Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/
Orde Baru dikibarkan menggantikan Orde Lama sebagai sebuah pesta kemenangan. Para teknokrat bergabung membenah Indonesia yang dinilai sangat rawan kesejahteraan rakyatnya. Maka agenda pun dipalingkan ke perkembangan ekonomi.
Orde Baru mulai membentuk kelas menengah untuk membuat perubahan. Generasi muda didorong bangkit membangun masa depan dengan cara menjadi interprener. Rakyat diajak memusatkan perhatian pada kesibukan mengisi kemerdekaan. Mereka dibimbing menghadapi kenyataan dan mencintai uang.
Kelas menengah yang kemudian lahir, ternyata bukan memelopori penalaran, mereka malah sibuk mengukuhkan status kemapanannya. Rakyat memang menjadi sadar pada kemiskinannya lalu menjadi lapar pada kesuksesan tapi dalam bentuk materi. Orang mulai terbiasa memburu uang dengan menempuh segala macam cara. Kemajuan-kemajuan phisik tidak diimbangi oleh kesiapan batin.
Kesenian yang merupakan salah satu kanal yang bisa mengantarkan manusia ke arah perkembangan batin, amat terpojok. Tempatnya di luar pembangunan, bahkan nampak mengganggu. Karena dianggap tak berguna, kesenian tidak lagi dianggap sebagai aset bangsa, bahkan dinilai sebagai pemborosan. Digeletakkan begitu saja di sudut kecil sebagai pajangan parawisata.
Dan sastra hampir menjadi sampah yang hanya dilindungi oleh belas kasihan. Fungsinya sebagai pendidikan moral untuk menyempurnakan perkembangan batin manusia, menjadi hanya kelanggenan. Sastra berubah menjadi hiburan ringan.
Sastra mengkerut menjadi hanya budaya pop. Hiburan sesaat mengikuti kesemarakkan pasar. Hal ini ditopang lagi oleh budaya hidup enak yang dikampanyekan oleh majalah-majalah wanita yang gemerlapan dan menjual gaya hidup wah. Untuk bertahan sastra pun ikut menjadi alat propaganda hidup pop. Maka perlahan-lahan bangkrutlah sastra Indonesia.
Perjalanan kemanusiaan yang bisa ditempuh antara lain lewat sastra, sebagaimana yang pernah dicanangkan oleh kelompok Manikebu misalnya, kembali gagal. Kemanusiaan sendiri mendapatkan rangking nol di dalam kehidupan. Yang menjadi utama pada era tersebut adalah politik, ekonomi dan teknologi. Tapi itu pun politik kelas yang berkuasa, ekonomi kelas konglomerat dan teknologi mercu suar.
Reformasi mendadak memberikan kesempatan.
Reformasi semacam peluang untuk mereposisi sastra, di dalam kehidupan. Dapat diharapkan bahwa posisi sastra akan kembali. Segala keluhan di masa lalu, mendadak tidak lagi menjadi hambatan. Para penulis bisa leluasa untuk memilih tema dan mengekspresikan pendapatnya terhadap segala macam soal. Sensor yang dianggap sebagai biang kerok kebangkrutan sastra sudah lumpuh. Sastrawan memiliki kemungkinan.
Kita sedang memasuki proses pembebasan sekarang. Membuka pintu dan memulai kerja besar. Tapi benarkah sastra melangkah laju ke depan bila tanpa hambatan, tanpa ditolong oleh siapa-siapa. Beranikah, mampukah, dan berhasilkah sastra membuktikan keberadaannya yang istimewa penting di dalam kehidupan yang lebih bebas?
Di masa lalu, bukan hanya sastra, hampir seluruh sektor kesenian ikut mengeluh terhadap berbagai keterbatasan. Sensor yang garang dan sewenang-wenang merupakan alasan yang empuk untuk membenarkan bahwa layaklah tidak ada hasil besar yang lahir. Padahal pada zamannya, bukan sedikit hambatan yang dihadapi oleh Pramudya Ananta Toer, toh dia berhasil mencetak hasil-hasil monumental. Bahkan pada zaman kensengsaraan Manikebu, tidak sedikit halangan terhadap para Manikebuis karena mereka dilarang berkarya, toh lahir penyair-penyair besar seperti Goenawan Mohamad, misalnya. Sedangkan di era Orde Baru yang dianggap sebagai neraka bagi kebebasan berekspresi, tetap saja melambung karya-karya Rendra, Sutardji, Danarto, Budidharma dan sebagainya, seperti tak tersentuh oleh berbagai hambatan.
Kini, ketika pintu kebebasan sudah dibuka, akan lahirkah sastrawan besar dan karya besar yang lain? Harusnya lahir. Tanpa itu bagaimana mungkin sastra dapat mereposisi dirinya? Tetapi sayang, sudah setahun reformasi bergulir, yang lahir baru novel “Saman” dari tangan Ayu Utami, pengarang wanita yang dipujikan oleh para pengamat sebagai jenius yang membawa cakrawala baru bagi sastra Indonesia. “Malu Aku Jadi Orang Indonesia”, kumpulan sajak Taufiq Ismail. Novel dari Danarto, Remy Sylado, Titis Basino serta Dono Warkop. Ke mana para pengarang yang lain?
Sedang giat menulis atau ikut kampanye? (Apa karena krismon yang membuat harga kertas membumbung tinggi penerbitan jadi seret? Karena prioritas dikerahkan kepada pada pemulihan ekonomi dan kestabilan politik?) Atau karena tidak terbiasa oleh kebebasan? Apakah kebebasan justru membuat sastra jadi tak berdaya?
Di masa lalu, ketidakbebasan justru menstimulasi sastra menjadi lebih tajam dan produktif. Sementara kebebasan seringkali berakhir dengan kebingungan apabila memang jiwa sastrawannya memang tak bebas. Setelah tuntutannya tentang kebebasan terpenuhi, ia tidak tahu mau mengisi dengan apa?
Mungkin sekali bahwa kebebasan formal tidak hanya memberikan peluang, tetapi juga dapat membunuh. Karena dalam ketidakbebasan yang macam mana pun, selalu ada peluang bagi kreativitas untuk berkelit dan mengucur. Sehingga sastra tidak pernah tidak ada, kalau memang dia ada. Sebaliknya kalau memang tak ada, dibebaskan dengan cara bablas-bablasan pun dia tetap tak akan hadir.
Atau: menjadi bertambah jelas bahwa kebebasan bukan satu-satunya yang diperlukan sastra. Jauh lebih penting dari kebebasan adalah visi. Sastra harus menghidupkan visi. Para sastrawan adalah visoner-visioner yang akan membuat karya sastra menjadi input-input berharga bagi kehidupan dalam aspek masing-masing. Sehingga sastra tidak hanya berhenti sebagai sastra. Tetapi berawal dari sastra dan kemudian berserak ke seluruh sektor kehidupan. Dengan begitu sastra baru akan memiliki wibawa yang setara dengan pengetahuan. Karena ia memiliki akses ke segala arah. Sementara keindahan bahasa adalah bonusnya.
Era reformasi bagi sastra dalam pengamatan saya, bukan berarti “Pembebasan”, yang berarti: bahwa kini adalah saatnya sastra dapat berbuat apa saja. Bahwa kini adalah saatnya sastra dapat menuliskan apa saja. Tidak. Karena sastra selalu komplit. Sastra selalu mendua. Sejak adanya, sastra mengandung kebebasan dan ketidakbebasan. Kenapa? Sastra yang berpihak memang tidak pernah bebas. Dan sastra yang bebas, tidak pernah bisa ditahan oleh apa pun, karena dia memiliki kreativitas untuk mengelak. Keduanya bangga atas keadaannya. Dan suka tidak suka, ternyata saling melengkapi.
Sastra reformasi menurut hemat saya, bukan: “pesta kebebasan dan selamat tinggal ketidakbebasan”, tetapi masalah kesempatan dan agenda. Masalah prioritas apa yang seyogyanya harus dilakukan oleh sastra, baik sastra yang berpihak maupun sastra yang bebas, pada saat ini. Saat ketika Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun dicoba diganti dengan tatanan baru yang kita sendiri juga belum tahu seperti apa jadinya nanti, adalah kesempatan untuk mengembalikan sastra sebagai sembako jiwa.
Dalam bayangan saya, sastra reformasi adalah sastra yang menyadari benar artinya sebagai sembako batin. Namun dia juga mengerti di mana posisinya kini. Idealismenya mengandung strategi. Sastra mesti melakukan tindakan-tindakan yang tepat. Kalau tidak, tujuannya akan terganggu atau terjegal lagi, bukan karena tidak diterima oleh masyarakat, tetapi karena tidak dewasa menyikapi situasi.
Sastra adalah jembatan untuk masuk ke hati manusia di segala sektor kehidupan. Karenanya sastra tidak mungkin tidak, tetap akan menghadapi berbagai halangan. Kesulitan-kesulitan di masa lalu, bukan tidak akan mungkin akan terulang lagi. Kekurangan penerbit, jalinan distribusi tak lancar, aturan main yang tidak mendukung bahkan juga sensor dan sebagainya yang dulu dikeluhkan mungkin masih akan dihadapai lagi. Dan menjadi bertambah berat, karena itu terjadi dalam era reformasi.
Kesempatan sastra di dalam era reformasi adalah ikut campur dalam berbagai aspek kehidupan secara aktif. Membuktikan dirinya bukan hanya semata-mata hiburan. Bukan sekedar “sastra”. Untuk itu sastrawan sendiri harus berkemas, membenah diri, dan belajar. Karena penampilan yang rusak, citra yang kalangkabut, wawasan dan gagasan yang mgawur dan mabok, justru akan dengan cepat membalikkan kesempatan itu menjadi bukti bahwa sastra memang harus dikubur karena memang benar sampah.
Apa yang harus dilakukan oleh sastra? Banyak sekali. Dia harus menunjukkan kwalitas dan sekaligus kwantitasnya. Dia tidak boleh enak-enakan menuntut apalagi mengemis pengakuan. Sastra harus berjuang untuk merebut pengakuan, seperti partai-partai merebut kursi dalam pemilu. Kalau tak berhasil, jangan lagi menuding rakyat tak punya apresiasi, tetapi mungkin perjuangannya masih belum cukup teruji. Karena itu sastra perlu bisa membuktikan dirinya berkaliber, sehingga mau tak mau pantas diakui.
Sastra akan dituntut untuk lentur, lihai, cerdas dan barangkali juga harus bijaksana. Sastra harus mampu membangun imij bahwa ia adalah pekerja pendidikan jiwa yang setara dengan pekerja-pekerja kehidupan lain seperti sejarah, politik dan ekonomi atau teknologi, misalnya. Dalam sastra orang mendapatkan kearifan dan memperkaya pengalaman-pengalaman batinnya.
Sastra dituntut oleh keadaaan untuk bisa menunjukkan, tanpa sastra kehidupan akan berjalan timpang. Dan itu tidak cukup dengan sebuah slogan tetapi kerja nyata sehingga ada bukti. Dengan karya-karya yang berkesinambungan. Dengan usaha-usaha. Dengan percobaan-percobaan dan barangkali juga dengan berbagai penderitaan, frustasi, kegagalan-kegagalan. Walhasil kembali lagi: tekanan.
Sastra harus membebaskan dirinya dari menempatkan kesulitan-kesulitan sebagai pembenaran kemacatan sastra. Ancaman dan tekanan adalah sesuatu yang sudah terbiasa pada sastra. Sering itu menjadi kekuatan sastra sendiri. Kalau tidak berani menghadapi kesulitan, barangkali memang tidak perlu menjadi sastrawan.
Siapkah sastrawan Indonesia menerima sastra sebagai pekerjaan? Menumbuhkan ethos kerja yang lebih kerangsukan? Pertanyaan-pertanyaan itu pasti akan disusul dengan pertanyaan: siapkan pemerintah dan masyarakat menerima sastra sebagai sembako? Dan selanjutnya akan melahirkan pertanyaan: siapkah sastra menjadi sembako? Akhirnya akan kembali sebagai pertanyaan: siapkah satrawan menjadikan sastra itu sebagai sembako?
Era reformasi, nampaknya tidak akan menjamin kehidupan sastra Indonesia lebih baik, kalau sastrawannya sendiri tidak bangkit. Sastrawan sendiri harus mereformasi posisi dan perilakunya sebagai sastrawan. Tidak cukup dengan cara menuding, mengelak, memasang label reformasi di kepalanya atau bersilat argumentasi, tetapi dengan karya-karya. Dan itu mutlak memerlukan kerja.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 17 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar