Selasa, 17 Februari 2009

Rahasia Mustika

Sri Ruwanti
http://oase.kompas.com/

Ia ingin mengucapkan sesuatu. Mulutnya tak henti-henti bergerak. Namun suaranya seperti tertahan di tenggorokkan.

Berkali-kali ia mengerang seperti menahan rasa sakit. Ia hanya bisa terbujur di atas kasur. Sudah satu bulan Bulek Tum bertahan dengan kondisi seperti itu. Ia seperti mayat, tapi nyawa masih bersarang dalam tubuhnya. Tidak merasa mati, tapi juga tidak menikmati hidup.

Kabar yang santer terdengar, bulek menanamkan sesuatu ke dalam tubuhnya. Sesuatu yang membuat dia terlihat bercahaya, sehingga orang bagaikan tersihir bila melihatnya, menuruti apa yang diucapkannya tanpa ada pemaksaan.

Aku kasihan melihat kondisi Bulek Tum. Dia seakan benar-benar akan menjemput ajal. Aku sebenarnya malas mendengarkan gosip murahan berbau tahayul tentang Bulek Tum. Tapi aku juga sudah menyerah dengan hasil pemeriksaan medis yang tidak menunjukkan apa-apa tentang kondisinya. Akhirnya, aku meminta kesediaan Mbah Darmo, orang pintar di desa ini untuk melihat kondisi Bulek Tum.

“Bulekmu menanamkan sesuatu di dalam tubuhnya, dan itu harus dicabut terlebih dahulu agar jalan menuju ajalnya tidak tersendat,” begitu penjelasan Mbah Darmo.

Terus terang, aku kurang mengerti dengan penjelasannya. Seingatku, Bulek tidak pernah menjalani operasi apapun untuk menanamkan sesuatu ke dalam tubuhnya. Mbah Darmo tersenyum mendengar tanggapanku akan hasil terawang mata batinnya.

“Kendi…Kendi….kamu itu katanya orang terpelajar. Tapi kok ya cara berpikirmu itu terlalu sederhana. Pantes saja namamu Kendi, diisi hanya untuk dikosongkan kembali,” ia seperti sedang menyindirku.

“Lho, Kendi itu memang buat nampung, Mbah. Lagipula Kendi itu merupakan bentuk kerja sama yang baik antara unsur tanah dan air. Supaya bisa dimanfaatkan oleh manusia. Kalau fungsinya buat nampung, memang harus dikosongkan dulu tho Mbah? Kalau masih ada isi terus diisi lagi, yah….bisa meluber kemana-mana, Mbah,” balasku sambil terbahak-bahak.

Dia tidak membalasku, hanya wajahnya yang dingin seakan mengutukku. Aku terdiam, kupikir memang aku terlalu berlebihan. Tak ada yang pantas ditertawakan dari ucapanku tadi. Apa yang kulakukan hanya sekedar bentuk kemenangan atas usahaku membalas sindirinya. Dan seharusnya, itu kunikmati sendiri saja. Lagipula, tiba-tiba ada sedikit kekhawatiran bila ternyata dia benar-benar membalasku dengan manteranya. Maka, jadilah aku orang yang tuli, bisu, atau orang yang kehilangan akal seperti gosip tentang orang-orang yang mendapat bala setelah berurusan dengan Mbah Darmo. Aku jadi teringat perkataan Pak Mardi, tetangga kami yang menganjurkan agar Bulek Tum diterawang oleh Mbah Darmo.

“Bila Mas Kendi bertemu Mbah Darmo, satu hal yang mesti Mas Kendi jaga, u-ca-pan. Jangan sampai ada ucapan yang menyinggung perasaannya, Mas. Kalau sampai beliaunya tersinggung, jadi panjang urusannya. Yah….saya sih bukan sok ngajarin, cuma saya paham penyakit orang-orang sini yang meninggalkan desa dalam waktu lama," kata Pak Mardi.

Mulanya aku tidak begitu perduli dengan apa yang diucapkan Pak Mardi. Karena menurutku ia terlalu cepat menyimpulkan bahwa aku terjangkit penyakit yang sama. Tapi tatapan dingin Mbah Darmo sedikit menciutkanku untuk mengingat-ingat nasehat Pak Mardi.

“Lalu apa yang harus kami lakukan, Mbah?” aku mencoba mencairkan suasana dengan meminta petunjuk darinya. Aku harap usahaku ini bisa membuat aku terlihat lebih rendah hati di matanya. Supaya dia tidak jadi mengirim manteranya untukku.
“Yah….kita harus melakukan ritual pencabutan mustika yang tertanam di tubuh bulekmu itu,” jawabnya sambil menatap tajam ke arah Bulek Tum.
“Ritual?”
“Ya, bulekmu harus menyelesaikan urusannya sebelum ajalnya tiba.”
“Maksud Mbah?”
“Mustika itu yang menjadi urusanya. Mustika itu adalah urusannya di dunia, maka dia tidak boleh membawanya ke liang lahat.”

Aku mulai mengerti apa yang diucapkannya. Aku tidak ingin Bulek Tum terus menerus tersiksa. Maka, akan kulakukan semua ini semata-mata untuk membebaskannya dari siksa itu. Menyelesaikan urusan dunianya, mencabut mustika yang tertanam dalam tubuhnya.
***

Cuma aku dan ibu kerabat satu-satunya yang mempunyai hubungan darah terdekat dengan Bulek Tum. Sehingga, yang menimpa bulek Tum kali ini adalah tanggung jawab kami.

Sejak kepergian bapakku dan suaminya, tinggal kami kerabat Bulek. Bulek sendiri tidak mempunyai anak. Sehingga akulah pengganti anak-anak yang tidak pernah lahir dari rahimnya. Kesendirian Bulek tidak membuatnya menjadi lemah. Angin emansipasi berembus juga ke desa kami. Bulek menjadi orang yang cukup disegani. Dia pandai mengolah perkebunan dan berdagang. Tidak hanya itu, bulek juga dipercaya oleh warga desa menjadi pemimpin. Warga desa percaya bahwa Bulek Tum merupakan sosok pemimpin yang dapat merangkul warga.

Selain itu Bulek juga mempunyai konsep-konsep yang jelas dengan arah pembangunan desa. Dia terbuka dengan hal-hal yang baru, tapi tidak mentah-mentah menelannya. Sehingga apa yang disampaikan kepada warganya tidak menjadi sesuatu yang bias. Itulah yang membuat Bulek Tum tampak cerdas di mata warga desa. Sehingga dianggap layak untuk menjadi Kepala desa.

Bulek sudah dua periode memimpin. Pernah ia berniat mundur pada pemilihan yang kedua. Semata-mata untuk memberikan kesempatan kepada yang lebih muda. Namun warga desa belum ingin posisinya digantikan. Itulah yang diceritakan Ibu di sela-sela keterjagaan kami menjaga Bulek Tum.

Ibu sendiri sebenarnya agak menyangsikan cerita Mbah Darmo. Beliau tidak yakin bahwa telah tertanam sebuah mestika penyebar pesona di dalam tubuh Bulek Tum. Karena Ibu mengenal bulek sejak dia masih kecil. Menurut ibu, kecerdasan dan rasa percaya diri yang tinggi dari bulek Tum memang sudah tertanam sejak kecil. Sesuatu yang secara alamiah dimiliki dan semakin terasah seiring berjalannya usia. Bukan karena pemikat apapun. Tapi demi kebaikan bulek, ibu merelakan untuk mencoba jalan ini. Dan besok, Mbah Darmo akan datang untuk melakukan ritual pencabutan itu.
****

Kami sudah mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk ritual itu. Kembang tujuh rupa, kelapa gading dua buah, menyan dan kain putih selebar sapu tangan dengan keempat sisinya yang berukuran sama. Itulah syarat-syarat yang diminta Mbah Darmo. Seakan tidak percaya kalau Bulek Tum menanam mustika pemikat yang bernama Mustika Kencana Ungu di dalam tubuhnya. Yah, Mustika Kencana Ungu. Menurut Mbah Darmo, itulah jenis mustika yang ditanamkan dalam tubuh Bulek Tum.

Aku dan Ibu duduk di sisi kiri dan kanan ranjang tempat Bulek terbaring. Tak ada suara yang keluar, hanya mata kami tertegun memandanginya. Sesekali, air mata ibu pecah dari matanya yang sembab.
“Bulekmu orang baik, Ndi,” perkataan ibu memecahkan keheningan.

Aku tak menjawab, hanya menganggukan kepala tanda setuju. Hanya itu yang aku lakukan menanggapi kegelisahannya yang terlihat semakin menjadi di antara sesenggukannya. Aku berjalan keluar kamar, melihat wajah malam dari balik jendela di ruang tamu. Mbah Darmo belum juga datang. Kubakar sebatang rokok dan menghirupnya cukup dalam. Lumayan, aku bisa sedikit tenang. Belum sampai hisapan ketiga, kudengar pintu diketuk dan aku bergegas membukanya. Mbah Darmo. Aku tertegun, tidak langsung mempersilakannya masuk. Sampai akhirnya dia sadar akan kebingunganku.

“Sudah dipersiapkan?” suaranya yang dalam dan wajahnya yang dingin menghentakku.
“Oh, su…su..sudah, Mbah?” bodoh sekali aku terlihat gelagapan di depannya. Aku mempersilakan dia masuk. Seperti biasa, dia mengenakan pakaian serba hitam. Aroma tubuhnya yang khas menyan dan melati. Di tangan kanannya memegang kepala kendi. Yah, benda yang sama dengan namaku.
“Sudah bisa dimulai?” tanyanya.
“Silakan, Mbah,” jawabku.

Aku menarik pelan bahu Ibu, yang sedari tadi masih duduk di bibir ranjang. Kuajak dia untuk mundur sedikit ke belakang, agar Mbah Darmo dapat lebih leluasa menjalankan ritualnya. Kulihat Mbah Darmo mengangkat kepala Bulek Tum yang terbaring sampai posisi setengah duduk. Didekatkannya kendi itu ke mulut Bulek, dan Bulek mengecap cairan yang keluar dari kendi itu pelan. Bulek dibaringkan kembali. Selanjutnya, aku tidak ingin melihatnya. Kuajak Ibu untuk menunggu di luar kamar, membiarkan Mbah Darmo yang menyelesaikannya. Menyelesaikan urusan Bulek yang tidak boleh dibawanya ke liang lahat.
***

Dua minggu setelah kepergian Bulek, kami masih merasakan luka yang mendalam. Tidak banyak warga yang hadir menjelang acara pemakamannya. Cerita tentang susuk pemikat itu telah mengubur segala usahanya untuk memajukan desa ini. Sungguh tidak berimbang. Tapi aku coba untuk mengiklaskannya. Belum selesai aku mengurai kenangan tentang Bulek, dari kejauhan, kulihat Lik Gun memanggilku berulang-ulang sambil setengah berlari. Sepertinya, carik desa itu ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting.

“Ada apa Lik, sepertinya buru-buru sekali?” tanyaku.
“Apa mas Kendi gak berniat ikut dalam pemilihan kepala desa?”
“Kuburan bulek saja belum kering, Lik,” jawabku sambil tersenyum tipis.
“Tapi sudah ada yang mulai menyusun kekuatan, mas,” wajahnya semakin serius. Kali ini aku tidak tersenyum, tapi tertawa terbahak-bahak. Lik Gun mengerutkan dahi, seperti heran dengan tingkahku.
“Ini serius, mas,” kali ini nadanya lebih tegas.
“Aku juga serius, Lik. Kayak mau perang saja menyusun kekuatan. Lagi pula, memang harus ada yang menggantikan Bulek Tum. Biarkanlah mereka, Lik.”
“Tapi sampean yang dianggap saingan terberat mereka, mas,” kalimatnya cukup antusias. Kali ini aku yang membelalakkan mata, mengerutkan dahi. Rasanya aku belum melakukan apa-apa, berpikir untuk maju menjadi calon kepala desa saja tidak. Mengapa ada yang berpikir aku sebagai saingan. Lalu, aku iseng bertanya, “Kira-kira kalau aku maju nanti, siapa saingan terberatku, Lik?”
“Pak Mardi,” jawabya tanpa berpikir panjang.

Aku tidak menjawab. Hanya mengarahkan telunjukku ke arah rumah yang ada di sebelah rumahku. Lik Gun pun hanya mengangguk. Aku mengepalkan kedua tanganku. Kali ini, aku benar-benar akan menyusun kekuatan.

HSH-Tanjungpinang, 3 January 2009

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae