Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Apakah pengajaran sastra (Indonesia) di sekolah bertujuan agar siswa (a) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (b) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia, atau agar siswa memperoleh pengetahuan (a) tentang sastra dengan berbagai teori dan (b) nama pengarang, judul, dan angkatan-angkatan?
Jika merujuk pada tujuan yang hendak dicapai pada tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mulai diberlakukan tahuan ajaran 2006—2007 dan yang pemberlakuannya didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 dan 23/2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, maka sesungguhnya KTSP memberi peluang yang lebih leluasa bagi guru dan pihak sekolah untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kompetensinya. Tetapi dunia pendidikan (baca: hidup) di Indonesia sering kali serba tidak terduga. Seloroh ganti menteri, ganti kurikulum –yang selama ini selalu menjadi kenyataan—hendaknya tidak lagi terjadi.
Dalam kondisi dunia pendidikan kita yang –konon—berada dalam keadaan karut-marut dengan minimnya kesadaran guru –bahkan juga dosen—bahwa bidang yang mereka masuki bukanlah sekadar sebuah pekerjaan an sich, dengan tugas rutin menyampaikan sesuatu di depan kelas, melainkan sebuah profesi yang semestinya dijalankan secara profesional, maka perubahan kurikulum berdampak sangat luas. Guru seperti dihantui serbuan angin puting beliung yang kerap memporakporandakan sekolahnya. Belum selesai mereka membenahi sekolahnya, belum sempat mandi, ganti baju, dan menyiapkan penampilan baru, sudah datang lagi badai lain yang memaksa mereka terus-menerus membenahi diri. Kondisi itu tentu saja menjadikan kebingungan para guru yang seperti tiada habisnya itu menular kepada diri para siswa.
Perubahan kurikulum juga persoalannya menyangkut banyak aspek: biaya, sikap dan kultur (baca: paradigma) guru yang cenderung mengalami gegar ketika menghadapi perubahan, dan sederet panjang masalah. Sumber masalahnya selalu saja jatuh pada kurikulum.
Tentu saja perubahan kurikulum itu di belakangnya bertumpuk berbagai alasan atas nama kemajuan dan usaha peningkatan kualitas pendidikan nasional. Dengan alasan itu, bolehlah kita memberi apologia kepada para dewa pembuat kurikulum. Oleh karena itu, sebelum kurikulum mutakhir itu hendak dijalankan, seyogianya kita memahami substansi KTSP. Jika, di sana-sini KTSP berisi kemungkinan menjebloskan guru dan siswa ke jalan yang sesat, eloklah kita tolak. Tetapi, jika memberi peluang bagi peningkatan kualifikasi guru, bolehlah dicobakan dahulu selama satu dasawarsa. Di belakang itu, harus ada pula semacam “jaminan” bahwa uji-coba kurikulum atau evaluasi dan revisi kurikulum akan dilakukan dalam waktu tertentu.
***
Jika mencermati setiap muatan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam KTSP, maka segalanya memang baik-baik saja, sama halnya juga dengan Kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompentensi (KBK, 2004). Semuanya bagus dan ideal dengan segudang pengandaian, bahwa dengan pemberlakuan kurikulum ini, guru akan begini, hasilnya juga siswa bakal begini. Sementara, dengan kurikulum itu, guru akan begitu, hasilnya juga siswa akan begitu. Pengandaian ini datang lantaran para perumus kurikulum adalah para dewa yang diminta turun dari kahyangan lalu ditugasi untuk menciptakan satuan-satuan materi pembelajaran yang begitu terinci yang akan diberlakukan untuk semua jenjang pendidikan. Di sana, disertakan pula daftar buku yang diwajibkan, yang dianjurkan atau yang sekadar disebutkan saja judulnya. Sangat mungkin, buku yang diwajibkan susah dicari atau tidak ada di sekolah itu. Atau juga, buku yang diwajibkan itu datang dari penerbit tertentu yang lewat Dinas Pendidikan, semuanya gampang diatur.
Begitulah, keluh-kesah para guru –sejauh pengamatan saya selama berhubungan intim dengan sejumlah guru di berbagai daerah di Indonesia— tertuju pada kurikulum yang seperti didatangkan begitu saja dari langit. Lalu, tiba-tiba, guru diancam untuk melaksanakan kurikulum itu. Guru tidak diberi ruang bergerak yang lebih bebas dan potensi daerah terkesan tidak dapat diakomodasi. Dan –selalu—puncak ketegangan itu terjadi menjelang pelaksanaan Ujian Negara (UN).
Dalam KTSP segalanya seperti hendak “diserahkan” kepada guru dan sekolah masing-masing. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang menarik yang ditawarkan dalam KSTP, yaitu guru dan sekolah –terlepas dari campur tangan Kepala Dinas—diberi peluang untuk membuat silabus, kurikulum, dan indikator-indikatornya sendiri. Di sana, tidak ada keharusan menggunakan kurikulum tertentu beserta sejumlah daftar bukunya yang juga tertentu. Dalam hal ini, prinsip fleksibilitas memberi keleluasaan bagi guru untuk menambah jumlah jam pelajaran per minggu sesuai kebutuhan. Di sana, diizinkan pula memasukkan muatan lokal sebagai bahan pelajaran yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.
Dalam konteks pelajaran sastra, muatan lokal tentu saja bertebaran begitu banyak, mulai dengan memanfaatkan khazanah cerita rakyat, dongeng, seni pertunjukan, bahkan juga cerpen yang dimuat di koran-koran lokal pada setiap hari Minggu. Jadi, tidak ada alasan bagi guru untuk berkeluh-kesah menangisi tiadanya bahan pelajaran, lantaran KTSP memberi peluang bagi guru dan sekolah untuk mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan tuntutan sekolah atau daerahnya.
Lepasnya campur tangan Kepala Dinas atau birokrat pendidikan, di satu pihak memberi kebebasan bagi guru dan pihak sekolah mengembangkan diri dan memanfaatkan berbagai bahan yang sesuai dengan kebutuhan, dan di lain pihak, menuntut guru bekerja lebih keras untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri, termasuk persoalan yang menyangkut manajamen sekolah dan kegiatan rutin pembelajaran (bidang akademis). Jadi, sangat mungkin dalam ihwal muatan lokal, setiap sekolah mengajarkan materi yang berbeda-beda. Tetapi di situlah KTSP mengakomodasi potensi daerah yang menyangkut kehidupan sosio-budaya serta kondisi peserta didiknya.
Persoalan yang mungkin bakal menjadi kendali bagi pelaksanaan KTSP adalah masih adanya penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). Problem pelaksanaan kurikulum sesungguhnya juga lantaran adanya kecenderungan pengajaran yang berorientasi pada keberhasilan UN. Keberhasilan guru mengajar sering kali diukur oleh keberhasilan siswa lulus UN. Akibatnya, UN dianggap sebagai satu-satu tolok ukur keberhasilan guru dan sekaligus juga sekolah. Tambahan lagi, soal-soal UN yang cenderung sebagai standar dan bersifat umum (nasional), tidak hanya menafikan keberadaan muatan lokal, tetapi juga mengandaikan semua sekolah di seluruh Indonesia mempunyai standar kompetensi yang relatif berada dalam tingkat yang tidak terlalu jauh berbeda. Di samping itu, mengingat UN bersifat nasional –massal—maka soal-soal dipilih sedemikian rupa dengan menggunakan pola memilih. Soal-soal semacam ini tentu saja efektif untuk memudahkan koreksiannya. Jawaban yang sekadar memilih A, B, C, D, atau E pemeriksaannya cukup dengan komputer yang dengan sekali pijit enter, segalanya dapat diselesaikan secara cepat, murah, dan mudah.
Untuk mata-mata pelajaran eksakta atau ilmu pengetahuan sosial yang pertanyaannya menuntut jawaban benar atau salah, tentu saja pola soal yang seperti itu dapat diterapkan dengan hasil yang relatif dapat diandalkan. Tetapi untuk pelajaran tertentu yang bersifat keterampilan dan apresiasi–sebutlah mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia— soal-soal semacam itu justru bakal menimbulkan masalah. Oleh karena itu, jika ujian nasional tetap akan diselenggarakan, maka pertanyaan yang menyangkut keterampilan dan apresiasi seharusnya dihilangkan. Sedangkan hasil ujian nasional bukanlah untuk menentukan kelulusan peserta didik, melainkan sekadar untuk mengukur standar pendidikan nasional.
***
Bagaimana pemberlakukan KTSP dalam kaitannya dengan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia? Memperhatikan muatan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) dalam KTSP, maka –sebagaimana yang juga tersurat dalam kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)—segalanya sangat menjanjikan, ideal, dan penuh pengharapan. Demikian juga dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pengajaran Bahasa Indonesia. Jadi, jika tujuan pelajaran bahasa Indonesia dalam KTSP tercapai, maka tak bakal terjadi lagi keluh-kesah tentang kemampuan berbahasa –lisan dan tulis—peserta didik, tak bakal lagi terdengar anggapan bahwa sastra Indonesia terpencil dari masyarakatnya, dan generasi masa depan Indonesia akan menjadi manusia yang gemar menulis dan membaca!
Pengandaian itu menjadi begitu optimistik manakala ada keterangan berikut: “Pada akhir pendidikan di SMA/MA, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra.”
Mengenai Standar Kompetensi yang menyangkut (1) Mendengarkan, (2) Berbicara, (3) Membaca, dan (4) Menulis, penjabaran dalam Kompetensi Dasar khusus sastra Indonesia yang terdiri atas 36—38 materi dalam setiap semester, pelajaran sastra berkisar antara 16—18 materi. Jadi, cukup proporsional. Dari materi sejumlah itu, sekitar 6—8 menyangkut teori dan pengetahuan sastra, selebihnya apresiasi. Meskipun di sana materi sejarah sastra tidak disinggung, materi apresiasi cukup mendapat ruang yang lebih leluasa. Kembali, jika itu dijalankan secara benar, maka apresiasi sastra sesungguhnya tidaklah menjadi masalah.
Pertanyaannya: mengapa dari tahun ke tahun meski telah gonta-ganti kurikulum, keluh kesah tentang pelajaran bahasa dan sastra Indonesia masih selalu bergentayangan? Jika dalam Kurikulum 1994 dan KBK, tumpuan kesalahan itu selalu dijatuhkan pada kurikulum, maka hal yang sama juga sangat mungkin akan terjadi. Jika begitu, pasti ada sesuatu yang tidak beres entah pada siapa.
Problem mendasar pelajaran bahasa dan sastra Indonesia –salah satunya boleh jadi—sesungguhnya terletak pada semangat guru untuk mengajarkan sejumlah teori dan pengetahuan tentang bahasa dan sastra Indonesia. Perlu diingat bahwa pelajaran bahasa (dan sastra Indonesia) di sekolah, jika memang tujuannya sebagaimana yang dieksplisitkan dalam tujuan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, maka tidak dapat lain, pelajaran yang menyangkut teori dan pengetahuan harus segera disisihkan, apalagi yang diberikan adalah teori-teori linguistik. Inilah sumber malapetaka pelajaran bahasa Indonesia. Bahaya betapa pelajaran bahasa Indonesia akan mengalami malapetaka jika yang diberikan lebih banyak teori dan gramatika, sudah pernah disinggung Sutan Takdir Alisjahbana. Sejak tahun 1930-an, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sebagian besar menggunakan buku-buku tatabahasa karya para penulis Belanda, maka materi yang diajarkan cenderung menjadi sangat linguistis. Akibatnya, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sama sekali tidak mengarahkan penguasaan keterampilan berbahasa, melainkan membawa siswa seolah-olah hendak menjadi seorang linguis atau ahli bahasa. Kondisi itulah yang dikeluhkan Sutan Takdir Alisjahbana, “Pada sekolah menengah Goebernemen sekarangpoen masih haroes kita berkata, bahwa pengadjaran bahasa Indonesia itoe tidak berarti sedikit djoeapoen.” Di bagian lain, Alisjahbana mengatakan:
Pengadjarannja jang menghamba kepada gramatika bahasa jang dipakai, ketika nenek mojang kita masih berdjalan kaki dan naik bidoek jang rapoeh itoe, mematikan segala minat kepada bahasa. Tjara mengadjarkan jang tiada bersemangat, jang semata-mata mengisi kepala dengan tiada memperdoelikan semangat kanak-kanak, dalam segala hal mematikan kegembiraan kepada bahasa.
Boekoe batjaan, boekoe ilmoe bahasa! .…
Bahasa jang sepatoetnja diadjarkan disekolah oentoek dipakai dalam penghidoepan mendjadi sesoeatoe jang sengadja diadjarkan semata-mata untuk sekolah itoelah.
Menurut hemat saya, pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan persoalan ilmu bahasa (linguistik) harus diganti dengan pelajaran mengarang. Dari sana, pembahasan tentang ejaan dan tanda baca, boleh dimulai. Bukankah duduk perkara tata bahasa, apalagi yang berkaitan dengan teori-teori linguistik, tidak ada perlunya diberikan di tingkat SD, SMP, dan SMA, kecuali jika para siswa itu bercita-cita menjadi peneliti bahasa atau linguis.
Hal yang sama juga mestinya diterapkan dalam pelajaran sastra (Indonesia). Apa manfaatnya peserta didik mengetahui, memahami, dan hapal di luar kepada tentang alur, tokoh, tema, latar, sudut pandang, dan berbagai jenis gaya bahasa, jika mereka sama sekali tidak menyentuh karya sastranya. Itulah malapetaka nasional dalam dunia pendidikan Indonesia (khasnya pelajaran sastra Indonesia), ketika siswa terus-menerus dijejali teori-teori dan konsep sastra, sementara karyanya sendiri tidak pernah dilihat dan disentuh. Jadi, yang terutama dalam pelajaran sastra (Indonesia) di sekolah di semua tingkat pendidikan dasar dan menengah, adalah menyuruh siswa membaca karya sebanyak-banyaknya. Tugas guru tinggal bertindak sebagai moderator ketika para siswa mendiskusikan karya itu –bisa dengan cara per kelompok—di depan kelas. Dalam diskusi itu, jawaban salah—benar tidak berlaku, karena yang penting dari jawaban itu adalah alasan yang mendasari jawabannya. Karyanya sendiri bisa bermacam-macam, puisi, cerpen, novel, atau drama. Dari karya sastra yang telah dibaca siswa itulah, guru bisa menerangkan soal konsep-konsep. Tetapi itu pun sebatas pengetahuan belaka. Bukankah tujuannya adalah apresiasi?
Melalui cara yang seperti itu, maka pelajaran sastra tidak hanya dapat menumbuhkan apresiasi siswa pada karya sastra, tetapi juga dapat menjadi ajang saling menghargai pendapat. Sebuah pelajaran demokrasi telah berlangsung di dalam kelas, karena di sana urusan benar—salah, tidak berlaku lantaran yang diutamakan adalah alasan di balik jawaban apa pun yang disampaikan peserta didik.
Konsekuensi model pengajaran seperti itu, menuntut guru pandai melakukan pilihan atas karya-karya yang baik dan bermutu. Di samping itu, soal evaluasi (ulangan harian atau ulangan semesteran) juga harus menghilangkan soal yang jawabannya memilih (A, B, C, D, atau E). Sudah saatnya pertanyaan seperti itu dibuang ke keranjang sampah.
Konsekuensi lainnya adalah kerja keras guru untuk mengoreksi jawaban-jawaban yang berupa esai. Bukankah guru—dan dosen, adalah tenaga profesional? Maka ia harus profesional pula menjalankan tugas dan peranannya. Apa pun alasan dan dasar pemikirannya, menurut hemat saya, soal-soal ulangan atau ujian yang di sana sudah tersedia jawabannya –A, B, C, D, dan E apalagi yang jawabannya B (benar) atau S (salah), tidak membuat peserta didik berpikir kreatif. Bagaimana pelajaran keterampilan berbahasa (menulis dan membaca) dan kemampuan apresiasi sastra, klimaksnya (: ujian) dengan menjawab yang cenderung untung-untungan?
Kaitannya dengan KTSP jelas sudah! KTSP memberi kebebasan yang luas bagi pengembangan kreativitas guru dan peserta didik. Maka, pelajaran sastra yang utama adalah apresiasi, dan itu hanya mungkin dapat dilakukan jika guru dan siswa membaca karya sastranya. Sejumlah karya sastra bertebaran di muka bumi ini, apalagi khazanah sastra tradisional semacam dongeng dan cerita rakyat. Mengapa khazanah sastra yang seperti itu tidak dimanfaatkan untuk pembelajaran sastra di sekolah? Sudah saatnya, guru menunjukkan keyakinan dan keberaniannya untuk menyampaikan bahan pengajaran yang menurutnya baik, sesuai, dan asyik. Bahwa di sana ada kurikulum, tokh KTSP telah memberi kelonggaran dan kebebasan untuk menerjemahkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Bukankah di sana ada pula muatan lokal dan bahan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat?
Bahwa di sana menunggu makhluk menakutkan yang setiap saat bakal memangsa para peserta didik lewat apa yang disebut sebagai ujian nasional? Inilah bencana nasional berikutnya jika ujian nasional itu diperlakukan sebagai satu-satunya ukuran meluluskan peserta didik. Ujian nasional, jika memang masih diperlukan, hanya berfungsi untuk memetakan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, dan bukan untuk menentukan lulus tidaknya peserta didik.
Akhirnya, mesti saya sampaikan bahwa kurikulum bukanlah kitab suci. Ia sekadar panduan yang penerjemahannya sangat bergantung pada guru. Jadi, biarkanlah guru mengembangkan kreativitasnya sendiri. Biarkanlah guru menerjemahkan sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, jika KTSP memang hendak dijalankan secara konsekuen, pemerintah perlu mempertimbangkan format ujian nasional yang tidak lagi menjadikannya sebagai alat satu-satunya meluluskan atau tidak meluluskan peserta didik. Sebaliknya, jika format ujian nasional tetap dijadikan ukuran satu-satunya kriteria bagi kelulusan siswa, maka semangatnya bertentangan, kontradiksi, berlawanan, bertolak belakang dengan KTSP!
Demikianlah!
---------------------------
Lihat butir B (Tujuan) dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendiidikan (KTSP).
Kurikulum Tingkat Satuan Pendiidikan (KTSP) dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik. KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunannya dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) –sebelumnya bernama Pusat Kurikulum (Puskur).
Mencermati semangat yang mendasaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka kurikulum ini sesungguhnya memberi peluang bagi guru dan sekolah di berbagai daerah untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kondisi guru, siswa, komite sekolah, sekolah, dan keadaan masyarakat dan budaya setempat. Sedikitnya ada lima hal penting yang menjadi ciri KTSP, yaitu (1) KTSP bersifat fleksibel. Adanya semangat fleksibilitas ini tampak dari adanya kebebasan untuk menambahkan empat jam untuk mata pelajaran wajib atau mata pelajaran muatan lokal; (2) mengingat KTSP dikembangkan berdasarkan pertimbangan (a) satuan pendidikan, (b) potensi daerah, (c) kondisi sosial budaya setempat, dan (d) kondisi peserta didik, maka pihak guru dan sekolah dapat leluasa mengelola sendiri manajemen sekolah dan mengembangkan satuan pendidikan yang sesuai dengan kondisi sekolah, guru, dan peserta didik; (3) mengingat butir (2) tadi, maka KTSP menuntut kreativitas guru dan sekaligus juga mendorong peserta didik lebih aktif; (4) KTSP juga dikembangkan dengan prinsip diversifikasi, artinya sekolah dimungkinkan menjabarkan sendiri standar isi dan standar kompetensinya dengan memasukkan muatan lokal –propinsi, kabupaten/kota, dan lokal sekolah; (5) KTSP sejalan dengan konsep desentralisasi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah (school-based management). Dengan demikian, sekolah dapat meningkatkan peran komite sekolah untuk kepentingan pengembangan satuan pendidikannya. Demikian juga, sekolah dapat bekerja sama dengan stakeholders pendidikan atau dengan organisasi kemasyarakatan atau organisasi profesi, dalam hal yang menyangkut manajemen sekolah, pengembangan muatan lokal, atau pengembangan kegiatan kurikuler.
Konon, pengembangan KTSP didasarkan pada upaya memaksimalkan fungsi dan peran strategis guru dan dosen yang meliputi: (a) penegakan hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional, (b) pembinaan dan pengembangan profesi guru dan dosen, (c) perlindungan hukum, (d) perlindungan profesi, dan (e) perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Jadi, guru dan dosen sebagai tenaga profesional mestinya bekerja secara profesional yang punya kesadaran untuk terus-menerus meningkatkan kinerja dan kualitas kerjanya, dan bukan menjalani tugas atau pekerjaan rutin yang tanpa usaha untuk mengembangkan diri. Kesadaran sebagai tenaga profesional inilah yang mestinya menjadi sikap dasar dan etos kerja setiap guru dan dosen. Dalam konteks itu pula slogan palsu: “Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa” harus dikubur sedalam-dalamnya dan dicampakkan sekarang juga. Sebagai tenaga profesional, guru—dosen harus punya sikap dan harga sesuai dengan kompetensinya. Jadi, tunjangan kesejahteraan bagi guru—dosen mestinya menjadi prioritas utama jika memang guru—dosen dianggap sebagai tenaga profesional. Oleh karena itu, jika ada perubahan kurikulum, pemerintah berkewajiban meningkatkan kesejahteraan guru—dosen dalam setiap ada perubahan kurikulum. Janganlah ada kesan perubahan kurikulum sebagai proyek pemerintah pusat yang korbannya tidak lain adalah guru-guru dan dosen di berbagai daerah.
Kurikulum 1994 menghendaki guru lebih kreatif dan menjalankan peran pengajarannya di depan kelas sesuai dengan yang ditetapkan kurikulum. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menekankan bahwa yang lebih kreatif itu adalah peserta didik. Guru bertindak sebagai fasilitator. Dalam KTSP tuntutan agar guru lebih kreatif itu ditujukan dan berlaku juga pada peserta didik. Jadi KTSP seperti menggabungkan semangat yang melandasi Kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompetensi.
E. Mulyana beranggapan bahwa “kekurangpahaman guru dan penyelenggara pendidikan terhadap kurikulum bisa berakibat fatal terhadap hasil belajar peserta didik. Hal ini terbukti, ketika mereka dihadapkan pada ujian nasional. Mereka sering kelabakan, dan sering ketakutan, takut kalau-kalau peserta didik di sekolahnya tidak bisa mengerjakan soal-soal ujian dan tidak lulus.” (Dr. E. Mulyana, M.Pd., Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 5—6.
Dalam konteks itu, guru kelas atau guru yang mengajar mata pelajaran yang sama pada tingkat satuan pendidikan untuk satu sekolah atau kelompok sekolah diberi kebebasan untuk menyusun silabus sendiri yang pemberlakuannya ditentukan oleh Kepala Sekolah dan diketahui oleh komite sekolah dan dinas kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan. Jadi kepada komite sekolah dan birokrat pendidikan di daerah masing-masing sifatnya pemberitahuan.
E. Mulyana, Op. Cit., hlm. 6. Diyakini bahwa untuk mengetahui keberhasilan pendidikan secara nasional, tidak dapat lain, kecuali harus diadakan ujian nasional. Ia menawarkan gagasan, bahwa untuk kepentingan pendidikan nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bisa dilakukan bukan dalam bentuk ujian, tetapi dalam bentuk penilaian nasional. Menurutnya, Ujian Nasional perlu diganti dengan Penilaian Nasional. Sayangnya, usulan penggantian nama dari Ujian Nasional menjadi Penilaian Nasional tidak disertai penjelasan yang terinci berkaitan dengan format, langkah-langkah, dan model soalnya. Sekadar pergantian nama, tanpa dibarengi dengan perubahan substansi dan paradigmanya, tentu saja hanya akan menghasilkan hal yang sama. Menurut hemat saya, ujian nasional atau apa pun namanya, mesti diperlakukan sekadar sebagai usaha untuk mengukur standar pendidikan nasional, dan bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik.
E. Mulyana bahkan menegaskan, bahwa agar Negara (Indonesia) tidak porak-poranda hanya karena penyelenggaraan pendidikan yang berbeda, dan jurang perbedaan ini hanya bisa ditutup dengan suatu sistem penilaian nasional, sehingga kita tahu mana yang harus ditambah dan mana yang harus dikurangi. Ibid., hlm. 6—7. Pandangan Mulyana tegas menyatakan bahwa ujian nasional—atau penilaian nasional, nama yang diusulkannya—adalah satu-satunya alat untuk mengukur standar pendidikan nasional.
Dalam KTSP nama pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sudah dikembalikan ke nama semula, yaitu pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi, pelajaran sastra berada di bawah payung pelajaran Bahasa Indonesia. Meskipun muatan dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pelajaran sastra relatif proporsional dengan pelajaran bahasa, dampaknya tetap saja akan sangat besar mengingat pelajaran sastra kembali hanya sebagai tempelan dalam pelajaran Bahasa Indonesia.
Berikut dikutip butiran yang ingin dicapai oleh standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia: (1) peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri; (2) guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar; (3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya; (4) orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah; (5) sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; (6) daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
Berikut dikutip enam tujuan pelajaran Bahasa Indonesia: agar peserta didik memiliki kemampuan dalam (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan, maupun tulis, (2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, (3) memahami bahasa Indonesia dan (dapat) menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual serta kematangan emosional dan sosial, (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Beberapa tahun yang lalu, Taufiq Ismail dkk menyeleksi sejumlah buku bacaan wajib –novel, antologi puisi, antologi cerpen, karya terjemahan, dan esai untuk tingkat SD, SMP, dan SMA dalam sebuah lokakarya yang diselenggarakan Dikdasmen Diknas. Beberapa judul buku yang diusulkan dikirim ke perpustakaan di berbagai pelosok Tanah Air. Untuk satu judul buku dikirim 10 eksemplar. Untuk tingkat SMA judul buku yang ditawarkan berjumlah 50 judul yang dapat dipilih oleh masing-masing sekolah 25—30 judul lengkap dengan nama pengarang dan data publikasinya. Pencantuman 15 buku sastra dan nonsastra dalam KTSP memberi peluang bagi penerbit untuk menyodorkan buku terbitannya, meskipun kualitasnya rendah. Sebagai contoh, salah satu buku yang pernah menjadi buku wajib di SMA berupa buku sejarah sastra Indonesia yang ditulis oleh pengarang yang tidak terkenal dan diterbitkan oleh penerbit yang juga tidak jelas. Lebih buruk lagi, sejumlah keterangan dalam buku itu salah dan menyesatkan. Jadi adanya keterangan (dalam KTSP) “Pada akhir pendidikan di SMA/MA, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra” memberi peluang adanya permainan yang tidak senonoh antara penerbit, pengarang, dan pihak sekolah.
Periksa kembali catatan kaki 11 dan 12.
Sutan Takdir Alisjahbana dalam resensinya yang dimuat Poedjangga Baroe, No. 11, Th. II, Mei 1934, hlm. 353—356, mengkritik buku tatabahasa C.A. Mees, Beknopte Maleische Grammatica. Dikatakannya bahwa buku itu ditujukan untuk orang Belanda yang belajar bahasa Melayu. Jadi tidak tepat jika buku itu digunakan untuk orang Indonesia yang belajar bahasa Melayu.
Sutan Takdir Alisjahbana, “Pengadjaran Bahasa” Poedjangga Baroe, No. 2, Th. I, Agoestoes 1933, hlm. 33—35.
Ibid., hlm. 35.
Pengalaman seorang guru bahasa Indonesia SMA di Jakarta kiranya patut direnungkan. Ketika ia sedang mengajar di depan kelas dengan materi satuan bahasa, salah seorang siswa bertanya: “Bapak, apa gunanya pelajaran ini jika nanti saya bekerja di sebuah bank atau perusahaan kontraktor? Apakah fonem dan morfem itu dapat membantu saya menghitung angka-angka atau kalkulasi untung-rugi?”
Bulan November 2006, saya diminta berceramah tentang teori dan kritik sastra di Sekolah Tunas Harapan Sentul. Tujuannya, agar para siswa dapat mengapresiasi karya sastra yang dianjurkan guru kelas. Sebelum memulai, saya bertanya kepada beberapa siswa tentang konsep-konsep, seperti alur, tokoh, dan lain-lain. Mereka dapat menjawab dengan sangat baik. Lalu, saya tanyakan lagi, buku-buku (novel, cerpen, puisi, atau drama) yang pernah dibaca mereka. Mereka pun menjawab dengan sangat meyakinkan. Ketika ditanya lagi, bagaimana mereka memahami alur, tokoh, dan konsep-konsep itu dalam karya yang sudah dibaca mereka itu. Tak ada yang bisa menjawab. Tetapi ketika saya tanya, bagaimana nasib yang menimpa tokoh A dalam novel itu, mengapa dia bernasib seperti itu, apa yang menyebabkannya, mengapa dalam novel itu masyarakat memperlakukan tokohnya seperti itu, adakah latar peristiwa itu mempengaruhi sikap masyarakatnya, bagus atau menarikkah karya itu, mengapa, adakah kelemahannya, dst. Ternyata beberapa siswa dapat menjawab panjang lebar. Siswa lain ada yang mendukung dan membantah. Terjadi perbedaan pendapat. Saya katakan, semuanya benar! Itulah apresiasi sastra.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar