Gde Agung Lontar*
http://www.riaupos.com/
Lelaki itu terus menari, di atas mentari. Dari kejauhan seringkali tubuhnya kelihatan seperti hanya selarik siluet, yang tersamar dalam cerlang cahya perak. Terus saja ia menari, dalam komposisi yang barangkali hanya ia sendiri yang mengerti. Wajahnya pasi, seperti tanpa ekspresi. Sesekali nunduk, lalu tiba-tiba menyentak hingga tengadah ke langit, sehingga rambutnya yang panjang selewat bahu itu tergerai dalam rentak gelombang yang magis, lalu menimbulkan percik-percik bara kembang api kala bersinggungan dengan riak mentari. Sementara, kedua tangannya yang semula menangkup di depan bidang dadanya tipis, serentak serempak terpentang dalam posisi horisontal yang nyaris sempurna. Gelombang hawa panas pun lalu berhamburan, bagai disapu sepasang sayap maharaksasa, dan lalu kita di bumi pun menyebutnya sebagai lidah matahari.
Lelaki itu terus menari, di atas mentari. Tak peduli ia pada panas lima ribu lima ratus lima puluh lima derajat celsius permukaan mentari yang menyala melelehkan menjalar dari telapak kakinya. Tak peduli ia pada cahaya keperakan yang begitu cemerlang menyilaukan retina matanya. Ya. Panas itu tak lebih leleh dari beku es yang membatu dalam hatinya sebesar minus lima ribu lima ratus sembilan puluh dua derajat celsius. Cahya perak itu tak lebih silau dari kemilau bola matanya yang hijau menghijau. Semuanya bagai biasa saja baginya. Ia telah melintasi segala rasa pedih itu. Ia telah melewati semua daya tipu itu. Karena itu baginya yang terpenting sekarang adalah terus menari, terus menari, terus menari: di atas mentari.
Lelaki itu telah melewati masa enam ribu enam ratus enam puluh enam tahun; masa yang begitu purba, dengan berbilang peristiwa. Ia telah melewati Ziggurat. Ia telah mendaki piramid. Ia telah merasuki Lembah Indus. Ia telah menghitungi pilar-pilar Parthenon. Ia telah menjadi suar Menara Alexandria. Ia telah menjelajahi tembok Chin Shi Huang Ti. Ia telah menyelami Atlantis. Ia telah menapaki Borobudur. Ia telah melihati World Trade Center ambruk. Ia telah tahu semua. Tapi yang ia dapati hanya luka.
Luka.
Bercampur duka.
Menjadi derita.
Derita.
Jeritan mentari, barangkali hanya di dalam hati. Lalu ia mengibaskan rambutnya kembali, berputar menjadi badai. Mentari berlari. Meredup. Merecup derita di hati.
Adakah yang lebih berarti selain menari? Ia berbisik di tepi hati, yang sunyi. Karena hidup ini seperti berlari, dari kakinya yang kurus seperti tulang yang kering. Payah ia menyeret. Tapi ia harus terus berlari. Menari. Berlari. Menari. Di mentari.
Puluhan tahun sudah ia menyapa diri, tapi seperti tak pernah mendapat jawab. Awan gelap seakan selalu menyaput mengabut mengelabu. Bagai badai yang tak pernah letih, berputar pusing dalam memuting. Beliung. Yang membusai tubuhnya menjadi serpihan-serpihan. Awan yang menyerpih. Mengapas perih. Mengabar rintih.
Lelaki itu terus menari, di atas mentari. Panas lima belas juta lima belas ribu lima belas derajat celsius di ceruk diri: hanya membakar hati. Tapi tak hangus! Tapi terbakar! Tapi tak bara! Tapi terbakar! Tapi tak abu! Tapi terbakar! Yang memedihkan, justru membuat tariannya kian lebih gemulai, seperti helai jelai dituai badai.
Padahal payah sudah ia mencoba pergi dari diri yang tak terpahami ini. Siapa yang dapat memberi arti? Ia sering terbelah-belah sendiri – seperti amuba saja; pikirnya dalam hati, tapi yang bisa kembali. Separuh ingin pergi menyepi, sebagian hendak melajak ombak, sebelah hendak memacak kehendak, yang lainnya hendak yang lainnya pulak. Padahal ia hanya sendiri. Apakah ia harus berbagi? Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.1) Karena itulah ia harus terus menari. Menari. Agar terjaga harmoni.
Ya, ia harus terus menari, agar tetap terjaga harmoni. Tetapi, sampai kapan? Apakah sampai letih diri ini? Tetapi letih sudah berkekali. Apakah sampai luka diri ini? Tetapi luka sudah berkekali. Apakah sampai duka diri ini? Tetapi duka sudah berkekali. Apakah sampai mati diri ini? Tetapi mati pun sudah berkekali. Apakah sampai hati diri ini?
Tetapi hati tak sampai-sampai.
Kadangkala ia suka berdiri-diri.
“Hidup mungkin membenci diri ini,” kataku kepadaku. “Seperti telah meninggalkanku. Dahulu, diriku seperti selalu dikelilingi oleh serangkaian keajaiban. Tetapi bertahun-tahun belakangan ini tak lagi. Aku tak bisa lagi mengharapkan hujan turun ketika ranting hati sedang kering. Aku tak bisa lagi mengharapkan purnama cemerlang ketika mata sedang buta. Aku tak bisa lagi mengharapkan desau hembusan angin ketika tuli membajak telinga. Apakah yang telah terjadi? Kenapa ia seperti meninggalkan diri? Apakah ada kesalahan yang telah kuperbuat kepadanya?”
“Hidup barangkali tidak meninggalkanmu,” kataku pula kepadaku, “tetapi kaulah yang meninggalkan hidup. Hidup dan kehidupan. Kau dan hidup seharusnya saling berkelindan, saling jalin menjalin, hingga menjadi satu, menjadi kehidupan. Kehidupan.”
“Tetapi, aku tidak pernah meninggalkannya. Aku hidup.”
“Hidup dan hidup, seringkali dua hal yang berbeda. Barangkali kau hidup, bernyawa, tetapi kau tidak menjalankannya. Seperti sebuah kendaraan, kau tidak pernah mengendarainya, kecuali hanya menghidupkannya di dalam garasi. Kau mungkin terlalu takut bila kendaraan itu dijalankan ia akan tergores atau rusak, atau setidaknya kotor. Kau terlalu menyayanginya, hingga ia tidak bermanfaat bagimu, tidak bermanfaat pula bagi orang lain. Atau, mungkin saja karena kau sendiri yang tidak tahu cara mengendarainya? Kalau itu yang terjadi, mungkin masih bisa dimaafkan. Tetapi, bagaimana mungkin orang yang tahu Ziggurat hingga Atlantis bisa senaif itu? Bukankah hanya akan menjadi sebuah anekdot yang menggelikan?”
“Diam kau!” tiba-tiba aku mendengkingi diriku. “Ketika berbicara tentang hidup dan kehidupan, semua orang akan menjadi naif. Orang butalah yang akan melangkah ke jalan bara, orang tulilah yang akan berdiri di sisi nafiri. Orang bisulah yang akan berbicara di kuburan.”
“Air beriak tanda tak dalam. Tong kosong nyaring bunyinya.”
“Tetapi, yang kurasakan barangkali –tidak seperti yang dua kaukatakan tadi– tetapi lebih kepada kepercayaan diri; bukan karena terlalu sayang atau tidak mengerti. Atau barangkali lebih buruknya adalah ketakutan. Aku takut orang tidak akan bertepuk-tangan usai lagu kunyanyikan. Aku takut orang tidak akan memberi puji usai puisi kusajakkan. Aku takut orang tidak akan mengangkat salut usai pidato kupodiumkan.”
“Barangkali kau takut kepada dirimu sendiri!” ejekku.
“Tidak. Aku tidak takut kepada diriku sendiri,” bantahku. “Perkataan tolol apa itu? Kau bahkan barangkali tidak tahu tentang apa yang kau katakan!”
“Penakut!” seruku lagi. “Penakut yang paling penakut! Bahkan kepada dirinya sendiri!”
“Diam kau!”
Aku terdiam.
“Tetapi, ketakutan bukanlah sesuatu yang memalukan,” kataku lagi beberapa saat setelah berselang. “Untuk banyak kasus, rasa takut justru merupakan alarm alam. Kita takut kobaran api, karena kita tahu ia akan membakar kita. Kita takut kepada harimau karena kita tahu ia akan dengan mudah melukai kita. Kita takut pada badai topan karena kita tahu ia akan menghumbalangkan tubuh kita. Tetapi, ada ketakutan yang lebih buruk dari itu semua: itulah ketika ia berubah menjadi pengecut!”
“Aku bukan pengecut!” aku memburangsang tersinggung. “Kaujaga mulut kau kalau bicara! Mulut kau harimau kau, ia akan menerkam kau kalau kaul epas sembarangan. Mulut kau juga adalah sebilah pedang, yang akan menebas leher kau sendiri kalau kau lalai.”
“Jangan marah begitu.”
Aku menarik napas jengkel.
“Aku sudah berdiri-diri kepadamu, tetapi kau menghinaku.”
“Api harus keluar dari percikan bara peraduan batu api.”
“Untuk apa api; aku sudah menari di atas mentari.”
“Ya, mentari yang kau sulam sendiri, dalam belacu benakmu.”
“Setidak-tidaknya, itulah mentariku.”
“Begini. Kau ingin berdiri-diri, mengadu kepadaku, bertanya apa pendapatku. Begitu katamu tadi. Tetapi kau seperti tidak sedang berbicara kepadaku. Entah kau tidak mendengarku, atau tidak ingin. Aku rasa ini tidak akan berguna. Aku pergi saja.”
Aku terkejut.
“Eh, jangan merajuk begitu. Nampak Melayu kau kalau begitu.”
“Sudahlah. Ini tidak akan berguna. Hanya jadi permainan kata-kata, yang di negeri ini sudah sedemikian sesak. Salah-salah, aku hanya akan saling menyakiti hati.”
“Kau kelihatannya semakin pintar.”
“Sudah kubilang, permainan kata-kata.”
“Aku tahu, karena itu aku memujimu.”
“Kau juga semakin pintar.”
“Ya?”
“Ya.”
“Itulah kebodohan kita.”
“Ya.”
Aku tersesenyum.
Aku tersesimpul.
Lalu lelaki itu terus menari, di atas mentari.
Yang paling berarti bagi seorang lelaki, adalah bagaimana caranya ia bertindak.2) Tetapi ia tidak pernah melakukan apa-apa. Hanya perdebatan dalam diri yang tak berarti. Hanya pertelingkahan dalam masturbasi. Ziggurat dan segalanya hingga Atlantis, hanya memenuhi laci dalam kepalanya; seperti tumpukan arsip tua di sebuah perpustakaan tepi kota. Atau seperti setumpukan ensiklopedi, yang dibeli hanya untuk memenuh-menuhi lemari kebanggaan diri. Berguna, tetapi tidak ada manfaat baginya. Tidak juga bagi yang lainnya. Tak ada yang berkunjung, tak ada yang bertanya. Hingga hanya kian memberatkan kepala.
Karena itulah lelaki itu terus menari, di atas mentari. Tak peduli ia pada panas lima ribu lima ratus lima puluh lima derajat celsius permukaan mentari yang menyala melelehkan menjalar dari telapak kakinya. Tak peduli ia pada cahaya keperakan yang begitu cemerlang menyilaukan retina matanya.
Ya, ia harus terus menari, agar tetap terjaga harmoni. Tetapi, sampai kapan? Apakah sampai letih diri ini? Tetapi letih sudah berkekali. Apakah sampai luka diri ini? Tetapi luka sudah berkekali. Apakah sampai duka diri ini? Tetapi duka sudah berkekali. Apakah sampai mati diri ini? Tetapi mati pun sudah berkekali. Apakah sampai hati diri ini?
Tetapi diri tak sampai-sampai.
Ke hati.
***
Pekanbaru, 00 Maret, 2008
Catatan:
*)Judul cerita pendek ini dipetik dari lagu “Kisah” yang dinyanyikan oleh Boomerang.
1)Chairil Anwar.
2)Yukio Mishima.
*) Adalah cerpenis Riau. Karya-karyanya tersebar di berbagai media seperti Riau Pos, Horison, Sagang dan lainnya. Tinggal di Pekanbaru.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 31 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar