. Sebuah gaya puisi yang bersifat painterly atau lukisan. Di sana, di puisi Barok, ada terjadi percampuran antara kehidupan duniawi dengan kehidupan surga-neraka, atau kehidupan gaib. Tema digarap dan dijelaskan dengan detail, rumit, berpasang-pasangan, dan aneh.

Memang, saat berakhirnya Abad Pertengahan dan menjelang Renaissance, di Eropa timbul gaya bersastra yang disebut gaya Barok. Gaya yang menandai berakhirnya masa mitologi-religius, ke masa rasionalitas. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, gaya atau alam pikiran Barok meliputi suatu alam semesta yang terdiri atas berbagai dunia, segala macam dunia, yang saling berkaitan dengan cara yang tidak terduga. Gaya ini menandai masa transisi kebudayaan Eropa.

Apakah gaya Barok telah mempengaruhi gaya penulisan puisi di Indonesia? Apakah gaya ini hadir dalam bentuk atau semangat zaman? Dan, apakah manfaat yang dapat ditarik untuk perkembangan kebudayaan di tanah air?
***

Abad Pertengahan Eropa dikenal sebagai abad kegelapan kebudayaan. Kaum agamawan (gereja) bergabung dengan kekuasaan negara (pemerintah) menentukan arah bagi daya kreasi dan kehidupan masyarakat. Mitologi religius menjadi gerakan bersama aktivitas budaya. Ajaran-ajaran kristiani didogmakan sehingga menempati garis mana yang boleh dilakukan, mana pula yang haram untuk dijalani. Konsekuensinya bisa berarti hidup atau mati, satu kasus tragis ialah matinya Galileo akibat berbeda pandangan dengan gereja.

Pengaruh pola pemikiran Abad Pertengahan terhadap puisi muncul pada tema dan gaya penulisan. Kemegahan kehidupan surga-neraka (kehidupan setelah mati) dan kehinaan kehidupan dunia adalah tema-tema populer dan dianggap sah. Sedangkan estetika bahasa, diarahkan ke simbol-simbol keagungan Tuhan.

Adapun konsep waktu yang diterapkan adalah konsep waktu surga-neraka (yang kekal, abadi) dan konsep waktu dunia (yang fana, sementara). Konsep waktu abadi (kekekalan hidup setelah mati) menjadi orientasi proses kreatif sastra (baca: puisi). Tercermin dalam puisi panjang dari Dante bertajuk Divina Commedia yang menggambarkan obsesinya pada dunia setelah mati (surga dan neraka). Kedudukan kata (diksi) adalah sebagai simbol. Mengacu langsung pada pemahaman pasti. Konvensional. Seragam. Seperti ritual mistik.

Hal ini berbeda dengan pola pemikiran masa Renaisance, yang bersifat rasional. Kekuasaan gereja dipisahkan dari kekuasaan pemerintahan. Masyarakat diberi kebebasan dengan memilih, mengembangkan akal/rasio, memajukan kebudayaan pengetahuan. Secara serempak, masyarakat merayakan konsep waktu duniawi. Bahwa surga terletak di dunia, di bumi, ada pada masa depan manusia. Cita-cita diusahakan dan diyakini dapat diraih sebelum kematian menjemput.

Pengaruhnya pada sastra (puisi) ialah dominannya ”aku” yang bertindak dan menafsirkan. Muncul karya-karya bergaya Romantisisme. Seperti pada puisi-puisi John Keats atau Coleridge yang sangat romantis-eksistensialis. Di sini, kata-kata kembali menjadi mitos, ialah mitos rasio dan kehendak eksistensial manusia (penyair).

Gaya puisi Barok hadir di antara kedua masa tersebut. Sebagai gaya masa transisi, gaya Barok bergerak dengan menggunakan prinsip-prinsip gaya sebelum dan sesudahnya, tentu dengan beberapa ciri khusus.

Bila pada masa Pertengahan bersifat linear-transenden dan masa Renaisance bersifat linear-horizon, maka masa Barok bersifat painterly atau lukisan. Percampuran antara kehidupan duniawi dan kehidupan surga-neraka, atau kehidupan gaib. Tema digarap dan dijelaskan dengan detail, rumit, berpasang-pasangan, dan aneh. Semacam adonan gado-gado yang dihidangkan sesaat sesudah bangun tidur.

Perpaduan dan persamaan metafora Barok meliputi alam hidup, alam benda, maupun ketuhanan. Pada periode inilah marak istilah kaki bukit, manis empedu, lidah Tuhan, cemburu daun, tangkai hati, dan sebagainya. Sifat yang seharusnya hanya dimiliki manusia dilekatkan pada binatang, tumbuhan, Tuhan, maupun benda mati. Penyair-penyair gaya Barok teramat gemar permainan analogi dan ironi. Menyamakan berbagai dunia dan menilai sistem suatu dunia dengan kaidah dunia yang berbeda. Mereka merumuskan persoalan manusia secara mendetail dan utuh. Seperti tampak pada puisi Henry Vaughan ataupun Victor Hugo.
***

Masa transisi kebudayaan yang dialami bangsa Indonesia, sadar atau tidak membawa pengaruh terhadap pengucapan dan pemilihan bentuk gaya penulisan puisi. Demikian juga pola komunikasi massa yang berkembang. Belum lagi kejadian real pada politik semata. Pembangunan yang selalu gagal menemukan bentuk, atau bisa dikatakan ”nyaris sia-sia”. Memang begitu keadaannya. Lebih konkret lagi, antara 1999 hingga tahun 2000 adalah masa peralihan.

Gaya penulisan Barok dapat diklaim sebagai gejala yang wajar bila dilihat dari kacamata kondisi masyarakat. Ialah hasil pengaruh masa transisi yang carut-marut, sporadis, mencemaskan, dan menggemaskan. Bahwa gaya puisi Barok sudah semestinya lahir dan berkembang. Bukan lagi persoalan meniru atau mencuri gaya Barok Eropa. Boleh jadi demikian.

Tapi bila melihat ciri-ciri yang mendominasi, bisa jadi gaya Barok Indonesia merupakan gejala atavisme universal dari yang ada di Eropa. Yaitu bangkitnya pola persajakan lama yang sudah tenggelam. Bahwa pada situasi dan kondisi tertentu akan memunculkan pengulangan tradisi, semacam siklus kebudayaan.

Di Indonesia pernah terjadi pada pola mantra dari puisi Sutardji Calzoum Bachri. Puisi mantranya sulit dijelaskan, apakah berasal dari tradisi Nusantara ataukah dari puisi-puisi Prancis abad ke-19, misalnya Arthur Rimbaud. Juga pola persajakan simbolisme yang menjadi trend di Indonesia pada tahun 1960 hinga 1980-an. Apakah penerusan pola persajakan Chairil Anwar ataukah mengambil pola persajakan simbolisme Eropa.

Pada pola persajakan Barok, kita pernah mengenal puncak puisi tradisi Pujangga baru. Puisi gaya Barok pada tahun 1990-an secara bentuk konkret banyak perbedaannya dengan bentuk terapan gaya Barok Eropa. Hal ini dipengaruhi oleh pengambilan tema-tema yang berbeda pula. Atau lebih tepatnya, terjadi perluasan tema. Gaya Barok Eropa lebih dikuasai tema duniawi dan surga-neraka.

Bentuknya berupa personifikasi ketuhanan dan materialisme dunia gaib. Sedangkan gaya Barok Indonesia melebar ke tema humanitas, sosial-politik, dan tema-tema lain yang sebelumnya tidak tersentuh sama sekali.

Gaya Barok Eropa telah berhasil menandai dan mempersiapkan perubahan/perkembangan kebudayaan atau perubahan cara pandang terhadap realitas. Puisi gaya Barok Eropa yang berciri detail, melompat-lompat, painterly, dan ajaib. Tema yang dominan adalah konkretisasi religiositas kristiani. Tema dan pemilihan bentuk Barok tersebut kiranya secara cerdas mewakili dan memberi gambaran lengkap dari kemunduran kebudayaan Eropa Abad Pertengahan. Tentu saja disertai dengan kritik-kritik yang khas. Ialah dengan mempermainkan simpang siur dunia transenden dengan dunia material. Atau sekali waktu, merasionalkan dunia gaib – kehidupan surga-neraka dan kehidupan ketuhanan.

Alam konsep diturunkan ke alam nyata, demikian sebaliknya. Konsep waktu sementara dan abadi dipadukan dan diputarbalikkan. Dari situ, terjadi keruntuhan kemapanan mitologi Abad Pertengahan.

Di Indonesia, penyair-penyair gaya Barok teramat suka menuliskan bentuk puisi panjang (lebih dari 20 baris). Mereka mencampuradukkan aneka macam dunia dan gagasan. Tema atau persoalan sepele akan menjadi rumit dan bertele-tele di tangan mereka, padahal itu cukup membutuhkan beberapa baris bagi penyair simbolis.

Selebihnya, secara konsep penyair Barok Indonesia sama dengan penyair Barok Eropa. Mereka gemar menjungkir-balikkan mitologi dan kekuasaan.

*) Teater Gapus, Surabaya.

Sastra Sufi dan Mainstream Politik

Judul Buku : Oposisi Sastra Sufi
Penulis : Aprinus Salam
Penerbit : LKiS, Jogjakarta
Cetakan : 1, Juni 2004
Tebal : xii+205 halaman
Peresensi : Marluwi
http://arsip.pontianakpost.com/

PUNCAK sufisme adalah tercapainya ‘ekstase’ religius bagi hamba di hadapan Ilahi. ‘Ekstase’ tersebut dalam bentuk kesalehan yang sungguh-sungguh. Dalam agama, pencapaian ‘ekstase’ menuju Ilahi melalui jalan sufis merupakan jalan yang sah. Pencapaian absolut dunia sufis, seperti yang “dibentangkan” Aprinus Salam dari ujarannya Sayyid Hossein Nasr, adalah: “…ia menjadi sumber batin kehidupan dan menjadi pusat yang mengatur seluruh organisme keagamaan Islam” (hlm. 28).

Kajian Aprinus Salam dalam buku Oposisi Sastra Sufi (2004) menekankan sufis dalam spektrum-singgungan politik, khususnya yang terjadi dalam pergulatan politik di Tanah Air. Dengan memposisikan gerakan sufis sebagai lokomotif dan kekuatan moral dalam upaya melawan politik pada konteks saat itu (Orde Baru) yang hegemonis dalam ruang sosial umat-kemanusiaan.

Di sini sufisme ‘berpihak’ pada kekuatan medium teks sebagai bahasa penyampainya, misalnya melalui syair-syair puisi sufis yang di dalamnya memuat (1) bahasa ketuhanan dan (2) bahasa sosio-politik. Lebih jelasnya lihat buku ini yang banyak menguraikan keduanya tersebut.

Pada konteks lain juga diuraikan rentetan historis terjadi dan munculnya gerakan kaum sufis dengan medium teks yang berpijak pada kekuatan moral-religius. Dalam hal ini Kota Yogyakarta, sebagaimana menjadi titik sentral perhatian peneliti (Aprinus Salam) di satu sisi, dan isi syair-syair sufisme pada sisi yang lain. Penyair-penyair sufis yang mengambil posisi embrionya di Kota Gudeg ini. Sebutlah, Emha Ainun Nadjib, Herfanda dan masih banyak sejumlah pelantun syair sufis lainnya. Kendati kebanyakan dari mereka secara biologis tidak dilahirkan di Kota Gudeg itu.

Yogyakarta yang diyakini sebagai pagar dan pusat kebudayaan utama di Indonesia (hlm. Pengantar Redaksi). Sebuah laboratorium geografis yang memberikan kemungkinan-kemungkinan terhadap siapa pun yang ingin bermetamorfosis secara intelektual termasuk pula gerakan dunia sufis. Tradisi intelektual di kota ini (Yogya) telah mengakar dengan kuat keberadaannya hingga saat ini.

Munculnya gerakan sastra sufi di kota ini tidak dapat dilepaskan dan terpisah dengan diskursus intelektual yang menguat tersebut. Saling mengait, terikat dan berhubungan satu sama lain secara langsung maupun tidak. Artinya sastra sufi tidak berdiri sendiri melainkan ada ranah keilmuan lain yang ikut dan saling mempengaruhi.

Buku ini secara garis besar tidak saja menonjolkan isi sastra sufi, pergulatan dan persinggungannya dengan politik sekaligus demokrasi di Tanah Air menjadi titik singgung yang saling mempengaruhi.**

*) Peresensi alumnus PPs (S-2) Universitas Islam Malang (UNISMA), peminat buku tinggal di Pontianak.

Kamis, 19 Maret 2009

Gelombang Puisi Hasan Aspahani

Abdul Kadir Ibrahim
http://batampos.co.id/

Membaca puisi-puisi Hasan Aspahani seperti kita tengah membaca lekuk-lekuk, turun-naik, cekung, beralun-alun lautan yang bergelombang hebat. Terbayang dan dirasakan gelombang dahsyat tengah menuju pantai-gigi pasir pantai atau gelombang kecil di tepi pantai dan semakin ke tengah lautan yang semakin membumbung. Gelombang puisi Hasan Aspahani membuat kita menjadi “mantra”.

Sebagaimana lazimnya, berlaku selama terkembangnya zaman—lautan ketika angin sepoi-sepoi, maka gelombangnya biasa-biasa saja. Bahkan ketika musim teduh, lautan selalu dikatakan oleh orang tua-tua Melayu seperti air dalam talam, tenang, berdelau, terhampar maha luas dan menakjubkan! Namun, ketika angin bertiup kencang dan semakin kencang, maka gelombang di lautan pun semakin tinggi—yang dalam bahasa di tanah kelahiran saya, Natuna, gelombang “besar”, laut mengamuk.

Ketika gelombang lautan mengamuk, maka tampaklah pucuknya menyambar-nyambar, memecah buih dan memutih, yang dalam bahasa di tanah kelahiran saya Natuna, disebut pula bekat. Sehigga dikenal istilah gelombang laut besar dan bekat bak ketupang—sebagai menggambarkan lautan yang tengah mengamuk akibat topan-badai yang luar biasa.

Pun ketika kita menyaksikan, mengikuti, menyimak dan menikmati puisi-puisi Hasan Aspahani, niscayalah sangat merasakan semakin meningginya gelombang yang saya maksudkan itu. Tambah lagi kalau kita sudah menyaksikan dia membaca puisi-puisinya. Dia membaca dari tekanan suara yang sedang-sedang saja pada awal pembacaan, kemudian semakin meninggi-semakin meninggi dan akhirnya terasa sangat menyentak membuat kita terhenyak dan seketika meraba perih hati-nurani atas apa-apa yang tiada patut sudah terlanjur kita buat atau alami. Maka jangan heran, ketika Hasan Aspahani sedang membaca puisi lalu seorang penyair besar sekelas Rida K. Liamsi pun sempat menitikkan airmata dan itu pula yang saya saksikan di “Batam Kota Tengkorak Hitam”.

Dalam perjalanannya sebagai penyair—yang menurut perkiraan saya, Hasan Aspahani jikapun menjadi penyair, tetapi saya sangat yakin dia tidak akan sebesar sekarang, seandainya ia menetap (berpenghidupan) di tanah kelahirannya atau berada di kota lain sekalipun. Dia muncul dan kemudian menjadi penyair yang dikenal di tanah Indonesia dan beberapa negara mana-mana dunia, tersebablah adanya oleh karena ia tinggal, menentap (berpencaharian) di Kota Batam khususnya dan Kepulauan Riau umumnya. Tanah Melayu Kepulauan Riau (sebelumnya termasuk Riau daratan yang kini Riau) telah menjadi roh, inti-teras bagi kepengarangannya. Tanah ini telah menempa, mencemeti, menyemangati, dan membekali dia dalam membernaskan akal-pikirannya sehingga fasih memakai dan memaknai kata-kata.

Dari tanah ini (Kepulauan Riau) ada, hidup, tumbuh dan berkembang tradisi bahasa-sastra Melayu berupa cerita rakyat, syair, pantun, sapah-serapah (maksunya bukan “sumpah-serapah” atau kata yang benar “sumpah-seranah”, melainkan sejenis mantra tetapi kalimatnya pendek, singkat dan padat. Misalnya, hai ikan! Air pasang bawa ke insang/ air surut bawa ke perut/ sintak ragut/ biar putus daripada rabut/ puah!), mantra, gurindam, dan sebagainya. Di samping bahasa-sastra lisan tersebut, di kawasan ini ada sastrawan besar antara lain Raja Ali Haji, Ibrahim Sattah, Sutardji Calzoum Bachri, Aisyah Sulaiman Riau, Hasan Junus, Rida K. Liamsi dan BM. Syamsuddin.

Generasi selepas itu sebagai generasi baru, antara lain ada “Budak Natuna” kata Taufik Ikram Jamil dalam makalahnya sewaktu Dialog Selatan II di Pekanbaru (1995) Husnizar Hood, Hasan Aspahani, Samson Rambah Pasir dan Ramon Damora. Tak kalah penting, kawasan ini menyimpan “kekuatan gaib” yang luar biasa bagi lahirnya pengarang dengan karya-karya besar. Agaknya, karena dibangun dan ditopang bentangan lautan yang luas dan oleh banyaknya pulau yang kata Duad Kadir dalam satu di antara lagunya, “Segantang Lada”.

Di samping itu pula, di tanah ini pernah tumbuh, berkembang dan jaya Kerajaan Melayu (Kerajaan Bintan, Johor-Riau-Pahang-Lingga yang kemudian bernama Riau saja) dalam kurun waktu berabad-abad. Kerajaan Melayu dengan kebudayaan dan perabadannya yang sangam itu, niscayalah telah menjadi “hal penting” muncul dan besarnya nama-nama pengarang dari kawasan ini. Hal lain, di kawasan ini ketika Indonesia merdeka sebelum otonomi daerah berlaku boleh dikatakan “entah di mana kemerdekaan” itu. Dan, ketika otonomi daerah berlaku, ternyata hati-nurani, akal-pikiran pengarang tetap terusik oleh pedih-pilu kebodohan, kemiskinan dan pengrusakan lingkungan, baik di darat maupun di laut yang entah sampai bila pula tak lagi “berdarah” di tengah kehidupan masyarakat.

Tanah ini, adalah tanah yang bertuah bagi pemuliaan kata-kata (bahasa) dan budi (maknanya adalah jasa tetapi tidak mengharapkan balas jasa dan berbuat baik dengan ikhlash). Sebagaimana petuah Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua Belas-nya “jika hendak melihat orang berbangsa/ lihatlah kepada budi dan bahasa”. Raja Ali Haji telah dengan sungguh-sungguh memarwahkan bahasa. Untuk itu atas usulan Walikota Tanjungpinang, Dra. Hj. Suryatati A. Manan kepada Guberur Riau, lalu kepada pemerintah pusat Presiden Republik Indonesia pun mengangkatnya menjadi pahlawan nasional pada November 2004: “sebagai pemurni bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia”.

Pada Agustus 2008 lalu, Presiden Penyair Indonesia kepenyairannya bermula dari Tanjungpinang mendapat penghargaan dari Presiden Republik Indonesia. Lalu, masih segar dalam ingatan kita, pada 28 Oktober 2008, Walikota Tanjungpinang, Dra. Hj. Suryatati A. Manan yang belakangan juga dikenal sebagai penyair dengan “gayanya” sendiri kabarnya satu-satunya kepala daerah yang mendapat menghargaan dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI atas jasanya melakukan pembinaan bahasa dan sastra di daerah. Juga menjadi pemakalah dan baca puisi serta berpantun dalam Kongres IX Bahasa Indonesia.

Anugerah pahlawan nasional yang diterima Raja Ali Haji atas jasanya dalam bidang bahasa dan sastra pada masa lalu yang makna-nilainya tetap mengkini, Sutardji Calzoum Bachri yang menerima anugerah atas “luar biasa” puisi-puisinya bagi perpuisian Indonesia modern bahkan memberi andil terhadap puisi-puisi dunia, serta Hj. Suryatati A. Manan pada masa kini menerima penghargaan secara nasional juga atas jasa dalam hal yang hampir sama, tidak dapat kita katakan sebagai sebuah kebetulan. Ketiga penghargaan secara nasional terhadap tiga tokoh tersebut, menjadi “penanda” yang jelas sudah, bahwa daerah ini memang mempunyai “marwah” dan “martabat” dalam bidang bahasa dan sastra.

Di bila-bila masa mendatang, tidaklah sebagai hal mengada-ada apabila Hasan Aspahani atau yang lainnya juga masuk dalam leretan yang mendapatkan penghargaan bukan hadiah sebagai pemenang dalam suatu sayembara secara nasional itu. Namun pada sisi lain, adalah kita tercuguk seperti kadam, ketika ada orang muncul mengkhotbahkan dirinya atau temannya sebagai penyair tapi entah di mana ia adanya pernah menulis puisi apa berupa koran, majalah, apatah lagi berupa buku atau agaknya di papan batu dengan alat tulis anak batu seperti zaman saya sekolah semasa SD dulu di kampung jauh, Natuna tak taulah.

Lainnya, tatkala rambut di kepala sudah beruban baru cerita nak menerbitkan buku kumpulan puisi, pun ada. Mengaku pula sebagai “datuk” penyair pun ada, meskipun sepengetahuan ramai orang yang bersangkutan tak dikenal dan tak pernah pun menulis apa-apa dalam bentuk lembaran apalagi di koran atau majalah. Agaknya di jendela serambi dapur ianya menulis. Seteruk itukah dunia sastra, Hasan?! Begelige, Wai!

Lain halnya dengan Hasan Aspahani karya-karyanya tak sulit diperoleh, dapat ditengok di koran-koran atau majalah lokal maupun nasional. Beberapa buku kumpulan puisinya secara sendirian atau beramai-ramai (bersama) penyair lainnya, juga ada. Puisinya, juga sudah dibincangkan ramai orang, baik dari kalangan sastrawan, kritikus sastra maupun lainnya. Agakanya, adanya penyair berkat “lampu aladin” semacam itu “lantaklah”. Bolehjadi, itu bahagian dari demokrasi juga dan “cara baru” untuk bertahan hidup?!

Di tanah Melayu, hakikat kata-kata sesungguhnya pantang diucapkan serampangan dan apalagi tidak memberi manfaat, tiada faedah, mendatangkan dosa. Kata-kata bagi orang Melayu amatlah pada inti-terasnya untuk memuliakan Tuhan, manusia dan kehidupan. Kata-kata dihadirkan dari mulut, antara hidup dan maut, tidak sekedar untuk mengucapkan atau menyampaikan sesuatu, melainkan ada kebaikan dan penuh pertanggungjawaban, baik kepada dirinya sendiri, orang lain bahkan kepada Allah SWT. Tersebab itulah, Raja Ali Haji mengatakannya “lihat kepada budi dan bahasa”. Kata-kata haruslah baik, indah dan terpuji. Bagi orang Melayu terasa amatlah perih di hati bila ada orang tengah membaca katanya membaca puisi kata-kata yang dipakainya terang benderang menyebut apa-apa alat vital manusia atau semacam dengan itu. Misalnya, kata “selangkangan”, “perawan”, “vagina”, “pelacur”, “bersetubuh”, “mani”, dan sebagainya. Jika ia paham, sadar, tahu diri bahwa ianya orang Melayu atau hidup-tinggal-menentap (berpengidupan/bermata pencaharian) dan berkarya (mengarang) di tanah Melayu, kata-kata semacam itu malu ia pergunakan. Niscayalah ia akan berupaya sedapat-dapatnya memakai kata-kata kias, simbol, metafora atau lainnya sesuai hakikat bahasa bagi orang Melayu sebagaimana kita seneraikan di atas.

Puisi-puisi Hasan Aspahani sungguh bertabur, berlompatan, dan bertepek simbol, metafora (perlambangan). Kata-kata yang didipakai sebagai rangkaian kata-kata menjadi kalimat sepanjang puisinya benar-benar pilihan, bernas, bermartabat dan memuliakan manusia, alam-lingkungan dan Tuhan. Ini artinya, dia telah berhasil menjadi penyair (pengarang) bukan sekedar berjejak dan bertapak kaki di tanah Melayu Kepualauan Riau, melainkan “mengakar ke bumi dan menggapai ke langit” meminjam “istilah” judul buku Taufiq Ismail tanah (dunia) Melayu di masa lalu, kini dan mendatang.

Kita akan merasakan betapa Hasan Aspahani seolah-olah tidak memberi kesempatan kepada kita untuk rehat sebentarpun dan sebaliknya terus berlari, berpacu semakin kencang, semakin “menggila” agar mengikuti serangkaian kata-kata puisinya, baik setiap puisi maupun seluruh puisi dalam sebuah kumpulan buku puisinya. Makanya, di awal seneraian ini saya katakan, puisi Hasan Aspahani ibarat gelombang atau dengan kata lain puisi-puisinya benar-benar menjadi gelombang puisi. Merekam jitu masa lalu, mendedah bernas masa kini dan brilian ide bagi masa depan manusia dan kemanusiaan terhadap alam jua Tuhan. Penyair ini telah menjadikan kata-kata tidak seperti buih di pertemuan sungai dengan lautan, tetapi menjadikannya “mutiara” di tengah kata-kata “sakti” para pujangga.

Hasan Aspahani, menampilkan puisi saya tidak mengutif satu baris pun puisinya, karena sudah ada dalam buku kumpulan puisinya, antara lain Orgasmaya, (Sagang, 2008), yang kita masing-masing dapat membacanya yang kata-katanya bak merangkum pantun, petuah-petuah, syair, dongeng, gurindam, dan bahkan mantra. Tersebab itulah menjadikan puisinya kaya rasa, bernas nilai, sarat cita-cita, mulia pesan. Tersebab itulah, puisinya terasa tak puas-puas untuk dibaca, dinikmati dan niscayalah bila-bila masa tetap “mengkini” meminjam istilah Sutardji Calzoum Bachri (2004) aktual dan orisinal.

Hasan Aspahani, kalau diturutkan tulisan ini tak hendak usai. Kekayaan inetelektual dikau dalam meletakkan kata-kata pada singgasana meminjam istilah Kazzaini KS (2000) baik puisi maupun bentuk tulisan lainnya membuat orang lain hanya bisa temberang dan berkata-kata di balik jendela tua yang segera pengempapnya sampai tak berkutik. Entah berapa macam bunga untuk dapat melambangkan kata-kata yang kau “sabdakan” bagi dunia perpuisian Indonesia mutakhir dunia itu telah dicapai elok nian!

Tapi, sudahlah. Tahniah! Ehhm. Saya jadi teringat ketika kita baca puisi di Batam beberapa tahun lalu, penyair A. Aris Abeba sebelum baca puisi sempat “berkhotbah”. Katanya, jadilah penyair yang tidak terkena sindiran Tuhan, bahwa penyair yang hanya menulis syair atau puisi-puisi dengan kata-kata penuh kemuliaan tetapi tidak mengamalkan kemuliaan, atau kata-kata puisinya penuh kata-kata kotor, tidak senonoh, maka termasuklah dalam kelompoknya syaithan. Dalam kaitan ini, jangan pula awak sampai menjadi “penjual kata-kata”, nanti digelar “Nabi Palsu” dan penjaralah alamatnya. Nauzubillaahi min zaalik.

Oh, ya, kata sahabat kita di “seberang yang jauh” sayangnya sahabat itu tidak berkenan mengatakan nama daerah/kota sebenarnya daripada “seberang yang jauh” itu ternyata di kawasannya ada yang mengaku penyair, dan sudah berusia di atas 40 tahun bahkan hampir 60 tahun, tetapi kesukaannya mencaci-maki orang. Orang lain tak boleh “berpucuk” hebat, tersebab merasa ia sajalah “pemilik sahnya” hebat itu sepanjang masa. Kelakuannya sungguh susah mau disandingkan dengan Gurindam Dua Belas gubahan Raja Ali Haji. Perangainya seperti budak-budak degil yang tengah berebut pisang rebus.

Mendengar pernyataan pedihnya itu, saya hendak membantah keras, tetapi dia katakan, ada baiknya kita pinjam istilah Ebit G Ade: “tanyakan kepada rumput yang bergoyang” saja. Atau kita tanyakan kepada Dewa Mendu? Selambe sajalah! Tak kesah… Saya pun menelan ludah, mengurut dada, sabar! Sidang pembaca, cukuplah seadanya seneraian ini. Mohon maaf atas segala kesilafan dan kesalahan. Wassalam. ***

Tanjungpinang, Zulkaidah 1429/ November 2008.

Realisme Pramoedya Ananta Toer

Eka Kurniawan*
http://www2.kompas.com/

Sebagai salah seorang sastrawan Indonesia, menurut Umar Kayam, Pramoedya Ananta Toer merupakan seorang figur transisional. Umurnya di sekitar angka yang sama dengan kebanyakan sastrawan Angkatan 45, tetapi latar belakang pendidikan (di mana ia tidak termasuk yang bersekolah pada sekolah menengah Belanda) dan latar belakang budaya Jawa-nya yang begitu kuat, membuatnya berbeda dengan anggota lain kelompok tersebut.

Cerita-cerita yang ia tulis tidak menampakkan tradisi jenaka dan sarkastik sebagaimana Idrus, Balfas, atau Asrul Sani, melainkan justru lurus, serius, dan dengan gaya naratif dramatis. Bahasanya pendek dan penuh sugesti, seperti narasi yang biasa dibawakan seorang dalang pada pertunjukan wayang.

Perihal lain yang khas dan senantiasa menjadi identitas kepengarangannya, Pramoedya sering kali juga melatarbelakangi ceritanya dengan paparan sejarah maupun pengalaman hidupnya. Tulisan-tulisan awalnya banyak mengambil latar belakang masa sebelum Perang Dunia Kedua, terutama kehidupan di sekitar kota Blora tempat ia tinggal di masa kecil, serta masa-masa seputar revolusi kemerdekaan.

Meski jarang, ia pun menulis cerita dengan latar belakang masa pendudukan Jepang di Indonesia, antara lain melalui roman Perburuan. Karyanya yang terbesar—empat mahakarya yang merupakan tetralogi berjudul Karya Buru (meliputi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca)—ditulis dengan latar belakang tamasya sejarah pergerakan nasional Indonesia 1898-1918. Menengok sejarah kembali ia lakukan untuk romannya yang terbit pertengahan 1990-an, berjudul Arus Balik, dengan latar belakang masuknya Islam ke tanah Jawa.

Kegandrungannya terhadap sejarah ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh teori sederhana Maxim Gorky: “The people must know their history” (rakyat mesti tahu sejarahnya). Pengaruh lain bisa disebutkan datang dari aliran realisme, terutama realisme sosialis. Bagi Pramoedya, salah satu watak realisme sosialis adalah “terutama memberanikan rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri”.

Pengaruh realisme sosialis jelas bukan sesuatu yang mengada-ada, sebab Pramoedya sendiri kerap mengungkapkan antusiasmenya terhadap aliran tersebut. Ia antara lain pernah menulis makalah dalam kesempatan memberikan prasaran untuk sebuah seminar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tanggal 26 Januari 1963, dengan judul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Selain oleh Pramoedya, klaim realisme sosialis juga dipergunakan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai dasar kreatif mereka.

Dalam tradisi seni sendiri, kelahiran realisme sosialis sebagai aliran seni agak sulit ditentukan waktunya secara pasti. Akan tetapi, menurut Pramoedya, realisme sosialis diperkirakan muncul sekitar tahun 1905. Dalam hal ini Maxim Gorky adalah pengarang yang sering dianggap sebagai bapak pendiri realisme sosialis.

Novel-novel Gorky bisa dirujuk sebagai awal mula lahirnya genre ini. Triloginya yang meliputi novel-novel Childhood, My Apprenticeship, dan My Universities memiliki unsur-unsur realisme yang cukup kuat dengan sandaran yang bersifat semi-otobiografi. Atau dengan kata-kata Pramoedya, “secara otobiografik melukiskan pukulan-pukulan dan tindasan-tindasan yang diterimanya dari kelas kapitalis-borjuis”.

Meski demikian, Gorky tidak hanya berhenti pada realitas. Gorky mengembangkannya ke arah pemaknaan realitas itu sendiri sebagai sebuah proses dialektik untuk menemukan kebenaran. Realitas bukanlah kebenaran itu sendiri, melainkan setitik proses menuju kebenaran. Pramoedya menilai, kematangan realisme sosialis Gorky mencapai puncaknya dalam novel-novel seperti The Artamonovs dan Mother.

Akar realisme

Realisme sosialis lahir sebagai penerus tradisi seni kritis, yang terutama merupakan bentuk baru dari tradisi realisme yang berkembang di Eropa. Realisme (klasik), dalam catatan Georg Lukács, muncul dalam atmosfer “membuyarnya awan mistisisme, yang pernah mengelilingi fenomena sastra dengan warna dan kehangatan puitik serta menciptakan suatu atmosfer yang akrab dan ’menarik’ di sekitarnya”.

Dalam kalimat tersebut Lukács merujuk pada masa pertengahan abad kesembilan belas serta diterimanya filsafat marxis. Filsafat sejarah marxis, masih menurut Lukács, menganalisis manusia secara keseluruhan, dan menggambarkan sejarah evolusi manusia juga secara keseluruhan. Ia berusaha untuk menggali hukum tersembunyi yang mengatur seluruh hubungan manusia. Dengan cara ini, filsafat marxis memberi jembatan ke arah sastra klasik dan menemukan sastra klasik yang baru: Yunani kuno, Dante, Shakespeare, Goethe, Balzac, atau Tolstoy. “Realisme terbesar yang sesungguhnya dengan demikian menggambarkan manusia dan masyarakat sebagai wujud yang lengkap, dan bukan semata-mata memperlihatkan satu atau beberapa aspeknya”.

Dalam definisi Pramoedya, “Realisme sosialis merupakan metode yang meneruskan filsafat materialisme dalam karya sastra serta meneruskan pandangan sosialisme-ilmiah. Dalam menghadapi persoalan masyarakat, realisme sosialis mempergunakan pandangan yang struktural fundamental”.

Lebih lanjut, perkembangan sastra realis ini tidak bisa lepas dari cara pandang manusia terhadap sejarah yang berubah, terutama di Eropa, tempat kelahiran tradisi realisme itu sendiri. Hal ini tampak misalnya dalam tinjauan Lukács atas epik Tolstoy, War and Peace. “Prinsip-prinsip yang ia (Tolstoy) ikuti dalam realismenya secara obyektif menampilkan suatu kesinambungan tradisi realis terbesar, tapi secara subyektif prinsip-prinsip ini ditimbulkan dari masalah-masalah pada masanya serta dari sikapnya terhadap masalah terbesar zamannya, yakni hubungan penindas dan tertindas di pedesaan Rusia”.

Dengan begitu, realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Hakikat dari realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana “penyadaran” bagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (teralienasi, dalam istilah marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.

Sebelumnya, sejarah dipandang sebagai suatu gerak yang tetap, mutlak, dan alamiah. Perkembangan selanjutnya dari cara pandang ini adalah munculnya pemahaman baru mengenai sejarah. Sejarah mulai dipandang sebagai perubahan yang justru tergantung kepada diri manusia itu sendiri.

“Para filsuf hanya memberikan interpretasi berbeda kepada dunia, yang perlu adalah mengubahnya”, itu salah satu bunyi Tesa-tesa mengenai Feuerbach Marx. Manusia, dengan pikiran dan perbuatannya, mampu menentukan arah dari gerak sejarah. Sejarah tidak bersifat mandiri atau berada di luar jangkauan manusia. Dalam arah pemikiran seperti itulah realisme sosialis lahir untuk menempatkan kaum lemah (proletar, dalam bahasa marxis) sebagai manusia-manusia penggerak dan penentu arah sejarah. Dan secara serta-merta aliran ini mengambil jarak atau berseberangan dengan tradisi realisme sebelumnya yang lebih memihak kepada golongan penguasa (atau borjuis), yang kemudian dikenal dengan nama realisme borjuis.

Seperti awal kelahirannya, masuknya realisme sosialis ke Indonesia tidak pernah diketahui secara pasti kapan pula waktunya. Namun yang jelas, kemunculannya bisa dianggap sangat erat kaitannya dengan keberadaan Lekra dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Lekra sendiri didirikan atas inisiatif DN Aidit, Nyoto, MS Ashar, dan AS Dharta pada 17 Agustus 1950. Dua nama pertama adalah pemimpin teras PKI yang baru dibentuk lagi.

Sekitar tahun 1950-an, beberapa seniman kiri menemui Nyoto untuk menyatakan peranan seni dalam perjuangan kelas. Nyoto sendiri dalam pidato sambutan pendirian Lekra yang berjudul Revolusi adalah Api Kembang menyatakan bahwa hanya ada dua pertentangan antara dua asas besar, yakni kebudayaan rakyat dan kebudayaan bukan rakyat, dan tak ada jalan ketiga. Dan baginya, tak mungkin kebudayaan rakyat bisa berkibar tanpa merobek kebudayaan bukan rakyat.

Jauh sebelumnya, S Soedjojono, yang sering kali dianggap sebagai “Bapak Seni Rupa Modern Indonesia” (ia pun kelak dikenal sebagai aktivis Lekra) mengatakan, “Maka itu para pelukis baru akan tidak lagi hanya melukis gubuk yang damai, gunung-gunung membiru, hal-hal yang romantis atau indah dan manis-manis, tetapi juga akan melukis pabrik gula dan petani yang kurus kerempeng, mobil mereka yang kaya-kaya dan celana pemuda miskin; sandal-sandal, pantalon dan jaket orang di jalanan.”

Akan tetapi, Pramoedya dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia menyenarai, jauh hari ke belakang tradisi sastra realisme sosialis Indonesia telah muncul melalui, antara lain, Sumantri dengan karya novelnya yang berjudul Rasa Merdika. Nama lain yang bisa disebut ialah Semaoen (Hikayat Kadirun) serta Mas Marco Kartodikromo (Student Hijo).

Realisme sosialis mereka memang bukan layaknya realisme sosialis yang berkembang kemudian. Keberpihakan mereka terhadap rakyat pekerja yang lemah lebih merupakan suatu komitmen sosial, dan bukan atas dorongan landasan-landasan yang lebih ilmiah seperti halnya realisme sosialis sebagai aliran yang datang lebih kemudian. Atau dengan kata lain, realisme sosialis mereka bisa dikatakan sebagai realisme sosialis “cikal bakal” yang masih bersifat sosialisme utopis. Sedikit membela mereka, Pramoedya mengistilahkannya sebagai kekeliruan, bukan kesalahan.

“Karena, sekalipun pendasaran filsafat teori sudah benar, karena belum adanya tradisi yang cukup lama, memudahkan orang melukiskan atau menggambarkan sesuatu yang menyalahi teori marxis,” tulisnya.

Lepas dari itu, komitmen kerakyatan yang mereka bangun tampaknya telah menjadi dasar yang tak pernah hilang dalam perkembangan realisme sosialis Indonesia di kemudian hari, karena landasan inilah yang kelak menjadi alat pemersatu berbagai gaya yang muncul dalam realisme sosialis Indonesia.

Meskipun definisi realisme sosialis semacam itu masih demikian lentur, bisa dicatat sebagai awal mula realisme sosialis muncul sebagai aliran di Indonesia, sampai kemudian lahirlah Lekra. Kelenturan gaya realisme sosialis Lekra bisa dilihat dari tradisi seni rupa mereka, yang menurut Brita L Miklouho-Maklai dalam Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Kontemporer Indonesia Sejak 1966, berpangkal pada telah adanya berbagai gaya, mulai dari gaya realisme (foto) Soedjojono, bentuk ekspresionis Affandi dan Hendra, ataupun gaya surealistik Harijadi. Pegangan umum yang biasanya digunakan oleh para seniman tersebut adalah prinsip kemanusiaan, keadilan, dan kepekaan terhadap kehidupan rakyat kecil.

Dalam Mukaddimah-nya sendiri, Lekra tak secara spesifik menyebut istilah realisme sosialis. Namun, indikasi itu bukannya tidak ada. Lihatlah rumusan-rumusan yang dicuplik dari Mukaddimah tersebut: “Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan…”, “Lekra membantah pendapat kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat”, atau “Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentangan-pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat mana pun di dalam hati manusia…”.

Seni yang dilihat dari sudut pandang pengertian bentuk tanpa isi merupakan seni yang secara terang-terangan ditolak oleh seniman-seniman Lekra. “Politik sebagai panglima” ditempatkan sebagai sebuah standar bagi penilaian terhadap karya seni. Karena itu, seniman tidak menempatkan diri sebagai pengabdi (melulu) artistik. Kemerdekaan tidak diartikan sebagai keleluasan beriseng sendiri hanya dalam lingkaran kesenian, tanpa menyadari fungsi seni sebagai alat revolusi. Seniman tidak boleh menjadi semacam menara gading kaum elitis, dan sebaliknya ia harus selalu berbaur dengan rakyat. Para pelukis, misalnya, harus menyempatkan diri berada di tengah-tengah petani untuk bisa melukiskan penderitaan mereka yang melarat itu, karena anatomi petani berbeda dengan anatomi orang-orang kota. Kegiatan kreasi seni—dengan kacamata seperti itu—akhirnya senantiasa diverifikasi apakah ia sejalan dengan motif perjuangan kelas atau tidak. Suatu motif yang kemudian dikenal sebagai gerakan “turba” atau turun ke bawah.

Pramoedya sendiri memahami gerakan turun ke bawah tidak dalam makna yang sesempit itu. Bagi Pramoedya, turun ke bawah adalah ibarat kembali ke dunia desa. Lebih jauh lagi, kembali ke dunia cikal-bakal desa. Bukan turun ke bawah, melainkan turun ke sejarah. Ke dasar. Inilah yang kemudian membentuknya untuk yakin betapa pentingnya sejarah bagi perkembangan manusia, di mana seni yang terlibat di dalamnya juga tidak bisa lepas dari peran penting sejarah.

Novel sejarah

Dengan begitu, dalam karya-karya Pramoedya, tradisi realisme tak hanya hadir begitu saja sebagai representasi kenyataan manusia dan masyarakat seutuhnya, atau dalam bentuknya yang semibiografis sebagaimana yang diterapkan oleh Gorky, tetapi juga menjelma dalam genrenya yang baru: novel sejarah.

Dalam studinya mengenai novel sejarah (Eropa), Lukács memperkirakan kebangkitan novel sejarah berawal pada abad kesembilan belas menyusul kejatuhan Napoleon. Memang ada novel sejarah sebelumnya, tetapi selalu dalam bentuk adaptasi sejarah klasik dan mitologi. Sejak masa Napoleon, sejarah tak hanya merupakan sejarah bagi orang besar, tetapi juga merupakan pengalaman sejarah bagi sebuah bangsa hingga ke stratanya yang paling bawah. “Untuk pertama kali mereka mengalami Perancis sebagai negara mereka sendiri, sebagai tanah air yang mereka ciptakan sendiri.”

Sejak itu pula, dalam sastra, sejarah juga dihadirkan sebagai pengalaman massa. Inilah tren kelahiran novel sejarah yang dimaksud Lukács. Dalam novel sejarah Sir Walter Scott, Waverley, misalnya, peristiwa Revolusi Perancis menghasilkan transformasi ekonomi dan politik hampir ke seluruh Eropa. Perubahan-perubahan ekonomi politik ini diterjemahkan Scott ke dalam nasib manusia, lebih tepatnya, menukik jauh ke psikologi manusia. “Dalam penggambaran Scott, kebutuhan akan sejarah selalu merupakan sebuah hasil, bukan suatu anggapan; itu merupakan atmosfer tragis dari sebuah periode, dan bukan obyek refleksi seorang penulis,” Lukács menyimpulkan.

Dalam novel sejarahnya, Pramoedya juga menampilkan tokoh “orang-orang biasa” (meski dalam Arok Dedes, Pramoedya datang dengan pahlawan istana). Sejarah dilihat secara totalitas dalam Tetralogi Buru, misalnya.

Dalam kuartet tersebut, Pramoedya tak hanya menampilkan sosok Minke, sang pengubah sejarah. Sosok pahlawan pengubah sejarah telah hadir dalam roman-roman sejarah bahkan mite-mite klasik, juga dalam tradisi romantik. Akan tetapi, dalam Pramoedya, Tetralogi Buru tak hanya merupakan kisah mengenai Minke, tetapi juga mengenai nasib sebuah bangsa, jika tidak bisa disebut nasib bangsa-bangsa (dalam bagian Anak Semua Bangsa diperlihatkan bahwa pergolakan utama kisah ini juga meliputi kebangkitan nasional di China, semangat Revolusi Perancis, kemenangan Jepang atas Rusia, dan lain sebagainya). Pengalaman sejarah tak hanya milik Minke, tapi juga orang-orang di sekitarnya. Mereka semua merasakan “atmosfer tragis dari sebuah periode” sebagaimana diungkapkan Lukács di atas.

Ini benar, hampir dalam semua karya Pramoedya, tokoh-tokoh protagonisnya hadir untuk berjuang demi cita-citanya secara gigih, tetapi kemudian secara terpaksa menyerah kepada kenyataan yang ada. Sejarah Pramoedya bukanlah sejarah orang-orang yang menang (kecuali, sekali lagi dalam Arok Dedes). Lihat, misalnya, tokoh Wiranggaleng dalam roman Arus Balik. Juga tokoh Den Hardo dalam roman Perburuan yang, meskipun berhasil melihat kemerdekaan Indonesia yang diidam-idamkannya, harus ditebus dengan sangat mahal oleh kematian kekasihnya di depan mata.

Pramoedya sering kali memang tidak menempatkan karya sastranya dalam semboyan atau teriakan tentang cita-cita yang muluk. Yang terpenting bagi dirinya adalah bangkitnya kesadaran pembaca (masyarakat) akan tanggung jawab sebagai manusia untuk keadilan dan kebenaran.

*) Penulis Novel dan Cerita Pendek

Rabu, 11 Maret 2009

Sajak-Sajak Maghfur Saan

http://www.suarakarya-online.com/
TELUK YANG KAUBAYANGKAN

teluk yang kau bayangkan adalah kuali bermandi perak
dan bersama anak bidadari kau lepas pakaianmu
jutaan magma meledak-ledak di sungai nadimu
ingin melukis langit tapi perahumu tersangkut
pada karang yang telah berlumut

kau tahu teluk ini menjadi persinggahan gelombang
setelah berputar-putar menabuh genderang perang
serupa pusaran angin memutarbalikkan layar
berapa lembar sejarah yang telah kau lumat dalam mulutmu?

ribuan musim mungkin berulang-ulang menuju teluk
sebelum disantap camar dengan pekikan tak beraturan
kau sendiri tak pernah menemukan jejak-jejaknya
kecuali kotorannya yang mengapung yang kau tangkap
dengan jala tanganmu yang berpeluh.



TIBA-TIBA MENJAUH

perahu yang berlayar di matamu tiba-tiba menjauh
kau bilang ini malam terakhir, tapi mimpi
selalu saja belum berujung sebuah cakrawala
melengkung mengendap-endap menjaga langit
menyibak kabut dengan sesekali tebarkan bara api

yang memercik isyarat
bahwa berbagai peristiwa masih bakal mengguyur
di ubunmu bersama hujan yang menggumpal
lalu menelusup lewat pori-porimu

di matamu, perahu telah berlayar melintasi ribuan musim
mengulang berbagai upacara pembakaran dupa
kau bilang ini sebuah rutinitas belaka
tanpa kau tahu siapa yang senantiasa memungut baunya

adakah jala yang ditebarkan di setiap penghujung musim
menjaring kembali bau dupa atau bahkan petaka?



RUMAH

memasuki rumah, aku harus melewati bukit-bukit
sambil mengeja satu persatu, kunaiki tangga waktu
mulutku komat-kamit menghafal doa
yang dikirim pepohonan dan memungut daun-daun
untuk membalut luka sejarah panjang
ibuku telah mengajariku bagaimana cara
berpegang batu-batu
dan menyapa angin yang setia menjaga musim

tangga ke berapa sekarang?
tak ada catatan apa-apa yang kubawa
selain sketsa wajah ibu yang mungkin sudah beralih rupa
itukah halaman rumahku telah menghampar
di pelupuk mata, atau hanya fatamorgana,
serupa oase di depan musyafir dahaga?

rupanya akar-akar jaman telah melilit semua jendela
dan pintu sedang pada ranting-ranting yang melapuk,
bergelantungan kunci-kuncinya
tapi siapa yang tiba-tiba mencuri angka-angkanya
di saku bajuku?
mungkin ini saatnya aku ditasbihkan
menjadi pengembara yang papa?



MUNGKIN

mungkin kau masih memeluk lukisan masa kanak-kanakmu
yang kau gores dengan sendok makan
bukan angin yang menabur dingin di ubunmu
tapi kesumat panjang yang menelanjangimu

mungkin kau masih bersandar pada pohon yang tumbang
yang kau kumpulkan dari milikmu yang masih tersisa
kau berharap jadi gundukan mimpi nanti malam
semoga tidak juga dipinggirkan

mungkin kau masih bisa menatap langit bergelombang
yang senantiasa mengirim petuah-petuah panjang
: biarlah kau kehilangan yang kau miliki
asal bukan harga diri.



DI STASIUN

di stasiun kulihat orang-orang bergegas menuruni kereta
wajah-wajah yang sudah tak kukenal, entah siapa
di punggungnya bertumpuk onggokan kardus
yang dipenuhi angka-angka pertaruhan

setiap orang ramai-ramai membuang tiket
setelah bergulat dengan permainan panjang
perjudian baru usai tinggal menghitung
kekalahan demi kekalahan

ruang tunggu yang penat dipenuhi ribuan sampah
peluh dan keringat menebar dendam kesumat

sementara di atas pintu peron terpampang pengumuman
: "tak ada tiket buat si pemelihara resah!"



SUATU SAAT

suatu saat lenganmu yang pernah melingkar di bahuku
beralih rupa menjadi ular yang mematuk urat leherku
mungkin saat aku tergoda oleh bau anggur di mulutmu
atau ketika gerimis menelusup lewat celah selimutku
suatu saat daun yang mencatat petualangan matahari
jatuh mencium tanah dan menebar kesumat
ke sungai-sungai begitulah, angin pun tak harus
setia pada musim

Gerbong Maut

Imam Muhtarom
http://www.balipost.co.id/

Bagian 1

Kami berada di atas gerbong yang melaju tak terkendali. Seperti menaiki sebuah perahu kayu yang berputar di atas ombak dan telah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Perahu itu belum pernah berhenti. Kami seperti tersesat di perairan maha luas dan kami hanya bisa menduga-duga tentang keluasan itu.

SEWAKTU kami telah menghabiskan buntalan nasi daun pisang yang bercampur aduk dengan sayur nangka muda sehingga nasi itu berwarna kecoklatan, sangat pedas sampai mulut kami seperti usai makan api dan berkata merajuk, ''Ibu, perut kami mulas!'', ibu tidak memperhatikan bunyi suara kami. Apakah yang kami katakan berlainan dalam pendengaran ibu ataukah telinga ibu selalu mengartikan lain dari perkataan kami? Ibu tak hiraukan kami lagi?

Kereta yang kami tumpangi terus berderak-derak melintasi persawahan lengang senja hari. Tampak langit di belahan barat merona kuning kemerahan menyaput dan satu-dua tampak burung melintas. Kami termangu. Kami berderet bertiga di mulut pintu gerbong. Gerbong yang kami tumpangi merupakan gerbong barang yang gelap tanpa tempat duduk dengan beberapa penumpang yang kepalanya menekuk di antara kakinya, dengan punggung bersandar di dinding gerbong yang kasar. Bapak ibu kami di pojok gerbong lamat-lamat tampak dalam pandangan kami.

Kami merasa dalam perjalanan di atas kereta api ini -- kereta yang dihidupi api, menurut cerita kakek kami -- seperti menuju daerah tanpa batas. Daerah di mana kami yang jauh di balik gunung yang selalu tampak hitam lereng-lerengnya, mengelilingi tempat kami bersama bapak-ibu-kakak-saya-adik, tinggal. Sering kami dan sangat suka apabila sekali-sekali di tengah perjalanan kami, daerah tempat tinggal kami digenangi air sehingga setiap pagi menjelang terbit atau menjelang matahari tenggelam di bagian barat tempat kami tinggal, kami dapat meluncur bersama sebuah sampan, mengulurkan tali pancing seraya girang melihat kelap-kelip cahaya matahari terpantul oleh permukaan air. Burung-burung terbang menyisiri tepi-tepi perairan, awan-awan menggumpal membentuk bundaran-bundaran besar kecil seperti asap gunung yang menurut bapak ibu kami pernah berkali-kali meletus, angin yang ringan berhembus menyentuh-nyentuh permukaan badan kami. Kami senang.

Bayangan, keinginan itu, timbul tenggelam dalam benak kami karena kami sering bertemu omongan-omongan yang entah kami tidak tahu asal muasal dan dengan maksud apa, mengatakan bahwa di balik gunung-gunung yang mengelilingi kami terdapat sebuah daerah, sebuah tanah, yang dalam musim hujan kami tidak akan menemui setetes pun air yang turun dari langit melainkan untaian bunga warna-warni yang wanginya sangat menusuk hidung hingga apabila terdapat tubuh manusia yang subur-suburnya dibusukkan oleh belatung dan tepat berada di depan hidung kami, maka kami hanya merasa bahwa tubuh penuh belatung mengeluarkan lendir itu merupakan sumber wangi. Walaupun demikian tanah tetap sejuk, matahari bersinar lebih redup dan kami dapat menyaksikan sebuah pemandangan laut terpampang di angkasa. Begitu pula ketika musim kemarau, begitu omongan-omongan itu melanjutkan omongannya. Matahari memang lebih terang daripada waktu musim penghujan. Tetapi tidak membuat keringat mengucur dari pori-pori badan. Cahaya matahari yang akan menyentuh kulit kami akan meresapkan rasa sejuk dan rasa sejuk itu akan menebar di seluruh urat-urat yang disebut otot, dan akan memasukkan zat -- entah zat apa karena omongan-omongan itu tidak menyebut suatu nama -- yang membuat urat-urat silang sengkarut bentuknya menghasilkan sebuah perasaan senang pada tubuh yang disesapi zat itu tanpa tahu apakah warna kulitnya hitam, sawo matang, kuning atau putih.

Dan demikianlah kami akhirnya perlahan-lahan tidak pernah mengimpikan lagi mengenai sebuah danau yang sore hari kami meluncur ke tengahnya, membuat garis permukaan air timbul, mengombak pelan dan menyemburatkan cahaya matahari yang tampak merona yang membuat kami terpesona. Kami tidak mengimpikan lagi seekor burung melayap, menyisiri bibir danau, permukaan danau yang menyerupai cermin raksasa sebab apapun diatasnya akan terpantul olehnya, sehingga kami tidak diangan-angani dalam tidur kami tentang sebuah daerah terindah yang akan membuat kami kecewa sepanjang umur kami apabila kami tidak segera memasukinya.

Begitulah kami kemudian merayu bapak-ibu kami dengan cara apa saja sehingga bapak ibu kami luluh lantak dalam kemauan kami, dalam kehendak kami. Mulanya mereka -- bapak ibu kami -- tidak segera menjawab karena padi yang menguning belum dipetik dan karena itu, mereka menyuguhkan alasan, kami tidak bisa makan. Kelaparan. Kurus kering tubuh kami dan kami busung lapar. Perut membuncit seperti balon yang tidak kami punyai sebagai hadiah lebaran yang bagi kami sangat menjengkelkan dan mengesalkan. Setiap hari lebaran kami tidak diberikan apa-apa kecuali sarung, peci dan berbeda dengan teman-teman kami dibelikan pakaian yang bisa digunakan untuk, seperti perkataan guru sekolah kami, silaturahmi. Kami merajuk sekali ini bahwa permintaan kami harus diluluskan.

Dengan disertai omelan dan segenap ancaman-ancaman yang sangat baru dan kami tidak tahu bagaimana bapak ibu kami dapat mengeluarkan perintah-perintah yang menurut kami aneh. Kami dalam perjalanan kereta api itu tidak boleh berbicara sepatah katapun baik dengan mereka -- bapak ibu kami -- maupun kepada para penumpang yang barangkali menyertai dalam perjalanan nanti dan juga diantara masing-masing kami bertiga. Mulanya kami menyangka itu adalah perintah yang dapat kami samakan dengan tidak boleh bergurau pada saat kami menjelang tidur di kamar tengah yang lampunya ditaruh di luar kamar -- sebuah lampu minyak -- agar kami dapat bermimpi yang indah, bertemu buyut-buyut kami di angkasa yang tidak pernah kami lihat di siang hari. Di saat mata kami terbuka dan bagi kami tidak ada yang tersembunyi oleh tatapan mata kami yang bulat, jernih dan menurut orang tua kami sendiri, sangat hebat.

Kami menurut. Perjalanan disiapkan. Kami berlima berjalan mengarah ke stasiun tua yang berada di pinggir kota yang mempunyai bangunan warna-warni, dinding-dindingnya adalah tembok dan berbeda sekali dari rumah kami yang hanya dilapisi sayatan-sayatan anyaman bambu. Stasiun itu sangat kekar, dindingnya sangat lebar dan lebih menyerupai bangunan kuno. Kata bapak-ibu kami itu peninggalan nenek moyang kami yang bukan berwarna sawo matang semacam kami ini melainkan putih seperti kerbau bule yang kami gembalakan di lapangan rumput yang kesukaannya menunggangi para betinanya maupun kerbau lain yang berwarna hitam. Bapak ibu kami tidak membeli karcis seperti yang diceritakan omongan-omongan itu. Kami langsung disuruh naik ke gerbong dekat kepala kereta yang berwarna hitam legam menyerupai arang. Begitu kami naik kereta segera berangkat, perlahan, dengan ledakan-ledakan di kepala kereta dan getaran-getaran pada badan kereta yang membuat kami, mula-mula, merontak sekujur permukaan kulit kami yang oleh bapak ibu kami disebut sebagai sawo matang.

Kami memang tidak bercakap apa dan kepada siapapun. Kami hanya memandang-mandang dengan perasaan takut-takut kepada orang-orang menyertai dalam perjalanan kami yang sama sekali tidak menampakkan raut mukanya karena ditekukkan di antara dua kakinya sehingga kami sempat menduga bahwa mereka sedang melakukan perjalanan sangat jauh dan mereka sangat kelelahan. Sehingga mereka sepanjang perjalanan adalah tidur dan tidur. Alangkah sayangnya perbuatan demikian, pikir kami. Mereka telah menyia-nyiakan untuk pemandangan yang tidak ada di kampung halamannya, yang tidak dapat setiap hari dijumpainya, dan mungkin akan berubah setiap kali orang yang mengadakan perjalanan itu dengan naik kereta yang ditumpanginya sama dengan kereta yang sekarang ini bersama kami.

Maka kami dengan sesuka hati menghadapkan muka kami ke luar gerbong kereta dengan pemandangan sungai-sungai yang tampak kecil apabila kereta yang kami tumpangi melintasi sebuah jembatan yang jaraknya dengan sungai itu sangatlah tinggi. Sungai itu tampak tenang, air mengalir di sela-sela batu runcing dan dalam bayangan kami pasti terdapat ikan-ikan gabus yang kecil, gesit, sisik-sisiknya mengkilau apabila tubuhnya mengkelok diantara bebantuan dan tepat pada saat itu secercah cahaya matahari menerpanya sehingga sangat menggembirakan hati bila dipandang dengan tidak bermaksud menangkapnya dan memotong-motongnya untuk kemudian melemparkannya ke dalam penggorengan yang berisi minyak panas mendidih.

Kemudian kami mendapati rumah-rumah yang berada di lereng-lereng gunung yang tampak seperti menempel dan begitu saja diletakkan dengan semacam lem yang kami cemas apabila mendadak terjadi gempa yang dahsyat diiringi hujan lebat tiga hari tiga malam tanpa henti dan mendadak pula gunung itu meletus. Rumah-rumah kecil yang menempel itu terpental seperti potongan kardus dan entah bagaimana rupanya setelah terlempar begitu jauh di atas permukaan tanah yang bergunung-gunung itu. Mungkin akan bukan dampak sebagai bekas rumah melainkan kardus-kardus kue yang bertumpukan di belakang rumah kami dan berlepotan lumpur seperti yang selalu kami jumpai usai hari lebaran. ***


Bagian 2-Habis

Tetapi anehnya, kami tidak melihat seorang pun di sela-sela rumah yang tidak berbeda dengan kardus-kardus kue itu. Menangis tersedu-sedukah anak-anaknya? Atau tubuh-tubuh bergelimpangan berlumuran tanah dan darahkah? Atau malah berlari-lari seraya tertawa-tawa karena mereka telah terbiasa dengan peristiwa itu sehingga mereka telah terlatih menghadapinya dan setiap letusan gunung itu berulang mereka menganggapnya latihan tubuh belaka?

PEKARANGAN-PEKARANGAN semuanya kosong. Tak terlihat seorang penggembala pun yang mungkin tengah berdiri agak jauh seraya duduk bersandar pada sebuah pohon yang daunnya melambai-lambai ditiup angin, mengundang siapapun dan apapun untuk berlindung di bawahnya.

Tapi ini kan bukan siang hari, pikir kami karena yang memancar sekarang bukan bundaran putih yang mengkilau di angkasa yang oleh orang-orang disebut matahari -- matanya hari, menurut kami -- melainkan bundaran kuning yang agak lonjong menyerupai telur ayam disebut sebagai bulan. Mungkin para penggembala itu sedang tidur dan sekarang bermimpi mengenai apa yang sesungguhnya terjadi dibalik gunung itu di mana rumahnya beserta rumah para tetangganya bertempelan, sebagaimana mimpi-mimpi kami yang datang pada awal kami tidur namun tiba-tiba berubah pada ujungnya menjadi pertarungan sengit antara berpuluh-puluh orang yang pakaiannya sama, warna kulitnya sama dan dalam seruan-seruan yang sama. Tapi meskipun senjata mereka sama mereka saling menyerang dengan beringas diantara rumah-rumah yang terpetak-petak, di sela-sela pepohonan dan entah sebenarnya berapa lama telah saling menikam. Semuanya berakhir dengan kematian.

Kami terbengong oleh mimpi itu. Apakah kami sungguh-sungguh? Kami ketakutan sekali sebab kami berada dalam bagian dari penyerangan itu dan kami tidak mungkin bermain-main lagi. Di mana bapak-ibu kami? Apakah terjebak dalam arak-arakan saling tikam dan saling penggal sehingga yang terdengar adalah kegeraman, jerit kesakitan, lolongan kepedihan di tengah-tengah kegelapan malam pegunungan. Kami berlari dan tidak sekalipun berhenti ketika kami tiba-tiba terbangun oleh pertengkaran bapak-ibu kami apakah setuju atau tidak dengan ajakan kami untuk pergi ke balik bukit dengan kereta api yang memiliki gerbong hitam panjang setelah kami merengek-rengek meminta bapak-ibu kami menyertai menuju tempat impian.

Tetapi sepanjang perjalanan yang menyerupai mimpi terus berlangsung di bawah keremangan cahaya bulan, menembus kabut, menembus lorong-lorong gelap perbukitan yang dibongkar untuk rel kereta api, dengan tikungannya yang semakin lama semakin tajam, di antara pohon-pohon yang daunnya berjuntaian menyentuh permukaan tanah, udara semakin mendingin dan orang-orang dalam gerbong terus-menerus tidak bergerak dari terpekurnya. Kami lama-lama jemu menanti daerah yang, katanya, tidak pernah menjemukan itu.

Kami mengantuk dan kami beranjak dari mulut pintu gerbang mencari bapak ibu kami yang seingat kami, tadi, duduk di pojok gerbong. Tetapi kami tidak menemukannya. Ketika kami memanggilnya bapak-ibu kami tidak juga segera bangkit, merengkuh badan kami dan memasukkannya dalam dekapan. Kami kedinginan dan kebingungan. Orang-orang yang terpekur tetap tidak segera beranjak. Kami menangis tetapi kami sangat lelah sehingga kami tiba-tiba terjatuh di sandar gerbong tepat mengenai orang-orang yang sejak tadi terpekur. Tetapi tubuh kami oleng oleh gerak gerbong yang terus berguncang-guncang, oleh lelah yang merasuki badan kami, dan kami terloncat (atau terlempar?) ke dinding gerbong sebelah.

Kami tiba-tiba menghirup bau busuk yang amat sangat ketika lobang hidung kami menempel di pakaian orang-orang yang sedang terpekur. Kami seperti membau sebuah bangkai binatang membusuk yang biasa dilemparkan tetangga-tetangga kami ke sungai dan beberapa hari selanjutnya tersangkut di dam desa bawah dengan dipenuhi belatung. Tetapi ini bukan binatang membusuk, pikir kami. Ini bau yang belum kami pernah tahu. Perut kami tiba-tiba seperti diputar-putar, bergerak-gerak sendiri dan pada akhirnya keluar semua apa yang tadi masuk ke dalam perut. Kami tidak tahu benar apa yang kemudian terjadi ketika tiba-tiba di antara kepusingan itu kereta tiba-tiba berhenti di sebuah tempat yang barangkali sebuah kota karena sekilat pandang kami menangkap lampu-lampu berpijaran, berderet membentuk garis-garis yang berputar teratur dengan sisi-sisinya gedung-gedung entah untuk apa berdiri tegak.

Dalam keadaan yang membuat kami mau menangis lagi, kami mendengar suara gerak dari luar gerbong yang ramai, berserak dan suara itu suara yang membuat kami gemetar. Apakah mereka seperti yang terdapat dalam mimpi kami. Kami tidak tahu. Kami hanya melihat dalam keremangan gerbong beberapa orang dari luar gerbong, mungkin berjumlah sepuluh sampai lima belas orang sedang melempar dengan sepenuh tenaga dan apa yang dilemparkan itu adalah tubuh manusia yang tampak kaku, mungkin mati, mungkin tidur, mungkin setengah mati, saling membentur dan satu atau dua diantaranya membentur dinding yang terbuat dari lempengan besi dengan suara yang diakibatkannya menyerupai benturan batu.

Kami mundur dan tubuh terhuyung oleh pikiran: apakah dua diantaranya merupakan ibu-bapak kami? Kami harus tidak percaya dengan pikiran kami sendiri. Apakah bapak ibu kami tega meninggalkan kami sendirian dan tidak tahu ke mana kami mesti pergi dan... kenapa orang-orang melempar orang-orang sesamanya dengan begitu keras dan dengan begitu tidak penuh perasaan sebagaimana bapak ibu kami membelai rambut dan kadang-kadang, perut kami.

Kami semakin tidak tahu apa yang disebut tanah impian yang kami dengar dari omongan-omongan yang tidak pernah menyebut dirinya dengan terus terang sehingga kami tidak sebegini jauh tidak tahunya; sehingga kami menyerupai anjing yang ditinggal sang induk karena induk itu tidak didapatkan saat anak-anaknya tiba-tiba, ketika malam hari di tengah teriakan serigala, terbangun, dan menggigil kedinginan oleh hujan lebat di luar dan karena itu ketakutan.

Gerbong yang kami tumpangi terus dipenuhi tubuh-tubuh manusia yang semakin lama semakin sesak dan kami hanya dapat melihat sebatas gelap menyelubung. Bau-bau semakin menyesak dalam dada kami seolah kami adalah bangkai itu. Pintu digeret dengan keras dalam gelap yang diantaranya kami mendengar erangan-erangan yang semakin lama semakin memilukan karena menyebut ke manakah ayah ibunya, ke manakah anak cucunya, sehingga kami menjadi bertanya dalam diri kami sendiri: apakah satu dua diantaranya adalah bapak-ibu kami yang tengah mencari-cari kami yang kini tengah mencari-cari, tetapi sangat begitu lemah sehingga suaranya menjadi serupa orang tengah melihat mati? Kami tidak tentu. Kami tidak membalasnya dengan panggilan balik sehingga kami tidak dapat menyatakan dan menegaskan bahwa suara itu suara milik bapak atau ibu kami.

Kereta berderak dan suara-suara yang mengerang makin hilang dan kami seperti di sebuah dunia yang tiba-tiba memuat kami harus berteriak keras-keras sebab apakah yang kami bayangkan (atau dipaksa membayangkan) adalah gambar khayali yang semakin lama semakin terang namun tidak kami mengerti di manakah sesungguhnya kami tengah berada. Kereta semakin tidak terkendali dengan benak kami yang penuh tanya tujuan mana dan dengan maksud apa kereta itu berderak. Dengan nafas sesak oleh bau busuk yang menyelusup ke lobang hidung, batang tenggorok dan paru, kami terbayang sebuah danau yang luas ketika hari sehabis hujan, udara cerah, dan kami sedang berlayar di tengahnya. Di mana sebuah senja tengah menyuruk ke belahan langit sebelah barat, diantaranya burung melintas dan kami lihat bayang-bayangnya bersama warna lengkungan langit yang diwarnai senja tengah terpantul.

Kami menduga gerbong hitam ini tengah menuju ke dalam senja yang sedang menyuruk di antara kunang-kunang yang semakin lama semakin nyata dalam pandangan kami. Menerobos ke dalamnya, ke jantung senja dalam waktu yang kami sendiri tidak dapat memperkirakannya. Mungkin perjalanan dalam gerbong hitam yang kepalanya meledak-meledak dan badannya berderak-derak akan memakan waktu seumur kami bahkan lebih sehingga mencapai anak-cucu kami, buyut-buyut kami, dan tidak akan tahu bagaimana sesungguhnya peristiwa perjalanan di atas gerbong hitam dalam nafas bau busuk bangkai manusia ini bermula dan hendak kapan mesti berakhir. Kami tidak tahu. Kami tekukkan kepala kami diantara dua kali kami sendiri-sendiri. Sunyi. ***

Minggu, 08 Maret 2009

Mengkaji Sajak Sufistik Wali Eropa

Benny Benke
http://www.suaramerdeka.com/

DIIRINGI musik zipin serta penguasaan teknik deklamasi yang mumpuni, penyair Hamid Jabbar dengan kidmat melantunkan sajak Penari sembari menari dan menyanyi.

Selama 15 menit lebih, audience yang memadati ruang perpustakaan British Council, Gedung S Widjojo Centre Lantai 1 Jl Jend Sudirman Kav 71 Jakarta Pusat, itu seolah terbius, diam terpaku. Begitu syair terakhir sajak karya Dr Martin Lings itu disudahi, meledaklah tepuk tangan penonton.

Selanjutnya, dengan bersahaja -tanpa alunan musik zipin- Duta Besar Inggris untuk Indonesia Richard Gozney membacakan sajak Burung-burung dalam versi aslinya The Birds. Kemudian, tampil pemain sinetron Rieke Diah Pitaloka yang mengusung dengan manis sajak Taman. Sayang, pada akhir pembacaannya Rieke "melukai"pembacaannya sendiri dengan melafalkan kata "cinta" dengan "cina".

Seterusnya, berurut-turut tampil dengan datar pesohor dan aktivis HIV Baby Jim Aditya. Ia membawakan sajak Pertanyaan. Acara baca sajak itu, dipamungkasi dengan apik oleh penampilan pengacara papan atas Todung Mulya Lubis melalui sajak Kesediaan.

Pembacaan puisi sufistik karya Dr Martin Lings -seorang intelektual Islam dan penyair sufi modern dari Inggris- yang telah dialihbahasakan dengan kandungan sastra yang baik oleh Abdul Hadi WM tersebut, diselenggarakan dalam rangka menyambut bulan suci Ramadan.

Acara yang terselenggara atas kerja bareng British Council dan Pusat Studi Islam Paramadina, Jumat (22/11) malam lalu, itu mengambil tema "Ekspresi Kerohaniaan dan Estetika Sufi Melalui Puisi-Puisi Martin Lings".

Wali Modern

Acara yang dilanjutkan dengan pembahasan puisi tersebut oleh penerjemahnya, Abdul Hadi WM, itu berlangsung dengan gayeng. Betapa tidak. Abdul Hadi dengan detil menarasikan kesejarahan perjalanan kepenyairan Lings. Penyair kelahiran Burnage, Lancashire Inggris 1909 itu, belajar sastra Arab dan Inggris di Oxford University dan London University. Setamat dari dua universitas itu, ia mengajar sastra Inggris di Universitas Kaunas, Lithuania pada 1935.

Selanjutnya, pada 1939 hingga 1952 Lings mengajar sastra Inggris kajian Shakespeare di Universitas Cairo Mesir. Ia juga pernah menjadi konsultan untuk The World of Islam Festival Trust dan menjadi anggota The Art Council Committee untuk sebuah pameran The Art of Islam.

Lings yang dikenal sebagai pelopor pendekatan filsafat parenial (tasawuf) dalam bidang studi agama itu, dalam sajaknya -sebagaimana kebanyakan para sufi pada umumnya- menjadikan puisi sebagai media ekspresi keindahan kerohanian terdalam untuk menyampaikan pesan.

Ungkapan-ungkapan puisi religius dalam sajak Lings, memang terasa asing bagi pembaca puisi kontemporer, yang terbiasa menempatkan kerinduan kepada Tuhan sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman. Lebih-lebih dalam persajakan Inggris. Jika Tuhan muncul juga dalam sajak-sajak mutakhir, ia adalah Tuhan yang diragukan keberadaannya dan absurd.

Dalam pembahasan lebih lanjut, intelektual Islam yang juga Rektor Universitas Paramadina Prof Dr Nurcholish Madjid mengutarakan, kekuatan Lings dalam persajakan maupun tulisan ilmiahnya adalah buah hasil dari kemampuannya melakukan pengembaraan (adventure) untuk mempelajari semua agama yang ada di muka bumi ini.

Melalui sinkritisme, ia menghadirkan seluruh kitab suci sebagai guru inabsentia; dan pada akhirnya Lings memeluk Islam serta mengganti namanya menjadi Abu Bakr Siraj ad-Din). Ia berikhtiar membawa agama Islam untuk menjawab tantangan kemodernan.

Dalam konteks itulah, jasa besar Martin Lings; menjelaskan Islam dalam konteks modern kepada masyarakat Eropa melalui khasanah intektual yang tertulis lewat sajak dan buku-buku ilmiahnya.

Tidak salah, jika Nurcholish Madjid menyejajarkan Lings dengan para sufi Eropa lainnya, seperti Titus Burckhardt, Rene Guenon, dan Fritjhof Schuon, sebagai Wali Eropa masa kini.

"Menulis Nafkah Saya"

Rukardi
http://www.suaramerdeka.com/

MODAL keterampilan saja tidak cukup untuk menjadi penulis profesional di negeri ini. Ada prasyarat lain yang harus dipunyai. Itulah ketabahan dan semangat tinggi.

Satu dari sedikit orang yang memenuhi prasyarat itu adalah Nh Dini. Sebagai penulis, perempuan kelahiran Semarang, 29 Februari 1936, itu sudah melalui proses panjang dan teruji.

Dia menuturkan mulai menulis saat duduk di bangku kelas III sekolah dasar. Dini kecil biasa menumpahkan pikiran dan rasa hatinya ke dalam buku pelajaran. Kegemarannya membaca buku dan mendengar cerita dari sang ibu melempangkan jalan sebagai penulis.

Bakat Dini kian terasah di sekolah menengah. Dia membuat sajak dan cerpen untuk majalah dinding sekolah. Usia 15 tahun, Dini membacakan sajak dan prosanya di RRI Semarang. Setelah itu dia kerap mengirimkan sajak-sajak ke RRI Jakarta dalam acara "Tunas Mekar".

Bungsu lima bersaudara pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah itu memilih jurusan sastra di bangku SMA. Dia pun mengirimkan cerpen-cerpennya ke media massa dan aktif dalam kelompok sandiwara radio Kuncup Berseri. Sesekali dia menulis naskah sendiri.

Di luar itu banyak aktivitas dia lakukan. Selain menjadi redaksi budaya majalah remaja Gelora Muda, dia membentuk kelompok sandiwara di sekolah: Pura Bhakti. Langkahnya kian mantap ketika memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah.

Meski telah bekerja sebagai pramugari Garuda Indonesia Airways dan disunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang, peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand ini tetap menulis. Tahun 1956, kumpulan cerpennya diterbitkan.

Bagai mengalir, karya-karya berikutnya lahir, baik kumpulan cerpen, novel, maupun cerita kenangan. Beberapa di antaranya adalah Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998). Banyak karya dia tulis di luar negeri, saat mengiringi tugas sang suami.

Kini, saat berusia senja, Dini masih menulis, menumpahkan gagasan dan kegelisahan yang tak habis-habis. Baru-baru ini, perempuan bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin ini meluncurkan La Grande Borne. Itulah cerita kenangan tentang perselingkuhan.

Sampai kapan Dini menulis? "Menulis adalah sumber nafkah saya. Ia adalah profesi yang menghidupi. Saya akan terus menulis, sampai maut menghentikannya."

Le Poete Maudit

Heru Emka
http://entertainmen.suaramerdeka.com/

SENJA diam-diam mengambang dan mengisap panas mentari yang mereda. Hawa sejuk di hotel berbintang lima itu pun menyelimuti tubuh, menghapus keringat yang disisakan terik siang di jalanan. Riuh rendah deru-debu, teriak seru, eskspresi wajah-wajah kaku yang berjarak hanya selemparan batu, segera teredam lapisan kaca ber-AC. Tiga lantai berikutnya adalah ruang luas yang nyaman berisi gumam lembut perempun. Kursi empuk yang berderet rapi, dan hadirin yang berbusana indah dan semerbak wangi.

Kontradiksi ini mengingatkan aku pada apologi sopir taksi," Maaf pak, AC-nya baru ngadat. Padahal tadi pagi masih sehat ." Dari MP-4 di pinggang, Mick Jagger berdendang, "You can't always get what you want." 1)

Cukup banyak juga tuan dan nyonya kaya Jakarta yang saling bersapa ceria di sana, terpadu gaya hidup yang kini cukup diminati: mengoleksi benda seni (sekaligus menakarnya sebagai peluang investasi). Di kursi deretan depan ada Erica Hesti Wahyuni, pelukis yang cepat tersohor sejak karyanya menjadi incaran kolektor. Ada juga Agus Dermawan T, pengamat seni rupa, beberapa kolektor, pemilik galeri, selebihnya wajah-wajah mewah yang belum kukenali.

Aku datang untuk bertemu Nurul Arifin. Artis yang satu ini mulai senang berburu lukisan, sejak wajahnya dilukis oleh Jeihan. Aku akan meminta dia untuk tampil sebagai bintang tamu di acara Jaya Suprana Show. 2) Coffe break baru lima menit mulai saat Nurul Arifin memberikan konfirmasi tanda jadi. Lalu seorang perempuan muda menghampiri dengan pesan seperti sebuah teka-teki: "Masihkah nama ini ada dalam ingatasn? Ja pense toi joue et nuit." 3)

Pandanganku penasaran menjelajah ruangan. Dan kulihat senyumnya saat dia melambaikan tangan. Ah..ah..Salindri Kuswardani. Anggota dewan dari sebuah partai, pengusaha muda yang naik daun di kota kami. Suka bicara ceplas-ceplos di media massa. Secara terbuka dia kritik kebijakan gubernur yang dianggap menguntungkan para pendukungnya semasa Pilkada. Saat pihak yang merasa dirugikan berniat mengajukan tuntutan, Indri (begitu aku memanggilnya) tak gentar dan menantikannya di pengadilan. Namun seperti yang diduga oleh beberapa kalangan, tuntutan hukum itu tak pernah menjadi kenyataan. Pengacara kedua belah pihak sudah sepakat, untuk mengakhiri masalah dengan mufakat.

Setelah saling berjabat tangan dan bertukar basi-basi kesopanan, kami saling menatap wajah masing-masing, seakan melompati masa yang begitu lama memisahkan dan memberi kesan asing. Rasa ingin tahu berloncatan spontan, coba menakar apa yang masih tersisa dalam ingatan. Kelebat sinar mata sejak detik pertama, coba menengok lorong nostalgia. Menghitung seberapa banyak sisa keakraban yang terpendam.

"Senang juga bisa ketemu lagi. Cukup lama ya kita tak jumpa. Mau kan ketemu lagi sama aku?" tanyanya dengan sebuah senyum ceria.

"Cukup lama juga. Kamu sudah jadi orang penting sekarang."

"Kamu juga kan? Aku tiga hari di sini, menjajaki kemungkinan membuka galeri. Bagaimana bila kita ngobrol nanti malam? Bisa?"

Begitulah. Jam delapan malam aku sudah ada di lobi, menanti Indri. Lalu muncullah dia dengan langkah kijang dalam gaun malam lace berwarna hitam. Belahan panjang di sisi kiri memberiku paha jenjang cemerlang bagai bulan sabit keperakan dalam selimut awan kelam. Lalu suasana bertukar dengan denting piano jazzy, di sebuah bar yang cozy. 4) Dan aku kembali tergoda untuk untuk berperan sebagai laba-laba di depan serangga. Apakah ini sebuah kesempatan atau jebakan?

Dulu Indri masih mahasiswa Fakultas Sastra, dan aku salah satu penyair muda (bersama Bambang Soepranoto dan Nung Runua) yang diundang untuk membaca sajak di acara Gairah Malam Bulan Purnama, di kampusnya. Ada beberapa mahasiswi lain yang segera jadi teman, seperti Ayu dan Widuri. Tapi aku paling terkenang Indri karena parasnya yang melankolis, seakan pandangannya dilaputi selaput tipis kesedihan. Karena itu aku kemudian menuliskan sajak untuknya: "Adakah derita yang singgah tanpa sengaja, hingga senyuman begitu/ singkat, bagai usia embun diserap surya? Biar kucari melodi kata-kata/ di heningmu. Dan benarkah redup sinar matamu tirai rahasia/ dari sebuah mata air duka?"

"Well, pertemuan ini harus dirayakan dengan sebuah kesepakatan. Yang sudah biarlah lewat Kita bertemu dalam perspektif baru. Setuju?" katanya setelah mencicipi segelas mungil pinacolada 5).

"Kau sepertinya sudah mengubur masa silam...."

"Haruskah aku terus menjadi gadis sentimentilmu. Aku harus membuat hidup ini terus berjalan. Seperti kamu yang terus melangkah bersama gadis-gadismu."

Sebuah adegan meloncat dari labirin ingatan: Aku berjalan mendekap pinggang Wieke, dan Indri melintas di depan dengan tawanya yang mendadak hilang, terhisap keberadaan kami berdua. Tak bisa kulupa wajahnya yang sedih dan bibirnya yang ternganga....

Padahal baru sebulan aku bersama Indri. Namun ego seniman menyodorkan sebuah kesombongan yang tak berguna. Paman Indri yang ajudan duta di Swedia bicara soal masa depan Indri dan 'kemungkinannya' bila dipertemukan dengan putra duta besar kita di Swedia. Yang paling naif, semua ini diucapkan saat Indri bersamaku, secara demonstratif.

Perasaan tersinggung yang melambung dan harga diri yang melayang terlalu tinggi. Rasa marah yang membuat yang situasi yang salah kaprah bertambah parah. Lalu pertengkaran kecil yang beranak pinak dalam tempo singkat, berakhir dengan sebuah kalimat di sebuah surat: "Kamu bukan kekasih yang tepat bagi seorang penyair, yang dikutuk untuk hidup hanya dengan cinta dan kata-kata. Bagiku apa gunanya berada di sorga bila tanpa kamu. Lebih baik aku terkutuk menjadi setan di neraka, tapi aku bahagia bila sempat memilikimu" Lalu aku berusaha menghapus bayangan Indri. Dan berbagai nama mengisi hari-hari yang silih berganti. Tapi tak ada yang menyentuh sampai lubuk hati. Tak ada yang punya bibir tipis kepucatan seperti bibir Indri. Ah, pandangannya yang seperti kerjap sinar lilin di kejauhan malam. Angannya yang polos tentang masa depan. "Aku ingin jadi istrimu, punya anak banyak, masak yang enak." Benar-benar kepasrahan ombak, yang rela kehilangan daya saat mencumbu pantai. Tapi, sialan, kami bagai nyiur dan salju. Bukan asam di gunung dan garam di laut yang bertemu dalam belanga. Aku lari ke Jakarta, Cirebon, dan Jogya untuk melupakan luka cinta. Aku bekerja silih berganti, untuk mencari situasi yang bisa membuatku lupa pada Indri.

Aku seperti kapal hantu, bergentayangan di samudera cinta, tanpa mengenal bandar atau kuala. Bagai nakhoda yang gila topan, aku selalu menghindari persinggahan. Empat kali aku merasa menemukan pelabuhan hati, tapi berulang kali digerogoti sangsi.

Saat aku mencoba jujur pada diri sendiri, yang muncul sebait puisi: "di hidup yang begini sunyi, aku tak tahu/ senantiasa keluh, menunggu yang menghapus duka/ senantiasa rubuh, membuang rindu yang ada" 6) Mabuk mendamba cinta yang ternyata samar-samar saja, aku merasa bagaikan kelelawar yang "di dingin malam aku berlagu, sinar purnama kawanku merindu, di suram kabut sendiri aku, di kelam maut aku menunggu" 7)

Tapi semua berubah tak terduga. Dan basa-basi yang terjadi sekarang ini tak bisa menghalangi kenangan yang seakan memancar deras dari pori-pori di tubuh kami. Beberapa kejap kemudian, tangan kami saling menggenggam. Sebuah nyanyian menyihir kami untuk sama mengayun langkah dalam dekapan. "Stranger in the Night" 8) mengalun dalam suara serak basah si penyanyi yang berleher jenjang. Kami bagai sepasang orang asing yang terdampar di tempat sama: di mana kesepian dan kerinduan saling membelit dan menyambar-nyambar.

"Kok jadi pendiam sekarang?" katanya dalam dekapan.

"Kamu jauh berubah. Tranquille, intelligent, sexy." 9)

"Tahu nggak, aku selalu menunggumu. Eh mana sikap mbelingmu dulu? Aku

sudah tak menarik lagi ya?"

"No, no, grosses mammelles, longies jambes?" 10)

"Sialan. Es-tu occupe maintenant? 11) tanyanya lagi.

"Aku kini tim kreatif di sebuah acara televisi. Omong-omong, siapakah kekasihmu," aku bertanya sambil menduga.

"Ada. Tapi sudah putus."

"Sorry..."

"Lupakanlah. La danse me rechauffe, " 12) desahnya sambil mendekatkan wajah. Dan terjasdilah peristiwa yang selalu dikisahkan dalam roman picisan. Sebuah kecupan pendek, berbuah ciuman panjang, dan kemudian tak ada yang peduli kronologi waktu ketika pristiwa di sebuah bar meloncat ke dalam kamar, di lantai enam. Walau kami saling menginginkan, ternyata masih saling coba mengulur kesabaran.

"Apa yang biasa terjadi pada pertemuan para mantan ? "

"Mencari kenangan silam, mencicipi yang paling manis dalam ingatan "

"Bisakah teraba setelah begitu lama?"

"Just a stupid memory. Tapi aku tak bisa melupakanmu. Jawablah sejujurnya. Masih adakah rasa cintamu untukku ?"

"Entah bagaimana, aku pun tak bisa lupa. Kau bagai berdiri di luar waktu, dengan senyuman yang selalu mengambang dalam kenangan."

"Dan kau menciumku dalam hujan. Ciuman pertama yang tak bisa hilang dari kenangan. Aku memilih sendiri, agar suatu saat kita bisa bertemu lagi."

"Seperti ini?"

"Ya. Seperti ini."

"Yang dilakukan oleh siapa saja yang dibakar api cinta ? "

"Yang dilakukan siapa saja yang rela hangus terbakar api cinta."

Apa mau dikata. Kadang logika tak berdiam satu sarang dengan gairah. Aku tak mengerti, atas nama apakah hasrat cinta yang mati kembali berkobar lagi. Rasa bersalah? Atau penebusannya? Saat lalu perlahan menghapus kalimat. Ketika intonasi nada kata-kata terdengar berat, bisikan pelan pun terdengar hangat. Lalu sentuhan demi sentuhan berbagi tempat. Kutemukan lautan membelah di tubuhnya, dan gelombang yang berpusar lalu menarikku, menghisapku ke dalam palungnya.

"L'amour interdit," 13) gumamku.

"Mmm...le poete maudit," 14) bisiknya parau.

Semarang 2007

Setelah obrolan bersama Saroni dan Lestat.

Catatan:

1) Sebuah lagu hit The Rolling Stones. Diciptakan untuk menggambarkan perasaan Mick Jagger tentang penghiburan bagi rasa kecewa saat putus cinta dengan pacarnya.

2) Sebuah talk show televisi yang pernah disiarkan oleh stasiun TPI.

3)" Aku masih mengenangmu siang dan malam"

4) Istilah yang sering dipakai untuk menyebut suasana yang nyaman, mengasyikkan.

5) Nama sejenis cocktail yang berasa segar

6) Dari sajak Potret Diri, termuat dalam kumpulan puisiHeru Enka: Tanda ( Balai Pustaka, 1982)

7) Dari sajak Kelelawar, dalam Tanda ( Balai Pustaka, 1982)

8) 8) Versi asli lagu ini ditulis oleh Ivo Robie dalam bahasa Kroasia, berjudul "Stranci u Noci'. Lirik bahasa Inggrisnya ditulis oleh Charles Singleton dan Rddie Snyder, tentang cinta dalam pandangan pertama. Lagu ini mendunia sejak meraih Golden Globe sebagai lagu terbaik dalam film A Man Get Killed (1967). Dinyanyikanulang oleh berbagai nama beken, dari Frank Sinatra, Shirley Bassey, James Brown dan sebagainya.

9) Tenang, cerdas, seksi

10) Payudara besar, paha yang jenjang?

11) Apa kau sibuk sekarang?

12) Dansa ini menghangatkan diriku

13) Cinta terlarang

14) Penyair yang terkutuk.

Sabtu Malam Bersama Afrizal Malna

Muhajir Arrosyid
http://citizennews.suaramerdeka.com

Di luar gerimis rintik-rintik. Mungkin karena gerimis itu, atau karena lebih berat menyaksikan tim merah putih berlaga, maka dari awal sampai akhir, acara yang diselanggarakan oleh Hysteria ini tidak tambah satu orangpun peserta.

Di antara peserta itu antara lain Eko Tunas, sastrawan sekaligus pemain drama yang minggu ini sedang melaksanakan Tour keliling Jawa Tengah dengan pementasan monolog berjudul Korsi, hadir pula Harjito, pengamat Sastra media, dan Aulia Muhammad, penulis esai yang sebentar lagi akan menerbitkan buku baru.

Walaupun peserta terbatas, namun tidak mengurangi kegayengan acara. Bahkan acara terasa mewah. Acara berlangsung santai dan cair. Semua khusyuk mengikuti acara, Sembari makan kripik singkong dan teh bergelas plastik yang disediakan oleh panitia, ada pula yang sambil memeluk guling. Santai tapi asyik.

Afrizal yang malam itu dengan kepala tak berambut berbicara serius. Peserta takzim menyimak. Penyair yang sekarang tinggal di Yogyakarta ini bercerita tentang proses ciptanya. “Dari kecil aku suka naik bus. Aku menikmati sekali di dalam bus, mendengar kernet berteriak-teriak”. Bahkan Afrizal mengaku merasakan kehadiran Tuhan saat di dalam bus. “Saat aku naik bus, aku merasakan Tuhan datang di sampingku di luar jendela".

Afrizal juga bercerita tetang ketidak lulusannya di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Katanya, dia tidak lulus karena tidak pernah mau ikut ujian. “Aku kan sudah bayar, sudah membuang-buang waktu mengikuti kuliah, kenapa masih diuji, apakah mereka tidak percaya aku belajar dengan sungguh-sungguh?” Karena tidak pernah ikut ujian akhirnya Afrizal di-DO. Ia masih terkenang dengan beberapa dosen, salah satunya Frans Magis Suseno. Frans, kata Afrizal kalau mengajar unik, cara mengujinya juga unik. Sering kali dalam otak kita sudah penuh dengan filsafat, ternyata Frans memberi pertanyaan yang sepertinya remeh tapi membuat orang berfikir keras. Pertanyan itu semacam “Apa yang anda ketahui tentang kata umum?”

Afrizal menambahkan, seorang penyair harus berpapasan dengan banyak budaya, karena dengan demikian akan ada dialog di dalam diri penyair.

Eko Tunas menyatakan keingatannya terhadap kiprah Afrizal dalam dunia teater. “Afrizal ketika menulis naskah untuk teater sae mengembalikan teater sebagai teater. Naskah yang hadir sebagai penunjang gerak, sebuah esensi dalam teater.”

Afrizal mengemukakan bahwa puisi-puisinya adalah puisi-puisi fisual, ketika orang membaca akan membayangkan fisualisasinya, maka tidak akan ketemu jika didekati dengan pendekatan semiotik misalnya. Menurut Afrizal puisinya mungkin akan ketemu dengan pendekatan antropologi ruang misalnya. Aulia Muhammad menyangkal pendapat Afrizal ini, menurut Aulia karya Afrizal akan menarik jika pembaca mampu memaknai sendiri dengan pendekatan apapun. Jadi kalau ternyata pembaca mampu mendekati dengan pendekatan semiotic dan berhasil, itu sah-sah saja, “ kenapa tidak ?”

Malam itu juga dibacakan satu puisi karya Afrizal. Sayang saat salah seorang meminta Afrizal membacakan puisinya, Afrizal tidak bisa memenuhi. “Maaf ya, aku tidak bisa kembali pada teks aku” senyumnya menyiratkan harjukan maaf.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae