Sabtu, 31 Januari 2009

Menari di Mentari

Gde Agung Lontar*
http://www.riaupos.com/

Lelaki itu terus menari, di atas mentari. Dari kejauhan seringkali tubuhnya kelihatan seperti hanya selarik siluet, yang tersamar dalam cerlang cahya perak. Terus saja ia menari, dalam komposisi yang barangkali hanya ia sendiri yang mengerti. Wajahnya pasi, seperti tanpa ekspresi. Sesekali nunduk, lalu tiba-tiba menyentak hingga tengadah ke langit, sehingga rambutnya yang panjang selewat bahu itu tergerai dalam rentak gelombang yang magis, lalu menimbulkan percik-percik bara kembang api kala bersinggungan dengan riak mentari. Sementara, kedua tangannya yang semula menangkup di depan bidang dadanya tipis, serentak serempak terpentang dalam posisi horisontal yang nyaris sempurna. Gelombang hawa panas pun lalu berhamburan, bagai disapu sepasang sayap maharaksasa, dan lalu kita di bumi pun menyebutnya sebagai lidah matahari.

Lelaki itu terus menari, di atas mentari. Tak peduli ia pada panas lima ribu lima ratus lima puluh lima derajat celsius permukaan mentari yang menyala melelehkan menjalar dari telapak kakinya. Tak peduli ia pada cahaya keperakan yang begitu cemerlang menyilaukan retina matanya. Ya. Panas itu tak lebih leleh dari beku es yang membatu dalam hatinya sebesar minus lima ribu lima ratus sembilan puluh dua derajat celsius. Cahya perak itu tak lebih silau dari kemilau bola matanya yang hijau menghijau. Semuanya bagai biasa saja baginya. Ia telah melintasi segala rasa pedih itu. Ia telah melewati semua daya tipu itu. Karena itu baginya yang terpenting sekarang adalah terus menari, terus menari, terus menari: di atas mentari.

Lelaki itu telah melewati masa enam ribu enam ratus enam puluh enam tahun; masa yang begitu purba, dengan berbilang peristiwa. Ia telah melewati Ziggurat. Ia telah mendaki piramid. Ia telah merasuki Lembah Indus. Ia telah menghitungi pilar-pilar Parthenon. Ia telah menjadi suar Menara Alexandria. Ia telah menjelajahi tembok Chin Shi Huang Ti. Ia telah menyelami Atlantis. Ia telah menapaki Borobudur. Ia telah melihati World Trade Center ambruk. Ia telah tahu semua. Tapi yang ia dapati hanya luka.

Luka.
Bercampur duka.
Menjadi derita.
Derita.

Jeritan mentari, barangkali hanya di dalam hati. Lalu ia mengibaskan rambutnya kembali, berputar menjadi badai. Mentari berlari. Meredup. Merecup derita di hati.

Adakah yang lebih berarti selain menari? Ia berbisik di tepi hati, yang sunyi. Karena hidup ini seperti berlari, dari kakinya yang kurus seperti tulang yang kering. Payah ia menyeret. Tapi ia harus terus berlari. Menari. Berlari. Menari. Di mentari.

Puluhan tahun sudah ia menyapa diri, tapi seperti tak pernah mendapat jawab. Awan gelap seakan selalu menyaput mengabut mengelabu. Bagai badai yang tak pernah letih, berputar pusing dalam memuting. Beliung. Yang membusai tubuhnya menjadi serpihan-serpihan. Awan yang menyerpih. Mengapas perih. Mengabar rintih.

Lelaki itu terus menari, di atas mentari. Panas lima belas juta lima belas ribu lima belas derajat celsius di ceruk diri: hanya membakar hati. Tapi tak hangus! Tapi terbakar! Tapi tak bara! Tapi terbakar! Tapi tak abu! Tapi terbakar! Yang memedihkan, justru membuat tariannya kian lebih gemulai, seperti helai jelai dituai badai.

Padahal payah sudah ia mencoba pergi dari diri yang tak terpahami ini. Siapa yang dapat memberi arti? Ia sering terbelah-belah sendiri – seperti amuba saja; pikirnya dalam hati, tapi yang bisa kembali. Separuh ingin pergi menyepi, sebagian hendak melajak ombak, sebelah hendak memacak kehendak, yang lainnya hendak yang lainnya pulak. Padahal ia hanya sendiri. Apakah ia harus berbagi? Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.1) Karena itulah ia harus terus menari. Menari. Agar terjaga harmoni.

Ya, ia harus terus menari, agar tetap terjaga harmoni. Tetapi, sampai kapan? Apakah sampai letih diri ini? Tetapi letih sudah berkekali. Apakah sampai luka diri ini? Tetapi luka sudah berkekali. Apakah sampai duka diri ini? Tetapi duka sudah berkekali. Apakah sampai mati diri ini? Tetapi mati pun sudah berkekali. Apakah sampai hati diri ini?

Tetapi hati tak sampai-sampai.

Kadangkala ia suka berdiri-diri.

“Hidup mungkin membenci diri ini,” kataku kepadaku. “Seperti telah meninggalkanku. Dahulu, diriku seperti selalu dikelilingi oleh serangkaian keajaiban. Tetapi bertahun-tahun belakangan ini tak lagi. Aku tak bisa lagi mengharapkan hujan turun ketika ranting hati sedang kering. Aku tak bisa lagi mengharapkan purnama cemerlang ketika mata sedang buta. Aku tak bisa lagi mengharapkan desau hembusan angin ketika tuli membajak telinga. Apakah yang telah terjadi? Kenapa ia seperti meninggalkan diri? Apakah ada kesalahan yang telah kuperbuat kepadanya?”

“Hidup barangkali tidak meninggalkanmu,” kataku pula kepadaku, “tetapi kaulah yang meninggalkan hidup. Hidup dan kehidupan. Kau dan hidup seharusnya saling berkelindan, saling jalin menjalin, hingga menjadi satu, menjadi kehidupan. Kehidupan.”

“Tetapi, aku tidak pernah meninggalkannya. Aku hidup.”

“Hidup dan hidup, seringkali dua hal yang berbeda. Barangkali kau hidup, bernyawa, tetapi kau tidak menjalankannya. Seperti sebuah kendaraan, kau tidak pernah mengendarainya, kecuali hanya menghidupkannya di dalam garasi. Kau mungkin terlalu takut bila kendaraan itu dijalankan ia akan tergores atau rusak, atau setidaknya kotor. Kau terlalu menyayanginya, hingga ia tidak bermanfaat bagimu, tidak bermanfaat pula bagi orang lain. Atau, mungkin saja karena kau sendiri yang tidak tahu cara mengendarainya? Kalau itu yang terjadi, mungkin masih bisa dimaafkan. Tetapi, bagaimana mungkin orang yang tahu Ziggurat hingga Atlantis bisa senaif itu? Bukankah hanya akan menjadi sebuah anekdot yang menggelikan?”

“Diam kau!” tiba-tiba aku mendengkingi diriku. “Ketika berbicara tentang hidup dan kehidupan, semua orang akan menjadi naif. Orang butalah yang akan melangkah ke jalan bara, orang tulilah yang akan berdiri di sisi nafiri. Orang bisulah yang akan berbicara di kuburan.”

“Air beriak tanda tak dalam. Tong kosong nyaring bunyinya.”

“Tetapi, yang kurasakan barangkali –tidak seperti yang dua kaukatakan tadi– tetapi lebih kepada kepercayaan diri; bukan karena terlalu sayang atau tidak mengerti. Atau barangkali lebih buruknya adalah ketakutan. Aku takut orang tidak akan bertepuk-tangan usai lagu kunyanyikan. Aku takut orang tidak akan memberi puji usai puisi kusajakkan. Aku takut orang tidak akan mengangkat salut usai pidato kupodiumkan.”

“Barangkali kau takut kepada dirimu sendiri!” ejekku.

“Tidak. Aku tidak takut kepada diriku sendiri,” bantahku. “Perkataan tolol apa itu? Kau bahkan barangkali tidak tahu tentang apa yang kau katakan!”

“Penakut!” seruku lagi. “Penakut yang paling penakut! Bahkan kepada dirinya sendiri!”

“Diam kau!”

Aku terdiam.

“Tetapi, ketakutan bukanlah sesuatu yang memalukan,” kataku lagi beberapa saat setelah berselang. “Untuk banyak kasus, rasa takut justru merupakan alarm alam. Kita takut kobaran api, karena kita tahu ia akan membakar kita. Kita takut kepada harimau karena kita tahu ia akan dengan mudah melukai kita. Kita takut pada badai topan karena kita tahu ia akan menghumbalangkan tubuh kita. Tetapi, ada ketakutan yang lebih buruk dari itu semua: itulah ketika ia berubah menjadi pengecut!”

“Aku bukan pengecut!” aku memburangsang tersinggung. “Kaujaga mulut kau kalau bicara! Mulut kau harimau kau, ia akan menerkam kau kalau kaul epas sembarangan. Mulut kau juga adalah sebilah pedang, yang akan menebas leher kau sendiri kalau kau lalai.”

“Jangan marah begitu.”

Aku menarik napas jengkel.

“Aku sudah berdiri-diri kepadamu, tetapi kau menghinaku.”

“Api harus keluar dari percikan bara peraduan batu api.”

“Untuk apa api; aku sudah menari di atas mentari.”

“Ya, mentari yang kau sulam sendiri, dalam belacu benakmu.”

“Setidak-tidaknya, itulah mentariku.”

“Begini. Kau ingin berdiri-diri, mengadu kepadaku, bertanya apa pendapatku. Begitu katamu tadi. Tetapi kau seperti tidak sedang berbicara kepadaku. Entah kau tidak mendengarku, atau tidak ingin. Aku rasa ini tidak akan berguna. Aku pergi saja.”

Aku terkejut.

“Eh, jangan merajuk begitu. Nampak Melayu kau kalau begitu.”

“Sudahlah. Ini tidak akan berguna. Hanya jadi permainan kata-kata, yang di negeri ini sudah sedemikian sesak. Salah-salah, aku hanya akan saling menyakiti hati.”

“Kau kelihatannya semakin pintar.”

“Sudah kubilang, permainan kata-kata.”

“Aku tahu, karena itu aku memujimu.”

“Kau juga semakin pintar.”

“Ya?”

“Ya.”

“Itulah kebodohan kita.”

“Ya.”

Aku tersesenyum.

Aku tersesimpul.

Lalu lelaki itu terus menari, di atas mentari.

Yang paling berarti bagi seorang lelaki, adalah bagaimana caranya ia bertindak.2) Tetapi ia tidak pernah melakukan apa-apa. Hanya perdebatan dalam diri yang tak berarti. Hanya pertelingkahan dalam masturbasi. Ziggurat dan segalanya hingga Atlantis, hanya memenuhi laci dalam kepalanya; seperti tumpukan arsip tua di sebuah perpustakaan tepi kota. Atau seperti setumpukan ensiklopedi, yang dibeli hanya untuk memenuh-menuhi lemari kebanggaan diri. Berguna, tetapi tidak ada manfaat baginya. Tidak juga bagi yang lainnya. Tak ada yang berkunjung, tak ada yang bertanya. Hingga hanya kian memberatkan kepala.

Karena itulah lelaki itu terus menari, di atas mentari. Tak peduli ia pada panas lima ribu lima ratus lima puluh lima derajat celsius permukaan mentari yang menyala melelehkan menjalar dari telapak kakinya. Tak peduli ia pada cahaya keperakan yang begitu cemerlang menyilaukan retina matanya.

Ya, ia harus terus menari, agar tetap terjaga harmoni. Tetapi, sampai kapan? Apakah sampai letih diri ini? Tetapi letih sudah berkekali. Apakah sampai luka diri ini? Tetapi luka sudah berkekali. Apakah sampai duka diri ini? Tetapi duka sudah berkekali. Apakah sampai mati diri ini? Tetapi mati pun sudah berkekali. Apakah sampai hati diri ini?

Tetapi diri tak sampai-sampai.

Ke hati.
***

Pekanbaru, 00 Maret, 2008

Catatan:
*)Judul cerita pendek ini dipetik dari lagu “Kisah” yang dinyanyikan oleh Boomerang.
1)Chairil Anwar.
2)Yukio Mishima.

*) Adalah cerpenis Riau. Karya-karyanya tersebar di berbagai media seperti Riau Pos, Horison, Sagang dan lainnya. Tinggal di Pekanbaru.

Seto Menulis Peri, Pelangi, dan Para Putri

A.S. Laksana
jawapos.com

Pada suatu hari, ketika segala hal menjadi terang, dan begitu pun matamu, kau bisa mendapati seorang mayor bertingkah mencurigakan di rumahnya sendiri. Di rumah mayor itu Seto pernah datang sebagai juru selamat; ia membebaskan seorang berandal tanggung, anak si Mayor, dari keroyokan para bajingan depan losmen gara-gara urusan perempuan. ''Tinggallah di sini,'' kata Pak Mayor ketika Seto mengantar pulang si anak yang lebam.

BALADA DI BUKIT PASIR PRAHARA

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=108

(I) Yang menapaki bencah pasir pesisir,
mendaki bukit-bukit rindu,
dan angin selalu menyapu kakiku;
seperti seorang putri mengusap keningku,
kala keringat mulai bercukulan
lantas cepat menguap bersamanya.

(II) Ia bagaikan pengembara
berteduh di bawah trembesi tua,
cahaya surya beranjak sore,
melagukan kidung jingga kemesraan;
dan di manakah asal,
tempat tinggal dunia semestinya?

(III) Aku hawa kering, menuliskan lirik laut selatan,
menggerakkan kertas surat-surat ini
yang miliki ruh sebentuk makhluk,
lalu mereka terbuai angin pantai.

(IV) Kala mega kelam merunduk panjang,
ditarik serombongan taupan,
derap kereta kencana menghampiri singgahsana;
petilasan aku melamun sebuah dunia!

(V) Pagi pun sayup, ada yang berbisik di belakang,
sekerumun gadis membicarakan aku, kala di bukit pasirmu.

(VI) Ribuan pasang mata mengintai nasib dan nyawaku,
kegelisahanku bercampur senang,
karena alunan seruling langit setia memberi kabar,
laksana berita yang tak akan usai.

(VII) Di segugus bukit pasir, kudengar gemuruh ombak
terus menggelepar, menggelegar di balik hatimu;
suara genta semakin lama bertambah kencang,
denting klenengan meninggi, membukit gemitar;
aku diburu bayangan kematian.

(VIII) Pengembara tua bergegas melangkah,
menyisir rumput selamatkan satwa;
aku melintasi bayang mentari,
disapu lembut angin lembah senantiasa.

(IX) Kepala di bawa hati, nikmati hidupku,
terkoyak momok rindu waktumu;
walau pandanganmu jauh menerawang,
tetapi sayapku yang tunggal, tak pernah engkau perhatikan.

(X) Daun-daun akasia dihempas angin sekutu,
muntahan gelombang kikis ketegaran,
dan tak terasa; pasir yang biasa engkau tiup
semakin mengubur renunganku.

(XI) Begini saja, ucapkan salam buat kukenang; lalu
lihatlah burung-burung kecil melintas sekali terhempas di udara,
suaranya yang riuh lenyap, bersama mantra puja pernah lewat.

(XII) Di depanku, seekor kuda jantan mangais nasibnya,
kesepian, karena kaki-kakinya tak serupa tenaga muda;
akankah ia sanggup menjilat langit
sekobaran tungku kawah candradimuka.

(XIII) Pelanlah kasih, jangan dikejar ketakutanmu ngilu sepi,
sebab di ketiak sayap-sayap itu terselip sepasang pisau berkilatan,
menarik nyawa yang terlena.

(XIV) Boleh engkau melakukannya,
sebab dalam dadamu nasib cepat berubah,
namun berbuatlah bijak, serupa kasih angin geladak,
yang selalu mengipasi perjalananmu.

(XV) Rambutmu yang panjang, biarkanlah tergerai, usah
kau perhatikan bolamata-bolamata menguntit keberadaanmu,
sebab engkau telah aku selimuti dengan keganjilan agung
yang tak pernah aku lakukan pada mereka.

(XVI) Yang engkau jalankan sesuci kehendak mulia;
para cendekia di dalam sangkar,
atau burung timur bebas berkelana.
Dalam dirimu, ada kebimbangan penuh
yang sanggup menyatukan timur-barat,
dan selamanya engkau begitu.

(XVII) Seirama bayu,
awan kesedihan ini mengikuti masa-masa harus mereka lewati,
sedang engkau, pralambang yang mengasyikkan.

(XVIII) Dari jauh, angin menderu kencang; berpuluh-puluh
gelombang siap menerjang kemah-kemah berteratak tegar,
juga ia bakal genggam bulir-bulir pasir kemanusiaan.

(XIX) Di sini kau jauhi dunia keramaian,
sedang mereka hanya merekam prahara,
sementara badai tengah engkau bangun
sejumlah angin mengajarkan kepadamu;
dari tepian jauh dikau rasakan itu,
lalu terkenang oleh cinta akan kejujuran.

(XX) Lolongan anjing menyita kehusyukanku,
aku tahu energi suaranya dibantu angin kelestarianmu;
gending-gending sebentar sayu lalu menggenta,
aku pun pula tenaga prahara engkau setubuhi,
dan tak terasa angin pantai menjadi Maha Guru
di waktu hatimu sedingin salju.

(XXI) Sesekali sisirlah rambutmu walau sejenak,
searah angin mengajakmu pergi jauh,
meski nantinya kembali kusut;
yang engkau jalankan,
serupa ikan-ikan hidup di dasar samudra,
perlu bernafas, sesuci manusia menghirup denyutan semesta.

(XXII) Halus butiran pasir itu
semakin tinggi, lembut selendang diterbangkan,
mendorong menyapa lewat surat-surat tertakdirkan
bagi persembahan nyawamu-nyawaku,
dan nafasmu itu nafasku di alam panggung.

(XXIII) Di ubun-ubun kepalaku,
awan menjelma jala-jala angkasa
semakin cepat menyebar,
keinginannya aku sebagai tangkapannya,
demi persembahan di altar candi para dewa;
namun ada kekuatan lain yang mencegah,
sehingga daku luput dari jeruji,
karena Sang Waktu belum berkenan.

(XXIV) Yang mencipta waktu
menjadi bebunga penghuni pantai;
ia sosok penjaga taman,
duduk sendirian menikmati harum kembang,
dari musim satu ke musim lainnya;
lantas kulit ruh terpesona dan mempesona.

(XXV) Kembali memandangmu,
tarian janur-janur serasi waktu membiru,
mengikuti ritme riak gelombang yang terdengar
dari balik pebukitan dunia;
dirinya yang lembut bertirai,
sedang engkau, sudah melewati tirai ke berapa?

(XXVI) Tatkala mutut membisu, kubaca bola matanya,
tangannya yang santun begitu lembut, ada penantian tak jenuh
menunggu sang ayu menghampirimu;
daun hijau bercahaya, embun murni mengkristal.

(XXVII) Saudaraku,
geserlah tempat dudukmu walau sebentar,
sebenarnya di belakang punggung bukit,
pohon-pohon subur sulur-menjulur,
berdiri tegas atas hembusan angin nuranimu;
tapi tahukah engkau? Dan terfikirkah mereka?
Ia melakukan itu, menanti kehadiranmu,
dekapanmu yang bersahabat,
sebelum perpisahan takdir melepas.

(XXVIII) Seharusnya jangan hentikan sampai di situ,
sebab ruh dalam dadamu siap membantu;
seakan waktu selalu baru menuju kepemudaan cahaya.

(XXIX) Jika engkau mengambili benang-benang tercurah
dari kasih sayang hujan kepadamu, itu masih ada.

(XXX) Yang biasa di dunia terpencil, kenapa masih ada gelisah?
Lalu ingin mengakhiri nikmatnya vibrasi mahabbah?
Padahal sudah banyak tenaga kau petik dari gairahnya;
bukankah hanya tak enak atas sahabat karibmu
yang menunggu dengan murung sepertimu juga.

(XXXI) Yang ia kerjakan mengasah pucuk karang
menjadikan bebijian pasir bermakna;
tidak hanya bagimu, untuk mereka pula,
walau waktu itu mereka melupakan dirimu,
padahal terngiang setuju
atas angin-gelombang pernah ia singgahi,
sebagai tempat menimba sumur keabadian itu.

(XXXII) Santai saja,
cukup engkau kenang, lalu mereka merasakan pula;
biarkan ia berjalan dengan pilihannya,
dan engkau melangkah pada keyakinanmu.
Terus atau sudah cukup,
sampai kembali sebagai manusia asing di hadapan mereka.

(XXXIII) Yang telah menggerakkan
grafitasi nasib dunia walau sekejap,
partikel auraku berpijar terang,
dan parfum atmosfirnya tetap melekap pada mereka;
ini mawar hitam, racun cair racikan jaman, kata mereka.

(XXXIV) Ia tanggalkan pebekalan
kala tinta hitamnya berlayar tanpa rencana;
kau telah melakukan juga,
merasakan bagaimana bumi ini digedor dari dalam,
dan tubuhmu berlapis kekuatan.

(XXXV) Meninggikan unsur sukma sejati
pada dataran mulia,
teratai semakin tinggi tangkainya;
kelebihanmu dari mereka,
yang hanya menanti antrian waktu.

(XXXVI) Tidak cukup merentang,
sudah lama menghabiskan atom nyawa
demi pengembaraan tanpa telatah,
bagaikan tertikam belati malam menggigil putus asa.
Engkau memeluk bintang-gemintang setelah saling pandang,
demi mengembalikan dinaya;
yang dicuri akan kembali, yang memberi segera menerima,
bagi persembahkan senyum, mendapat kecupan mesra.

(XXXVII) Kini danau matanya keruh,
pasir berhamburan, bergolak di arus deras,
melemparkan jasad melobangi angkasa;
hanya mata dekatlah, mengerti rindu dari pedihnya ujung pena.

(XXXVIII) Pentas mulai digelar,
para pelukis sedikit menorehkan keberanian warna,
dan para penyair baru menggores beberapa aksara,
seakan merangkum dunia dengan kesombongan;
mereka rasa telah unggul dari Sang Pencipta.
Separuh dari mereka berucap;
“bila Tuhan masih ada, Ia punya rencana!”

(XXXIX) Sementara itu,
aku tetap duduk di rerumputan hijau perawan,
sambil memahat waktu di atas batu,
menujum takdirku untuk mereka.

(XL) Sesekali untaian rambut mengenai mukaku,
aku biarkan, dan terkadang kuseka lembut
dengan jemari tangan yang ada cincin setia darinya.

(XLI) Lalu ia berjalan, sambil mengunyah makna batu nisan;
berkali-kali senja menyeret matahari,
jam-jam kembali terhenti di embun daun kalbumu.
Serupa malam-malam sebelumnya,
kesepian tanpa seorang teman,
juga tiada lagi, kata mereka;
“raut yang patut dibayangkan!”
-----------

21 September 2000, Parang Tritis Yogyakarta.
*) Pengelana asal Lamongan, JaTim.

Sajak-Sajak Mardi Luhung

http://cetak.kompas.com/
Habsiyah

Kau adalah bidadari yang ditiup dari bahan tersisa. Karenanya tak begitu istimewa. Dan terpaksa diletakkan di gerbang pasar daripada di taman sorga. Di gerbang pasar tugasmu meluruskan langkah para ibu. Langkah yang bingung ketika mesti memutar uang belanja yang kerap minus. Yang hanya cukup untuk menipu kenyang. Dan sedikit membeli racun serangga. Serta secarik nota yang akan ditulis: “Maafkan, jika aku akan meracun anak- anakku, juga anak-anakmu....” Lalu seperti pengusap, kau pun mengusap pikiran para ibu itu. Pikiran yang goyang. Pikiran yang akan membuat sayapmu berkelepakan menahan gigil. Seperti gigilan tembok pasar yang suram. Yang jika didengar memantul di antara beras, kecap, lombok, minyak, rempah dan para penimbang yang bimbang. Sebab setiap sapi yang ditimbangnya selalu melenguh. Dan bercerita, tentang hidupnya yang cuma dari kandang ke kandang. Lalu berujung di pisau jagal yang gatal. Tapi, karena kau bidadari yang tak begitu istimewa, maka jadinya usapanmu pun tak manjur. Lebih banyak yang gagal daripada yang berhasil. Dan lebih banyak pula kau melihat para ibu yang pikirannya tetap saja goyang. Yang diam-diam cuma berseliweran. Sambil terus meliukkan matanya. Seperti, seperti ingin menyiasatimu, menjeratmu dan memaksamu untuk memasuki keranjang yang gelap. Agar menjadi si babon yang bertelur sebanyak-banyaknya. Si babon yang berdaging dan berlemak tebal. Dan si babon yang juga mesti segera diracun: “Bidadari yang tak begitu istimewa, tak perlulah menangis!”

(Gresik, 2008)



Sinai

Kau berkata api. Dan perkataanmu itu jadi api. Api yang melayang. Menukik tegak-lurus ke bawah. Menuliskan kitab. Kitab api. Api yang berkobar. Dan di perahu yang panjang, kitab apimu itu aku baca. Tapi kenapa kobaran apinya tetap saja tak hidup? Malah makin mengecil dan mengecil? Kau yang di gunung itu pun cuma melambai. Tanganmu yang putih tampak berkilat. Dan dari kilat itu, aku mendengar: “Api dalam kitabku, bukan untuk dibaca.” Lalu kau tampakkan hujan belalang, kabut kuning, dan ruh yang mati keluar lewat celah lubang. Seperti barisan yang tak tahu muasalnya. Barisan yang melangkah dengan kepala tertunduk. Yang sesekali pendar-matanya mencari arah tempatmu yang lain: “Yang-Asing, Yang-Asing, jangan tinggalkan kami!” Tapi katamu lagi: “Api dalam kitabku membakarlah!” Ya, api dalam kitabmu pun melesat. Membakar barisan itu. Dan kobaran pun menyala seribu satu tahun. Seperti kobaran matahari lain. Dari sebuah kisah. Tentang si putra sungai yang mencoba menyimak sekumpulan cerita berbingkai. Yang dimulai dengan: “Di teluk semuanya bermula. Dan di permulaan itu ada yang mesti ditinggal. Dan ada pula yang mesti dipungut. Kecuali pada api dalam kitabnya. Yang tak tersentuh olehmu!”

(Gresik, 2008)



Pingitan

Di depan pintu bilik pingitanmu aku berdiri. Membawa timba bertali. Yang ujungnya terikat di leherku. “Bolehkah aku masuk?” Tak ada jawaban. Hanya lewat lubang kunci, aku melihat kau sedang merangkak di lantai. Meniupi layar perahu kincir plastikmu: “Aku sedang berlayar, mengarungi tiga pelangi yang membentang!” Dalam anganku: “Apa benar impianmu tentang pelayaran di lantai itu membuatmu sakit?” Di sebelahmu, aku melihat bonekamu telentang. Matanya kaku. Kulitnya ungu. Ungu karena pinta. Ya, barangkali pinta itu adalah peta. Dan di kerumitan peta itu, kau pun meregangkan tubuh campuranmu. Tubuh lelaki dan perempuan. Tubuh yang berpinggul juga bersusu. Dan juga berotot serta berbatang tegar. “Aku membuahi sekaligus juga melahirkan!” tambahmu sambil memeluk dan menciumi bonekamu. Lalu, setengah hari ke depan, tali timbaku pun tiba-tiba menegang. Leherku tergagap. Kaukah yang menariknya? Yang pasti, aku merasa timbaku menyentuh kedalaman sumurmu. Dan di kedalaman sumurmu itu, perahu kincir plastikmu berlayaran dengan perkasa. Sedang, bonekamu pun cuma bisa timbul-tenggelam. Mulutnya sesekali terbuka. Seperti menanti kelebat hikayatmu. Kelebat hikayatmu yang selalu kau tafsirkan seperti ini: “Mengapa mesti jadi terpingit, jika antara sakit dan sehat, antara menyorong dan menerima, kelambunya begitu tipis….” Akh, sekali lagi, bolehkah aku masuk?

(Gresik, 2008)



Pinatih

Bukan karena kapal dagangku menabrak masa kanakmu, kau jadi yang aku peluk. Dan bukan karena kemandulan di rahimku, kau jadi yang aku susui. (Susu keriput yang ditakik gurat.) Dan bukan karena selat yang jinak, sampai dua seberangku kau satukan. Sampai kampung jadi bentangan kapur. Kapur putih. Putih semata. Putih yang membungkus perihku. Perih yang nikmat saat menamaimu belimbing yang gurih. (Belimbing yang berlekuk lima.) Belimbing yang matang di cermin-mulus-mengkilatku. Cermin yang memantulkan wajah para akrobat, pengunyah api dan ahli nujum. (Wajah yang menyerah di tepi bayanganmu.) Dan bukan juga karena kau menyebutku Pinatih: ibu setiap wanita, maka aku mengusap darahmu. Yang tak merah tak hitam. Tapi bening seperti getah yang mengalir tak putus-putus. Mengalir di kedua saluran napasku yang kerap tertahan. Ketika ada yang berkabar: jika ahli waris perumahan di lautan itu adalah kau. (Hai, yang pernah dilarung.) Dan bukan karena warisan itu, aku jadi yakin, jika di lereng sanalah, kau kelak akan mengubah batu jadi gajah di papan catur. Dan pena jadi tawon yang berdengung di jantungku. Jantung yang setipis sembilu dibelah tujuh. Jantung yang selalu ingin menangis untukmu seorangan: “Seorangan!”

(Gresik, 2008)



Sungai Kembar

Setiap aku menangis, setiap itu pula air mataku akan menjelma sungai.
Sungai yang kembar. Seperti gerak kembar. Yang beringsut kembar.
Dan mendesir dengan kembar: “Tapi, apa aku bisa membedakannya?”
Itu agak rumit. Sebab sungai kembarku benar-benar kembar. Apa keduanya
terputus atau tersambung. Banyak atau sedikit. Tak terbeda. Keduanya
menempel. Keduanya saling kelindan. Maka, aku terima saja tanpa soal.
Dan sungai kembarku yang terjelma dari air mataku itu pun punya nama.
Tapi mana yang mana namanya juga tak terbeda. Jika dipanggil, keduanya
sama menegak. Jika tidak, keduanya sama melengos. Menggemaskan.
“Lihatlah, aku usir yang satu, keduanya pun pergi. Dan ketika aku
tinggalkan yang satunya lagi, keduanya pun menangis.” Dan anehnya,
seperti aku, dalam tangis itu, air mata keduanya juga menjelma sungai.
Sungai yang kembar lainnya.
Dan sungai yang kembar lainnya ini pun akan menjelmakan sungai yang
kembar yang lain lagi. Yang lain lagi. Dan yang lain lagi. Sampai semua
yang melingkupiku, penuh dengan sungai-sungai yang kembar. Yang
kembar. Dan yang kembar.
Dan semua sungai-sungai yang kembar itu, ternyata selalu rindu padaku.
Sampai suatu hari, semuanya maju ke mimpiku dan merajuk: “Jika boleh
kami berkorban, kami akan berkorban. Agar kami tahu, kenapa kami terus
berlahiran. Berlahiran kembar untukmu?”
Akh, di dalam mimpi itu, ternyata aku juga menjelma kembar: “Kembar!”

(Gresik, 2008)



Tikungan

Mengingatmu, aku mengingat wanita pendiam di dalam pantun. Dan
menunggumu, aku menunggu bangsawan majenun. Yang datang dengan
keledainya. Dengan pentungan dan seragam rantai yang di punggungnya
telah ditambal dengan sekenanya. Tambalan keropos.
Wanita pendiam, pantun dan bangsawan majenun, sepertinya memang
dirimu. Campuran antara desah, pitutur dan kegilaan untuk melawan angin
dan arah. Serta sebaris larangan, bagi setiap yang ingin menggunakan
kata maaf dalam aus.
Tapi, apa benar kau jadi datang? Si kucing pun muncul dari tingkungan.
Mata si kucing tampak berbinar. Dan tampak seperti habis menelanmu.
Ada kepuasan dan kebengisan yang mengental. Dan ada anyir yang
dikirimkan padaku. Juga pada tempatmu.
Tempat yang telah aku sediakan. Tempat yang sejak lama
(telah menjadi arena), saat kau pancurkan getah dari kedua matamu. Seperti memancurkan sebuah kampung yang sakit. Yang bibirnya
tak pernah bisa mengatup.
Kampung yang sakit, yang bibirnya tak bisa mengatup?
Akh, apanya yang sakit. Sebab, maaf (maaf kata ini mesti digunakan),
kau dulu pun kerap menyergah: “Tak ada kampung yang sakit. Kecuali
yang dijungkit.” Dan kau pun ketawa. Ketawa nyaring.
Sampai setiap yang mendengarnya pun mengusap dadanya. Merogoh
jantungnya. Agar tak rontok. Sambil meletakkan debar yang bergeser.
Debar yang melebar. “Dan yang dijungkit, selalu punya ruang tersendiri kan?”
Tambah sergahmu. Seperti sergahan seekor gagak galak di kepala anjing
yang menyalak.
Sejurus kemudian, si kucing yang muncul tadi beranjak. Dan lewat
bayangannya, aku makin yakin, kau memang tak akan datang
(sebab telah ditelannya). Dan aku? Pun hanya dapat menunggu. Menunggu
datangnya bangsawan majenun yang lain, sepertimu.
Si kucing lenyap di tikungan yang sama!

(Gresik, 2008)

Lindu

Zainal Arifin Thoha
http://hidupbersamabencana.wordpress.com/

SUDAH hampir sebulan ini, burung gagak berkaok-kaok mengitari daerah kami, terutama di malam hari. Konon, kata para sesepuh, bila burung gagak berkaok-kaok di malam hari, seperti itu, adalah pertanda akan ada kematian. Tetapi, fenomena burung gagak itu tak hanya terjadi di daerah kami saja, melainkan di daerah lain, menurut kawan saya, juga acap terdengar.

Bagi kami, antara percaya dan tidak dengan pertanda alam itu, merupakan hal lumrah, lantaran antara kami dengan generasi masa lalu terpaut jauh dalam hal keyakinan ataupun ilmu titen.

Tapi nyatanya, Mbah Imam, sesepuh masjid yang juga abdi dalem keraton menangkap isyarat lain. Itu sebabnya, hampir saban hari ia membaca Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani. Ketika saya tanyakan kepadanya, untuk apa membaca Manaqib seperti itu, Mbah Imam menjawab untuk keselamatan. Bagi siapa? Ya, bagi diri sendiri, keluarga, para tetangga, serta masyarakat pada umumnya.

Nah, ketika Lindu terjadi di hari Sabtu pagi itu, saya teringat dengan aktivitas yang dilakukan Mbah Imam. Bagaimana kabar beliau? Sebab yang saya lihat dari berita televisi, rumah-rumah di daerah Mbah Imam telah luluh lantak, bahkan beberapa orang menjadi korban dari bencana itu.

Saya sendiri, bersama keluarga, sehari sebelum lindu atau gempa itu terjadi, telah pergi ke Jawa Timur, selain untuk suatu acara juga kangen dengan orang tua. Maka demi mendengar Yogya digoyang gempa, kami segera balik. Sesampainya di Yogya, saya segera meluncur ke rumah Mbah Imam. Namun, yang saya dapati hanya rumah beliau yang utuh, sedangkan Mbah Imam sendiri menurut informasi yang saya dapatkan dari tetangganya, tengah pergi ke rumahnya yang berada di gunung daerah barat.

Sepanjang perjalanan menuju dan balik dari rumah Mbah Imam, saya menyaksikan rumah-rumah yang berobohan, hanya tinggal puing-puing. Begitu pula, saya dapati, keluarga-keluarga yang hidup di tenda-tenda darurat. Pada saat seperti itulah, teringat dengan apa yang disampaikan seorang kiai muda yang saya temui di Kediri saat bencana Yogya terjadi.

”Bencana itu memang tak bisa dihindarkan,” ucapnya.

”Mengapa?”

”Ya, karena memang sudah saatnya, dan semuanya itu ada hubungannya dengan ulah manusia sendiri.”

”Maksudnya?”

”Alam sudah tak lagi sabar menyaksikan tingkah polah manusia.”

”Mengapa yang banyak menjadi korban rakyat kecil?”

”Para korban itu, sebenarnya justru diselamatkan, utamanya dari bencana yang lebih besar.”

”Maksud bencana yang lebih besar?”

”Saya sendiri tidak begitu tahu. Menurut guru saya, kurang lebih sebulan sebelum bencana itu terjadi, beliau ditemui Nyai Roro Kidul yang mengabarkan akan datangnya lindu yang akan banyak menelan korban.”

”Lantas, mengapa…” saya belum sempat menyelesaikan kalimat.

”Iya, sebenarnya guru saya telah mencoba berunding dan juga berdoa kepada Tuhan, namun lindu itu memang sudah waktunya terjadi, tak bisa dielakkan. Bahkan, kata beliau, bencana akan terus terjadi hingga tahun 2010, di mana-mana di negeri ini.”

”Terus,” saya bertambah penasaran.

”Menurut saya sendiri, yang dimaksud bencana lebih besar itu, tidak lain adalah bencana akidah, bencana moral, bencana iman. Mereka, para korban itu, telah diselamatkan Allah dari bencana yang jauh lebih berbahaya. Sebab rusaknya iman, rusaknya moral, jauh lebih berbahaya dari bencana.”

Ya, apa yang disampaikan kiai muda yang saya temui di Kediri itu masih terus terngiang, terbayang-bayang, hingga saya sampai di rumah kembali. Kepada istri, saya sampaikan bahwa Mbah Imam tak berhasil saya temui.

Anehnya, sore tatkala saya masih tertidur kecapekan, Mbah Imam telah hadir di rumah kami.

”Bukankah Mbah Imam pergi ke gunung di barat?” tanya saya pada beliau.

”Benar, saya memang nyambangi keluarga dan saudara saya di sana.”

”Lantas, kok sekarang sudah di sini lagi?”

”Kata tetangga saya, Sampean da-tang ke rumah saya.”

Mbah Imam terlihat tenang-tenang saja. Tapi justru itulah yang makin membuat saya penasaran kepadanya. Sebab tidak hanya sekali ini perilaku dan tindakan Mbah Imam terasa nyeleneh di mata saya. Setahu saya, daerah gunung barat sangat jauh dari sini, diperlukan waktu kurang lebih seharian untuk perjalanan.

”Menurut Panjenengan, apa sebenarnya penyebab semuanya ini, Mbah?” saya memancing hikmah dari beliau.

”Ya, seperti yang pernah saya sampaikan sejak dulu itu, bahwa apa pun bencana yang terjadi menimpa manusia, itu disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.”

”Tapi, kan banyak yang tak berdoa terkena bencana itu?”

”Bencana itu, mengandung di dalamnya teguran dan peringatan. Dan menjadi hak Allah untuk mengambil orang ini dan orang itu, yang kita sebut sebagai korban. Tapi intinya, terhadap bencana, seperti lindu besar itu, kita musti pandai-pandai mengambil hikmah.”

”Terus, apa yang musti kami lakukan, Mbah?”

”Kalau kita masih dilindungi oleh Allah, itu berarti kita diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Jangan sampai kita berbangga, bahwa kita yang diselamatkan berarti kita tak memiliki banyak dosa. Tidak begitu. Sebaliknya, kita musti lebih banyak introspeksi, memperbaiki diri dan menambah rasa peduli terhadap sesama. Jangan sampai kita bertambah egois dan mementingkan diri sendiri. Sebab nyata-nyata hanya Allah yang paling berkuasa. Kita, manusia ini, bergelimang dosa dan tak memiliki kekuatan apa-apa, kecuali kekuatan yang telah diberikan oleh Allah Swt.”

Tidak seperti biasanya, sore itu Mbah Imam sepertinya terburu-buru. Saya tak habis mengerti, orang setua beliau ternyata memiliki kepedulian yang tinggi. Sewaktu pamit dari rumah saya, beliau bilang hendak mengunjungi orang-orang yang tertimpa bencana di daerah selatan.

Jumat, 30 Januari 2009

Sajak-Sajak Nirwan Dewanto

http://kompas-cetak/
Tiga Biola Juan Gris

(1)
Terbaring di atas talam, ia cembung masih
dengan dawai menegang oleh putih-mutih
lembar lagu yang ditindihnya. Dan sebatang pipa
harum tembakau dan mungkin setandan anggur layu
rajin mengapitnya ketika ia begitu ragu pada ungu
dan coklat yang mestilah miliknya. Di pucuk lehernya
hanya lengkung serupa arabeska hitam sehingga
ia tak akan lagi membusung seperti telur kasuari
tapi membubung seperti udara Magribi di ujung jari.


(2)
Sebagian punggungnya perlahan memipih selagi
dawainya menghilang di antara lipatan linen putih
dan kuning yang memiara dua selongsong semu
sampai papan halma di depannya biru seperti pagi
seperti cerminnya yang baka. Ternyatalah ia berdua
kembar Siam yang gemar menyalin latar muka
dengan belakang sampai hijau tubuhnya hanya
seratus pecahan lingkaran dan segitiga pengabdi
coklat mahoni kertas dinding dan urat kayu meja
saat mata sekadar bermain matra dan permata
saat Partita Bach mesti menyela jingga dan jelaga.


(3)
Tenang seperti kertas Jepang, seakan ia membentang
dari tepi ke tengah. Dawainya sekadar gegaris
pengganda celah antara langit menjelang subuh
dan sebotol tinta yang menunggu tangan pelukis
yang telanjur menyuramkan dua pita merah darah.
Sewarna udara, mestinya ia bisa melerai bebongkah
coklat meja dan kelabu pintu yang berebut putih
tapi terhalang sekeping pilar Korintia yang melayang
di antara biru dan hitam yang ingin bergegas pulang.
Sungguh ia terlalu sabar, sehingga semua celah itu
mengubur si pelukis yang telah menjadikannya
segantang, seperti asap dan kalibut. Tak sadar ia
menyerahkan diri kepada tinta Cina seluas laut
yang kini terkunci leher botol yang seperti lehernya.

(2007)



Perenang Buta

Sepuluh atau seribu depa
ke depan sana, terang semata.
Dan arus yang membimbingnya
seperti sobekan pada jubah
tanjung yang dicurinya.
Tak beda ubur-ubur atau dara
mendekat ke punggungnya
yang tumbuh sekaligus memar
oleh kuas gerimis akhir Mei.
Ia seperti hendak kembali
ke arah teluk, di mana putih layar
pastilah iri pada bola matanya.
Tapi ia hanya berhenti, berhenti
di tengah, di mana rambutnya
bubar seperti ganggang biru
atau gelap seperti akar benalu
sehingga betapa mercusuar itu
ragu-ragu memandangnya.

(2007)



Semangka

Seperti kantung hijau berisi darah
berhenti percaya pada tanah,
seperti bawal betina tak bersarung
menggelincir ke ujung tanjung,
seperti periuk penuh kuah kari
penat sudah oleh bara api,
seperti kandungan delapan bulan
siap tersedak ke batang jantan,
(tak seperti jantung pisang raja,
meski rekah dalam hujan buta)—
begitulah lukisanmu jika kau dahaga
terayun antara putih dan jelaga,
memungut si buah dari dasar malam,
raut tanpa daging tempat terperam
sebaris benih seperti kuku harimau,
sedang lidahmu sekadar terpukau.

(2007)



Mawar Terjauh

Kau benih hujan pagi hari,
aku payung yang lama iri.
Kau airmata di ujung jari,
aku saputangan matahari.
Jika kau dalam gaun merah,
aku bekas tangan di perutmu.
Tapi kau juga genangan darah,
ketika aku urung mencintaimu.
Kau cermin terlalu menunggu,
aku wajah yang memurnikanmu.
Tumpahkanlah tilas semua dara,
sampai jantungmu serimbun bara.
Kau pemilik hujan sepenuh hari,
aku payung terlampau sembunyi.
Mari, lekaslah kelabui Januari,
sebab aku terkulai ke tepi nyanyi.

(2007)



Pengantin Remaja

Aku tak bisa menangis, sebab kulitmu coklat manggis. Kau tak lagi mampu melompat, sebab parasku hampir berkarat. Sesungguhnya sejak kanak aku hanya mengenal bayang- bayangmu: sebab aku penjinak binatang, kau peniti tali. (Ingatlah. Ketika aku mengaum tak henti-henti, kau justru tak hendak kembali. Kau penikmat jurang di bawah sana, aku pemuja langit tinggi.) Sampai para peziarah yang tak tahu malu itu menarik kita ke sepucuk jembatan mawar dan berujar, “Lihat, alangkah sepadan dua kembaran ini." Seutas tali akar padi liar mereka ikatkan ke kakimu dan kakiku. Di bawah tudung Bimasakti aku menghapus mereka satu demi satu, namun menyisakan sesosok belaka dan mengusirnya ke seberang sungai dan menyebutnya Bapa. Kemudian aku berusaha merindukanmu, meski kau berada di pangkuanku seperti telur yang menggeliat dalam sarangnya sendiri. Kau berkata, “Adam, lekaslah menyusu padaku agar kita segera dewasa." Dadamu berkilatan tapi hanya berisi angin, aku tahu. Mulailah aku memintal linen atau kain lain (aku tak yakin) agar esok kita berani bercermin. Dan pada lidahmu kulekatkan lidahku supaya kita tak lagi dahaga. “Hawa, jangan berjanji mengasihiku," aku berseru, sambil mengancam Bapa yang terkelebat di pelupuk matamu.

(2007)



Lonceng Gereja

Kaum musuhku menuntun aku menyanyi
seraya memeluk aneka menara tertinggi
tetapi demi jubah Latin bagi orang mati
aku hanya belajar diam seperti lidah api.

(2006)



Apel

Merah seperti tirai merah,
memar seperti payudaramu,
gundah seperti telur Paskah,
sabar seperti langit biru,
ia berbaring di sisi sebatang lilin.
Di ujung makan malam, meja ini
mengecilkan ia, tapi sungguh si belati
kian silau oleh lengkung perutnya.
Mungkin sebentar lagi akan terluka,
ia berdiri di sisi sebatang lilin.
Seakan kusantap gaunmu panjang
untuk membuat ia telanjang.
Seakan kauasah jemariku pada nyala
untuk melindungi daging putihnya,
lebih putih daripada sebatang lilin.

(2006)



Tukang Kebun

Kau memohon ampun pada tetes hujan
setelah menarik akar ke wajah serambi
sedang aku bersekutu dengan biji-bijian
untuk berani mengecup mulut matahari.

(2006)

Minggu, 25 Januari 2009

Sajak-Sajak Teguh Ranusastra Asmara

http://sastrakarta.multiply.com/
Sajak Akhir Tahun

ketika rindu lepas di ujung senja
angin melecut pada rahim puisi
ada bayangan yang mengaca
menatap sisa-sisa usiaku
begitu sepi

(tidurlah, dengan silang mautmu
yang ditinggalkan di ruji-ruji almanak
dan sementara Tuhan mengejangkan impian)

sepanjang jalan kecil ini
bulan telah mengasingkan ketakutan, di balik arloji
maka lahir bendera penyair
tanpa genderang kerajaan
hanya kelam dan duka
membalut wajahku

(tak usah tersedu
air matamu adalah pembrontakan
yang memberangkatkan siul-siul kebebasan)

Yogya, 1970



T a m a n

kuhitung langkah-langkah kaki dalam sepi taman
ketika hari tanpa suara, tegak kembali
jadi barisan waktu yang terlepas

angin tiba-tiba merendahkan lagu-lagu rindu
dan terbukalah nada fales pada angka
rahasia yang memberat, di ruangka
: belum bernama

Yogya, 1969



Malam Satu Suro

bergegas melintas gelombang, kabarpun sampai
di sini masih tersimpan warisan di batu
dupa dan kemenyan jadilah ceritera
mengundang mitos penuh berkah

doapun dilepas lewat kembang staman
ketika lembar almanak berganti
mengantar hasrat di malam satu suro
di sisi aroma penjaja cinta purba

ribuan kaki tertancap di pasir
dan hatimu kembali membeku di antara
rimbun rumput pantai yang mengering
segalanya pasrah menatap gugusan bintang jatuh.

Yogya, 1972



M a l i o b o r o

masih adakah yang kau becarakan malam ini?
sebait puisi jatuh menyeret peluit kereta
dari balik tembok, degup nafasmu
menyisakan luka batin
yang kau sanding dalam lipatan koran minggu

disini kau menguji janji
terpateri dalam kesetiaan
ketika jam menghitung untung rugi
dan gelisah senantiasa terbuang
di malioboro yang sepi

Yogya, 1970



S e n d i r i

aku berbaring disini di atas dipan
sebuah genting kaca, dimukaku
bercermin dalam bulan pucat
adakah yang kau rindukan malam ini ?
hanya sebuah bulan, di mataku
di balik genting kaca
pada tanggal dua yang merana, aku selalu begini
berpeluk guling tanpa kawan
mungkin tak ada lagi cinta buat orang lumpuh
sedang hatiku terus mengembara
ingin menarik bulan, di balik genting kaca

Yogya, 1969

Puisi-Puisi Abdul Azis Sukarno

http://sastrakarta.multiply.com/
TAKDIRKUKAH INI?

aku bangkit dari tidur panjang,
untuk tidur yang lebih panjang lagi

aku bergegas membuka selimut,
untuk menggantikannya dengan kain yang lebih tebal lagi

dan begitulah,
pagi demi pagi kubiarkan melewatiku tanpa permisi,
tanpa keresahan dan sakit hati

sebab, aku ingin mati dalam hidupku berulang kali
dan hidup dalam matiku tak henti-henti

seperti saat ini
saat Kau seolah melarang aku
untuk dapat menulis puisi!

Pringgolayan, Yk, 2005



TRAGIS

aku ingin bersembunyi dalam rumah bekicot
lalu bergerak perlahan-lahan
meninggalkan kota ini
pergi menuju hutan sunyi

di sana aku akan menulis puisi
tentang kesedihan seekor binatang lembek
yang kandangnya hilang dicuri entah oleh siapa
hanya aku yang tahu

"ya, tuhan," katanya,
"bagaimana aku bisa hidup dengan tubuh seperti ini?
tanpa rumah berarti tanpa nyawa bagiku."
ucapnya lagi seraya berkelojot-kelojot akan mati
kubayangkan, menyedihkannya ia
berhari-hari kerjanya pasti menangis dan tak bisa apa-apa
hingga kondisinya melemah dan pet!
tamatlah riwayatnya.

sungguh mengharukan bila aku menulis puisi seperti ini
tapi, sungguh memalukan jika harus kembali
dan melihat mayat bekicot yang asli.

Pringgolayan, Yk, 2006



SIAPAKAH CECAK ITU?

siapakah cecak itu
yang terjebak dalam gelas sisa kopi tadi malam
aku ataukah kau?
lihatlah baik-baik,
bagaimana cara ingin membebaskan dirinya
begitu sukar, bukan?
meski bergerak sekuat tenaga
meski berusaha sekeras baja
ia tetap di tempatnya
lebih keras lagi, lebih terjerembab ke dalamnya
menangiskah ia? mungkin
diam atau tidak diam, baginya sama saja
menyesalkah ia? mungkin
tapi sisa kopi tetaplah sisa kopi
sesuatu yang siap dibuang sebelum gelas dibersihkan
dan lihatlah kembali baik-baik
Ia kini hampir sekarat
dengan tubuh terbalik dan mengambang
ia megap-megap
namun, adakah yang peduli padanya?

Pringgolayan, Yk, 2006



SEPULUH TAHUN SUDAH

sepuluh tahun sudah
kusimpan mayat penyair dalam tubuhku
dan sepuluh tahun sudah
aku berjalan menjadi keranda baginya
hari-hariku pun hidup bersama bangkai dan
sisa puisi yang pernah ditulisnya.

"kenapa tak kau kubur saja ia?"
tanya seseorang, seolah ingin meringankan bebanku
tapi aku hanya tersenyum, lalu kujawab
"tidak, sebab ia kini telah menyatu denganku.
Menguburnya berarti mengubur diri sendiri."

kau akan kepayahan, zis," katanya lagi
"ya, aku akan kepayahan karena menggotongnya siang dan malam,
namun akan lebih kepayahan jika aku mesti berpisah dengannya."

sepuluh tahun sudah
aku mencoba setia dengannya
meminjamkan nyawa untuknya
bahkan jika perlu, kutukar posisinya!

Pringgolayan, Yk, 2006



JADIKAN AKU DEBU

aku sengaja merebahkan diri,
agar kau tak perlu menikamku dari belakang
agar kau bebas melumatkan kesumatmu
agar kau tahu, betapa banyaknya kesempatan
yang dianugerahkan waktu padamu

jika luka dapat diobati dengan luka
jika isak tangis dapat dihibur dengan isak tangis
lakukanlah, karena kau
tidak akan pernah berlutut mencium kakimu
seperti seorang pengecut tertawan ke pihak musuh
cepatlah, aku tertidur
dan bermimpi indah bertemu gadis lembut berjilbab biru
cepatlah, buat aku mengaduh
lepaskan pisau beracun itu dari bola matamu
lepaskan panah kebencian itu dari busur hatimu
tancapkan ke tubuhku, tak perlu ragu
anggaplah ini semua demi senyummu.
demi kebahagiaanmu. Demi rasa cintamu padaku
lalu bakarlah jasadku. jadikan aku abu.
dan biarkan angin menerbangkanmu menjadi debu.
menjadi debu.

barangkali dengan ini, aku dapat menyembuhkan sakitmu
yang selalu kau bilang telah membeku dan membatu!

Pringgolayan, Yk, 2006.

Puisi-Puisi Akhmad Muhaimin Azzet

http://sastrakarta.multiply.com/
TUMPUKAN BATU

aku mencari serpihan manusiaku yang hilang
di antara tumpukan batu, betapa telah pecah
oleh panas matahari dan kota kian renta

pohon rindang tidak lagi tumbuh di tubuhku
apalagi hamparan rumput yang menghijau
dari ujung kaki hingga kepala hanyalah batu

lalu di manakah manusiaku, hilang ke mana
yang pernah lahir oleh kasih seorang ibu
kubongkar-bongkar, melulu tumpukan batu

Yogyakarta, 2006



KABAR BENCANA

saat embun menetes kuterima suratmu
mengabarkan bencana
yang datang dan pergi seakan tanpa tanda

bukan lagi jerit tangis seperti badai
atau orang–orang mendadak papa
kehilangan segalanya
tapi suratmu menjelma muara
segala air mata

Yogyakarta, 2006



AWAN HITAM DI MATAMU

apakah duka telah menjadi lautan
memenuhi seluas dada
awan hitam di matamu menyeretku
hingga sunyi yang paling dalam

jangan lagi, duhai, usah lagi
awan hitam semakin berarak
dan menjadi hujan

sebab ke mana lagi mengalirkan
segala yang tumpah
jika kerinduan telah tenggelam
menggelombang

Yogyakarta, 2007



SEJENAK MENGHIBUR DIRI

di bukit yang tersisa, yang pepohonan
masih belum dilibas angkara
aku merebah bersama lumut bebatuan

air menetes segar dari sulur menjuntai
membasahi dada, inikah surga?

ternyata langkah betapa lelah berlarian
dari keserakahan yang mengancam
siang dan malam bersitegang

Yogyakarta, 2007



KETUKAN PINTU
-Alm. Zainal Arifin Thoha

ketukan pintu itu
sungguh menyentakkanku
ternyata engkau, duhai
yang memasuki
taman itu

betapa aku termangu
saat mengantarmu
doaku kelu
air mataku jatuh satu-satu
membasahi jaket hitamku

ketukan pintu itu tiba-tiba mengingatkanku
pada sajak perjalananmu
"aku hanya tahu bahwa
jika Tuhan berkehendak
maka tak satu makhluk pun
dapat mengelak.*)"

maka siapakah kini
yang berduka
bila melihat cahaya
ya, telah dibuka

kutukan pintu itu
sungguh memesonakanku
betapa semerbak wangi itu
menyambutmu
Yogyakarta, 2007

*)Dikutip Dari sajak Alm. Zainal Arifin Thoha yang berjudul ‘Afjad Perjalanan’ yang ditulis pada tahun 1997. Semoga Allah memberikan kekuatan dan hikmah kepada keluarga yang telah ditinggalkannya. Amien

Jumat, 23 Januari 2009

Sastra yang Berangkat dari Lamunan

Indra Tjahyadi
http://www.sinarharapan.co.id/

Ada kalanya sebuah karya sastra bukannya tercipta dari sebuah permenungan, melainkan dari sebuah lamunan. Lihat saja puisi-puisi karya Nirwan Dewanto. Pada puisi-puisi karya Nirwan Dewanto lamunan menjadi semacam motor penggerak utama bagi dasar penciptaannya, dan bukannya permenungan.

Dengan menggunakan lamunan sebagai motor penggerak utama bagi dasar penciptaannya, ada sebuah konsekuensi logis yang tak dapat dielakkan muncul pada larik-larik puisi karya Nirwan Dewanto tersebut, yakni bahwa puisi-puisinya tersebut terkesan hidup dan dihidupi oleh lanturan-lanturan. Lanturan-lanturan yang hidup dan menghidupi larik-larik puisi karya Nirwan Dewanto tersebut bukannya tidak menimbulkan read effect bagi para pembacanya. Pertama, bahwa puisi-puisi karya Nirwan Dewanto cenderung lebih bersifat naratif, dan kedua bahwa puisi-puisi karya Nirwan Dewanto tersebut terkesan lebih cenderung menawarkan fantasi daripada imaji.
Tengok saja puisi karya Nirwan Dewanto yang berjudul ”Main Catur”:

Terkadang biji-biji catur ini mengembar jauh sekali
Itulah cara mereka menghentikan pikiran waras kami
Terkadang tubuh mereka berkerut bagai pohonan
Berayun-ayun dalam lagu panjang ketegangan
Dan jika mereka melenyapkan diri
Jutaan warna akan membakar papan main ini

Apakah sang patung mengenal rasa takut?
Seperti di masa kanak, aku memimpikan
Raja-raja terbang ke langit malam hari
Kuda-kuda mereka menghilang di dataran bulan
Dan ketika bintang-bintang itu terbakar
Aku pun memasuki daerah terlarang itu:
Para serdadu membuang senjata dan menari di depanku
Kemudian lenyap ke dalam gumpaan cahaya
Itulah saat kaudapatkan diriku tanpa perlindungan:
Lihatlah, tubuhku teramat murni itu
Perlahan-lahan berubah menjadi patung.
….

Dari sepenggal kutipan puisi karya Nirwan Dewanto tersebut dapatlah dilihat, bahwa puisi karya Nirwan Dewanto tersebut lebih bersifat naratif. Dan ia dengan sadar justru ingin memperlihatkan fantasi-fantasi apa sajakah yang muncul, daripada berusaha untuk ”menembak” imaji-imaji apakah yang meruak dari sebuah permainan catur tersebut. Hal yang sama juga dapat dilihat pada puisi-puisi karya Nirwan Dewanto lainnya, semisal: ”Masa Kanak-kanakku Mengambang di Laut”, ”Lautan di Bulan”, atau ”Kereta Api Malam”.

Seperti juga pada puisinya yang berjudul ”Ode untuk Pintu Rumahku”. Pada puisinya tersebut, sebenarnya, Nirwan Dewanto—sebagai penciptanya—hanya ingin menceritakan bagaimana si aku-lirik ketika menghadapi pintu rumahnya. Berbagai perasaan, ingatan, atau bahkan dendam muncul dan bermunculan terus-menerus, seakan-akan tak pernah ada habisnya. Hal ini mengakibatkan munculnya kesan, bahwa setiap larik puisi karya Nirwan Dewanto tersebut hanya berupa lanturan-lanturan dari apa yang diingat, dirasakannya. Bahkan lanturan-lanturan tersebut acap kali terkesan berlontaran jauh ke luar dunia, meskipun sebelah kakinya masih menginjak bumi.

Bagi pembacanya, hal ini menimbulkan banyaknya fantasi yang ingin dihadirkan dan mengajak pikiran para pebacanya untuk secara terus-menerus mengikuti ke mana kiranya fantasi tersebut akan terus berterbangan tentunya. Dan justru bukannya berusaha untuk mengajak atau memperlihatkan pada para pembacanya gambaran-gambaran imaji apa sajakah yang sekiranya dapat muncul dan hadir dari apa yang ia sebuah ”Pintu Rumahku”.

Hal ini secara jelas, terang, begitu gemilang dan jernih mengingatkan pada karya-karya dari para penulis semacam Mario Vargas Llosa, Gabriel Garcia Marquez, Sandra Ciceros, Gao Xin Jiang ataupun Milan Kundera. Di mana pada karya-karya mereka fantasi benar-benar berusaha untuk ditampilkan secara optimal pada setiap karya yang mereka ciptakan. Dengan metoda penciptaan yang didasarkan pada lamunan, dan menggunakan teknik penulisan yang mengedepankan lanturan-lanturan sebagai jalinan ceritanya. Sebagaimana juga pada karya-karya prosa Ben Okri—salah seorang penulis besar Nigeria.

Tengok saja karya-karya prosa Ben Okri, semisal cerpennya yang berjudul ”Doa dari yang Hidup”, pada bagian di mana tokoh ”aku” sedang melakukan pencarian akan jasad saudara laki-lakinya yang diperkirakan sudah mati di suatu tempat:

Aku terus mencari, aku mendapati sebuah wajah yang tidak akrab; dia saudara laki-lakiku. Aku mengangguk. Aku menebar pasir di tubuhnya. Beberapa jam kemudian, di dekat sumur kering, aku mendapatkan anggota keluargaku yang lain. Ibuku menggenggam erat-erat tulang yang begitu kering, yang lalat pun tak lagi mau makan. Aku menebarkan pasir di tubuh-tubuh mereka. Aku terus mencari. Ada satu wajah lagi yang ketidakakrabanna yang jelita akan mampu menghiburku. Pada saat aku menemukan wajah itu, aku siap menyerahkan diriku pada nyanyian-nyanyian gunung itu.

Matahari mendekat tenggelam ketika, dari gedung sekolah yang belum selesai, aku mendengar nyanyian. Itu adalah suara paling gaib yang pernah kudengar dan kupikir hanya mereka yang tahu menghayati manisnya kehidupan bisa menyanyi seperti itu, bisa menyanyi seolah setiap tarikan nafas adalah doa.

Nyanyian itu seperti awal yang penuh kegembiraan dari segala ciptaan, anggukan suci terhadap nafas dan cahaya yang menyusup ke segala, yang mebuat air berkilau, tumbuhan bertunas, hewan-hewan berlompatan dan bermain di ladang-ladang, dan yang membuat laki-laki dan perempuan menantikan cahaya pertama warna-warna, hijaunya tumbuhan, birunya laut, kencananya udara, peraknya bintang-bintang. Itu adalah akhir yang sesungguhnya dari pencarianku, musik untuk memahkotai kehidupanku yang penuh pengkhianatan, akhir yang tak pernah kuharapkan, atau kubayangkan.

Dari sepenggal kutipan di atas dapatlah dilihat bagaimana cerita pencarian yang dilakukan oleh si tokoh ”aku” tersebut, oleh Ben Okri”, secara sadar diceritakan dengan teknik melantur-lantur menyerupai apa yang dialami oleh seseorang yang sedang melamun. Ia tidaklah menceritakan secara seksama perihal pencarian yang dilakukan oleh si tokoh ”aku” terhadap saudara laki-lakinya. Melainkan malah berusaha menceritakan atau bercerita mengenai pikiran-pikiran apa sajakah yang muncul ketika si tokoh ”aku” melakukan pencarian tersebut. Hal ini jelas-jelas mirip atau menyerupai apa yang dialami oleh seseorang yang sedang melamun.

Pada seseorang yang sedang melamun, acap kali pikiran seseorang tersebut berusaha untuk mengembara sejauh yang diinginkan dan kerap kali bahkan tidak terkontrol jauhnya, meskipun masih berada pada koridornya. Hal ini mengakibatkan banyaknya bermunculan berbagai khayalan dan fantasi yang berasal dari alam bawah sadarnya. Akan tetapi, di sisi lain fantasi-fantasi tersebut tidak saja hadir secara utuh, melainkan ikut pula dicampuri oleh ingatan-ingatan dan kenangan-kenangan yang berasal dari kesadaran.

Ini jelas-jelas menyerupai pula apa yang dialami oleh seseorang yang sedang berada dalam sakratul maut. Konon, merujuk pada sebuah dialog dari film Daredevil yang baru beberapa bulan yang lalu diputar di bioskop-bioskop di negri ini, bahwa seseorang yang sedang mengalami sakratul maut ia akan mengalami pengingatan dan pengenangan dan pembayangan, atau mungkin lebih tepatnya pemfantasian, akan hal-hal yang pernah dilakukannya, juga akan hal-hal yang belum pernah dilakukannya akan tetapi begitu putus asa diinginkannya.

Oleh Ben Okri metoda penulisan seperti ini tidaklah diterapkannya hanya pada cerpennya yang berjudul ”Doa dari yang Hidup” saja, melainkan juga pada karya-karyanya yang lainnya, semisal pada cerpennya yang berjudul ”Kota yang Ditinggalkan”. Atau pada novelnya yang berjudul ”Famished Road”. Bahkan pada novelnya yang berjudul ”Infinite Riches” metoda penulisan semacam itu juga diperlihatkannya secara intens. Seperti pada bagian di mana ketika si tokoh ”anak” menanyakan mengapa ayahnya hanya melamun saja, sementara si tokoh ”ayah” menjawabnya dengan bercerita tentang seekor macan tutul yang ditemuinya ketika ia mengubur jasad seorang tukang kayu yang dibunuhnya di sebuah hutan. Ini jelas-jelas merupakan lanturan.

Jalan yang sama pun rupa-rupanya juga dipilih oleh Imam Muhtarom dalam menuliskan cerpen-cerpennya semisal ”Pelancongan”, ”Tanah Harapan”, ”Rumah Kaca”, ”Gerbong Maut”, ataupun ”Rumah yang Tampak Biru oleh Cahaya Bulan”. Bahkan pada cerpennya yang berjudul ”Kami Menemukan Diri Kami…” lanturan-lanturan yang muncul dalam teknik penceritaan terkesan begitu ekstrem. Seperti pada bagian di mana ketika tokoh ”anak” menanyakan pada ibu mereka perihal dada yang menonjol dari salah satu saudari perempuan mereka.

Sementara si tokoh ”ibu” lebih memilih menjawab pertanyaan tersebut dengan bercerita yang melantur jauh dari hal yang ditanyakan kepadanya. Si tokoh ”ibu” tersebut bahkan lebih lebih memilih untuk bercerita mengenai seseorang yang naik ke bulan, sampai tentang keberadaan kupu-kupu. Ini jelas-jelas gaya pembicaraan yang melantur. Apa yang dilakukan oleh si tokoh ”ibu” mirip apabila seseorang yang sedang melamun tiba-tiba diajak bicara atau bercakap oleh seseorang lainnya.

Mencermati hal tersebut, bisa jadi, ada babakan lain dari sebuah teknik penciptaan sastra dari telah banyak dikenali saat ini. Bahwa penciptaan sastra bukan saja tercipta dari permenungan, akan tetapi bisa juga menggunakan teknik lamunan.
***

Penulis adalah penyair, esais, Redaktur Jurnal Sastra ANARKI. Ketua Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya. Staf pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo.

Rabu, 21 Januari 2009

DESAKU MENEBAR FILSAFAT AYU

Nurel Javissyarqi*
http://media-sastra-nusantara.blogspot.com/

“Fikirkanlah coretan-coretan di dinding Ibukota, adanya istilah MERDESA, sebelum meletusnya balada pemberontakan anak-anak Jatinegara”

Desa itu daerah kendali perekonomian kota. Tata letak spiritualitas pemampu berpeluang menentukan gerak-gerik bangsanya. Sekilas terlihat orang desa berkiblat pandangan kota, padahal orang kota tidak asyik lagi menatap kesehariannya. Dari desa-lah terpelihara keindahan nurani, kemanusiaan agung terpanggil menciptakan atmosfir damai. Dan tranformasi keilmuan merata di setiap sudut-sudut terpencil, ketika orang kota melupakan berkah ilmu, sebab terbius jasadiah.

Sewaktu orang-orang desa mengetahui seluk-beluk kelicikan kota, mereka kembali ke desa, bercerita mengenai kesejatian kembang hayat. Tampaknya orang kota lewat berbagai wacana, namun sewaktu dunia informasi kian terbuka, orang desa berusaha memahami keingintahuan hidup. Lalu lahirlah pandangan hidupnya, dalam menyinauhi jarak perkembangan. Serta lebih punya banyak waktu memetik segala menjadikan ranum, atas lahan renungan lebih berketenangan, tanpa diracuni asap-asap dupa kepentingan pribadi.

Buku-buku keluaran nalar pedesaan mulai merangsek, mengepung mata kota sampai podiumnya. Di mana orang-orang kota tak lagi suntuk membaca situasi peredaran pemikiran -berbangsa, sedangkan orang desa memetiknya tanpa jiwa emosional yang sesat, lalu mengeluarkan pendapatan gemilang, ketika masyarakat baca mengukur kedalaman renungan, sebagai pencerna alam fikiran.

Ini keunggulan tampil ke muka, sewaktu orang desa melewati keterpencilan harum, sayap-sayap berkeindahan, menebarkan nalar kesejahteraan -kemanusiaan. Burung-burung bertengger di dedahan berdaun hijau, merawat angin peradaban; kesahajaan, kedamaian, dari jarak kekacauan, kebencian cemburu yang ditebarkan mata-mata kota.

Pedesaan itu ketentraman tak terusik keremangan licik, tidak spekulatif dalam menata bathin, menyungguhi hayat bersikap teguh demi kemakmuran sesama. Memang hidup tanpa persaingan akan sepi, namun tidak demikian pandangan kekinian, menemukan kesadaran peluang di dalam menyuntuki bangunan berbangsa -bernegara.

Menyaksikan keanggunan kembang desa mengutamakan tegur sapa, berciuman mesra tanpa curiga, saling memberi nilai bertukar kasih, menebar kebahagiaan. Ini menghadirkan jiwa-jiwa persaudaraan, bahu-membahu menambah informasi ketenangan. Sadar memiliki ruang-lah, sehingga orang desa terus mengeliat mengembangkan tubuh alamiahnya.

Saling gencet orang kota, merusak payung paguyupan. Jelas orang desa tak tersentuh efek tersebut, dengan berbalik ke bilik hati masing-masing, sambil terus menebarkan angin tropis nurani. Orang-orang desa menyuguhkan fikiran rahayu, mimik muka jernih, saat melihat beratnya pandangan orang-orang kota dalam lingkup derita hayati.

Namun mereka menyimpulkan faham, bahwa orang desa itu cengeng. Tidakkah tampak kegigihan petani, keteguhan menjalani hidup berperalatan sederhana, memperoleh uang secukupnya tidak kemaruk. Adalah nilai kebaikan bukan banyaknya termiliki, tapi manfaat maha mutu bagi semua.

Jiwa-jiwa berkembang, selepas prosesi panjang menghamili makna atas gerak jaman. Menebarkan pesona keindahan yang berkumandang tanpa periklanan, lewat bathin perasaan bertukar nilai fikir hasrat positif. Saya memahami pengembangan jiwa filsafat rahayu, dipantulkan alam pedesaan.

Pedesaan masih menikmati keindahan bulan, gemerlap gemintang juga tak ketinggalan mengetahui terangnya kota-kota tipu-daya. Apa yang disodorkan di etalase, bahan pengawet, kecantikan absud, yang tak berlanggam kemakmuran hakiki, tidak serupa laguan pesawahan jiwa yang memperkaya bathiniah.

Semenjak dulu, kota ialah pedesaan nurani bagi sang penggali kenangan. Jika sekarang tampak orang dusun tercebur dalam perangkap kelicikan, menjadilah bagian penjilat. Manusia-manusia desa, kukuh menegakkan kaidah keadilah jiwa, sebelum para hakim faham alunan sebenarnya. Desa menancapkan bebulir sahaja bagi anak-anaknya, yang dilahirkan kasih sayang, bukan jalan paksa, apalagi aborsi atas dihantui biaya hidup yang menekan-nekan urat syaraf.

Tentu orang-orang kota menyadari, bahwa nilai-nilai mereka terbangun atas sokongan kaki-kaki lincah penduduk desa, hanya kemunafikanlah membuang muka, atau melihat dengan rasa kesombongan melupakan sejarah kesejatian. Barang-barang mengkilat itu hasil kerja keras pencuri naluri orang desa; yang tak berasa malu memiliki, yang tidak memberi manfaat diri, apalagi orang lain.

Jika ini terlihat datar atau sentimentil, belajarlah dalam jiwa lain, agar yang terbangun tidak melupakan awal perjalanan, kalbu sebelum berangkat bekerja, mempertimbangan sedurung menjalankan putusan. Ini sungguh cantik yang memupus gejolak jiwa, lewat angin kelembutan desa.

*) Pengelana, 4 Juni 2006. 08 Jakarta - Lamongan.

MEMAHAMI KULTUR ETNIK MELALUI KARYA SASTRA

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Jika diyakini sastra sebagai ruh kebudayaan, maka sastra sesungguhnya dapat digunakan sebagai salah satu pintu masuk memahami kebudayaan sebuah bangsa. Bagaimanapun juga, sastra merupakan representasi kegelisahan sastrawan. Ia lahir dari proses yang rumit pengamatan, pencermatan, pengendapan, dan pemaknaan sastrawan atas kehidupan ini. Lebih khusus lagi, atas fenomena tindak berkebudayaan sebuah komunitas sosial. Itulah sesungguhnya tanggung jawab sastrawan (seniman) pada kebudayaan, pada kehidupan. Inilah yang dimaksudkan Chairil Anwar sebagai kebebasan dan kebertanggungjawaban seniman pada kebudayaan, pada kemanusiaan: “Kemerdekaan dan Pertanggungan Jawab adalah harga manusia, harga Penghidupan ini….” Begitulah Chairil Anwar mengingatkan tanggung jawab sastrawan (: seniman) pada kehidupan ini.

Dalam konteks itu, ketika fenomena tindak berkebudayaan itu coba diterjemahkan dan dimanifestasikan dalam bentuk karya sastra, di dalamnya tak terhindarkan, mendekam problem sosio-kultural. Oleh karena itu, sesiapa pun sastrawannya, karya yang dihasilkannya tidak dapat terlepas dari persoalan yang terjadi di sekitarnya, problem yang berkecamuk di tengah masyarakatnya. Dalam hal itulah, sastra tidak jarang diperlakukan sebagai dokumen sosial, potret budaya masyarakat, dan representasi semangat zamannya.

Sastra Indonesia pada awalnya dan sejatinya adalah sastra “etnik” yang menggunakan bahasa Indonesia. Ketika Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, menegaskan pernyataan sikap para pemuda Indonesia yang mengaku: “bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” saat itulah sesungguhnya identitas etnis –diwakili Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia—dan agama –diwakili Jong Islamieten—melekat masuk ke dalam semangat kebangsaan atas nama Indonesia. Sejak saat itu pula, bahasa Melayu –sebagai bahasa etnis yang mendiami kawasan Semenanjung— diangkat menjadi bahasa persatuan dalam semangat politik keindonesiaan, dan tidak dalam hubungan kultural kesukubangsaan.

Boleh dikatakan, selepas peristiwa itu, berbagai puak dengan keanekaragaman kultur dan bahasanya, mulai dipersatukan melalui klaim kesadaran adanya persamaan tanah air (wilayah), persamaan nasib bangsa yang terjajah, dan persamaan menggunakan alat komunikasi antar-etnik (bahasa). Maka, meskipun sastrawan Indonesia secara kultural tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan kebudayaan dan masyarakat etnik yang melingkarinya, ia secara arbitrer menggunakan bahasa Indonesia untuk kepentingan komunikasi yang melewati garis demarkasi etnisitas. Dengan demikian, sastra Indonesia sesungguhnya berfungsi tidak hanya sebagai sarana ekspresi dalam usaha melakukan komunikasi yang mengatasi wilayah kultur etniknya, melainan juga sebagai alat yang membebaskan dirinya dalam kepungan primordialisme yang sempit.

Secara konseptual, sastra Indonesia dapat dirumuskan sebagai karya sastra yang dihasilkan sastrawan Indonesia, ditulis dalam bahasa Indonesia, dan diterbitkan di wilayah hukum Indonesia. Tetapi secara substansial, keanekaragaman latar belakang kultural, ideologi, agama, pendidikan, dan tarik-menarik pengaruh lokalitas—globalitas, menjadikan setiap karya harus diperlakukan sebagai sesuatu yang khas, unik, dan menunjukkan keberbedaannya. Oleh karena itu, untuk memahami sastra Indonesia, tidak dapat lain, kecuali coba mengungkapkan sejumlah besar khazanah sastra yang terbit di berbagai wilayah Nusantara ini. Maka, tidaklah pada tempatnya jika yang digunakan sebagai sampel hanya karya sastra yang diterbitkan di Jakarta atau kota-kota besar lainnya.
***

Berdasarkan konsepsi bahwa kesusastraan Indonesia adalah semua karya sastra yang dihasilkan pengarang Indonesia dan ditulis dalam bahasa Indonesia, maka sastra Indonesia sesungguhnya dapat digunakan sebagai salah satu pintu masuk untuk memahami kebudayaan Indonesia. Mengingat karya sastra tidak pernah terlepas dari kebudayaan yang melahirkan, membesarkan dan membentuk jati diri pengarang, maka sastra Indonesia dalam sejarahnya –secara substansial—tak pernah menyembunyikan kegelisah kultural pengarangnya. Dalam hal ini, pengarang Indonesia yang lahir, dibesarkan dan dibentuk oleh kebudayaan etniknya, senantiasa mengungkapkan berbagai aspek yang berkaitan dengan kebudayaan daerah, kebudayaan etnik, dan secara keseluruhan, kebudayaan Indonesia.

Adanya kenyataan itu, memperlihatkan bahwa kesusastraan Indonesia sangat kaya dengan warna lokal yang berkaitan dengan kebudayaan daerah. Tetapi, di lain pihak, kesusastraan Indonesia yang sarat bermuatan warna lokal itu, juga cenderung sulit dipahami oleh pembaca yang tidak mempunyai pengetahuan mengenai kebudayaan daerah tersebut. Inilah dasar pemikiran, sejumlah sastrawan, antara lain, Taufiq Ismail, Hamid Jabbar (alm.), Maman S Mahayana, Jamal D Rahman dan Agus R Sarjono, menawarkan sebuah program yang diberi nama: Apresiasi Kebudayaan Daerah melalui Khazanah Kesusastraan Indonesia. Mengingat sasaran program ini guru-guru bahasa Indonesia SMU se-Indonesia, maka lembaga yang tepat untuk menyelenggarakan program ini adalah Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas. Itulah latar belakang penyelenggaraan program yang kemudian diberi nama: Pendidikan dan Pelatihan Kebudayaan Daerah dalam Kesusastraan Indonesia bagi guru-guru SMU se-Indonesia. Program ini diharapkan tidak hanya akan memberi pencerahan bagi pemahaman berbagai aspek kebudayaan dalam karya sastra, tetapi juga membuka jalan bagi para guru dan siswa sekolah dapat memahami kebudayaan daerah yang lain, sekaligus juga memberi apresiasi yang wajar bagi kebudayaan lain yang menjadi kekayaan budaya bangsa Indonesia.

Pelaksanaan pertama program ini, 2—7 Oktober 2003, melibatkan sejumlah sastrawan dan peneliti sastra, antara lain, Taufiq Ismail, Hamid Jabbar, Ahmad Tohari, Taufik Ikram Jamil, Zawawi Imran, Gus tf Sakai, Agus R Sarjono, Jamal D Rahman. Dari kalangan akademis dan peneliti, tercatat nama Maman S Mahayana, Sunu Wasono, Abdul Rozak Zaidan, Nafron Hasyim, dan R Sitanggang. Adapun tujuan yang hendak dicapai, menyangkut beberapa hal, antara lain, (1) memberi bekal bagi guru untuk meningkatkan pengajaran sastra Indonesia yang ada kaitannya dengan kebudayaan daerah, (2) sebagai salah satu usaha memahami kebudayaan daerah melalui karya sastra, (3) menumbuhkan apresiasi dan pemahaman terhadap berbagai kebudayaan daerah di Indonesia yang terdapat dalam karya sastra, (4) meningkatkan rasa saling menghormati guru dan siswa terhadap keberagaman etnik dan kebudayaan daerah di Indonesia, dan (5) mengembangkan rasa memiliki kebudayaan daerah sebagai entitas kebudayaan Indonesia.

Mengingat Diklat ini sebagai langkah pendalaman materi bagi guru pelajaran bahasa Indonesia SMU se-Indonesia, maka pola Diklat disusun sedemikian rupa untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dirancang. Oleh karena itu, penyajian dan pemberian materi Diklat dilakukan oleh sastrawan Indonesia yang berasal dan berlatar belakang berbagai etnik dan kebudayaan daerah, pakar kebudayaan, dan kritikus sastra. Guna melibatkan secara aktif peserta Diklat, peserta diberi berbagai tugas pelatihan dan analisis terhadap sejumlah karya sastra yang sarat bermuatan warna lokal dan kultur etnik dan daerah. Oleh karena itu, peserta Diklat diharapkan sudah membaca sejumlah karya sastra yang digunakan sebagai objek kajian dalam pelatihan itu. Dengan adanya dialog antara teks—pembaca, pembaca—pengarang—kritikus, berbagai problem yang mungkin dihadapi para guru ketika mengajar di dalam kelas, dapat diatasi dengan memberi penafsiran yang lebih beragam.
***

Sejak program ini dilaksanakan, sejumlah karya sastra berikut penghadiran pengarangnya, telah memberi wawasan dan gambaran lebih lengkap tentang muatan budaya etnik yang mendekam dalam teks sastra. Mereka yang telah memberi kontribusi penting bagi pelaksanaan program ini adalah: Taufiq Ismail (Tirani dan Benteng dan Malu Aku (Jadi) Orang Indonesia—diandaikan merepresentasikan problem bangsa Indonesia), Ahmad Tohari dengan novelnya Ronggeng Dukuh Paruk (Jawa), Taufik Ikram Jamil (Hempasan Gelombang—Melayu), Gus tf Sakai (Tambo—Minangkabau), D. Zawawi Imran (Bantalku Ombak Selimutku Angin—Madura). Dalam tiga tahun berikutnya, pengarang dan karya sastra yang menjadi objek kajiannya adalah: Ajip Rosidi (Perjalanan Penganten—Sunda), Sutardji Calzoum Bachri, (O, Amuk, Kapak—Melayu), Danarto (Godlob—Mistik Jawa), Oka Rusmini (Sagra dan Tarian Bumi—Bali).

Beberapa persoalan teknis, antara lain, kesulitan menghubungi dan menghadirkan pengarang, tiadanya buku yang hendak dijadikan bahan kajian karena tidak lagi dicetak ulang, dan beberapa persoalan teknis lainnya, menyebabkan program ini masih bertumpu pada pelaksanaan program sebelumnya. Itulah sebabnya, pelaksanaan Apresiasi Kebudayaan Daerah melalui Khazanah Kesusastraan Indonesia yang akan dilaksanakan 13—16 Agustus 2008, masih mengangkat tema kebudayaan Jawa, Madura, Minangkabau –melalui karya Wisran Hadi, Orang-Orang Blanti, dan Melayu—melalui karya Rida K Liamsi, Bulang Cahaya.

Pilihan pada novel Orang-Orang Blanti karya Wisran Hadi –yang menggantikan karya Gus tf Sakai, Tambo, dan novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi –yang menggantikan karya Taufik Ikram Jamil, Hempasan Gelombang dan karya O, Amuk, Kapak karya Sutardji Calzoum Bachri, selain karya itu tidak dicetak ulang, juga hendak menampilkan sisi lain dari sebuah kultur besar, Minangkabau dan Melayu. Karya Wisran Hadi memperlihatkan sebuah semangat otokritik dan semangat mengangkat orang-orang yang secara agama dan kultural termarjimalkan. Sementara karya Rida K Liamsi dalam konteks kehidupan perpolitikan Indonesia dewasa ini, seperti hendak menawarkan sikap dan etika politik yang lebih berbudaya, di samping model percintaan yang masih kental menjaga tatakrama dan sopan santun sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakatnya.
***

Tentu saja berbagai karya lain dengan pengarang lain masih bertebaran dalam khazanah kesusastraan Indonesia yang belum terjangkau program ini. Atas dasar itu pula, program ini akan terus meluaskan kajiannya. Sebut saja misalnya karya-karya Korrie Layun Rampan (Upacara), Ani Sekarningsih (Namaku Teweraut), dan sederet panjang karya sastra kita yang coba mengangkat problem kultur etnik. Dengan dasar pemikiran itu, program ini diharapkan dapat digunakan sebagai alat pembelajaran kebudayaan etnik dengan memanfaatkan khazanah kesusastraan Indonesia sebagai jembatannya. Dengan cara itu pula, pemahaman generasi Indonesia di masa depan atas suku-sukubangsa di Nusantara ini dibawa pada suatu kondisi yang memungkinkan mereka relatif memahami identitas kebudayaan etniknya ketika mereka dihadapkan pada kebudayaan etnik lain, meskipun mungkin hanya menyangkut salah satu aspek saja. Hanya dengan sikap inklusif dan memberi tekanan pada kesetaraan dalam memandang kebudayaan lain, niscaya sikap snobis terhadap kebudayaan sendiri, cara pandang yang melecehkan kebudayaan lain, dan kesalahpahaman lantaran faktor budaya, lambat atau cepat akan tergusur dengan sendirinya. Dengan begitu, semangat keindonesiaan akan tetap bersumber pada akar budaya sendiri, meskipun kita berhadapan dengan kebudayaan asing yang datang dari mancanegara.

Bung Karno

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Ami bertemu dengan Bung Karno.

“Pak!”

“Ya? Ada apa Ami?”

“Kenapa Bapak tidak pernah kembali?”

“Kenapa harus kembali? Sejarah untuk dipelajari bukan untuk diulangi.”

“Tapi kami perlu Bapak.”

“Memang. Sesuatu yang sudah tidak ada menjadi berguna, kalau tetap ada mungkin sia-sia.”

“Tidak. Kalau Bapak ada, tidak akan begini jadinya.”

“Itu rasa hormatmu pada yang sudah terjadi, yang harusnya membuat kamu bangkit bukannya menyerah.”

“Kami sudah mencoba, Pak, tapi ternyata tidak ada di antara kami yang kalibernya cukup besar seperti Bapak.”

Bung Karno tersenyum.

“Kamu kurang sabar saja.”

“Tidak! Kami sudah terlalu sabar. Kami sudah menunggu. Kami memberikan kesempatan, kepercayaan bahkan juga dukungan. Tetapi harapan kami selalu lebih besar dari apa yang terjadi.”

“Itu namanya kurang sabar.”

“Kami tidak bisa disuruh menunggu 350 tahun lagi. Kita sudah merdeka mestinya kita dapat menikmati kemerdekaan, bukan menjadi lebih perih. Kita tidak bisa lagi hanya menunggu dan pasrah, Pak. Kalau terlambat kita tidak akan dapat apa-apa!”

“Lho kamu mau apa? Kemerdekaan kan sudah ada di tanganmu.”

“Memang tetapi bukan hanya kemerdeaan politik. Kami juga ingin merdeka dari beban ekonomi. Kami tidak hanya ingin demokrasi politik, seperti pidato Bapak, kami juga perlu demokrasi ekonomi.”

“Kan sudah banyak sekali ahlinya.”

“Memang. Tapi masing-masing ahli punya pendapat berbeda. Yang kami dapat hanya pertentangan.”

“Itu namanya demokrasi.”

“Tidak Pak, bukan itu. Kami ingin makmur, sejahtera, aman supaya kami tenang. Seperti kata dalang dalam wayang, kami ingin Indonesia yang gemah-ripah kerta raharja loh jinawi.”

Bung Karno tertawa.

“O kamu juga suka wayang? Tokoh favoritmu siapa? Karna?”

“Tidak, Pak. Bapak saya yang suka wayang. Saya lebih suka dongeng-dongeng baru seperti Harry Porter atau kisah-kisah seperti Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi.”

Bung Karno tertegun.

“Apa itu? Aku belum pernah dengar.”

“Lho Bapak katanya kutu buku. Masak Bapak tidak pernah baca?”

“Belum.”

“Baca dong Pak. Nanti Bapak tahu apa yang terjadi sekarang ini. Beda sekali dengan dulu, Pak. Apa yang dulu tidak mungkin sekarang terjadi. Ini dunia yang lain sekali dengan apa yang Bapak alami dulu. Sekarang maling ayam bisa dipenjara seumur hidup, tapi rampok trilyunan dan membuat sengsara rakyat malah bisa berfoya-foya di luar negeri. Air putih pernah lebih mahal dari bensin Pak. Tapi bensin juga sekarang sudah mahal sekali. Di sini sekarang ada dosen yang jadi pemulung, Pak.”

” O begitu?”

“Ya! Makanya Bapak harus kembali. Kami memerlukan Bapak!”

Bukan Karno mengangkat tangannya.

“Tidak mungkin!”

“Kenapa Pak? Bapak tidak cinta kepada kami?”

“O kalau itu, lebih dari cinta.”

“Kalau cinta kembali dong!”

“Tidak bisa. Karena cinta Bapak tidak akan kembali, supaya kamu bisa tumbuh sendiri. Dulu Bapak juga begitu! Sudah ya, Bapak harus pergi, ada undangan untuk bicara di depan PBB!”

“Pak!!!!”

Tapi Bung Karno sudah pergi. Waktu Ami mencoba berdiri mengejar, tangannya dipegang oleh Pak Amat.

“Ami!”

Ami terkejut dan membuka matanya.

“Sudah siang kok ngelindur. Ayo bangun!”

Ami mengusap matanya.

“Saya mimpi ketemu Bung Karno.”

“Ya siapa yang tidak. Juni kan bulan ulang tahunnya. Pengikutnya bahkan juga musuh-musuhnya pasti akan selalu ingat. Orang besar itu tidak pernah pergi.”

“Tapi beliau bilang, tidak bisa kembali.”

“Ya tidak perlu karena dia masih di sini!”

“O masih di sini?”

“Ya masih.”

“Di mana?”

“Panca Sila itu apa?!”

Ami mengangkat tangannya.

“Bukan itu. Kita memerlukan sosok seperti Bung Karno sekarang, supaya kita kembali bangga jadi orang Indonesia. Baru kalau kita bangga, kita akan bisa bangkit. Kalau tidak ada kebanggaan, tidak akan ada tenaga untuk bangkit. Makanya 100 tahun Kebangkitan Nasional kita masih menggeletak saja koma.”

Amat tertawa.

“Kamu masih ngelindur!”

Ami menggosok matanya.

“Ami bicara soal realita yang kita hadapi sekarang. Sampai mimpi Ami terus memikirkan negara dan bangsa. Bapak jangan meremehkan Ami gara-gara Ami masih muda.”

Amat tertawa.

“Kalau kamu benar-benar memikirkan realita, jangan hanya mimpi, itu lihat sudah jam berapa sekarang. Ayo bantu ibumu di dapur lagi masak!”

Amat membuka jendela kamar Ami. Sinar matahari menerobos masuk. Ami menutup matanya karena silau. Hari Minggu yang mestinya menjadi hari panjang untuk istirahat sudah rusak. Sudah bukan zamannya perempuan dilempar ke dapur.

“Ayo bangun!”

Ami berdiri kesal. Dia membanting bantal lalu menarik seprei. Tetapi ketika dia berbalik. Bung Karno berdiri di pintu dan tersenyum.

“Bapak terkejut mendengar curhatmu semalam. Tapi waktu kembali ke mari, lebih terkejut lagi melihat warga sedang kerja bhakti untuk membersihkan lingkungan, seperti di masa lalu. Ternyata tidak ada yang berubah, Ami. Gedung, kendaraan dan keadaan memang sudah lain, tetapi hati mereka masih sama. Hanya saja kamu harus berusaha melihatnya, seperti Ibumu yang sekarang sedang masak untuk dapur umum mereka itu. Coba lihat!”

BERKACA MENULIS DARI NUREL

Sutejo
Ponorogo Pos

Nama Nurel Javissyarqi memang belum seagung penulis Indonesia lainnya. Tetapi misteri perjalanan kepenulisan adalah etos nabi yang alir penuh jiwa berkorban, total, dan –nyaris—tanpa pamrih balas. Sebuah pemberontakkan pemikiran sering dilemparkan. Tradisi dibalikkan. Pilihan dilakukan, termasuk untuk memberikan pelajaran kepada orang tuanya.

PANORAMA SASTRA RELIGIUS

S Yoga
http://www.surabayapost.co.id/
http://syoga.blogspot.com/

Perkembangan sastra religius di Jawa Timur (Jatim) mungkin kurang menarik bagi generasi muda. Sehingga bila kita cermati, hingga kini jarang terlahir sastrawan muda yang kesadarannya terhadap religi cukup tinggi. Padahal sastra religius merupakan salah satu aset yang sangat penting. Hal ini dikarenakan dukungan secara kultural sudah sangat mencukupi, di mana basis-basis pesantren tersebar di Jatim. Sehingga hal yang pontensial ini hendaknya mampu melahirkan karya-karya religius yang mampu berbicara di tingkat nasional.

Apalagi kita tahu Sumenep merupakan gudangnya penyair religius, misal Abdul Hadi WM, D Zawawi Imron, Jamal D Rahman dan Ahmad Nurullah. Sedangkan dalam bidang prosa ada M Fudoli Zaini (Alm) dengan karya Arafah dan Batu-Batu Setan. Sementara di daerah lain kita mengenal Djamil Suherman (Alm), novelis kelahiran Surabaya, menghasilkan Perjalanan ke Akhirat dan Umi Kulsum, yang karyanya berlatar belakang pesantren. Muhammad Ali (Alm) juga kelahiran Surabaya dengan karya Di Bawah Naungan Al-Qur`an. Namun mereka umumnya malang melintang pada tahun 1960-1970 dan yang lebih muda tahun 1980-1990. Karena itu kita berharap kepada generasi muda, khususnya mereka yang berkomunitas di lingkungan pesantren. Yang jelas memiliki potensi yang lebih daripada mereka yang berada di luar. Karena ajaran dan kehidupan keagamaan setiap hari mereka pelajari dan jalani.

Pada masa kerajaan-kerajaan di Tanah Air, kita sudah mengenal sastra religi yang pada waktu itu dikenal dengan nama suluk maupun serat. Sehingga kita kenal Suluk Quthub, Suluk Berang-Berang, Suluk Wijil, Suluk Sukma Lelana, Suluk Seh Amongroga, sedangkan serat yang terkenal yang mencerminkan keagamaan adalah Wedhatama dan Wulangreh. Kita juga mengenal adanya lagu atau syair yang diciptakan Sunan Bonang, Tombo Ati dan Sunan Kalijaga, Ilir-ilir dan Kidung Rumeksa Ing Wengi. Tentu saja para sunan menciptakan syair demikian bukan tanpa maksud, karena mereka memahami masyarakat yang senang dengan nyanyian dan gamelan, maka diciptakanlah lagu-lagu yang berisi ajaran tasawuf bagi para pengikutnya. Bahkan hingga sekarang lagu tersebut masih banyak dinyanyikan oleh masayarakat desa dan disenangi oleh banyak orang, seakan-akan sudah menjadi milik masyarakat, guna menetramkan hati dan siar agama.

Ketika menyebut sastra religius, tentu saja yang terngiang dalam pikiran adalah sastra yang menyuarakan keagamaan. Hal ini tidaklah salah, demikian juga ada yang menyebutnya sastra sufi, sastra transendensi dan sastra profetik. Yang kesemuanya bermuara kepada pengertian kesadaran akan rasa ketuhanan, kebenaran yang bersumber pada Tuhan. Dan konsepsi ini bisa berlaku bagi semua agama. Yang di Islam biasanya terfokus pada amar mar’ruf, nahi munkar, tu’ minu billah. Menyuruh berbuat baik, mencegah kemungkaran dan bertaqwa pada Allah.

Pencerahan Rohani

Untuk bisa berbuat sesuai tiga hal tersebut, yang pasti rohani kita harus suci terlebih dahulu. Namun di sisi lain kehidupan kita sekarang ini seringkali tergoda oleh hal-hal duniawai. Karenanya bisa jadi posisi kita berada dalam krisis iman. Belum lagi gempuran materialisme dan sekularisme terus-terusan berada di sekitar kita. Lalu apa yang bisa diperbuat oleh para sastrawan guna menjawab tantangan zaman yang harus segera dibenahi ini. Bagaimana sastrawan Jatim telah mewarnai, memerangi hal-hal buruk yang bisa membuat moral kita terjun bebas menjadi nihil. Alias tak bermoral, yang akhirnya merajalela menjadi kejahatan, yang jauh dari harapan dan kaidah agama. Bahkan bila kita melihat penulis-penulis muda yang ada, seringkali malah berpaling dari sastra religius, dan lebih memilih menekuni sastra liberalisme atau sastra kelamin (mengeksploitasi seks). Dan hal ini akan semakin menjauhkan diri kita untuk mewujudkan kehidupan sastra religius yang lebih berkembang dan sanggup menjawab persoalan kehidupan. Karena krisis iman atau moral hanya bisa diatasi dengan cara meningkatkan transendensi. Sehingga kita semua dapat menemukan pencerahan rohani.

Sementara itu ada pendapat yang mengatakan bahwa karya sastra harus memberi pesan atau amanat yang jelas dan baik. Mengandung nilai-nilai moral yang tinggi. Padahal dalam prakteknya sastra seringkali berlawanan dengan harapan tersebut, karena sastra membeberkan kebobrokan, kenistaan dan kepahitan hidup. Di mana dari kerusakan-kerusakan moral ini akan memuncak dalam sebuah katarsis, pesuncian jiwa. Sehingga dari pengalam membaca sastra, akan kita ambil hikmahnya. Jadi seringkali sastra memberikan pesan atau amanat hanya tersirat saja, tidak tersurat. Dan hal ini membutuhkan diri pembaca untuk aktif berpikir, tidak hanya menerima jadinya saja, yang justru akan membuat diri kita pasif.

Lalu bagaimana mewujudkan karya sastra religius yang bisa dikatakan berhasil, namun juga tidak lepas dari rasa taqwa terhadap Tuhan. Kita tahu pada awal mulanya puisi adalah mantra atau pun doa. Sehingga kehidupan sastra religi, meski pada zaman dulu belum dikenal, sebenarnya sudah ada, yakni dalam ritus-ritus. Sastra religius merupakan doa dalam bentuk ekspresi yang mampu mengetarkan jiwa.

Seringkali kita membaca bahwa sastra religius hanyalah semata-mata memindahkan atau mencomot kata-kata yang ada dalam kitab suci. Sehingga kita tidak menemukan kebaruan dan keunikan di dalamnya. Bahkan sama saja dengan kita mendengarkan rohaniwan berdakwah atau kita membaca buku-buku keagamaan. Padahal bagi seorang penyair yang benar-benar memahami estetika, ia akan dituntut lebih tinggi dalam kemahirannya menerjemahkan doa ke dalam pencitraan baru yang otentik dan kreatif. Kita ambil contoh sebuah puisi, Abdul Hadi WM, Tuhan/Kita begitu dekat/Sebagai api dengan panas/Aku panas dalam apimu/Tuhan/Kita begitu dekat/Seperti kain dengan kapas/aku kapas dalam kainmu/Tuhan/Kita begitu dekan/Seperti angin dan arahnya/Kita begitu dekat/Dalam gelap/kini aku nyala/pada lampu padammu.

Karya ini menunjukkan kedekatan yang sangat intim antara sang penyair dan Tuhannya. Penyair begitu dekat seperti api dan panas, kapas dan kain, angin dan arahnya. Wahdatul wujud begitu sebutanya dalam ilmu tasawuf, sedang dalam mistik Jawa disebut Manunggaling Kawulo Gusti. Menyatunya mahluk dengan Tuhannya. Puisi di atas tidak terjebak dalam konseptual, definitif dan normatif keagamaan. Sehingga justru mampu memberikan pencerahan rohani terhadap pembaca karena sifatnya yang personal, otentik dan sublim. Sehingga mengejutkan dan mampu menciptakan keindahan. Memberikan gambaran penghayatan si penyair akan rasa ketuhanan dengan intreprestasi yang intens dan unik.

Dan salah satu fungsi karya sastra adalah memperingatan sejak dini akan adanya dekadensi moral dan dehumanisasi. Karena itu, ia meruapakan salah satu oase pencerahan. Melihat betapa pentingnya peran sastra religius di masa mendatang, karena rohani kita selalu digempur habis oleh godaan duniawi. Maka kita berharap akan muncul generasi muda para sastrawan di Jatim, yang memiliki daya jelajah religiuitas yang tinggi dalam karya-karyanya. Sehingga dapat menjadi warna tersendiri dalam kehidupan sastra yang selama ini lebih banyak tergoda pada sastra liberal. Tentunya yang benar-benar menjelma menjadi karya sastra yang menyatu antara bentuk dan isi. Mengejutkan, otentik dan tidak normatif. Dan bukan hanya tempelan dogma-dogma agama belaka. Yang justru akan melunturkan nilai-nilai sastra.
***

*) Penyair dan anggota Komite Sastra DK-Jatim.

Minggu, 18 Januari 2009

Ledakan Sastra Pesantren Mutakhir: Cinta, Kritisisme, dan Industri

Ridwan Munawwar
http://www.suarakarya-online.com/

Sejak sekitar awal millennium ke-3, sastra pesantren di Indonesia menunjukkan geliat yang tidak main-main. Kreatifitas dan produktivitas sastra pesantren meningkat drastis baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Tentunya ini suatu hal yang signifikan dan positif, meski menyimpan komplikasi keunikan tersendiri di belakangnya. Di satu sisi, fenomena ledakan sastra pesantren menunjukkan sekaligus mengukuhkan eksistensi pesantren sebagai salah satu unit peradaban yang tak pernah kering dari penciptaan-penciptaan baru, khususnya dalam dunia kesusasteraan.

Padahal kita tahu, bahwa terma kesenian sampai saat sekarang masih menjadi suatu hal yang problematik dalam paradigma dan mainstream keagamaan kalangan pesantren. Seni (fan) dan kesenian (al-fannan) dianggap urusan yang tidak esensial, bahkan dicurigai sebagai sesuatu yang bisa melenakan orang, membuat penikmatnya berleha-leha, melalaikan orang dari urusan syari'at (Zainal Arifin Toha, 2002).

Klaim ini diperkuat oleh adanya suatu histeria historis; dimana banyak sekali literatur keilmuan klasik (fiqh) yang dipergunakan pesantren yang menghukumi seni itu syubhat, makruh bahkan haram. Celakanya, hukum-hukum fiqih ini kemudian difahami dengan sempit, rigid dan membuta, tidak disertai dengan penggalian dengan wawasan hermeneutik. Interpretasi terhadap teks-teks fiqih terhadap kesenian seharusnya kritis dan kompherensif dalam mempertimbangkan berbagai konteks (asbabul wurudl) dimana hukum fiqih tertentu dikeluarkan; situasi sosio-kulturnya, situasi historis, situasi politik, bahkan situasi psikologis saat itu.

Padahal, diharamkannya anasir kesenian tidak lepas kondisi historis saat itu, yakni adanya political clash dan cultural clash antara umat Islam dengan umat Kristen. Kebetulan saat itu peradaban umat Kristen terkenal dengan keseniannya yang amat kental, sehingga mengundang ketegasan kaum agamawan Islam (fuqaha) untuk menumbuhkan militansi umatnya dengan melakukan berbagai langkah preventif agar umatnya tidak meniru kebudayaan lain.

Karena itu, ledakan sastra pesantren boleh dikatakan sebagai pemberontakan terhadap rigiditas dalam menjalankan syari'at, skripturalisme, tekstualisme, otoritarianisme fiqih minded yang terkadang membelenggu kreativitas berbudaya dan 'buta konteks'. Kesusasteraan pesantren meronta-ronta dalam hasrat yang menggebu untuk senantiasa menghidupkan dan membumikan nilai-nilai estetika sebagai ejawantahan atas prinsip; "Tuhan itu indah dan mencintai keindahan" (Al Hadits).

Kanon Sastra Pesantren

Dewasa ini, secara kualitatif, dinamika sastra pesantren bisa kita analisis salah satunya adalah melalui pelbagai macam perubahan serta pergeseran corak orientasi paradigmatik yang menjadi substansi dalam karya sastra yang bersangkutan.

Maka, bertambahlah 'spesies' baru, genre baru ke dalam khazanah sastra pesantren mutakhir; sastra pop pesantren dan sastra pesantren yang subversif. Keberadaan dua spesies baru ini tidak hanya melengkapi dan menemani kanon sastra pesantren yang sudah ada, tetapi juga di banyak sisi menyimpan suatu potensi dialektis dan kritis baginya; intertextual clash (benturan intertekstual).

Sebagaimana kita kenal dari jejak historisnya, sastra pesantren kita dikenal sebagai genre sastra yang giat mengangkat tema-tema nilai esoterik keagamaan; Cinta Illahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta sosial (habluminannaas), atau ekspresi dan impresi transendental keindahan alam semesta (makrokosmos). Mayoritas begitu kental dengan nuansa religius. Ini terlihat begitu jelas dalam karya-karya sastrawan pesantren tahun 90-an Acep Zamzam Noor, D Zawawi Imron, Zainal Arifin Toha, Jamal D Rahman, Abidah el-Khaeliqi, Kuswaidi Syafi'ie, Faizi L. Kaelan dan sastrawan-sastrawan lain yang ruang kreasi mereka bertempat di lingkungan geografis yang bernama pesantren.

Akibat kentalnya nuansa tasawwuf, sastra pesantren sering diidentikan dengan sastra sufistik atau sastra profetik (nubuwwah). Dengan kata lain, karakter sastra sufistik telah menjadi kanon sastra (mainstream literature) dalam tradisi kesusasteraan pesantren. Dengan Cinta Ilahiyyah dan spirit religius yang menjadi grand theme, paradigma estetika utama dalam etos berkreasi, sastra pesantren sebenarnya membawakan relevansi yang cukup signifikan terhadap vitalitas tradisi keilmuan di pesantren itu sendiri; sastra pesantren menjadi salah satu media alternatif bagi para apresian untuk mengenal dunia tasawwuf. Dengan apresiasi yang kontinyu, paling tidak sedikit demi sedikit nilai estetika dan kearifan humanis-teologis yang inheren dalam karya sastra dapat membentuk suatu sikap yang eklektik dalam beragama bagi para apresian, salah satunya dicirikan dengan terbangunnya sinergitas pemahaman terhadap fiqih dan tasawwuf.

Dengan kentalnya nuansa Cinta Illahiyah ini pula, lengkaplah sudah sastra pesantren sebagai subjek mayoritas dari keluarga besar sastra Indonesia yang mengusung dan meng-eksplorasi simbol-simbol serta nilai religiusitas (Islam). Sekalipun tentu saja, secara hakiki nilai-nilai sufistik dan profetik tidak bersifat ekslusif untuk golongan tertentu, melainkan juga terbuka luas untuk kalangan non-pesantren. Namun, dewasa ini ada perkembangan yang cukup menarik; bahwa kalangan sastrawan pesantren ternyata tidak hanya menjadikan ke-tasawwuf-an sebagai grand theme dalam etos kreativitasnya; satu persatu mulai terlihat adanya keliaran, muntahan-muntahan kegelisahan untuk merambah ke sisi-sisi lain. Sastra pesantren berada dalam kegelisahan yang panas. Di sinilah saya melihat munculnya genre sastra pesantren yang subversif.

Yang paling ekstrim barangkali adalah novel Mairil (Pilar Media, Yogyakarta; 2005) karangan Syarifuddin yang sedemikian berani mengangkat sisi gelap pesantren; yakni abnormalitas perilaku seksual yang terjadi di pesantren (mairil; homoseksual). Detail-detail ilustrasi peristiwa yang diangkat dari fakta itu dinarasikan sedemikian vulgar. Boleh dikatakan bahwa novel ini subversif terhadap sistem tradisi pesantren; bukankah seksualitas dan cinta lawan jenis selama ini menjadi suatu hal yang (di) tabu (kan) di lingkungan pesantren? Faktanya; pembatasan pergaulan lawan jenis yang berlebihan merupakan faktor utama dari disorientasi seksual yang terjadi di pesantren. Meskipun tidak bisa tidak, di sisi lain novel ini potensial menciptakan suatu bias eksternal; dimana ia mengundang stigma buruk kalangan masyarakat terhadap pesantren sebagai institusi pendidikan berbasis agama.

Sayangnya, kritisitas novel Mairil ini tidak diimbangi dengan kebaruan corak dan wawasan estetika. Prestasi dari novel Mairil adalah kualitas dokumenter (Faruk HT, 2000) dimana ia berhasil mendongkrak sisi tersembunyi pesantren sebagai suatu sistem yang dinamis, dan bukan kualitas literer; kualitas stilistika, capaian estetika sastrawinya masih cenderung nge-pop. Namun, bagaimanapun inilah satu bentuk muntahan otokritik baru. Revolusioner terhadap kultur pesantren yang secara mayoritas cenderung patriarkhal dan mono-referen (hanya terpaku pada sistem referensi pemahaman tunggal).

Secara implisit, dapat kita interpretasikan bahwa kehadiran novel Mairil berusaha membuka cakrawala baru pemahaman tentang cinta; bahwa Cinta Illahiyah -yang sufistik- tidak begitu saja dengan gampang diraih secara instant. Demi kesuksesan dalam perjalanan mendaki tangga-tangga cinta, seorang insan mesti sabar dalam melewati tahapan-tahapan dimensional dari Jalan Cinta. Bukankah Ibn 'Arabi, sang maestro sufi itu pernah memberikan formulasi tentang Jalan Cinta; Cinta alami (cinta lawan jenis dan unifikasi makrokosmis), Cinta Ruhani, dan Cinta Illahi. Dan Cinta Alami menempati posisi yang amat vital; bukankah Ibn Arabi juga mampu menelurkan banyak karya lantaran motivasi psikologis yang kuat dari Nidzam, seorang wanita Baghdad yang dicintainya? Karenanya jatuh cinta terhadap lawan jenis merupakan suatu hal yang manusiawi dan tak bisa ditinggalkan.

Di wilayah sosio-internal, novel Mairil kiranya layak untuk mendapat perhatian dari kalangan elit pesantren. Suatu tantangan untuk berintrospeksi; bagaimana merekontruksi dan merevisi kembali penataan lingkungan pergaulan (millieu) antar lawan jenis, atau mulai mempertimbangkan pendidikan seksual yang efektif dan proporsional bagi santri-santrinya.

Secara kuantitatif, sastra pop pesantren semakin menyemarakkan industri perbukuan. Sederetan nama sastrawan pesantren yang rata-rata berusia muda dengan karyanya tampil ke muka: Santri Semelekete (karya Ma'rifatun Baroroh), Bola-Bola Santri (Shachree M Daroini), Kidung Cinta Puisi Pegon (Pijer Sri Laswiji), Dilarang Jatuh Cinta (S. Tiny), dan Santri Baru Gede (Zaki Zarung) Salahkah Aku Mencintaimu (Ahmad Fazlur Rosyad) dan sederet nama lain yang tak bisa disebutkan satu-persatu. Motivasinya bisa beragam, atau barangkali sastra pop pesantren dipandang lebih prospektif dalam hal laba finansial? Terlepas dari semua itu, ini akan menjadi aset ekonomi para sastrawan.

Banyak kalangan elit sastra yang cenderung 'mengejek' akan keberadaan sastra pop, termasuk sastra pop pesantren. Budi Darma dalam esainya "Sastra Mutakhir Kita" (Horison, Februari 2000) menyatakan kekhawatirannya bahwa dengan industri, keberadaan sastra pop bukan hanya sekedar keberadaan, melainkan juga kekuatan yang akan menggeser keberadaan sastra serius". Ini saya kira suatu kekahawatiran yang agak berlebihan. Sementara, St Sunardi (2006) mengatakan" dalam setiap kebudayaan pop ada suatu jaringan kekuatan. Namun bagaimana kebijakan kita mengarahkannya untuk kepentingan-kepentingan kemanusiaan."

Dalam konteks sastra pesantren saya melihat bahwa relasi sastra serius pesantren dan sastra pop pesantren cenderung bersifat hierarkis, sinergis dan interdependen; bahwa dari minat terhadap karya sastra pop yang ringan itulah embrio tradisi membaca bisa terbangun. Karena itu animo masyarakat dan kalangan santri terhadap sastra pop pesantren tetaplah harus kita pandang positif. Bahkan penyair Jamal D Rahman dalam sebuah perbincangan tentang proses kreatifnya, mengaku mendapat modal senang membaca karena awalnya keranjingan membaca novel-novel 'kacangan' Freddy. S, tapi seiring dengan waktu dan intelegensinya yang terus berkembang ia pun beralih membaca dan menulis karya sastra sufistik yang high-quality.

Sastra pop juga berfungsi untuk 'latihan pemula', dan ini akan melanggengkan tradisi bersastra (baik kepenulisan maupun apresiasi) sehingga kontinuitasnya terjaga; bukankah hanya dengan hal itu literacy culture di pesantren bisa hidup, menyala dan terus memberi sumbangan-sumbangan berarti bagi peradaban? ***

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae