Sri Ruwanti
http://oase.kompas.com/
Ia ingin mengucapkan sesuatu. Mulutnya tak henti-henti bergerak. Namun suaranya seperti tertahan di tenggorokkan.
Berkali-kali ia mengerang seperti menahan rasa sakit. Ia hanya bisa terbujur di atas kasur. Sudah satu bulan Bulek Tum bertahan dengan kondisi seperti itu. Ia seperti mayat, tapi nyawa masih bersarang dalam tubuhnya. Tidak merasa mati, tapi juga tidak menikmati hidup.
Kabar yang santer terdengar, bulek menanamkan sesuatu ke dalam tubuhnya. Sesuatu yang membuat dia terlihat bercahaya, sehingga orang bagaikan tersihir bila melihatnya, menuruti apa yang diucapkannya tanpa ada pemaksaan.
Aku kasihan melihat kondisi Bulek Tum. Dia seakan benar-benar akan menjemput ajal. Aku sebenarnya malas mendengarkan gosip murahan berbau tahayul tentang Bulek Tum. Tapi aku juga sudah menyerah dengan hasil pemeriksaan medis yang tidak menunjukkan apa-apa tentang kondisinya. Akhirnya, aku meminta kesediaan Mbah Darmo, orang pintar di desa ini untuk melihat kondisi Bulek Tum.
“Bulekmu menanamkan sesuatu di dalam tubuhnya, dan itu harus dicabut terlebih dahulu agar jalan menuju ajalnya tidak tersendat,” begitu penjelasan Mbah Darmo.
Terus terang, aku kurang mengerti dengan penjelasannya. Seingatku, Bulek tidak pernah menjalani operasi apapun untuk menanamkan sesuatu ke dalam tubuhnya. Mbah Darmo tersenyum mendengar tanggapanku akan hasil terawang mata batinnya.
“Kendi…Kendi….kamu itu katanya orang terpelajar. Tapi kok ya cara berpikirmu itu terlalu sederhana. Pantes saja namamu Kendi, diisi hanya untuk dikosongkan kembali,” ia seperti sedang menyindirku.
“Lho, Kendi itu memang buat nampung, Mbah. Lagipula Kendi itu merupakan bentuk kerja sama yang baik antara unsur tanah dan air. Supaya bisa dimanfaatkan oleh manusia. Kalau fungsinya buat nampung, memang harus dikosongkan dulu tho Mbah? Kalau masih ada isi terus diisi lagi, yah….bisa meluber kemana-mana, Mbah,” balasku sambil terbahak-bahak.
Dia tidak membalasku, hanya wajahnya yang dingin seakan mengutukku. Aku terdiam, kupikir memang aku terlalu berlebihan. Tak ada yang pantas ditertawakan dari ucapanku tadi. Apa yang kulakukan hanya sekedar bentuk kemenangan atas usahaku membalas sindirinya. Dan seharusnya, itu kunikmati sendiri saja. Lagipula, tiba-tiba ada sedikit kekhawatiran bila ternyata dia benar-benar membalasku dengan manteranya. Maka, jadilah aku orang yang tuli, bisu, atau orang yang kehilangan akal seperti gosip tentang orang-orang yang mendapat bala setelah berurusan dengan Mbah Darmo. Aku jadi teringat perkataan Pak Mardi, tetangga kami yang menganjurkan agar Bulek Tum diterawang oleh Mbah Darmo.
“Bila Mas Kendi bertemu Mbah Darmo, satu hal yang mesti Mas Kendi jaga, u-ca-pan. Jangan sampai ada ucapan yang menyinggung perasaannya, Mas. Kalau sampai beliaunya tersinggung, jadi panjang urusannya. Yah….saya sih bukan sok ngajarin, cuma saya paham penyakit orang-orang sini yang meninggalkan desa dalam waktu lama," kata Pak Mardi.
Mulanya aku tidak begitu perduli dengan apa yang diucapkan Pak Mardi. Karena menurutku ia terlalu cepat menyimpulkan bahwa aku terjangkit penyakit yang sama. Tapi tatapan dingin Mbah Darmo sedikit menciutkanku untuk mengingat-ingat nasehat Pak Mardi.
“Lalu apa yang harus kami lakukan, Mbah?” aku mencoba mencairkan suasana dengan meminta petunjuk darinya. Aku harap usahaku ini bisa membuat aku terlihat lebih rendah hati di matanya. Supaya dia tidak jadi mengirim manteranya untukku.
“Yah….kita harus melakukan ritual pencabutan mustika yang tertanam di tubuh bulekmu itu,” jawabnya sambil menatap tajam ke arah Bulek Tum.
“Ritual?”
“Ya, bulekmu harus menyelesaikan urusannya sebelum ajalnya tiba.”
“Maksud Mbah?”
“Mustika itu yang menjadi urusanya. Mustika itu adalah urusannya di dunia, maka dia tidak boleh membawanya ke liang lahat.”
Aku mulai mengerti apa yang diucapkannya. Aku tidak ingin Bulek Tum terus menerus tersiksa. Maka, akan kulakukan semua ini semata-mata untuk membebaskannya dari siksa itu. Menyelesaikan urusan dunianya, mencabut mustika yang tertanam dalam tubuhnya.
***
Cuma aku dan ibu kerabat satu-satunya yang mempunyai hubungan darah terdekat dengan Bulek Tum. Sehingga, yang menimpa bulek Tum kali ini adalah tanggung jawab kami.
Sejak kepergian bapakku dan suaminya, tinggal kami kerabat Bulek. Bulek sendiri tidak mempunyai anak. Sehingga akulah pengganti anak-anak yang tidak pernah lahir dari rahimnya. Kesendirian Bulek tidak membuatnya menjadi lemah. Angin emansipasi berembus juga ke desa kami. Bulek menjadi orang yang cukup disegani. Dia pandai mengolah perkebunan dan berdagang. Tidak hanya itu, bulek juga dipercaya oleh warga desa menjadi pemimpin. Warga desa percaya bahwa Bulek Tum merupakan sosok pemimpin yang dapat merangkul warga.
Selain itu Bulek juga mempunyai konsep-konsep yang jelas dengan arah pembangunan desa. Dia terbuka dengan hal-hal yang baru, tapi tidak mentah-mentah menelannya. Sehingga apa yang disampaikan kepada warganya tidak menjadi sesuatu yang bias. Itulah yang membuat Bulek Tum tampak cerdas di mata warga desa. Sehingga dianggap layak untuk menjadi Kepala desa.
Bulek sudah dua periode memimpin. Pernah ia berniat mundur pada pemilihan yang kedua. Semata-mata untuk memberikan kesempatan kepada yang lebih muda. Namun warga desa belum ingin posisinya digantikan. Itulah yang diceritakan Ibu di sela-sela keterjagaan kami menjaga Bulek Tum.
Ibu sendiri sebenarnya agak menyangsikan cerita Mbah Darmo. Beliau tidak yakin bahwa telah tertanam sebuah mestika penyebar pesona di dalam tubuh Bulek Tum. Karena Ibu mengenal bulek sejak dia masih kecil. Menurut ibu, kecerdasan dan rasa percaya diri yang tinggi dari bulek Tum memang sudah tertanam sejak kecil. Sesuatu yang secara alamiah dimiliki dan semakin terasah seiring berjalannya usia. Bukan karena pemikat apapun. Tapi demi kebaikan bulek, ibu merelakan untuk mencoba jalan ini. Dan besok, Mbah Darmo akan datang untuk melakukan ritual pencabutan itu.
****
Kami sudah mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk ritual itu. Kembang tujuh rupa, kelapa gading dua buah, menyan dan kain putih selebar sapu tangan dengan keempat sisinya yang berukuran sama. Itulah syarat-syarat yang diminta Mbah Darmo. Seakan tidak percaya kalau Bulek Tum menanam mustika pemikat yang bernama Mustika Kencana Ungu di dalam tubuhnya. Yah, Mustika Kencana Ungu. Menurut Mbah Darmo, itulah jenis mustika yang ditanamkan dalam tubuh Bulek Tum.
Aku dan Ibu duduk di sisi kiri dan kanan ranjang tempat Bulek terbaring. Tak ada suara yang keluar, hanya mata kami tertegun memandanginya. Sesekali, air mata ibu pecah dari matanya yang sembab.
“Bulekmu orang baik, Ndi,” perkataan ibu memecahkan keheningan.
Aku tak menjawab, hanya menganggukan kepala tanda setuju. Hanya itu yang aku lakukan menanggapi kegelisahannya yang terlihat semakin menjadi di antara sesenggukannya. Aku berjalan keluar kamar, melihat wajah malam dari balik jendela di ruang tamu. Mbah Darmo belum juga datang. Kubakar sebatang rokok dan menghirupnya cukup dalam. Lumayan, aku bisa sedikit tenang. Belum sampai hisapan ketiga, kudengar pintu diketuk dan aku bergegas membukanya. Mbah Darmo. Aku tertegun, tidak langsung mempersilakannya masuk. Sampai akhirnya dia sadar akan kebingunganku.
“Sudah dipersiapkan?” suaranya yang dalam dan wajahnya yang dingin menghentakku.
“Oh, su…su..sudah, Mbah?” bodoh sekali aku terlihat gelagapan di depannya. Aku mempersilakan dia masuk. Seperti biasa, dia mengenakan pakaian serba hitam. Aroma tubuhnya yang khas menyan dan melati. Di tangan kanannya memegang kepala kendi. Yah, benda yang sama dengan namaku.
“Sudah bisa dimulai?” tanyanya.
“Silakan, Mbah,” jawabku.
Aku menarik pelan bahu Ibu, yang sedari tadi masih duduk di bibir ranjang. Kuajak dia untuk mundur sedikit ke belakang, agar Mbah Darmo dapat lebih leluasa menjalankan ritualnya. Kulihat Mbah Darmo mengangkat kepala Bulek Tum yang terbaring sampai posisi setengah duduk. Didekatkannya kendi itu ke mulut Bulek, dan Bulek mengecap cairan yang keluar dari kendi itu pelan. Bulek dibaringkan kembali. Selanjutnya, aku tidak ingin melihatnya. Kuajak Ibu untuk menunggu di luar kamar, membiarkan Mbah Darmo yang menyelesaikannya. Menyelesaikan urusan Bulek yang tidak boleh dibawanya ke liang lahat.
***
Dua minggu setelah kepergian Bulek, kami masih merasakan luka yang mendalam. Tidak banyak warga yang hadir menjelang acara pemakamannya. Cerita tentang susuk pemikat itu telah mengubur segala usahanya untuk memajukan desa ini. Sungguh tidak berimbang. Tapi aku coba untuk mengiklaskannya. Belum selesai aku mengurai kenangan tentang Bulek, dari kejauhan, kulihat Lik Gun memanggilku berulang-ulang sambil setengah berlari. Sepertinya, carik desa itu ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting.
“Ada apa Lik, sepertinya buru-buru sekali?” tanyaku.
“Apa mas Kendi gak berniat ikut dalam pemilihan kepala desa?”
“Kuburan bulek saja belum kering, Lik,” jawabku sambil tersenyum tipis.
“Tapi sudah ada yang mulai menyusun kekuatan, mas,” wajahnya semakin serius. Kali ini aku tidak tersenyum, tapi tertawa terbahak-bahak. Lik Gun mengerutkan dahi, seperti heran dengan tingkahku.
“Ini serius, mas,” kali ini nadanya lebih tegas.
“Aku juga serius, Lik. Kayak mau perang saja menyusun kekuatan. Lagi pula, memang harus ada yang menggantikan Bulek Tum. Biarkanlah mereka, Lik.”
“Tapi sampean yang dianggap saingan terberat mereka, mas,” kalimatnya cukup antusias. Kali ini aku yang membelalakkan mata, mengerutkan dahi. Rasanya aku belum melakukan apa-apa, berpikir untuk maju menjadi calon kepala desa saja tidak. Mengapa ada yang berpikir aku sebagai saingan. Lalu, aku iseng bertanya, “Kira-kira kalau aku maju nanti, siapa saingan terberatku, Lik?”
“Pak Mardi,” jawabya tanpa berpikir panjang.
Aku tidak menjawab. Hanya mengarahkan telunjukku ke arah rumah yang ada di sebelah rumahku. Lik Gun pun hanya mengangguk. Aku mengepalkan kedua tanganku. Kali ini, aku benar-benar akan menyusun kekuatan.
HSH-Tanjungpinang, 3 January 2009
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 17 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar