Sabtu, 31 Januari 2009

Menari di Mentari

Gde Agung Lontar*
http://www.riaupos.com/

Lelaki itu terus menari, di atas mentari. Dari kejauhan seringkali tubuhnya kelihatan seperti hanya selarik siluet, yang tersamar dalam cerlang cahya perak. Terus saja ia menari, dalam komposisi yang barangkali hanya ia sendiri yang mengerti. Wajahnya pasi, seperti tanpa ekspresi. Sesekali nunduk, lalu tiba-tiba menyentak hingga tengadah ke langit, sehingga rambutnya yang panjang selewat bahu itu tergerai dalam rentak gelombang yang magis, lalu menimbulkan percik-percik bara kembang api kala bersinggungan dengan riak mentari. Sementara, kedua tangannya yang semula menangkup di depan bidang dadanya tipis, serentak serempak terpentang dalam posisi horisontal yang nyaris sempurna. Gelombang hawa panas pun lalu berhamburan, bagai disapu sepasang sayap maharaksasa, dan lalu kita di bumi pun menyebutnya sebagai lidah matahari.

Lelaki itu terus menari, di atas mentari. Tak peduli ia pada panas lima ribu lima ratus lima puluh lima derajat celsius permukaan mentari yang menyala melelehkan menjalar dari telapak kakinya. Tak peduli ia pada cahaya keperakan yang begitu cemerlang menyilaukan retina matanya. Ya. Panas itu tak lebih leleh dari beku es yang membatu dalam hatinya sebesar minus lima ribu lima ratus sembilan puluh dua derajat celsius. Cahya perak itu tak lebih silau dari kemilau bola matanya yang hijau menghijau. Semuanya bagai biasa saja baginya. Ia telah melintasi segala rasa pedih itu. Ia telah melewati semua daya tipu itu. Karena itu baginya yang terpenting sekarang adalah terus menari, terus menari, terus menari: di atas mentari.

Lelaki itu telah melewati masa enam ribu enam ratus enam puluh enam tahun; masa yang begitu purba, dengan berbilang peristiwa. Ia telah melewati Ziggurat. Ia telah mendaki piramid. Ia telah merasuki Lembah Indus. Ia telah menghitungi pilar-pilar Parthenon. Ia telah menjadi suar Menara Alexandria. Ia telah menjelajahi tembok Chin Shi Huang Ti. Ia telah menyelami Atlantis. Ia telah menapaki Borobudur. Ia telah melihati World Trade Center ambruk. Ia telah tahu semua. Tapi yang ia dapati hanya luka.

Luka.
Bercampur duka.
Menjadi derita.
Derita.

Jeritan mentari, barangkali hanya di dalam hati. Lalu ia mengibaskan rambutnya kembali, berputar menjadi badai. Mentari berlari. Meredup. Merecup derita di hati.

Adakah yang lebih berarti selain menari? Ia berbisik di tepi hati, yang sunyi. Karena hidup ini seperti berlari, dari kakinya yang kurus seperti tulang yang kering. Payah ia menyeret. Tapi ia harus terus berlari. Menari. Berlari. Menari. Di mentari.

Puluhan tahun sudah ia menyapa diri, tapi seperti tak pernah mendapat jawab. Awan gelap seakan selalu menyaput mengabut mengelabu. Bagai badai yang tak pernah letih, berputar pusing dalam memuting. Beliung. Yang membusai tubuhnya menjadi serpihan-serpihan. Awan yang menyerpih. Mengapas perih. Mengabar rintih.

Lelaki itu terus menari, di atas mentari. Panas lima belas juta lima belas ribu lima belas derajat celsius di ceruk diri: hanya membakar hati. Tapi tak hangus! Tapi terbakar! Tapi tak bara! Tapi terbakar! Tapi tak abu! Tapi terbakar! Yang memedihkan, justru membuat tariannya kian lebih gemulai, seperti helai jelai dituai badai.

Padahal payah sudah ia mencoba pergi dari diri yang tak terpahami ini. Siapa yang dapat memberi arti? Ia sering terbelah-belah sendiri – seperti amuba saja; pikirnya dalam hati, tapi yang bisa kembali. Separuh ingin pergi menyepi, sebagian hendak melajak ombak, sebelah hendak memacak kehendak, yang lainnya hendak yang lainnya pulak. Padahal ia hanya sendiri. Apakah ia harus berbagi? Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.1) Karena itulah ia harus terus menari. Menari. Agar terjaga harmoni.

Ya, ia harus terus menari, agar tetap terjaga harmoni. Tetapi, sampai kapan? Apakah sampai letih diri ini? Tetapi letih sudah berkekali. Apakah sampai luka diri ini? Tetapi luka sudah berkekali. Apakah sampai duka diri ini? Tetapi duka sudah berkekali. Apakah sampai mati diri ini? Tetapi mati pun sudah berkekali. Apakah sampai hati diri ini?

Tetapi hati tak sampai-sampai.

Kadangkala ia suka berdiri-diri.

“Hidup mungkin membenci diri ini,” kataku kepadaku. “Seperti telah meninggalkanku. Dahulu, diriku seperti selalu dikelilingi oleh serangkaian keajaiban. Tetapi bertahun-tahun belakangan ini tak lagi. Aku tak bisa lagi mengharapkan hujan turun ketika ranting hati sedang kering. Aku tak bisa lagi mengharapkan purnama cemerlang ketika mata sedang buta. Aku tak bisa lagi mengharapkan desau hembusan angin ketika tuli membajak telinga. Apakah yang telah terjadi? Kenapa ia seperti meninggalkan diri? Apakah ada kesalahan yang telah kuperbuat kepadanya?”

“Hidup barangkali tidak meninggalkanmu,” kataku pula kepadaku, “tetapi kaulah yang meninggalkan hidup. Hidup dan kehidupan. Kau dan hidup seharusnya saling berkelindan, saling jalin menjalin, hingga menjadi satu, menjadi kehidupan. Kehidupan.”

“Tetapi, aku tidak pernah meninggalkannya. Aku hidup.”

“Hidup dan hidup, seringkali dua hal yang berbeda. Barangkali kau hidup, bernyawa, tetapi kau tidak menjalankannya. Seperti sebuah kendaraan, kau tidak pernah mengendarainya, kecuali hanya menghidupkannya di dalam garasi. Kau mungkin terlalu takut bila kendaraan itu dijalankan ia akan tergores atau rusak, atau setidaknya kotor. Kau terlalu menyayanginya, hingga ia tidak bermanfaat bagimu, tidak bermanfaat pula bagi orang lain. Atau, mungkin saja karena kau sendiri yang tidak tahu cara mengendarainya? Kalau itu yang terjadi, mungkin masih bisa dimaafkan. Tetapi, bagaimana mungkin orang yang tahu Ziggurat hingga Atlantis bisa senaif itu? Bukankah hanya akan menjadi sebuah anekdot yang menggelikan?”

“Diam kau!” tiba-tiba aku mendengkingi diriku. “Ketika berbicara tentang hidup dan kehidupan, semua orang akan menjadi naif. Orang butalah yang akan melangkah ke jalan bara, orang tulilah yang akan berdiri di sisi nafiri. Orang bisulah yang akan berbicara di kuburan.”

“Air beriak tanda tak dalam. Tong kosong nyaring bunyinya.”

“Tetapi, yang kurasakan barangkali –tidak seperti yang dua kaukatakan tadi– tetapi lebih kepada kepercayaan diri; bukan karena terlalu sayang atau tidak mengerti. Atau barangkali lebih buruknya adalah ketakutan. Aku takut orang tidak akan bertepuk-tangan usai lagu kunyanyikan. Aku takut orang tidak akan memberi puji usai puisi kusajakkan. Aku takut orang tidak akan mengangkat salut usai pidato kupodiumkan.”

“Barangkali kau takut kepada dirimu sendiri!” ejekku.

“Tidak. Aku tidak takut kepada diriku sendiri,” bantahku. “Perkataan tolol apa itu? Kau bahkan barangkali tidak tahu tentang apa yang kau katakan!”

“Penakut!” seruku lagi. “Penakut yang paling penakut! Bahkan kepada dirinya sendiri!”

“Diam kau!”

Aku terdiam.

“Tetapi, ketakutan bukanlah sesuatu yang memalukan,” kataku lagi beberapa saat setelah berselang. “Untuk banyak kasus, rasa takut justru merupakan alarm alam. Kita takut kobaran api, karena kita tahu ia akan membakar kita. Kita takut kepada harimau karena kita tahu ia akan dengan mudah melukai kita. Kita takut pada badai topan karena kita tahu ia akan menghumbalangkan tubuh kita. Tetapi, ada ketakutan yang lebih buruk dari itu semua: itulah ketika ia berubah menjadi pengecut!”

“Aku bukan pengecut!” aku memburangsang tersinggung. “Kaujaga mulut kau kalau bicara! Mulut kau harimau kau, ia akan menerkam kau kalau kaul epas sembarangan. Mulut kau juga adalah sebilah pedang, yang akan menebas leher kau sendiri kalau kau lalai.”

“Jangan marah begitu.”

Aku menarik napas jengkel.

“Aku sudah berdiri-diri kepadamu, tetapi kau menghinaku.”

“Api harus keluar dari percikan bara peraduan batu api.”

“Untuk apa api; aku sudah menari di atas mentari.”

“Ya, mentari yang kau sulam sendiri, dalam belacu benakmu.”

“Setidak-tidaknya, itulah mentariku.”

“Begini. Kau ingin berdiri-diri, mengadu kepadaku, bertanya apa pendapatku. Begitu katamu tadi. Tetapi kau seperti tidak sedang berbicara kepadaku. Entah kau tidak mendengarku, atau tidak ingin. Aku rasa ini tidak akan berguna. Aku pergi saja.”

Aku terkejut.

“Eh, jangan merajuk begitu. Nampak Melayu kau kalau begitu.”

“Sudahlah. Ini tidak akan berguna. Hanya jadi permainan kata-kata, yang di negeri ini sudah sedemikian sesak. Salah-salah, aku hanya akan saling menyakiti hati.”

“Kau kelihatannya semakin pintar.”

“Sudah kubilang, permainan kata-kata.”

“Aku tahu, karena itu aku memujimu.”

“Kau juga semakin pintar.”

“Ya?”

“Ya.”

“Itulah kebodohan kita.”

“Ya.”

Aku tersesenyum.

Aku tersesimpul.

Lalu lelaki itu terus menari, di atas mentari.

Yang paling berarti bagi seorang lelaki, adalah bagaimana caranya ia bertindak.2) Tetapi ia tidak pernah melakukan apa-apa. Hanya perdebatan dalam diri yang tak berarti. Hanya pertelingkahan dalam masturbasi. Ziggurat dan segalanya hingga Atlantis, hanya memenuhi laci dalam kepalanya; seperti tumpukan arsip tua di sebuah perpustakaan tepi kota. Atau seperti setumpukan ensiklopedi, yang dibeli hanya untuk memenuh-menuhi lemari kebanggaan diri. Berguna, tetapi tidak ada manfaat baginya. Tidak juga bagi yang lainnya. Tak ada yang berkunjung, tak ada yang bertanya. Hingga hanya kian memberatkan kepala.

Karena itulah lelaki itu terus menari, di atas mentari. Tak peduli ia pada panas lima ribu lima ratus lima puluh lima derajat celsius permukaan mentari yang menyala melelehkan menjalar dari telapak kakinya. Tak peduli ia pada cahaya keperakan yang begitu cemerlang menyilaukan retina matanya.

Ya, ia harus terus menari, agar tetap terjaga harmoni. Tetapi, sampai kapan? Apakah sampai letih diri ini? Tetapi letih sudah berkekali. Apakah sampai luka diri ini? Tetapi luka sudah berkekali. Apakah sampai duka diri ini? Tetapi duka sudah berkekali. Apakah sampai mati diri ini? Tetapi mati pun sudah berkekali. Apakah sampai hati diri ini?

Tetapi diri tak sampai-sampai.

Ke hati.
***

Pekanbaru, 00 Maret, 2008

Catatan:
*)Judul cerita pendek ini dipetik dari lagu “Kisah” yang dinyanyikan oleh Boomerang.
1)Chairil Anwar.
2)Yukio Mishima.

*) Adalah cerpenis Riau. Karya-karyanya tersebar di berbagai media seperti Riau Pos, Horison, Sagang dan lainnya. Tinggal di Pekanbaru.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae