Rabu, 31 Desember 2008

Butet Kertaredjasa dan Tanda-tanda Jaman

Rakhmat Giryadi*
http://teaterapakah.blogspot.com/

Dalam konsep drama tragedi terdapat monolog, soliloque, dan aside. Masing-masing memiliki peran dan fungsi yang berbeda-beda. Monolog merupakan perenungan terhadap peristiwa yang sedang menimpa sang tokoh. Dalam drama tragedi misalnya, sang tokoh biasanya berujar sendiri terhadap nasib yang menimpanya. Seperti Hamlet ketika berbicara sendiri setelah mendapat bisikan dari roh bapaknya, yang ternyata dibunuh oleh pamannya.

Dalam drama tragedi, monolog muncul disaat tokoh sedang mengalami krisis. Dalam hal ini sang tokoh berusaha menemukan kembali (discovery) kenyataan-kenyataan yang dia hadapi. Disaat penemuan kembali itulah nasibnya dipertaruhkan (peripetia). Sang tokoh menemukan titik baliknya, apakah akan menuju tragedi atau katarsis, hanya nasiblah yang tahu.

Kemunculan Butet Kertaredjasa, ketika puncak kekuasaan Orde Baru berada dalam krisis adalah sangat tepat. Pada saat itu, kehidupan sosial politik mengalami ketegangan. Dalam struktur drama tragedi disebut peripetia (titik balik) tadi. Dalam konsep itu terkandung pengertian, terjadi karena adanya penemuan kembali (discovery) dari avidya menjadi vidya, dari cinta menjadi benci, atau dari beruntung ke nasib buruk. (Bakdi Sumanto : 2001: 245).

Namun Butet Kertaredjasa bukanlah tokoh utama. Dia tokoh yang berada dipinggir panggung kekuasaan yang bersama ratusan juta rakyat Indonesia mengalami nasib yang sama. Dimana kehidupan demokrasi dikekang. Disaat seperti itu, ia muncul dengan tepat lewat naskah Lidah Pingsan (Agus Noor dan Indra Tranggono, 1997).

Sebagai bagian dari drama tragedi, monolog Butet melibatkan orang-orang dalam istana kekuasaan. Melalui tokoh-tokoh besar itulah drama tragedi bisa berlangsung. Monolog Butet merupakan ketegangan antara rakyat dan kekuatan kekuasaan.

Dalam ketegangan itulah, harapan dan kecemasan saling bersinggungan. Karena pada saat itu jarak antara hidup dan mati, antara nasib baik dan buruk, menjadi sangat nisbi. Antara kebenaran dan keburukan juga sangat rentan. Kemunculan Butet menjadi penanda irama tragika itu sedang menuju yang dinamakan peripetia tadi.

Dengan sangat cerdik, kemudian Agus Noor dan Indra Tranggono mencobakan kembali naskah monolognya, pada tahun 1998, ketika masa ketegangan itu mencapai puncaknya. Lidah Masih Pingsan (1998) menjadi pertunjukan yang satiris sekaligus tragis untuk mencari sebuah katarsis.

Namun sebagaimana alur drama tragedi, penemuan kembali (discovery) dan titik balik (peripetia) akan menjadi tidak berdaya, ketika nasib berbicara lain. Dan nasib itu bisa terbaca saat musim reformasi berlangsung. Saat itu penguasa dengan menggunakan kekuatan militernya mampu ‘memukul’ kekuatan rakyat. Inilah sumber konflik batin, yang menampilkan seorang tokoh besar menjadi megah sekaligus jalan menuju kehancurannya. Dan kita sudah melihat sendiri, korban politik berjatuhan.

Dalam konseb drama tragedi situasi semacam ini dinamakan harmatia (salah pilih). Sumber harmatia adalajh free will, yaitu kemerdekaan melakukan sesuatu (Bakdi Sumanto: 2001:254). Seperti diketahui penguasa memilih represif pada kekuatan rakyat. Mereka memilih membunuh, menghilangkan, dan menculik kaum reformis. Inilah masa akhir drama tragedi itu. Agus Noor dan Indra Tranggono menandainya dengan pentas monolog Butet, Mayat Terhormat (1999).

Matinya Toekang Kritik (Agus Noor, 2006) adalah masa jeda yang panjang setelah musim reformasi yang tak menemukan jawabannya. Selama masa jeda itu agenda reformasi hanya diisi dengan ‘debat kusir’ yang tak ada ujung pangkalnya. Banyak politisi karbitan. Banyak kritikus gadungan. Dan banyak pula penguasa-pengusa dadakan yang diuntungkan oleh nasib baik. Maka selama jeda panjang ini yang terjadi adalah sebuah rekayasa demokrasi, untuk melanggengkan kekuasaan.

Saya mencatat, Matinya Toekang Kritik adalah babak akhir –kalau boleh saya sebut- dari tetralogi monolog yang dibuat Agus Noor dan Indra Tranggono (Lidah Pingsan (1997), Lidah Masih Pingsan (1998), Mayat Terhormat (1999)) yang diperankan oleh Butet tersebut.

Bisa jadi, bagian akhir ini juga menandai berakhirnya sebuah harapan tentang demokrasi yang sehat. Matinya Toekang Kritik bukan mencerminkan sebuah kekuasaan yang telah berlaku adil dan tanpa celah untuk kritik, namun justru menggambarkan situasi membuncahnya kritik yang tanpa didasari oleh semangat demokratisasi.

Dalam hal ini saya teringat dengan cerpen Budi Darma, Kritikus Adinan, dan juga Pengarang Rasman. Kritik yang baik dan benar, telah terkubur hidup-hidup oleh kekuatan ‘rezim anti kritik.’ Kalau tukang kritik sudah mati (dibunuh), apa yang akan terjadi? Apakah mereka (kita) menyerah?

Ternyata Agus Noor dan Indra Tranggono tidak kehabisan (akal) energi. Mereka malanjutkan dengan naskah monolog Sarimin (2007) yang telah dipentaskan pada Art Summit (Jakarta 17-19 November), Purna Budaya (Yogjakarta, 26-27 November), dan di gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur (14-15 Desember).

Saya kira Sarimin bagian dari akibat salah pilih (membunuh kritik). Hukum tidak ditegakkan. Yang benar diganjar (dihukum), yang salah disembah. Logika menjadi terbolak-balik, tergantung kepentingannya. Karena itu dialog yang sangat menarik dan patut direnungkan dalam Sarimin, adalah ‘Karena benar, maka kamu salah.’

Begitulah, ketika kritik buntu, kejujuran menjadi sesuatu yang sangat mahal. Agus Noor, Indra Tranggono, Butet Kertaredjasa, mengajak kita untuk merenung di tengah hukum yang carut marut. Monolog-monolognya menjadi penanda, sekaligus renungan kala kekuasaan (hukum) tidak berlaku adil.

Penanda itu semakin jelas, ketika seorang petinggi kepolisian di Surabaya, mengancam monolog Butet akan dicekal karena terlalu kritis mengkritik intitusinya. Meski tidak jadi dicekal, kenyataan ini menegaskan bahwa tengara ‘empat jagoan’ (Agus Noor, Indra Tranggono, Butet Kertaredjasa, dan Jaduk Ferianto) menemukan jawabannya, bahwa yang benar (jujur) bisa menjadi ajur (salah) ketika kekuasaan (hukum) berkata salah.

Maka akhir drama tragedi bangsa ini tergantung dari hasil negoisasi antara kekuasaan dan rakyat. Tragedi ini akan berakhir indah, jika demokrasi ditegakan. Demokrasi bisa tegak kalau hukum berlaku adil. Jika tidak, maka negeri ini menjadi negeri Sarimin. Negeri komedi kera. Rakyat hanya dikeluh (diperintah) kesana-kemari, jungkir balik (berakrobat) demi nasib sang majikan. Dengan cerdik, kita telah ditunjukan oleh ‘empat jagoan’ dari Jogjakarta, bahwa kita tidak lebih baik dari kera, eh Sarimin.

*) Pekerja teater tinggal di Sidoarjo.

Jumat, 26 Desember 2008

Sajak-Sajak Hamdy Salad

http://m.infoanda.com/
BIDADARI BUMI

Akulah bidadari yang turun ke bumi membawa satu panji: cahaya matahari!

Kugali makam tirani sepanjang zaman dan kusulam selendang sutra dari kafannya lalu kalungkan pada leher mahkota manusia, bukan lelaki atau perempuan bukan budak atau tuan

Kukobarkan api dan panas bumi membakar istana dan kerajaan sampai hangus jiwa-jiwa tak berperi jadi berlian, cinta segala yang dihidupi sebab bumi bukanlah asal kematian bukan juga panah besi yang ditancapkan ke dalam dada cucu adam dan hawa

Akulah bidadari yang turun ke bumi membawa satu janji: muka-muka berseri!

2006



SEPASANG CERMIN LUKA

buku takdir terbuka semua kata kan terlahir dan kembali ke halaman muka

Bayang-bayang menggambar dunia melihat wajah sendiri penuh debu segumpal darah mencair dan merembes ke dalam tanah tanpa akhir nama-nama berpaling dari kartu menilap cahaya sekeping waktu tak ada genderang bisa ditabuh kecuali mimpi dan guling terjatuh

Para pendaki tertambat ombak para pelaut tersambar kabut percakapan sunyi sejarah maut

Jejak usia mengerang di ranting pohon seperti burung menyusun sarangnya menetaskan telur bagi pemangsa yang hitam memakan daging hitam yang putih memakan daging putih tulang-tulang berserakan dalam jiwa dan merintih mencari asal usulnya

Anak pergi meninggalkan rahim rahim pergi meninggalkan ibu ibu pergi meninggalkan kayu api api berkobar di jantung lima benua

lenyap segala rupa gelap tak terkira

Sepasang cermin mengeringkan luka menunggu daging baru dari tubuhmu

2006

Estetika Kekerasan dalam Pandora

Melani Budianta*
http://majalah.tempointeraktif.com/

Penyair Oka Rusmini memperlakukan tubuh bagai menu santapan. Puisi yang menohok kemunafikan.

Pandora, dalam versi yang umum diketahui, adalah perempuan yang diciptakan para dewa dan dikirim ke bumi dengan kecantikan, kepandaian, dan rasa ingin tahu yang tinggi. Kepadanya diberikan pula sebuah peti yang tak boleh dibuka, dan pada akhirnya—tak bisa tidak—dibukanya. Maka segala bencana, penyakit, dan malapetaka menyebar dari peti. Pakar feminis menemukan asal muasal Pandora dalam mitologi klasik sebagai dewi pemberi hadiah, yang entah bagaimana diubah sosoknya menjadi perempuan pembawa segala kesialan.

Apa jadinya jika peti Pandora bukan berisi hama dan bibit penyakit, melainkan kemampuan perempuan penyair—seperti Oka Rusmini—untuk menulis dan mengungkapkan rahasia hidup? Peti yang satu ini lebih berbahaya. Jika nekat dibuka, berbagai aspek kehidupan yang tak ingin kita lihat dari lubuk hati terdalam berloncatan, dan dengan garang menyergap serta mencabik-cabik diri kita.

Keberhasilan sebuah puisi—menurut Acem Zamzam Noor—diukur dari sejauh mana puisi itu ”membuat bulu kuduk berdiri”. Pandora karya Oka Rusmini yang diterbitkan bulan lalu dapat dipastikan mencapai hal ini. Seperti diuraikan di catatan penutup, penyair Bali ini ”menyajikan tubuh sebagai menu santapan”. Dalam sajak Kepompong, aku lirik ”mulai pandai menanak hati, juga jantung, dengan sop darah yang kuisap dari permainan ini”. Dua ranah imaji yang bertolak belakang disatukan, yakni imaji santapan dan imaji-imaji dengan konotasi yang menghilangkan selera makan, seperti nanah, daging berbelatung, dan lemak amis.

Relasi laki-laki-perempuan, ibu, ayah dan anak dibingkai imaji kekerasan: ”perempuan yang rajin sekali menerkam tubuhku dengan mulutnya”, laki-laki ”menusukkan beratus pensil warna-warni ke jantungku”, janin yang ”mencungkili daging tubuh”, dan alam yang menjadi saksi keliaran metafora tubuh.

Jadi, kalau Oka mengumumkan akan memasuki fase sajak yang bersifat ”prosaik” dalam kata pengantar, jangan mengharap akan dipandu oleh narasi linear. Penalaran logis tak cukup menyiapkan kita pada hamburan yang meletup dari peti Pandora. Kita tidak bisa menahan kata demi kata itu satu per satu. Tak ada jalan lain kecuali membiarkannya berhamburan, dan kita pun mendengarnya tanpa harus berpegang pada makna, membiarkan diri larut dalam gejala ”paranoia” atau ”skizofrenia”. Perlahan, berulang-ulang estetika kekerasan itu membentuk polanya sendiri—walau mungkin berbeda dengan simbolisme personal yang dimaknai oleh Oka, yang menyimpan kunci petinya.

Siklus hidup berputar bukan di tataran Mahameru, tapi dalam kehidupan sehari-hari. Di ruang tunggu dokter kandungan, sajak-sajak Oka, seperti Gestural, Vagistin, Embrio, terasa mengasyikkan. Dan siapa pun yang berani mengakui benci tapi rindu, sayang tapi berang, hormat sekaligus jengah terhadap ”laki-laki yang pernah menanam” dirinya akan menangkap nuansa ”Lelaki yang Memadamkan Bintang di Matanya”. Bagi saya sebagai seorang ibu, sajak-sajak Pasha, Den Haag, Lelakiku dan Spora, Ketika Kau Sakit, mengungkap karut-marut gairah sekaligus gelisah seorang ibu dengan menggetarkan, tanpa terbebani mitos-mitos.

Dalam keliaran imaji yang saling menerkam dalam Pandora, di antara aroma dupa dan bunyi genta, kita mendengar lagu purba, siklus kehidupan manusia. Kelahiran, periode dewasa, dan kematian dilantunkan dengan nuansa berbeda-beda, dari yang bergelegak sampai yang mengalun lirih. Sementara Pandora dibuka dengan letupan: ”Sebuah pintu kubuka dengan darah”, sajak-sajak penutup mengendurkan napas. Sajak Fatamorgana 1 diawali dengan diksi kental kekerasan, tapi ditutup nyaris lembut: ”Kalau kutemukan lelaki yang pandai menyisir akar-akar otakku/aku akan membawa makhluk itu pulang. Biar ia menjaga sisa/usiaku.”

Melalui estetika kekerasan, Pandora menyentakkan kita dari kemapanan, menyadarkan kita akan yang kita sembunyikan di bawah basa-basi, dan menohok kemunafikan. Pada saat yang sama, kita dihadapkan pada kosmologi yang menerima kekerasan sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Gaya semacam ini mengandung kekuatan sekaligus risiko. Jika metafora ”perempuan yang mencangkuli tubuhnya sendiri” dan serentetan kiasan serupa terus-menerus diulang, kejutannya akan melemah.

*) Guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

BERGURU PADA KETERBIUSAN MENULIS BUDI DARMA

Sutejo
Ponorogo Pos

Tanggal 8 Desember 2007 adalah hari pelepasan seorang sastrawan besar Indonesia. Sastrawan itu sering memiliki jargon yang unik, jargon itu diantaranya adalah (i) bahwa dunia sastra adalah dunia jungkir balik, (ii) pada mulanya karya sastra adalah tema, (iii) menulis itu berpikir, (iv) menulis rangkaian dari peristiwa kebetulan, (v) menulis itu seperti naik pesawat terbang (kuatnya imajinasi),

Novel Tentang TKW, oleh TKW, untuk Kita

Judul: Ranting Sakura
Penyusun: Maria Bo Niok
Penerbit: P_Idea, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, April 2007
Tebal: xii + 176 halaman
Peresensi: MG. Sungatno
Panyingkul, 11-08-2007

Selasa, 23 Desember 2008

Bahan Bakar Sastra

Eriyandi Budiman
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

Tragedi lumpur Lapindo, penyerangan terhadap aliran keagamaan yang berbeda, hingga beragam tragedi yang menimpa bangsa Indonesia lainnya, berbaris seperti jutaan kendaraan bermotor di jalur "leher botol". Memadat. Beragam kejadian aneh hingga yang remeh-temeh ini, menjadi menu baru bagi pengamatan sosiopsikologis, yang membutuhkan pengamatan ekstra tinggi.

Bagi dunia sastra, yang banyak berkubang dengan persoalan-persoalan tragis, beragam kejadian itu, tentu menjadi bahan bakar, yang dapat memompa semangat berkarya. Dalam artian, untuk turut menjadikan beragam kejadian itu, sebagai pintu masuk imajinasi, sekaligus memompakan semangat kelahiran moralitas baru.

Bahan bakar ini, tentu bukan untuk sekali dilahap kemudian melahirkan karya. Perlu perenungan panjang dan mendalam, agar karya yang dihasilkan benar-benar berkualitas.

Kumpulan cerpen Manusia Kamar, Saksi Mata, hingga novel Negeri Senja karya Seno Gumira Adjidarma, merupakan contoh karya yang berbahan bakar fenomena sosial di Indonesia, yang diolah menjadi karya-karya berkualitas.

Bahan bakar sastra, memang dapat dibuat secara implisit maupun eksplisit, tergantung selera eksplorasi masing-masing sastrawannya. Namun kecenderungan karya yang implisit atau metaforistik, memang lebih dominan. Sejak tahun 60-an, karya-karya seacam ini memang menguat, lalu meledak di tahun 70-an, lalu menguat kembali pada generasi 80-an hingga 2000-an. Hal ini memang sejalan dengan perkenalan dengan bahan bakar sastra yang lebih luas, selain karya-karya sastra global yang menyerbu pelataran ranah perbukuan sastra di tanah air. Naiknya jumlah sastrawan kelas menengah, dalam artian melek baca dan tidak gagap teknologi, juga menguatkan gaya-gaya metaforistik yang makin beragam dalam dunia sastra kita.

Para sastrawan muda kini mempunyai pandangan yang lebih luas, serta pergaulan dalam memahami karya-karya yang lebih ruwet, kompleks, serta multi disiplin. Bisa dikatakan, bahan bakar yang mereka cerna juga kian kompleks dan akseleratif. Tentu karena bahan bakarnya juga kian akseleratif. Jumlah penyakit hingga jenis makanan saja bertambah, apalagi problem-problem sosial dan psikologis. Kelahiran sastra cyber, percakapan SMS, bentuk-bentuk e-mail, kelahiran novel grafis, dan lain sebagainya, merupakan cara ungkap baru dalam mengikuti akselerasi bahan bakar sastra itu. Cara itu, juga menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi budaya, bagaimana karya-karya sastra terkini, dapat masuk ke wilayah pemahaman publik barunya pula. Sederetan publik yang diasumsikan hidup dalam masyarakat postmodern, yang rakus dalam mengonsumsi apa pun yang bernama produk baru.

Sayangnya, karya-karya dengan kecenderungan baru ini, baru terserap di tataran yang tinggi, dan belum menyebar ke berbagai pelosok. Hanya beberapa toko buku besar serta toko buku alternatif, dan sedikit perpustakaan di kampus-kampus, yang memajang karya mereka.

Padahal, karya-karya seperti ini membutuhkan daya dukung distribusi yang kuat. Ini disebabkan banyak karya-karya sastra diterbitkan penerbit-penerbit kecil, yang akses distribusinya lemah. Sedangkan beberapa penerbit besar, terutama yang juga mempunyai jaringan toko buku, hanya berada di kota-kota besar. Sehingga bahan bakar yang telah mendorong kelahiran sastra-sastra baru ini, menumpuk di gudang atau terbanting oleh dorongan buku-buku lain yang kian banyak. Karena umumnya, toko besar mempunyai jangka waktu tertentu untuk memajang sebuah buku. Sedangkan toko-toko kecil lebih banyak memajang karya-karya pop atau daur ulang cerita rakyat.

Tumbuhnya kembali pengadaan buku oleh pemerintah, baik lewat dana BOS, Bapusda (Badan Perpustakaan Daerah), serta DAK (Dana Alokasi Khusus), belum dapat sepenuhnya menyalurkan karya-karya bermutu ini ke perpustakaan. Dana BOS bisa kita maklumi karena hanya membeli buku pelajaran. Namun pada dua pendanaan lain, sebetulnya peluang itu ada. Hanya, masalahnya, para penerbit projekan ini lebih banyak yang masih buta dalam dunia sastra.

Pada tataran ini, karya-karya (khususnya yang berada pada ranah budaya), masih didominasi cerita anak-anak yang dibuat dalam kualitas yang kurang memadai. Baik dari unsur alur, penokohan, dan terutama bahasa. Begitu pula penampilan ilustrasi dan gambar sampul yang sering tampak serampangan. Desain gambar sampul banyak terabaikan. Sehingga, ada kecenderungan bahwa buku-buku sastra yang masuk ke projek pemerintah ini, kurang menarik untuk dibaca. Lalu untuk tingkat sekolah menengah dan atas, karya-karya sastra lebih terabaikan lagi. Karena karya-karya yang masuk lebih banyak untuk tingkat SD.

Maka, tak heran, banyak para pelajar juga guru sastranya, terutama karena akses mereka yang terbatas terhadap dunia perbukuan, juga minat dan daya juangnya yang rendah, tak mengenal karya-karya para sastrawan baru ini. Sehingga mereka tidak merasa melihat bahwa bahan bakar sastra yang ada, yang mereka rasakan, tidak ada dalam karya sastra. Pengadaan buku bahasa dan sastra Sunda yang baru dimulai, untungnya lebih baik dibanding bahasa dan sastra Indonesia .

Ke depan, saya yakin, akan banyak karya-karya sastrawan baru ini yang masuk ke dalam pengadaan buku oleh pemerintah.

APRESIASI SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Apakah pengajaran sastra (Indonesia) di sekolah bertujuan agar siswa (a) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (b) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia, atau agar siswa memperoleh pengetahuan (a) tentang sastra dengan berbagai teori dan (b) nama pengarang, judul, dan angkatan-angkatan?

Jika merujuk pada tujuan yang hendak dicapai pada tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mulai diberlakukan tahuan ajaran 2006—2007 dan yang pemberlakuannya didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 dan 23/2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, maka sesungguhnya KTSP memberi peluang yang lebih leluasa bagi guru dan pihak sekolah untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kompetensinya. Tetapi dunia pendidikan (baca: hidup) di Indonesia sering kali serba tidak terduga. Seloroh ganti menteri, ganti kurikulum –yang selama ini selalu menjadi kenyataan—hendaknya tidak lagi terjadi.

Dalam kondisi dunia pendidikan kita yang –konon—berada dalam keadaan karut-marut dengan minimnya kesadaran guru –bahkan juga dosen—bahwa bidang yang mereka masuki bukanlah sekadar sebuah pekerjaan an sich, dengan tugas rutin menyampaikan sesuatu di depan kelas, melainkan sebuah profesi yang semestinya dijalankan secara profesional, maka perubahan kurikulum berdampak sangat luas. Guru seperti dihantui serbuan angin puting beliung yang kerap memporakporandakan sekolahnya. Belum selesai mereka membenahi sekolahnya, belum sempat mandi, ganti baju, dan menyiapkan penampilan baru, sudah datang lagi badai lain yang memaksa mereka terus-menerus membenahi diri. Kondisi itu tentu saja menjadikan kebingungan para guru yang seperti tiada habisnya itu menular kepada diri para siswa.

Perubahan kurikulum juga persoalannya menyangkut banyak aspek: biaya, sikap dan kultur (baca: paradigma) guru yang cenderung mengalami gegar ketika menghadapi perubahan, dan sederet panjang masalah. Sumber masalahnya selalu saja jatuh pada kurikulum.

Tentu saja perubahan kurikulum itu di belakangnya bertumpuk berbagai alasan atas nama kemajuan dan usaha peningkatan kualitas pendidikan nasional. Dengan alasan itu, bolehlah kita memberi apologia kepada para dewa pembuat kurikulum. Oleh karena itu, sebelum kurikulum mutakhir itu hendak dijalankan, seyogianya kita memahami substansi KTSP. Jika, di sana-sini KTSP berisi kemungkinan menjebloskan guru dan siswa ke jalan yang sesat, eloklah kita tolak. Tetapi, jika memberi peluang bagi peningkatan kualifikasi guru, bolehlah dicobakan dahulu selama satu dasawarsa. Di belakang itu, harus ada pula semacam “jaminan” bahwa uji-coba kurikulum atau evaluasi dan revisi kurikulum akan dilakukan dalam waktu tertentu.
***

Jika mencermati setiap muatan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam KTSP, maka segalanya memang baik-baik saja, sama halnya juga dengan Kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompentensi (KBK, 2004). Semuanya bagus dan ideal dengan segudang pengandaian, bahwa dengan pemberlakuan kurikulum ini, guru akan begini, hasilnya juga siswa bakal begini. Sementara, dengan kurikulum itu, guru akan begitu, hasilnya juga siswa akan begitu. Pengandaian ini datang lantaran para perumus kurikulum adalah para dewa yang diminta turun dari kahyangan lalu ditugasi untuk menciptakan satuan-satuan materi pembelajaran yang begitu terinci yang akan diberlakukan untuk semua jenjang pendidikan. Di sana, disertakan pula daftar buku yang diwajibkan, yang dianjurkan atau yang sekadar disebutkan saja judulnya. Sangat mungkin, buku yang diwajibkan susah dicari atau tidak ada di sekolah itu. Atau juga, buku yang diwajibkan itu datang dari penerbit tertentu yang lewat Dinas Pendidikan, semuanya gampang diatur.

Begitulah, keluh-kesah para guru –sejauh pengamatan saya selama berhubungan intim dengan sejumlah guru di berbagai daerah di Indonesia— tertuju pada kurikulum yang seperti didatangkan begitu saja dari langit. Lalu, tiba-tiba, guru diancam untuk melaksanakan kurikulum itu. Guru tidak diberi ruang bergerak yang lebih bebas dan potensi daerah terkesan tidak dapat diakomodasi. Dan –selalu—puncak ketegangan itu terjadi menjelang pelaksanaan Ujian Negara (UN).

Dalam KTSP segalanya seperti hendak “diserahkan” kepada guru dan sekolah masing-masing. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang menarik yang ditawarkan dalam KSTP, yaitu guru dan sekolah –terlepas dari campur tangan Kepala Dinas—diberi peluang untuk membuat silabus, kurikulum, dan indikator-indikatornya sendiri. Di sana, tidak ada keharusan menggunakan kurikulum tertentu beserta sejumlah daftar bukunya yang juga tertentu. Dalam hal ini, prinsip fleksibilitas memberi keleluasaan bagi guru untuk menambah jumlah jam pelajaran per minggu sesuai kebutuhan. Di sana, diizinkan pula memasukkan muatan lokal sebagai bahan pelajaran yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.

Dalam konteks pelajaran sastra, muatan lokal tentu saja bertebaran begitu banyak, mulai dengan memanfaatkan khazanah cerita rakyat, dongeng, seni pertunjukan, bahkan juga cerpen yang dimuat di koran-koran lokal pada setiap hari Minggu. Jadi, tidak ada alasan bagi guru untuk berkeluh-kesah menangisi tiadanya bahan pelajaran, lantaran KTSP memberi peluang bagi guru dan sekolah untuk mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan tuntutan sekolah atau daerahnya.

Lepasnya campur tangan Kepala Dinas atau birokrat pendidikan, di satu pihak memberi kebebasan bagi guru dan pihak sekolah mengembangkan diri dan memanfaatkan berbagai bahan yang sesuai dengan kebutuhan, dan di lain pihak, menuntut guru bekerja lebih keras untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri, termasuk persoalan yang menyangkut manajamen sekolah dan kegiatan rutin pembelajaran (bidang akademis). Jadi, sangat mungkin dalam ihwal muatan lokal, setiap sekolah mengajarkan materi yang berbeda-beda. Tetapi di situlah KTSP mengakomodasi potensi daerah yang menyangkut kehidupan sosio-budaya serta kondisi peserta didiknya.

Persoalan yang mungkin bakal menjadi kendali bagi pelaksanaan KTSP adalah masih adanya penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). Problem pelaksanaan kurikulum sesungguhnya juga lantaran adanya kecenderungan pengajaran yang berorientasi pada keberhasilan UN. Keberhasilan guru mengajar sering kali diukur oleh keberhasilan siswa lulus UN. Akibatnya, UN dianggap sebagai satu-satu tolok ukur keberhasilan guru dan sekaligus juga sekolah. Tambahan lagi, soal-soal UN yang cenderung sebagai standar dan bersifat umum (nasional), tidak hanya menafikan keberadaan muatan lokal, tetapi juga mengandaikan semua sekolah di seluruh Indonesia mempunyai standar kompetensi yang relatif berada dalam tingkat yang tidak terlalu jauh berbeda. Di samping itu, mengingat UN bersifat nasional –massal—maka soal-soal dipilih sedemikian rupa dengan menggunakan pola memilih. Soal-soal semacam ini tentu saja efektif untuk memudahkan koreksiannya. Jawaban yang sekadar memilih A, B, C, D, atau E pemeriksaannya cukup dengan komputer yang dengan sekali pijit enter, segalanya dapat diselesaikan secara cepat, murah, dan mudah.

Untuk mata-mata pelajaran eksakta atau ilmu pengetahuan sosial yang pertanyaannya menuntut jawaban benar atau salah, tentu saja pola soal yang seperti itu dapat diterapkan dengan hasil yang relatif dapat diandalkan. Tetapi untuk pelajaran tertentu yang bersifat keterampilan dan apresiasi–sebutlah mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia— soal-soal semacam itu justru bakal menimbulkan masalah. Oleh karena itu, jika ujian nasional tetap akan diselenggarakan, maka pertanyaan yang menyangkut keterampilan dan apresiasi seharusnya dihilangkan. Sedangkan hasil ujian nasional bukanlah untuk menentukan kelulusan peserta didik, melainkan sekadar untuk mengukur standar pendidikan nasional.
***

Bagaimana pemberlakukan KTSP dalam kaitannya dengan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia? Memperhatikan muatan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) dalam KTSP, maka –sebagaimana yang juga tersurat dalam kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)—segalanya sangat menjanjikan, ideal, dan penuh pengharapan. Demikian juga dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pengajaran Bahasa Indonesia. Jadi, jika tujuan pelajaran bahasa Indonesia dalam KTSP tercapai, maka tak bakal terjadi lagi keluh-kesah tentang kemampuan berbahasa –lisan dan tulis—peserta didik, tak bakal lagi terdengar anggapan bahwa sastra Indonesia terpencil dari masyarakatnya, dan generasi masa depan Indonesia akan menjadi manusia yang gemar menulis dan membaca!

Pengandaian itu menjadi begitu optimistik manakala ada keterangan berikut: “Pada akhir pendidikan di SMA/MA, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra.”

Mengenai Standar Kompetensi yang menyangkut (1) Mendengarkan, (2) Berbicara, (3) Membaca, dan (4) Menulis, penjabaran dalam Kompetensi Dasar khusus sastra Indonesia yang terdiri atas 36—38 materi dalam setiap semester, pelajaran sastra berkisar antara 16—18 materi. Jadi, cukup proporsional. Dari materi sejumlah itu, sekitar 6—8 menyangkut teori dan pengetahuan sastra, selebihnya apresiasi. Meskipun di sana materi sejarah sastra tidak disinggung, materi apresiasi cukup mendapat ruang yang lebih leluasa. Kembali, jika itu dijalankan secara benar, maka apresiasi sastra sesungguhnya tidaklah menjadi masalah.

Pertanyaannya: mengapa dari tahun ke tahun meski telah gonta-ganti kurikulum, keluh kesah tentang pelajaran bahasa dan sastra Indonesia masih selalu bergentayangan? Jika dalam Kurikulum 1994 dan KBK, tumpuan kesalahan itu selalu dijatuhkan pada kurikulum, maka hal yang sama juga sangat mungkin akan terjadi. Jika begitu, pasti ada sesuatu yang tidak beres entah pada siapa.

Problem mendasar pelajaran bahasa dan sastra Indonesia –salah satunya boleh jadi—sesungguhnya terletak pada semangat guru untuk mengajarkan sejumlah teori dan pengetahuan tentang bahasa dan sastra Indonesia. Perlu diingat bahwa pelajaran bahasa (dan sastra Indonesia) di sekolah, jika memang tujuannya sebagaimana yang dieksplisitkan dalam tujuan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, maka tidak dapat lain, pelajaran yang menyangkut teori dan pengetahuan harus segera disisihkan, apalagi yang diberikan adalah teori-teori linguistik. Inilah sumber malapetaka pelajaran bahasa Indonesia. Bahaya betapa pelajaran bahasa Indonesia akan mengalami malapetaka jika yang diberikan lebih banyak teori dan gramatika, sudah pernah disinggung Sutan Takdir Alisjahbana. Sejak tahun 1930-an, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sebagian besar menggunakan buku-buku tatabahasa karya para penulis Belanda, maka materi yang diajarkan cenderung menjadi sangat linguistis. Akibatnya, pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sama sekali tidak mengarahkan penguasaan keterampilan berbahasa, melainkan membawa siswa seolah-olah hendak menjadi seorang linguis atau ahli bahasa. Kondisi itulah yang dikeluhkan Sutan Takdir Alisjahbana, “Pada sekolah menengah Goebernemen sekarangpoen masih haroes kita berkata, bahwa pengadjaran bahasa Indonesia itoe tidak berarti sedikit djoeapoen.” Di bagian lain, Alisjahbana mengatakan:

Pengadjarannja jang menghamba kepada gramatika bahasa jang dipakai, ketika nenek mojang kita masih berdjalan kaki dan naik bidoek jang rapoeh itoe, mematikan segala minat kepada bahasa. Tjara mengadjarkan jang tiada bersemangat, jang semata-mata mengisi kepala dengan tiada memperdoelikan semangat kanak-kanak, dalam segala hal mematikan kegembiraan kepada bahasa.

Boekoe batjaan, boekoe ilmoe bahasa! .…
Bahasa jang sepatoetnja diadjarkan disekolah oentoek dipakai dalam penghidoepan mendjadi sesoeatoe jang sengadja diadjarkan semata-mata untuk sekolah itoelah.

Menurut hemat saya, pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan persoalan ilmu bahasa (linguistik) harus diganti dengan pelajaran mengarang. Dari sana, pembahasan tentang ejaan dan tanda baca, boleh dimulai. Bukankah duduk perkara tata bahasa, apalagi yang berkaitan dengan teori-teori linguistik, tidak ada perlunya diberikan di tingkat SD, SMP, dan SMA, kecuali jika para siswa itu bercita-cita menjadi peneliti bahasa atau linguis.

Hal yang sama juga mestinya diterapkan dalam pelajaran sastra (Indonesia). Apa manfaatnya peserta didik mengetahui, memahami, dan hapal di luar kepada tentang alur, tokoh, tema, latar, sudut pandang, dan berbagai jenis gaya bahasa, jika mereka sama sekali tidak menyentuh karya sastranya. Itulah malapetaka nasional dalam dunia pendidikan Indonesia (khasnya pelajaran sastra Indonesia), ketika siswa terus-menerus dijejali teori-teori dan konsep sastra, sementara karyanya sendiri tidak pernah dilihat dan disentuh. Jadi, yang terutama dalam pelajaran sastra (Indonesia) di sekolah di semua tingkat pendidikan dasar dan menengah, adalah menyuruh siswa membaca karya sebanyak-banyaknya. Tugas guru tinggal bertindak sebagai moderator ketika para siswa mendiskusikan karya itu –bisa dengan cara per kelompok—di depan kelas. Dalam diskusi itu, jawaban salah—benar tidak berlaku, karena yang penting dari jawaban itu adalah alasan yang mendasari jawabannya. Karyanya sendiri bisa bermacam-macam, puisi, cerpen, novel, atau drama. Dari karya sastra yang telah dibaca siswa itulah, guru bisa menerangkan soal konsep-konsep. Tetapi itu pun sebatas pengetahuan belaka. Bukankah tujuannya adalah apresiasi?

Melalui cara yang seperti itu, maka pelajaran sastra tidak hanya dapat menumbuhkan apresiasi siswa pada karya sastra, tetapi juga dapat menjadi ajang saling menghargai pendapat. Sebuah pelajaran demokrasi telah berlangsung di dalam kelas, karena di sana urusan benar—salah, tidak berlaku lantaran yang diutamakan adalah alasan di balik jawaban apa pun yang disampaikan peserta didik.

Konsekuensi model pengajaran seperti itu, menuntut guru pandai melakukan pilihan atas karya-karya yang baik dan bermutu. Di samping itu, soal evaluasi (ulangan harian atau ulangan semesteran) juga harus menghilangkan soal yang jawabannya memilih (A, B, C, D, atau E). Sudah saatnya pertanyaan seperti itu dibuang ke keranjang sampah.

Konsekuensi lainnya adalah kerja keras guru untuk mengoreksi jawaban-jawaban yang berupa esai. Bukankah guru—dan dosen, adalah tenaga profesional? Maka ia harus profesional pula menjalankan tugas dan peranannya. Apa pun alasan dan dasar pemikirannya, menurut hemat saya, soal-soal ulangan atau ujian yang di sana sudah tersedia jawabannya –A, B, C, D, dan E apalagi yang jawabannya B (benar) atau S (salah), tidak membuat peserta didik berpikir kreatif. Bagaimana pelajaran keterampilan berbahasa (menulis dan membaca) dan kemampuan apresiasi sastra, klimaksnya (: ujian) dengan menjawab yang cenderung untung-untungan?

Kaitannya dengan KTSP jelas sudah! KTSP memberi kebebasan yang luas bagi pengembangan kreativitas guru dan peserta didik. Maka, pelajaran sastra yang utama adalah apresiasi, dan itu hanya mungkin dapat dilakukan jika guru dan siswa membaca karya sastranya. Sejumlah karya sastra bertebaran di muka bumi ini, apalagi khazanah sastra tradisional semacam dongeng dan cerita rakyat. Mengapa khazanah sastra yang seperti itu tidak dimanfaatkan untuk pembelajaran sastra di sekolah? Sudah saatnya, guru menunjukkan keyakinan dan keberaniannya untuk menyampaikan bahan pengajaran yang menurutnya baik, sesuai, dan asyik. Bahwa di sana ada kurikulum, tokh KTSP telah memberi kelonggaran dan kebebasan untuk menerjemahkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Bukankah di sana ada pula muatan lokal dan bahan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat?

Bahwa di sana menunggu makhluk menakutkan yang setiap saat bakal memangsa para peserta didik lewat apa yang disebut sebagai ujian nasional? Inilah bencana nasional berikutnya jika ujian nasional itu diperlakukan sebagai satu-satunya ukuran meluluskan peserta didik. Ujian nasional, jika memang masih diperlukan, hanya berfungsi untuk memetakan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, dan bukan untuk menentukan lulus tidaknya peserta didik.

Akhirnya, mesti saya sampaikan bahwa kurikulum bukanlah kitab suci. Ia sekadar panduan yang penerjemahannya sangat bergantung pada guru. Jadi, biarkanlah guru mengembangkan kreativitasnya sendiri. Biarkanlah guru menerjemahkan sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, jika KTSP memang hendak dijalankan secara konsekuen, pemerintah perlu mempertimbangkan format ujian nasional yang tidak lagi menjadikannya sebagai alat satu-satunya meluluskan atau tidak meluluskan peserta didik. Sebaliknya, jika format ujian nasional tetap dijadikan ukuran satu-satunya kriteria bagi kelulusan siswa, maka semangatnya bertentangan, kontradiksi, berlawanan, bertolak belakang dengan KTSP!
Demikianlah!

---------------------------
Lihat butir B (Tujuan) dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendiidikan (KTSP).

Kurikulum Tingkat Satuan Pendiidikan (KTSP) dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik. KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunannya dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) –sebelumnya bernama Pusat Kurikulum (Puskur).

Mencermati semangat yang mendasaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka kurikulum ini sesungguhnya memberi peluang bagi guru dan sekolah di berbagai daerah untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kondisi guru, siswa, komite sekolah, sekolah, dan keadaan masyarakat dan budaya setempat. Sedikitnya ada lima hal penting yang menjadi ciri KTSP, yaitu (1) KTSP bersifat fleksibel. Adanya semangat fleksibilitas ini tampak dari adanya kebebasan untuk menambahkan empat jam untuk mata pelajaran wajib atau mata pelajaran muatan lokal; (2) mengingat KTSP dikembangkan berdasarkan pertimbangan (a) satuan pendidikan, (b) potensi daerah, (c) kondisi sosial budaya setempat, dan (d) kondisi peserta didik, maka pihak guru dan sekolah dapat leluasa mengelola sendiri manajemen sekolah dan mengembangkan satuan pendidikan yang sesuai dengan kondisi sekolah, guru, dan peserta didik; (3) mengingat butir (2) tadi, maka KTSP menuntut kreativitas guru dan sekaligus juga mendorong peserta didik lebih aktif; (4) KTSP juga dikembangkan dengan prinsip diversifikasi, artinya sekolah dimungkinkan menjabarkan sendiri standar isi dan standar kompetensinya dengan memasukkan muatan lokal –propinsi, kabupaten/kota, dan lokal sekolah; (5) KTSP sejalan dengan konsep desentralisasi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah (school-based management). Dengan demikian, sekolah dapat meningkatkan peran komite sekolah untuk kepentingan pengembangan satuan pendidikannya. Demikian juga, sekolah dapat bekerja sama dengan stakeholders pendidikan atau dengan organisasi kemasyarakatan atau organisasi profesi, dalam hal yang menyangkut manajemen sekolah, pengembangan muatan lokal, atau pengembangan kegiatan kurikuler.

Konon, pengembangan KTSP didasarkan pada upaya memaksimalkan fungsi dan peran strategis guru dan dosen yang meliputi: (a) penegakan hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional, (b) pembinaan dan pengembangan profesi guru dan dosen, (c) perlindungan hukum, (d) perlindungan profesi, dan (e) perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Jadi, guru dan dosen sebagai tenaga profesional mestinya bekerja secara profesional yang punya kesadaran untuk terus-menerus meningkatkan kinerja dan kualitas kerjanya, dan bukan menjalani tugas atau pekerjaan rutin yang tanpa usaha untuk mengembangkan diri. Kesadaran sebagai tenaga profesional inilah yang mestinya menjadi sikap dasar dan etos kerja setiap guru dan dosen. Dalam konteks itu pula slogan palsu: “Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa” harus dikubur sedalam-dalamnya dan dicampakkan sekarang juga. Sebagai tenaga profesional, guru—dosen harus punya sikap dan harga sesuai dengan kompetensinya. Jadi, tunjangan kesejahteraan bagi guru—dosen mestinya menjadi prioritas utama jika memang guru—dosen dianggap sebagai tenaga profesional. Oleh karena itu, jika ada perubahan kurikulum, pemerintah berkewajiban meningkatkan kesejahteraan guru—dosen dalam setiap ada perubahan kurikulum. Janganlah ada kesan perubahan kurikulum sebagai proyek pemerintah pusat yang korbannya tidak lain adalah guru-guru dan dosen di berbagai daerah.

Kurikulum 1994 menghendaki guru lebih kreatif dan menjalankan peran pengajarannya di depan kelas sesuai dengan yang ditetapkan kurikulum. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menekankan bahwa yang lebih kreatif itu adalah peserta didik. Guru bertindak sebagai fasilitator. Dalam KTSP tuntutan agar guru lebih kreatif itu ditujukan dan berlaku juga pada peserta didik. Jadi KTSP seperti menggabungkan semangat yang melandasi Kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompetensi.

E. Mulyana beranggapan bahwa “kekurangpahaman guru dan penyelenggara pendidikan terhadap kurikulum bisa berakibat fatal terhadap hasil belajar peserta didik. Hal ini terbukti, ketika mereka dihadapkan pada ujian nasional. Mereka sering kelabakan, dan sering ketakutan, takut kalau-kalau peserta didik di sekolahnya tidak bisa mengerjakan soal-soal ujian dan tidak lulus.” (Dr. E. Mulyana, M.Pd., Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 5—6.
Dalam konteks itu, guru kelas atau guru yang mengajar mata pelajaran yang sama pada tingkat satuan pendidikan untuk satu sekolah atau kelompok sekolah diberi kebebasan untuk menyusun silabus sendiri yang pemberlakuannya ditentukan oleh Kepala Sekolah dan diketahui oleh komite sekolah dan dinas kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan. Jadi kepada komite sekolah dan birokrat pendidikan di daerah masing-masing sifatnya pemberitahuan.

E. Mulyana, Op. Cit., hlm. 6. Diyakini bahwa untuk mengetahui keberhasilan pendidikan secara nasional, tidak dapat lain, kecuali harus diadakan ujian nasional. Ia menawarkan gagasan, bahwa untuk kepentingan pendidikan nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bisa dilakukan bukan dalam bentuk ujian, tetapi dalam bentuk penilaian nasional. Menurutnya, Ujian Nasional perlu diganti dengan Penilaian Nasional. Sayangnya, usulan penggantian nama dari Ujian Nasional menjadi Penilaian Nasional tidak disertai penjelasan yang terinci berkaitan dengan format, langkah-langkah, dan model soalnya. Sekadar pergantian nama, tanpa dibarengi dengan perubahan substansi dan paradigmanya, tentu saja hanya akan menghasilkan hal yang sama. Menurut hemat saya, ujian nasional atau apa pun namanya, mesti diperlakukan sekadar sebagai usaha untuk mengukur standar pendidikan nasional, dan bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik.

E. Mulyana bahkan menegaskan, bahwa agar Negara (Indonesia) tidak porak-poranda hanya karena penyelenggaraan pendidikan yang berbeda, dan jurang perbedaan ini hanya bisa ditutup dengan suatu sistem penilaian nasional, sehingga kita tahu mana yang harus ditambah dan mana yang harus dikurangi. Ibid., hlm. 6—7. Pandangan Mulyana tegas menyatakan bahwa ujian nasional—atau penilaian nasional, nama yang diusulkannya—adalah satu-satunya alat untuk mengukur standar pendidikan nasional.

Dalam KTSP nama pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sudah dikembalikan ke nama semula, yaitu pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi, pelajaran sastra berada di bawah payung pelajaran Bahasa Indonesia. Meskipun muatan dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pelajaran sastra relatif proporsional dengan pelajaran bahasa, dampaknya tetap saja akan sangat besar mengingat pelajaran sastra kembali hanya sebagai tempelan dalam pelajaran Bahasa Indonesia.

Berikut dikutip butiran yang ingin dicapai oleh standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia: (1) peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri; (2) guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar; (3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya; (4) orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah; (5) sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; (6) daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.

Berikut dikutip enam tujuan pelajaran Bahasa Indonesia: agar peserta didik memiliki kemampuan dalam (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan, maupun tulis, (2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, (3) memahami bahasa Indonesia dan (dapat) menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual serta kematangan emosional dan sosial, (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Beberapa tahun yang lalu, Taufiq Ismail dkk menyeleksi sejumlah buku bacaan wajib –novel, antologi puisi, antologi cerpen, karya terjemahan, dan esai untuk tingkat SD, SMP, dan SMA dalam sebuah lokakarya yang diselenggarakan Dikdasmen Diknas. Beberapa judul buku yang diusulkan dikirim ke perpustakaan di berbagai pelosok Tanah Air. Untuk satu judul buku dikirim 10 eksemplar. Untuk tingkat SMA judul buku yang ditawarkan berjumlah 50 judul yang dapat dipilih oleh masing-masing sekolah 25—30 judul lengkap dengan nama pengarang dan data publikasinya. Pencantuman 15 buku sastra dan nonsastra dalam KTSP memberi peluang bagi penerbit untuk menyodorkan buku terbitannya, meskipun kualitasnya rendah. Sebagai contoh, salah satu buku yang pernah menjadi buku wajib di SMA berupa buku sejarah sastra Indonesia yang ditulis oleh pengarang yang tidak terkenal dan diterbitkan oleh penerbit yang juga tidak jelas. Lebih buruk lagi, sejumlah keterangan dalam buku itu salah dan menyesatkan. Jadi adanya keterangan (dalam KTSP) “Pada akhir pendidikan di SMA/MA, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra” memberi peluang adanya permainan yang tidak senonoh antara penerbit, pengarang, dan pihak sekolah.
Periksa kembali catatan kaki 11 dan 12.

Sutan Takdir Alisjahbana dalam resensinya yang dimuat Poedjangga Baroe, No. 11, Th. II, Mei 1934, hlm. 353—356, mengkritik buku tatabahasa C.A. Mees, Beknopte Maleische Grammatica. Dikatakannya bahwa buku itu ditujukan untuk orang Belanda yang belajar bahasa Melayu. Jadi tidak tepat jika buku itu digunakan untuk orang Indonesia yang belajar bahasa Melayu.
Sutan Takdir Alisjahbana, “Pengadjaran Bahasa” Poedjangga Baroe, No. 2, Th. I, Agoestoes 1933, hlm. 33—35.

Ibid., hlm. 35.
Pengalaman seorang guru bahasa Indonesia SMA di Jakarta kiranya patut direnungkan. Ketika ia sedang mengajar di depan kelas dengan materi satuan bahasa, salah seorang siswa bertanya: “Bapak, apa gunanya pelajaran ini jika nanti saya bekerja di sebuah bank atau perusahaan kontraktor? Apakah fonem dan morfem itu dapat membantu saya menghitung angka-angka atau kalkulasi untung-rugi?”

Bulan November 2006, saya diminta berceramah tentang teori dan kritik sastra di Sekolah Tunas Harapan Sentul. Tujuannya, agar para siswa dapat mengapresiasi karya sastra yang dianjurkan guru kelas. Sebelum memulai, saya bertanya kepada beberapa siswa tentang konsep-konsep, seperti alur, tokoh, dan lain-lain. Mereka dapat menjawab dengan sangat baik. Lalu, saya tanyakan lagi, buku-buku (novel, cerpen, puisi, atau drama) yang pernah dibaca mereka. Mereka pun menjawab dengan sangat meyakinkan. Ketika ditanya lagi, bagaimana mereka memahami alur, tokoh, dan konsep-konsep itu dalam karya yang sudah dibaca mereka itu. Tak ada yang bisa menjawab. Tetapi ketika saya tanya, bagaimana nasib yang menimpa tokoh A dalam novel itu, mengapa dia bernasib seperti itu, apa yang menyebabkannya, mengapa dalam novel itu masyarakat memperlakukan tokohnya seperti itu, adakah latar peristiwa itu mempengaruhi sikap masyarakatnya, bagus atau menarikkah karya itu, mengapa, adakah kelemahannya, dst. Ternyata beberapa siswa dapat menjawab panjang lebar. Siswa lain ada yang mendukung dan membantah. Terjadi perbedaan pendapat. Saya katakan, semuanya benar! Itulah apresiasi sastra.

Sabtu, 20 Desember 2008

Konsep Menulis

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Ini tentang bagaimana saya menulis. Bukan tentang bagaimana seseorang sebaiknya, apalagi seharusnya menulis. Tidak mudah menulis bimbingan menulis yang umum, karena itu segera akan menjadi kiat yang kedaluwarsa.

Perkembangan dalam banyak hal sudah begitu cepat dan dahsyat. Manusia berubah dan sastra pun selalu menjadi baru. Bidang penulisan terus menemukan kiat-kiat terkini, meskipun yang lama tidak dengan sendirinya musnah.

Memang ada yang umum dan mungkin akan masih berlaku. Misalnya teknik menulis. Buku “Teknik Mengarang” yang ditulis oleh Muchtar Lubis sampai sekarang tetap saya anggap sebagai pedoman menulis yang terbaik.

Pertama sarannya untuk membuang dua atau tiga alenia pertama (bahkan mungkin lembar pertama) dari yang sudah kita tulis. Karena itu biasanya bagian-bagian emosional yang tak terkendali.

Kemudian anjurannya untuk pembukaan tulisan yang langsung menggedor dengan masalah. Di dalam buku itu diberi contoh bagaimana Anton Chekov, sudah menabur pertanyaan dalam kalimat pertama. Pembaca jadi penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi. Dan Chekov memang seorang master dalam “plot” yang selalu memberikan kejutan yang mempesona di akhir cerita.

Yang ketiga, Mochtar Lubis menyarankan untuk tidak berhenti menulis kalau sedang buntu. Kalau itu dilakukan, besar kemungkinan penulis tidak akan pernah kembali melanjutkan. Setiap hendak melanjutkan sudah langsung mumet melihat jalan buntu yang menunggunya.

Berhenti sebaiknya dilakukan justru saat sedang lancar dan berapi-api. Di samping membantu mengendapkan emosi, itu sercara psikologis akan menjaga semangat untuk meneruskan bekerja.

Unsur cerita secara umum juga masih berlaku, walau kehadirannya sudah teracak-acak. Bahkan ada yang sama sekali menjungkir-balik dan memperlakukan berbeda. Dulu cerita memerlukan tokoh, riwayat, alur dan penuturan. Sekarang cerita masih terpakai, tetapi diacak hancur dan tidak harus memakai unsur-unsur tadi.

Pernah keindahan bahasa menjadi tujuan utama. Mengarang jadi kehebohan memberi gincu , memoles dan memasang berbagai asesoris, sehingga yang mau disampaikan jadi berdandan keren. Bahasa Indonesia dalam masa Pujangga Baru, misalnya, seperti menari-nari melakukan gerak indah.

Tetapi kemudian digeser oleh Angkatan 45 yang ceplas-ceplos, kasar kadang cenderung kurang-ajar (Surabaya oleh Idrus), tapi terasa lebih menggigit dan konkrit. Kekenesan dan kegenitan pun ditinggal. Bahasa penulisan menjadi lebih dinamis, padat dan berdarah. Bahasa Chairil Anwar, Pramudya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontany dan Mochtar Lubis membuat sastra Indonesia memasuki babak baru.

Mohtar Lubis adalah wartawan terkenal yang menulis dengan mempergunakan kiat dan pengalamannya sebagai wartawan. Bahasa pers yang dulu dianggap bahasa berita yang kering, menjadi lain ketika penulis “Jalan Tak Ada Ujung” ini memberinya muatan.

Tak pernah dipersoalkan sebagai cela lagi, kalau ada pengarang yang menulis fiksi dengan ketrampilan wartawan. Majalah TEMPO yang didirikan pada tahun 70-an bahkan kemudian menggabungkan bahasa sastra ke dalam pemberitaan, sehingga bukan hanya bahasa sastra berkembang, bahasa pers juga berubah, keduanya saling menghampiri.

Pernah tema besar menjadi primadona. Tulisan yang mengangkat tentang nasib manusia, perang, revolusi dan sebagainya menjadi tiket untuk dianggap sebagai karya bergengsi. Kita masih terus mengagumi War And Peace karya Tolstoy dan Dokter Zhivago Boris Pasternak dan Hamlet Shakespearre.

Tetapi cerita kemalangan seorang nelayan kecil dalam The Old Man and The Sea dari Hemingway pun dianggap luar biasa. Juga penantian Didi dan Gogo dalam Waiting for Godot karya Beckett dianggap sebagai sebuah fenomena, setelah pernah lama hanya ditoleh dengan sebelah mata karena seperti dagelan

Pada suatu siang (tahun 70-an) di kantor majalah TEMPO di bilangan Senen Raya, saya pernah bertanya pada Goenawan Mohamad. Apakah tema besar besar itu menentukan nilai sebuah karya. Artinya sebuah karya tulisan tidak akan pernah besar kalau temanya tidak besar. Pemimpin Redaksi Tempo yang juga salah seorang penyair dan eseis Indonesia kelas satu itu dengan tak ragu-ragu menjawab: “Tidak.”

Saat itu saya sedang menulis novel “Telegram” dan naskah drama “Aduh”. Keduanya tidak punya tema besar. Hanya tentang perasaan individu kecil yang gagap dan kebingungan menghadapi komplekasi kehidupan yang semakin jumpalitan.

Rasa kerdil bahkan nyaris “bersalah” (karena tidak seperti Pramudya Ananta Toer yang banyak bicara tentang revolusi) segera mendapat angin segar. Perlahan saya yakini, karya sastra jadinya bukan hanya “tentang apa”, tapi “bagaimana memaparkan apa itu”.

Menceritakan apa yang ada di sekitar, yang mudah diceritakan, karena kita menguasainya, tidak lagi terasa tercela. Lebih dari itu menceritakan dengan sepenuh keberadaan diri kita, dengan segala kelebihan dan terutama kekurangannya, juga bukan sesuatu yang tercela.

Dalam Telegram saya numpang bertanya lewat tokoh utamanya. “Apakah yang berhak bercerita itu hanya para pahlawan dengan tindakan-tindakan besarnya. Apa orang yang bodoh dan tidak tahu, tidak boleh ikut bicara membagikan pikiran-pikirannya?”

Dalam sebuah Telegram, tokoh utama mendapat telepon dari seseorang yang tidak dikenalnya dalam bahasa Arab. Saya tertegun waktu itu. Apakah saya harus menunda tulisan itu sampai saya dapat menuliskan dalam bahasa Arab apa yang diucapkan oleh yang nelpon? Atau tak perlu menyembunyikan kekurangpengetahuan saya, karena seorang penulis tak harus orang yang serba tahu.

Saya mengambil resiko, tidak perlu menunggu. Saya tulis ucapan bahasa Arab itu dengan deretan huruf-huruf yang tidak bisa dibaca, karena bagi telinga pelaku cerita, dia tidak menangkap makna tapi hanya bunyi.

Dari proses itu saya belajar, menulis adalah “mengambil resiko” . Tanpa keberanian mengambil resiko hasilnya hanya akan menjadi rata-rata saja. Memenuhi persyaratan, tetapi tidak orisinal apalagi unik. Dua hal itulah kemudian yang selalu saya kejar dalam menulis.

Keberanian mengambil resiko tidak datang begitu saja. Pendidikan orang tua untuk menghormati desiplin membuat saya berwatak patuh. Tak berani melawan aturan. Itu membuat saya jadi penakut dan pengecut. Tetapi pengalaman keras di lapangan perlahan-lahan menyeret saya untuk belajar bersikap.

Pada tahun 60-an, saya menulis drama “Dalam Cahaya Bulan” di Yogya. Dalam drama itu ada yang tidak logis. Pelaku utamanya memberikan pengakuan yang menyalahi cerita. Pemain yang memainkan tokoh itu protes, mengatakan ucapan tokoh itu salah. Saya hampir saja tergoda.untuk mengoreksinya.

Tapi kemudian saya bertahan, karena ucapan tokoh tidak harus semuanya benar. Tokoh utama pun bisa saja tidak jujur. Dia hidup dan merdeka mengutarakan pikirannya, tak hanya menjadi corong dari penulis.

Mempertimbangkan pembaca dalam menulis selalu mendua. Bisa menjadi kelemahan, karena itu akan membatasi kebebasan. Tapi dalam keadaan tidak terlalu bebas, kreativitas akan tertantang, lalu kita terpacu meloncat seperti dalam lari gawang sehingga hasilnya bisa mengejutkan. Pada awalnya pembaca menjadi beban, tetapi kemudian ketika beban itu sudah terbiasa, menjadi hikmah.

Saya percaya setiap penulis adalah sebuah dunia mandiri yang menempuh jalannya sendiri. Ia memiliki banyak persamaan dengan orang lain, tetapi itu tidak penting. Yang menentukan adalah perbedaan-perbedaannya.

Keunikannyalah yang akan menjadikan produknya menonjol di tengah karya orang lain. Penulis bukan sebuah pabrik, meskipun produktif. Berbeda dengan kerajinan yang berulang-ulang dibuat, produk tulisan selalu berbeda karena ia menyangkut ekspressi..

Setiap penulis akan menyusun teorinya sendiri. Proses kreatif itu tidak untuk ditiru apalagi diberhalakan, meskipun boleh saja dicoba oleh orang lain. Pengalaman bekerja penulis lain, dapat jadi perimbangan yang mempercepat proses pembelajaran menulis. Tetapi bisa juga jadi bumerang kalau kemudian diterima sebagai sebuah idiologi.

Sastra punya potensi untuk menghibur, namun bukan hiburan. Novel, cerpen, puisi, esei dan sebagainya adalah kesaksian, perenungan, pemikiran dan pencarian-pencarian pribadi tetapi menjadi obyektif ketika berhasil menyangkut kebenaran banyak orang. Akibatnya sastra tidak bedanya dengan bidang yang lain, sastra adalah ilmu pengetahuan. Tak selamanya upaya pencarian sastra berhasil. tetapi setiap kegagalan adalah sebuah janji.

Karenanya “menulis” bukan sesuatu yang mudah. Tidak seperti yang dikatakan oleh Arswendo: Mengarang Itu Gampang, juga tidak sama dengan apa yang dikatakan dosen penulisan di UI, Ismail Marahimin, bahwa “mengarang itu fun”.

Mengarang - bagi saya - adalah sebuah peristiwa yang khusuk, sunyi, pedih, melelahkan, menyakitkan, membosankan. Sebagaimana seorang ibu yang melahirkan, menulis menjadi sebuah peristiwa yang “menegangkan” tetapi indah dan sakral.

Menulis selalu menjadi sebuah pengembaraan baru yang membuat saya tertantang sehingga tak ada saat untuk tidak menyala. Meskipun saya tak pernah melihat nyala itu, tetapi dari apa yang dilakukan para penulis sebelumnya, jelas betapa jilatan pikiran mereka tetap mengibas ke masa-zaman yang akan datang hingga membuat kehadiran berarti.

Buat saya, menulis adalah menciptakan “teror mental”. Tetapi konsep itu akan saya tinggalkan setiap saat kalau ada kebenaran lain yang membuktikannya salah.

Harga Sepatu Kebebasan

Arys Hilman
http://republika.co.id/

Sepatu paling mahal di dunia telah lahir di Irak. Bukan dari kaki artis ternama, melainkan seorang wartawan, Muntazer Al-Zaidi, yang melemparkannya ke muka Presiden George Walker Bush.

Dua nilai puncak bertemu. Pertama, kemarahan tertinggi orang Arab secara kultural terwakili dalam sikap melalui alas kaki. Maka, pelemparan sepatu, sebagaimana pemukulan patung Saddam Hussein dengan sepatu, adalah representasi tertinggi kemarahan. Puncak kedua adalah Bush. Dia adalah wakil utama negara paling berkuasa di dunia, mufasir nomor satu segala wacana tentang hukum, demokrasi, hak asasi, dan kebebasan.

Sepatu Zaidi mencetak sejarah. Pemerintah AS malu dan merasa perlu menghancurkannya agar tak menjadi ikon perlawanan. Tapi, di Turki, Lebanon, dan Irak, orang-orang bersicepat mengklaim diri mereka sebagai pembuat sepatu itu. Di Arab Saudi, seorang amat kaya bersedia menjual propertinya demi mendapatkan sepatu itu. Ia menawarkan 10 juta dolar AS, setara Rp 110 milar, sebagai ganti memiliki sepatu Zaidi itu.

Sepatu Zaidi melahirkan bisnis baru dengan nilai yang juga jutaan dolar AS. Youtube beruntung karena banyak versi rekaman video pelemparan disimpan di situs tersebut dan mencatat rekor baru video yang paling banyak diakses. Para pengusaha video game berlomba-lomba membuat permainan yang menggambarkan pelemparan tersebut. Nilainya sulit kita terka karena bisnis ini masih berjalan.

Tapi, sebesar apapun ''bisnis kesebalan terhadap Bush'' itu, takkan mampu mengalahkan nilai ''bisnis perang Irak'' yang muaranya menghancurkan negeri itu dan merobek-robek hati Zaidi.

Penyerbuan dan pendudukan Irak adalah bisnis raksasa yang tak ada kaitannya dengan senjata pemusnah massal maupun Saddam Hussein. Sudah jelas, AS dan sekutunya tak pernah menemukan bukti keberadaan senjata pemusnah massal maupun kaitan antara Saddam dan Alqaidah. Kedua alasan itu hanyalah isapan jempol belaka.

Siapakah yang mendapatkan keuntungan dari bisnis perang tersebut? Ceara Donneley dan William D Hartung merincinya dalam ''The Price of Freedom in Iraq'' (2005).

Lockheed Martin ada di urutan pertama. Ini adalah kontraktor nomor satu Pentagon dengan bisnis berupa senjata, pesawat, perangkat teknologi informasi, sistem integrasi, dan pelatihan. Pada 2002, perusahaan ini mendapatkan kontrak senilai 17 miliar dolar AS, naik dari angka 14,7 miliar dolar AS pada tahun sebelumnya.

Pada kuartal pertama 2003, penjualan Lockheed Martin sudah mencapai 7,1 miliar dolar AS, naik delapan persen dari kuartal pertama 2002. Dan, pada Maret 2003, ketika bom-bom pertama menghujani Baghdad, kontrak untuknya mencapai nilai 106,6 juta dolar AS dari total kontrak bom senilai 281 juta dolar AS. Pada bulan yang sama, perusahaan ini juga mendapatkan kontrak 4 miliar dolar AS dari Angkatan Udara dan Korps Marinir.

Siapakah di balik Lockheed Martin? Pertama, Bruce Jackson. Dia adalah bekas penasihat keuangan Bush saat kampanye. Jabatan terakhirnya di perusahaan itu adalah wakil dirut. Orang kedua adalah Lynne Cheney. Istri Wapres Dick Cheney ini adalah mantan direksi yang bergaji 120 ribu dolar AS hanya untuk beberapa kali rapat. Orang ketiga adalah Chris Williams, anggota Dewan Kebijakan Pertahanan. Ia adalah pelobi Johnston and Associates yang perusahaannya mewakili Lockheed Martin, Boeing, TRW, dan Northrop Grumman.

Boeing adalah kontraktor Pentagon nomor dua. Pada 2002, perusahaan ini mendapatkan kontrak 16,6 miliar dolar AS, melonjak dari angka 12 miliar dolar AS tahun sebelumnya. Saat penyerbuan Baghdad pada Maret 2003, Boeing memasok arsenal bom cerdas seharga 22 ribu dolar AS per buah. Kontrak untuk bom ini saja mencapai nilai 378 juta dolar AS.

Belakangan, Boeing mendapatkan kontrak pesawat pengangkut militer C-17 senilai 9,7 milar dolar AS.

Siapa orang penting di balik bisnis ini? Lagi-lagi anggota Dewan Kebijakan Pertahanan. Namanya Richard Perle.

Perusahaan lain yang hidup dari bisnis perang Irak adalah Raytheon. Ini adalah kontraktor nomor empat di Pentagon mencakup 4.000 lebih program senjata. Perusahaan ini mengumumkan laba dua kali lipat pada 2003. Pendapatan terbesar senilai 12,2 miliar dolar AS berasal dari kontrak Angkatan Udara. Selain itu, ada pula Alliant Techsystems yang labanya melonjak 16 persen sebagai ''berkah'' penyerbuan ke Irak, senilai 2,1 miliar dolar AS.

Di luar semua itu, Halliburton mencatat sejarah. Bukan pada nilai dolarnya, melainkan pada cara kontraknya. Perusahaan keluarga Cheney itu pemegang 3.000 kontrak di bidang pertahanan. Rapor merah yang ia pegang sebagai rekor adalah ''memenangi'' kontrak pembangunan kembali Irak pada saat tank AS belum menyentuh Baghdad sama sekali. Sebuah kontrak tanpa tender.

Sejak Tragedi 9/11, Halliburton mendapatkan kontrak pertahanan senilai 2,2 miliar dolar AS. Anak perusahaannya, Kellog, Brown and Root, pernah kehilangan kontrak pada era Clinton karena dugaan penyimpangan, namun pemerintahan Bush memulihkannya. Dalam bisnis minyaknya, perusahaan ini mendapatkan kontrak senilai 1 miliar dolar AS untuk mengamankan ladang minyak Irak.

Dr Afif Muhammad MA: 'Pelajari Filsafat harus Kuat Akidahnya'

Reni Susanti
http://www.republika.co.id/

Tidak ada ilmu yang tidak berguna, semuanya saling melengkapi. Walaupun harus diakui pertentangan atau kontroversi dalam suatu disiplin ilmu kerap terjadi. Tak terkecuali adalah filsafat. Apalagi filsafat adalah ilmu yang mengedepankan rasio, akal, pikiran, sehingga masalah yang tidak terlihat bisa diperdebatkan di dunia filsafat. Belum lagi ditambah filsafat adalah ilmu yang membicarakan tentang manusia, agama, tuhan,liberalisme, atheisme, marxisme, dan komunisme, yang terkadang bertentangan dengan Islam.

''Orang yang belajar filsafat haruslah orang pintar yang mempunyai akidah yang kuat, sehingga bisa membantu memaslahatkan umat,'' ujar Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, DR Afif Muhammad MA.

Melihat penting dan sensitivnya ilmu filsafat, sudah barang tentu pengajaran atau metode yang diberikan harus sesuai dengan yang diharapkan. Karena sedikit saja bergeser, keimanan adalah taruhannya. Kepada wartawan Republika, , dosen di berbagai perguruan tinggi ini menuturkan seluk beluk filsafat termasuk metodenya. Berikut ini petikannya:

Ada yang 'melarikan' kasus yang terjadi di UIN Sunan Gunung Djati sebagai praktik pendangkalan akidah yang dilakukan lembaga pendidikan agama. bagaimana komentar Anda?

Kalau kata 'praktik', itu merupakan sesuatu yang diprogram dan direncanakan. Dan kalau yang dimaksud dalam pengertian itu, saya jamin tidak akan ada praktik pendangkalan akidah dalam kasus ini. Kalaupun perguruan tinggi itu mempunyai pemikiran yang macam-macam, kami kira untuk dunia akademik itu wajar. Karena kami bukan hanya memahami tapi mendorong orang untuk berpikir kritis. Begitupun dengan pemikiran mahasiswa yang bermacam-macam, dan saya kira itu juga wajar, karena mereka datang dari berbagai kalangan dengan latar belakang yang berbeda.

Sejauh mana batas ilmiah pencarian ketuhanan?

Tentu akan ada batasan. Misalnya kita tidak boleh terlalu berpegang pada kesimpulan akal tanpa bimbingan wahyu. Banyak hal yang tidaak dapat dipecahkan oleh filsafat. Contohnya ketika kita sudah tidak bisa menjawab suatu persoalan, maka kita akan kembali pada wahyu. Namun akal dan wahyu pun berbeda.

Ketika kita berfilsafat maka pada kesimpulan pertama yang muncul adalah tuhan ada atau tiada. Dan apabila buktinya sama-sama kuat maka perlu didialogkan. Kalaupun dalam dialog itu menemukan kebuntuan karena ada keseimbangan antara akal dan wahyu, maka kita harus menggunakan hati nurani kita dengan bantuan agama. Namun untuk masalah ketuhanan sendiri, cara pandang masyarakat awam dan dunia akademik berbeda. Masyarakat awam diberi informasi, didongengi, dan didakwahi. Kalau dunia akademik diajak membuktikan dan bersifat kritis agar imannya semakin kuat.

Sampai batas mana kebenaran agama bisa dibantah atau didebat, bila memang perbedaan pendapat itu rahmah?

Alquran mengatakan jika kalian masih ragu-ragu terhadap ayat yang diturunkan kepada hambaku Muhammad ini, maka coba buat ayat seperti itu perkataan itu memperlihatkan bahwa Alquran menantang. Namun redaksi kata itu jangan hanya diartikan untuk membuat ayat serupa dengan nilai sastra yang sama pula. Tetapi kita harus memikirkan isinya pula. Sebenarnya ini menunjukan bahwa ketika Anda beriman, keimanan itu harus diuji terus menerus jangan disembunyikan ataupun dibentengi. Karena itu dapat mengakibatkan benteng keimanan yang kita anggap kuat pada awalnya ketika dihantam oleh filsafat akan membuat kalah. Inilah yang sering terjadi, kita selalu membentengi keimanan dengan tidak boleh ini dan itu, namun ketika kita bertemu dengan filsafat dan dibenturnya, kita tidak berdaya. Yang namanya filsafat itu terus menggelinding. Kalau kita tidak proaktif kita akan diserang terus.

Kalau boleh tahu, apa alasan itu juga yang membuat mahasiswa Bapak berbuat demikian?

Salah satunya itu. Namun perkataan itu berawal dari kekesalan mereka atas kebobrokan kondisi kita. Hingga kini, koruptor lepas namun penjahat kecil terus ditangkapi. Dengan pemikiran mereka yang masih muda dan belajar filsafat tanpa akidah yang kuat, yang keluar adalah hal itu. Permasalahannya ada pada bahasa yang digunakannya. Kalau saja kemarahan itu bisa mereka cover dalam bahasa yang lebih santun dan bermoral, maka persoalan ini tidak akan terjadi. Bagi saya sendiri, setelah mendengar ucapan itu, saya merasa marah. Kenapa dia menggunakan kata seperti itu ketika dia kesal.

Pendongkelan dan pendangkalan akidah kini makin kasat mata dan terang-terangan dilakukan di dalam masyarakat. Apa yang bisa kita lakukan?

Apabila pendangkalan akidah yang dimaksud akan mengarah pada atheis atau komunis, saya balik bertanya kenapa kita takut pada faham-faham itu? Kalau kita takut pada atheis atau pada suatu hal, maka ada sesuatu yang tidak beres. Ketidak beresan ini, bergantung pada diri kita sendiri. Kita tidak perlu takut pada komunis, toh komunis, di negerinya sendiri seperti Rusia, dan RRC, hancur kok. Alasannya karena mereka tidak punya pesantren, majlis ulama, IAIN, FUUI, dan masjid. Tapi kalau ini terjadi di Indonesia, saya hanya ingin tersenyum. Kenapa mesti takut? padahal kita mempunyai ribuan masjid, kiai, pesantren, kenapa takut? Dengan kekuatan ini, saya yakin atheis ataupun komunis tidak akan berhasil tumbuh. Namun atheis bisa muncul jika terjadi kesenjangan sosial. Seharusnya kita membuktikan bahwa atheis itu salah. Namun bagaimana kita bisa membuktikan kalau kita sendiri tidak mengenal atheis dan komunis, tanpa mempelajarinya.

Apa yang bisa dilakukan umat Islam untuk membentengi diri dari arus ghazwul fikr (perang pemikiran) yang makin deras?

Jawabannya sederhana, yakni harus ada yang belajar filsafat. Tidak usah semuanya, hanya orang-orang pintar yang akidahnya sudah benar, untuk menghadapi filsafat yang luar biasa. Karena filsafat membicarakan tentang tuhan, keadilan, kalau kita mau hancurkan mereka tidak akan bisa kalau hanya dilarang harus ada orang yang dapat membuktikan bahwa itu tidak benar. Kita harus bisa membuktikannya jangan hanya melalui pelarangan saja.

Benarkah metode dakwah yang dikembangkan selama ini kurang mengena?

Metode dakwah tidak bisa hanya dengan kata-kata harus ada pemecahannya. Seperti kasus keluar Islam karena mi instan. Apa yang sebenrnya terjadi? yang terjadi adalah kenapa kita tidak memberi mi instan. Seharusnya dakwah mampu menjaga umat tetap senang dalam Islam. Bukan hanya ngomong kamu salah. Kalau mereka pindah agama itu kesalahan kita, karena dakwah kita hanya omong. Dakwah mereka sudah menggunakan lambang ekonomi. Kesimpulannya, metode dakwah, dan pembelajaran Islam, tidak akan punya kemampuan untuk mengatasi kesulitan hidup, membuat orang amanah, kerja keras. Karena isinya hanya doktrin-doktrin eskatalogis, tentang malikat dengan lainnya. Harusnya ada penguatan di dalam diri umat. Jangan jadikan dakwah sebatas dongeng tentang malaikat. Namun sudah waktunya mengurus dakwah dengan cara liberal. Saya tidak setuju, tapi saya bisa maklum.

Lalu apa yang bisa dilakukan terkait kondisi ini?

Ada dua cara. Pertama, selektivitas, dan yang kedua, proses pembelajaran. Selektifitas telah diusulkan untuk lebih ketat, contohnya untuk tafsir hadis, seharusnya mahasiswa yang masuk telah menguasai Al quran. Proses pembelajaran mereka yang lebih penting dari seleksi. Di situ komitmen dosen juga dilihat. Saya harus mengakui, kurikulum harus dievaluasi, karena hal yang menyangkut akidah dan akhlak sangat kurang. Tapi itu tidak terjadi di IAIN saja, tetapi juga terjadi di SMA. Mata kuliah dasar, komponen fakultas, dan 40 persen komponen lokal yang bisa diubah. Disitulah kita bermain. Kurikulum harus dikembangkan, jangan hanya menerima.

Pesona Alam Pedesaan Bernuansa Khas Jawa

Satu yang dianggap sakral di Kampung Djowo ini adalah Gamelan Mangkunegaran, peninggalan Sunan Kalijaga.

Heri C Santoso
http://jurnalnasional.com/

Suasana rumah makan sangat alami. Dengan rasa makanannya
yang khas dan sangat nikmat.


(Kendal, 10-10-2007, Paku Buwono XIII)

PAGI. Matahari bersinar cerah. Udara sejuk terasa ketika saya memasuki wahana wisata pedesaan bernuansa khas Jawa: Kampung Djowo Sekatul, Dukuh Sekatul, Desa Margosari, Kecamatan Limbangan, sekitar 25 kilometer dari pusat Kota Kendal, Jawa Tengah.

Kampung Djowo Sekatul terletak di bukit Ungaran, menempati area seluas 10 hektar di perbukitan Gunung Medini. Terdiri atas hamparan perbukitan, persawahan, perkebunan vanili, stroberi, dan kolam pemancingan.

Bahkan, ada juga budidaya tanaman obat-obatan, buah-buahan, dan bunga, serta dilengkapi tempat persinggahan berupa joglo singgah dan joglo pandang. Tentu, semua berarsitektur khas Jawa, tepatnya Jawa Kuno.

Suasana alam pedesaan amat terasa saat saya memasuki area Kampoeng Djowo. Pengunjung disuguhi berbagai properti dan pernak-pernik khas Jawa: rumah Joglo Ampel, Joglo Djojokusuman, Pondok Ulik, lesung, sentir, andong, dan pendopo.

Salah satu joglo dinamakan Daleman Bagan. Pada zaman dahulu, joglo jenis rumah lanang ini merupakan Pendopo Kadipaten Mbagan, dekat Lasem, Rembang. Pendopo ini termasuk jenis rumah tadah loh, atau tempat kesuburan yang diyakini mendatangkan rezeki.

Kampoeng Djowo Sekatul punya ciri khas tersendiri. Bangunan-bangunan di area ini barang asli tempo dulu yang didatangkan dari tempat aslinya serta direkonstruksi sendiri oleh sang pengelola. Beberapa di antaranya: nDalem Saridin, didatangkan dari Pati. Joglo Saridin ini bangunan terbesar. Biasanya dipesan untuk acara seminar, diskusi, dan upacara pernikahan.

Tempat ini bisa menjadi oase peristirahatan bagi orang yang merindukan alam pedesaan Jawa: hamparan sawah yang luas, rumah pondok joglo, serta parit-parit yang mengalirkan air—menggambarkan suasana perkampungan Jawa tempo doeloe. Bangunan untuk kamar mandi pun terbuat dari batu kali dan kayu. Bagi pengunjung muslim juga disediakan mushala berarsitektur joglo.

Layaknya tempat wisata alam, Kampung Djowo juga menyediakan joglo pandang. Dari joglo ini, pengunjung bisa melihat hamparan perbukitan, persawahan, dan segala aktivitas petani di persawahan. Ada juga Rumah Pohon yang dapat menampung 20 orang. Bahkan, bagi pengunjung yang hobi memancing, disediakan juga area kolam pemancingan. Letaknya berdekatan dengan lokasi wisata air.

Bagi yang suka jalan-jalan sembari menghirup udara dingin, pengunjung juga bisa menikmati wisata agro. Ada kebun stroberi, durian, dan rambutan. Atau, bagi yang suka jogging, ada area jogging track: lari berkeliling di area perkebunan. Bahkan, pengunjung bisa sambil berkuda mengitari perbukitan kecil seraya melihat Gunung Medini dengan hamparan tehnya yang hijau.

Menurut Elly Rusmilawati, Humas Kampung Djowo Sekatul, tempat wisata yang dibuka untuk umum sejak 26 November 2005 ini dulu sehampar perkebunan cengkeh. Kemudian, oleh pemiliknya, KPH Herry Djojonegoro, dibangun sebagai tempat peristirahatan pribadi. Karena masyarakat luas antusias melihat, tempat itu kemudian dibuka untuk umum.

Menjadikan alam dan budaya Jawa sebagai sahabat merupakan tujuan didirikannya Kampung Djowo. “Tak heran, pesona alam dan nuansa Jawa menjadi kekhasan dan keunggulan tempat ini,” katanya.

Bagaimana mulanya? Alkisah, kecintaan KPH Herry Djojonegoro atas kebudayaan Jawa menimbulkan niat di hatinya untuk mendirikan wahana wisata ini. Herry Djojonegoro—yang bernama lengkap Kanjeng Pangeran Haryo Herry Setianto Djojonegoro ini—masih berdarah Keraton Kasunanan, Surakarta. “Kini suami KM Ayu Dinar Retno ini lebih banyak tinggal di kediamannya bersama keluarga di Srondol, Semarang,” kata Elly.

Kampung Djowo Sekatul tak hanya menawarkan keindahan alam, tapi juga wisata sejarah. Semua bangunan di kawasan ini didirikan sesuai pakem. “Pendopo Wana Keling misalnya, harus dibangun di tempat paling tinggi di antara bangunan lain. Sebab, fungsinya sebagai tempat untuk berdoa,” kata Elly.

Satu yang dianggap sakral di Kampung Djowo ini adalah Gamelan Mangkunegaran, peninggalan Sunan Kalijaga. Gamelan ini tidak terbuka untuk umum. Sebab, tidak sembarang orang boleh memainkannya. Pada waktu tertentu saja boleh dimainkan. “Bahkan Kanjeng pernah mengatakan, semua bangunan di sini masing-masing punya makna filosofi. Orang Jawa selalu menjaga keseimbangan dengan alam,” kata Elly lagi.

Bahkan, kata Elly pula, Kanjeng memerlukan waktu 10 tahun mengumpulkan semua koleksi bernuansa khas Jawa ini. “Kanjeng tidak mudah mengumpulkan semua bangunan kuno ini. Bahkan, Kanjeng kerap bertirakat agar semua ini bisa ditemukan,” katanya.

Bagi yang punya hobi menyantap kuliner khas Jawa, tidak usah khawatir. Kampung Djowo juga menyediakan bakaran gurami, kalper, bawal, klenyem, dan jongkong. Ada juga nasi tumpeng khas Kampung Djowo—nasi tumpeng dengan tambahan ikan asin, telur, lalapan, ayam bakar, dan bumbu gudangan. Semua ditata apik di atas tampah bambu, sehingga menambah kekhasan citarasa hidangan. Bahkan, saat menjamu tamu, para pramusajinya pun mengenakan pakaian adat khas Jawa: batik dan blangkon.

Berbagai koleksi fauna pun menjadi pelengkap di area wisata yang setiap minggu dihadiri sekitar 50-100 pengunjung ini. Baik dari dalam maupun luar kota. Salah satu koleksi unik dan mistis adalah Lele Putih, terletak di samping gamelan. Menurut pendiri, Lele Putih itu simbol pendirian Kerajaan Mataram yang berasal dari KPH Paku Buwono XIII. Beberapa koleksi lain: Ayam Jago bertanduk, Kebo Landhoh (Kebo Bule), Sapi, dan Kuda.

Untuk menambah kegiatan wisata berorientasi pendidikan, Kampoeng Djowo juga menawarkan wisata keluarga dan outbond, atau kegiatan luar ruang. Fasilitas yang disediakan antara lain: play ground dan camping ground, dilengkapi jembatan gonjang-ganjing sepanjang 60 meter. Juga flying fox setinggi 150 meter, jaring laba-laba, dan playground sarana bermain untuk anak. Bagi yang memerlukan jasa training, pihak pengelola wisata siap menyediakan jasa trainer outbond terlatih.

Bagi rombongan yang hadir tidak diperkenankan membawa makanan dan minuman dari luar. Sebab, wisata resto pun tersedia di area wisata ini. Selain itu, pengunjung, terutama yang berpasangan, tidak diperkenankan menginap. “Selama ini, yang diperbolehkan menginap adalah keluarga. Atau pengunjung dengan rombongan besar,” kata Shofi, staf bagian informasi.

Ada catatan, beberapa tokoh besar pernah berkunjung di tempat ini. Salah satunya, KH Abdurrahman Wahid, rekan KPH Herry Djojonegoro. Gus Dur berkunjung saat menghadiri perayaan ulang tahun pemilik bersama KPH Paku Buwono XIII.

Tak heran, pengunjung yang pertama kali merasakan keindahan nuansa kawasan ini akan berdecak kagum dan mengucap puji, seperti halnya Paku Buwono XIII yang menuliskan kesan saat berkunjung ke tempat ini, tepatnya 10 Oktober 2007. Antara lain, tentang suasana rumah makannya yang alami. Juga tentang menunya yang khas dan nikmat disantap.

Seperti juga Agus S, asal Semarang, saat berkunjung kedua kalinya di Kampung Djowo Sekatul ini. Ia menyatakan rindu suasana pedesaan yang menurutnya tidak ditemukan di kota tempat tinggalnya. “Kampung Djowo ini unik. Selain tempatnya asyik, banyak koleksi barang-barang mahal yang asli,” katanya. Luar biasa! n

Kutipan:
Kanjeng Pangeran Haryo perlu waktu 10 tahun mengumpulkan semua koleksi bernuansa khas Jawa ini.

Kamis, 18 Desember 2008

Empat Citra Perempuan dalam Sastra Kita

Tjahjono Widarmanto
http://republika.co.id/

Perempuan kita yang pertama berasal dari dusun di pelosok Gunung Kidul, wilayah yang mendapat stigma sebagai salah satu daerah termiskin di Indonesia: Pariyem. Dia adalah tokoh dalam prosa lirik Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem, perempuan Jawa yang merasa sangat beruntung dapat menjadi pembantu rumah tangga seorang priyayi.

Keberuntungan Pariyem dirasakan bertambah-tambah, ketika tuan mudanya menaruh minat padanya. Maka, tatkala hamil karena tuan mudanya itu, dia tak merasa risau sedikit pun. Dengan pasrah dia pulang ke dusun dan melahirkan anaknya. Kemudian, dia kembali ke rumah majikannya, dengan membawa bayinya tanpa menuntut untuk dinikahi atau menuntut hak sebagai istri yang mungkin bisa membawanya pada perubahan nasib. Dia kembali pasrah pada posisinya sebagai pembantu.

Namun, kesumarahan Pariyem tak dimiliki perempuan dusun yang lain, yang dengan kesadarannya mencoba mengubah nasibnya melawan berbagai ketidakmungkinan. Dia adalah Nyai Ontosoroh, tokoh novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer. Perempuan ini sama-sama dilahirkan di desa yang kecil dan melarat, sama-sama menjadi gundik. Namun, nasib tak menjadikannya pasrah menjalani takdirnya. Berbekal ambisi dan dendam sekaligus sedikit diuntungkan dengan sikap politik etis tuannya, Nyai Ontosoroh berhasil mengubah nasibnya menjadi seorang pengusaha partikulir yang besar.

Perempuan kita yang ketiga adalah perempuan muda, cerdas, sarjana antrropologi, dilahirkan di tengah-tengah keluarga purnawirawan berpangkat Jenderal. Tentu saja cantik dan menarik. Dia adalah Marieneti Dianwidhi, tokoh novel Burung-burung Rantau karya YB Mangunwijaya. Perempuan kelas atas yang memilih bekerja sebagai relawati bagi anak-anak jalanan yang kumuh, miskin, dan jembel.

Pemikirannya yang cerdas, berorientasi global, berpendidikan ala Barat yang sangat moderen dan sekuler, tentu saja membuatnya mengenal emansipasi, feminisme, kesetaraan gender dan sejenisnya. Namun, semua itu tak menggeser pola pemikirannya yang masih sangat menjunjung tinggi keperawanan walau pada akhirnya Marieneti punya orientasi yang mengejutkan yaitu memilih untuk tidak menikah.

Perempuan kita yang keempat adalah seorang penari, yang tentu saja jelita dan belia, yang lahir dan tumbuh dalam pesona abad millenium. Sebagai penari, perempuan kita ini telah memiliki dan memasuki pergaulan internasional. Dia adalah Cok, tokoh dalam novel Saman karya Ayu Utami, perempuan muda yang secara radikal tak henti-hentinya mempertanyakan keperempuanannya. Bahkan pertanyaan-pertanyaannya tentang keperempuanannya menjadi semacam pemberontakan dan perlawanan terhadap takdirnya yang terlahir sebagai perempuan.

Cok menggugat dominasi patriarki dalam kehidupan perempuan, khususnya dalam seksualitas. Bagi Cok, realitas seksual yang lebih menguntungkan eksistensi lelaki merupakan representasi nyata dominasi patriarki dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tajam bahkan ekstrim, ia mempertanyakan tentang virginitas atau keperawanan seorang perempuan. Bagi Cok, keperawanan justru merupakan belenggu bagi perempuan. Lewat keperawananlah, kaum patriarki justru mempunyai peluang untuk 'menguasai' perempuan.

Dalam memperbincangkan seks, Cok begitu bebas tanpa beban, bebas-sebebasnya seperti menari di atas bukit sembari bertelanjang tanpa persoalan. Perselingkuhan dan persenggamaan pun tidak didudukkan dalam kerangka moralitas yang hitam putih.

Berbeda dengan Marieneti yang mengagungkan keperawanan sebagai sesuatu yang suci, Cok justru menggugat bahkan mengingkari pentingnya keperawanan bagi perempuan. Baginya, sungguh tidak adil mempersoalkan keperawanan sedang di sisi lain keperjakaan bukan sesuatu yang penting bagi lelaki. Ia juga mempertanyakan bahkan meragukan lembaga perkawinan. Perlawanan Cok sampai pada puncaknya: menjebol sendiri keperawanannya.

Keempat perempuan itu memang hanya muncul dalam teks sastra kita. Mereka hadir dalam batas imajiner. Namun, sebagai citra dan tafsir perempuan Indonesia, keempat-empatnya bisa hadir sebagai sebuah realitas. Paling tidak, citra keempat perempuan tersebut bisa hadir sebagai suatu simbol perempuan Indonesia dalam kehidupan nyata.

Citra Pariyem, Nyai Ontosoroh, Marieneti, dan Cok merupakan gambaran nyata persoalan-persoalan perempuan dan emansipasi. Cita-cita emansipasi, citra perempuan, citra para ibu, telah mengalami perkembangan dan terpengaruh dengan sangat hebat dengan variabel-variabel sosial dan politik. Sosok Pariyem dan Nyai Ontosoroh mungkin masih bisa muncul di benak Kartini, namun sosok Marieneti dan Cok, barangkali mustahil pernah dibayangkan oleh Kartini.

Cita-cita emansipasi, citra ibu, ternyata telah berayun dalam suatu wilayah, bahkan labirin yang absurd. Wilayah-wilayah yang amat dipengaruhi oleh kancah sosial ekonomi, modernisasi, industrialisasi, kehidupan global, kapitalisme, pluralisme, sekulerisme, bahkan ideologi yang saling tumpang tindih dan tarik menarik. Dan di titik yang saling silang sengkarut dan tarik menarik itu, Kartini akan menatap dan bertanya, "Bagaimanakah kelak wajahmu, perempuan-perempuan Indonesia?"

*) Penyair dan guru sastra.

Rabu, 17 Desember 2008

Sastra Reformasi

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Orde Baru dikibarkan menggantikan Orde Lama sebagai sebuah pesta kemenangan. Para teknokrat bergabung membenah Indonesia yang dinilai sangat rawan kesejahteraan rakyatnya. Maka agenda pun dipalingkan ke perkembangan ekonomi.

Orde Baru mulai membentuk kelas menengah untuk membuat perubahan. Generasi muda didorong bangkit membangun masa depan dengan cara menjadi interprener. Rakyat diajak memusatkan perhatian pada kesibukan mengisi kemerdekaan. Mereka dibimbing menghadapi kenyataan dan mencintai uang.

Kelas menengah yang kemudian lahir, ternyata bukan memelopori penalaran, mereka malah sibuk mengukuhkan status kemapanannya. Rakyat memang menjadi sadar pada kemiskinannya lalu menjadi lapar pada kesuksesan tapi dalam bentuk materi. Orang mulai terbiasa memburu uang dengan menempuh segala macam cara. Kemajuan-kemajuan phisik tidak diimbangi oleh kesiapan batin.

Kesenian yang merupakan salah satu kanal yang bisa mengantarkan manusia ke arah perkembangan batin, amat terpojok. Tempatnya di luar pembangunan, bahkan nampak mengganggu. Karena dianggap tak berguna, kesenian tidak lagi dianggap sebagai aset bangsa, bahkan dinilai sebagai pemborosan. Digeletakkan begitu saja di sudut kecil sebagai pajangan parawisata.

Dan sastra hampir menjadi sampah yang hanya dilindungi oleh belas kasihan. Fungsinya sebagai pendidikan moral untuk menyempurnakan perkembangan batin manusia, menjadi hanya kelanggenan. Sastra berubah menjadi hiburan ringan.

Sastra mengkerut menjadi hanya budaya pop. Hiburan sesaat mengikuti kesemarakkan pasar. Hal ini ditopang lagi oleh budaya hidup enak yang dikampanyekan oleh majalah-majalah wanita yang gemerlapan dan menjual gaya hidup wah. Untuk bertahan sastra pun ikut menjadi alat propaganda hidup pop. Maka perlahan-lahan bangkrutlah sastra Indonesia.

Perjalanan kemanusiaan yang bisa ditempuh antara lain lewat sastra, sebagaimana yang pernah dicanangkan oleh kelompok Manikebu misalnya, kembali gagal. Kemanusiaan sendiri mendapatkan rangking nol di dalam kehidupan. Yang menjadi utama pada era tersebut adalah politik, ekonomi dan teknologi. Tapi itu pun politik kelas yang berkuasa, ekonomi kelas konglomerat dan teknologi mercu suar.

Reformasi mendadak memberikan kesempatan.

Reformasi semacam peluang untuk mereposisi sastra, di dalam kehidupan. Dapat diharapkan bahwa posisi sastra akan kembali. Segala keluhan di masa lalu, mendadak tidak lagi menjadi hambatan. Para penulis bisa leluasa untuk memilih tema dan mengekspresikan pendapatnya terhadap segala macam soal. Sensor yang dianggap sebagai biang kerok kebangkrutan sastra sudah lumpuh. Sastrawan memiliki kemungkinan.

Kita sedang memasuki proses pembebasan sekarang. Membuka pintu dan memulai kerja besar. Tapi benarkah sastra melangkah laju ke depan bila tanpa hambatan, tanpa ditolong oleh siapa-siapa. Beranikah, mampukah, dan berhasilkah sastra membuktikan keberadaannya yang istimewa penting di dalam kehidupan yang lebih bebas?

Di masa lalu, bukan hanya sastra, hampir seluruh sektor kesenian ikut mengeluh terhadap berbagai keterbatasan. Sensor yang garang dan sewenang-wenang merupakan alasan yang empuk untuk membenarkan bahwa layaklah tidak ada hasil besar yang lahir. Padahal pada zamannya, bukan sedikit hambatan yang dihadapi oleh Pramudya Ananta Toer, toh dia berhasil mencetak hasil-hasil monumental. Bahkan pada zaman kensengsaraan Manikebu, tidak sedikit halangan terhadap para Manikebuis karena mereka dilarang berkarya, toh lahir penyair-penyair besar seperti Goenawan Mohamad, misalnya. Sedangkan di era Orde Baru yang dianggap sebagai neraka bagi kebebasan berekspresi, tetap saja melambung karya-karya Rendra, Sutardji, Danarto, Budidharma dan sebagainya, seperti tak tersentuh oleh berbagai hambatan.

Kini, ketika pintu kebebasan sudah dibuka, akan lahirkah sastrawan besar dan karya besar yang lain? Harusnya lahir. Tanpa itu bagaimana mungkin sastra dapat mereposisi dirinya? Tetapi sayang, sudah setahun reformasi bergulir, yang lahir baru novel “Saman” dari tangan Ayu Utami, pengarang wanita yang dipujikan oleh para pengamat sebagai jenius yang membawa cakrawala baru bagi sastra Indonesia. “Malu Aku Jadi Orang Indonesia”, kumpulan sajak Taufiq Ismail. Novel dari Danarto, Remy Sylado, Titis Basino serta Dono Warkop. Ke mana para pengarang yang lain?

Sedang giat menulis atau ikut kampanye? (Apa karena krismon yang membuat harga kertas membumbung tinggi penerbitan jadi seret? Karena prioritas dikerahkan kepada pada pemulihan ekonomi dan kestabilan politik?) Atau karena tidak terbiasa oleh kebebasan? Apakah kebebasan justru membuat sastra jadi tak berdaya?

Di masa lalu, ketidakbebasan justru menstimulasi sastra menjadi lebih tajam dan produktif. Sementara kebebasan seringkali berakhir dengan kebingungan apabila memang jiwa sastrawannya memang tak bebas. Setelah tuntutannya tentang kebebasan terpenuhi, ia tidak tahu mau mengisi dengan apa?

Mungkin sekali bahwa kebebasan formal tidak hanya memberikan peluang, tetapi juga dapat membunuh. Karena dalam ketidakbebasan yang macam mana pun, selalu ada peluang bagi kreativitas untuk berkelit dan mengucur. Sehingga sastra tidak pernah tidak ada, kalau memang dia ada. Sebaliknya kalau memang tak ada, dibebaskan dengan cara bablas-bablasan pun dia tetap tak akan hadir.

Atau: menjadi bertambah jelas bahwa kebebasan bukan satu-satunya yang diperlukan sastra. Jauh lebih penting dari kebebasan adalah visi. Sastra harus menghidupkan visi. Para sastrawan adalah visoner-visioner yang akan membuat karya sastra menjadi input-input berharga bagi kehidupan dalam aspek masing-masing. Sehingga sastra tidak hanya berhenti sebagai sastra. Tetapi berawal dari sastra dan kemudian berserak ke seluruh sektor kehidupan. Dengan begitu sastra baru akan memiliki wibawa yang setara dengan pengetahuan. Karena ia memiliki akses ke segala arah. Sementara keindahan bahasa adalah bonusnya.

Era reformasi bagi sastra dalam pengamatan saya, bukan berarti “Pembebasan”, yang berarti: bahwa kini adalah saatnya sastra dapat berbuat apa saja. Bahwa kini adalah saatnya sastra dapat menuliskan apa saja. Tidak. Karena sastra selalu komplit. Sastra selalu mendua. Sejak adanya, sastra mengandung kebebasan dan ketidakbebasan. Kenapa? Sastra yang berpihak memang tidak pernah bebas. Dan sastra yang bebas, tidak pernah bisa ditahan oleh apa pun, karena dia memiliki kreativitas untuk mengelak. Keduanya bangga atas keadaannya. Dan suka tidak suka, ternyata saling melengkapi.

Sastra reformasi menurut hemat saya, bukan: “pesta kebebasan dan selamat tinggal ketidakbebasan”, tetapi masalah kesempatan dan agenda. Masalah prioritas apa yang seyogyanya harus dilakukan oleh sastra, baik sastra yang berpihak maupun sastra yang bebas, pada saat ini. Saat ketika Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun dicoba diganti dengan tatanan baru yang kita sendiri juga belum tahu seperti apa jadinya nanti, adalah kesempatan untuk mengembalikan sastra sebagai sembako jiwa.

Dalam bayangan saya, sastra reformasi adalah sastra yang menyadari benar artinya sebagai sembako batin. Namun dia juga mengerti di mana posisinya kini. Idealismenya mengandung strategi. Sastra mesti melakukan tindakan-tindakan yang tepat. Kalau tidak, tujuannya akan terganggu atau terjegal lagi, bukan karena tidak diterima oleh masyarakat, tetapi karena tidak dewasa menyikapi situasi.

Sastra adalah jembatan untuk masuk ke hati manusia di segala sektor kehidupan. Karenanya sastra tidak mungkin tidak, tetap akan menghadapi berbagai halangan. Kesulitan-kesulitan di masa lalu, bukan tidak akan mungkin akan terulang lagi. Kekurangan penerbit, jalinan distribusi tak lancar, aturan main yang tidak mendukung bahkan juga sensor dan sebagainya yang dulu dikeluhkan mungkin masih akan dihadapai lagi. Dan menjadi bertambah berat, karena itu terjadi dalam era reformasi.

Kesempatan sastra di dalam era reformasi adalah ikut campur dalam berbagai aspek kehidupan secara aktif. Membuktikan dirinya bukan hanya semata-mata hiburan. Bukan sekedar “sastra”. Untuk itu sastrawan sendiri harus berkemas, membenah diri, dan belajar. Karena penampilan yang rusak, citra yang kalangkabut, wawasan dan gagasan yang mgawur dan mabok, justru akan dengan cepat membalikkan kesempatan itu menjadi bukti bahwa sastra memang harus dikubur karena memang benar sampah.

Apa yang harus dilakukan oleh sastra? Banyak sekali. Dia harus menunjukkan kwalitas dan sekaligus kwantitasnya. Dia tidak boleh enak-enakan menuntut apalagi mengemis pengakuan. Sastra harus berjuang untuk merebut pengakuan, seperti partai-partai merebut kursi dalam pemilu. Kalau tak berhasil, jangan lagi menuding rakyat tak punya apresiasi, tetapi mungkin perjuangannya masih belum cukup teruji. Karena itu sastra perlu bisa membuktikan dirinya berkaliber, sehingga mau tak mau pantas diakui.

Sastra akan dituntut untuk lentur, lihai, cerdas dan barangkali juga harus bijaksana. Sastra harus mampu membangun imij bahwa ia adalah pekerja pendidikan jiwa yang setara dengan pekerja-pekerja kehidupan lain seperti sejarah, politik dan ekonomi atau teknologi, misalnya. Dalam sastra orang mendapatkan kearifan dan memperkaya pengalaman-pengalaman batinnya.

Sastra dituntut oleh keadaaan untuk bisa menunjukkan, tanpa sastra kehidupan akan berjalan timpang. Dan itu tidak cukup dengan sebuah slogan tetapi kerja nyata sehingga ada bukti. Dengan karya-karya yang berkesinambungan. Dengan usaha-usaha. Dengan percobaan-percobaan dan barangkali juga dengan berbagai penderitaan, frustasi, kegagalan-kegagalan. Walhasil kembali lagi: tekanan.

Sastra harus membebaskan dirinya dari menempatkan kesulitan-kesulitan sebagai pembenaran kemacatan sastra. Ancaman dan tekanan adalah sesuatu yang sudah terbiasa pada sastra. Sering itu menjadi kekuatan sastra sendiri. Kalau tidak berani menghadapi kesulitan, barangkali memang tidak perlu menjadi sastrawan.

Siapkah sastrawan Indonesia menerima sastra sebagai pekerjaan? Menumbuhkan ethos kerja yang lebih kerangsukan? Pertanyaan-pertanyaan itu pasti akan disusul dengan pertanyaan: siapkan pemerintah dan masyarakat menerima sastra sebagai sembako? Dan selanjutnya akan melahirkan pertanyaan: siapkah sastra menjadi sembako? Akhirnya akan kembali sebagai pertanyaan: siapkah satrawan menjadikan sastra itu sebagai sembako?

Era reformasi, nampaknya tidak akan menjamin kehidupan sastra Indonesia lebih baik, kalau sastrawannya sendiri tidak bangkit. Sastrawan sendiri harus mereformasi posisi dan perilakunya sebagai sastrawan. Tidak cukup dengan cara menuding, mengelak, memasang label reformasi di kepalanya atau bersilat argumentasi, tetapi dengan karya-karya. Dan itu mutlak memerlukan kerja.

Sabtu, 06 Desember 2008

PEREMPUAN DALAM NOVEL PEREMPUAN

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

“Kebangkitan Novelis Pria” demikian judul berita Harian Republika yang mewartakan pengumuman Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2006 (18 Maret 2007, hlm. B10). Rupanya, judul berita itu hendak menegaskan kembali pernyataan Ketua DKJ, Marco Kusumawijaya, “Kenyataan ini sekaligus menepis anggapan masa depan sastra Indonesia berada di bawah dominasi penulis perempuan.” Sebelumnya, harian Seputar Indonesia (11 Maret 2007, hlm. 13), menulis judul “Jeda Dominasi Sastra Hawa” yang pemberitaannya tidak jauh berbeda. Di sana, juga dikutip pernyataan Ketua DKJ. “Menurutnya, dominasi kaum laki-laki dalam perhelatan kali ini sekaligus menepis anggapan bahwa masa depan sastra Indonesia sangat bergantung pada kaum perempuan.”

Jika benar pernyataan itu sebagaimana yang dikutip kedua suratkabar itu, maka secara subjektif, saya menangkap kesan adanya semacam masalah yang justru bukan jatuh pada segi kualitas, melainkan pada persoalan gender. Seolah-olah, kiprah kaum perempuan dalam kesusastraan Indonesia –dan mungkin juga dalam bidang lain—dipandang sebagai ancaman akan posisi—dominasi (: kekuasaan) laki-laki. Seolah-olah lagi, isu penting sastra Indonesia adalah perkara gender, dan bukan kualitas.

Bagi saya, judul berita dan pernyataan di atas, laksana merepresentasikan kondisi sebenarnya sebagian besar pandangan kaum lelaki dalam berhadapan dengan perempuan. Pernyataan itu juga sekaligus menunjukkan sikap laten yang cenderung hegemonik dan perasaan superior kaum laki-laki yang menempatkan kaum perempuan dalam posisi inferior. Mengapa persoalan gender yang dijadikan isu, dan bukan peningkatan kualitas? Dalam sistem sastra, pengarang –sebagai penghasil karya, penerbit atau media massa sebagai lembaga yang memungkinkan karya sastra itu diproduksi dan direproduksi, dan pembaca sebagai pihak yang memberi makna atas karya, diyakini tidak berdiri sendiri, melainkan hadir saling mempengaruhi. Maka, dilihat dari perspektif sistem sastra, judul berita dan pernyataan itu, bersifat ideologis maskulin. Yang dimasalahkan bukan teks sebagai objek kajian, melainkan sistem pengarang dan lebih khusus lagi menyangkut perkelaminannya.

Demikianlah, dalam sistem sastra, jika teks itu sendiri tidak diterjemahkan secara tekstual, melainkan secara kontekstual yang dicantelkan pada kecenderungan memasalahkan gender, maka sangat mungkin tafsir atas teks berikut pemaknaan dan penilaiannya, juga mengandung kecenderungan itu. Dalam hal ini, unsur di luar teks, tidak jarang ikut mempengaruhi pemaknaan seseorang atas tafsir dan nilai teks ketika berbagai kepentingan hadir di sana. Jadi, teks pada akhirnya tidak dapat dilepaskan dari konteks yang melatarbelakangi dan melatardepaninya. Ini pula yang terjadi dalam teks sastra Indonesia modern dalam hampir sepanjang usianya yang mencapai satu abad lamanya.

Perlu dicatat, bahwa kesusastraan Indonesia –seperti juga bahasa Indonesia—lahir dan bergulir melalui tiga jalur perkembangan.

Pertama, melalui penerbit swasta, terutama penerbit yang dikelola golongan peranakan Tionghoa. Berdasarkan catatan Claudine Salmon, perkenalan yang lebih awal golongan masyarakat ini dengan alat cetak memungkinkan mereka dapat mendirikan usaha penerbitan yang menerbitkan buku, majalah, dan suratkabar. Belakangan, golongan pribumi juga mencoba usaha penerbitan ini. Di Medan, misalnya, Hamka dan Helmi Yunan Nasution coba menerbitkan majalah Pedoman Masjarakat (1935). Beberapa karya Hamka pada awalnya dipublikasikan melalui majalah ini. Sutan Takdir Alisjahbana, juga mendirikan penerbit Dian Rakyat. Penerbit inilah yang kemudian menerbitkan novel Belenggu karya Armijn Pane.

Kedua, melalui media massa –suratkabar dan majalah. Dalam buku-buku sejarah sastra Indonesia, hampir tidak pernah tercatat karya sastra yang dipublikasikan atau diterbitkan di media massa sebagai bagian dari khazanah kesusastraan Indonesia. Jika mencermati media massa yang terbit pada awal abad ke-20 (1906—1928), tidak dapat dinafikan bahwa sesungguhnya pada masa itu telah berlahiran para penulis wanita.

Ketiga, melalui penerbitan Balai Pustaka. Mengingat Balai Pustaka merupakan lembaga kolonial Belanda, maka buku-buku yang diterbitkan lembaga itu isinya harus sejalan dengan kebijaksanaan politik kolonial. Pendirian Balai Pustaka sendiri memang dimaksudkan untuk menangkal pengaruh bacaan yang diterbitkan pihak partikulir atau penerbit swasta yang dikatakannya sebagai “Saudagar kitab yang kurang suci hatinya.” Muncullah cap “bacaan liar” yang sengaja dilekatkan pada buku-buku terbitan pihak partikulir itu. Perkembangan lewat jalur Balai Pustaka inilah kesusastraan Indonesia begitu kuat menanamkan pengaruhnya terutama dalam sistem pengajaran di sekolah.

Pengaruh Balai Pustaka yang begitu luas dan kokoh itu, ternyata tidak diikuti oleh jumlah pengarang dan jumlah buku yang diterbitkannya. Dalam hal ini, secara kuantitatif, jumlah buku, terutama novel yang diterbitkan pihak swasta berikut pengarangnya, masih jauh lebih banyak dibandingkan buku dan pengarang Balai Pustaka. Di antara sejumlah sastrawan Balai Pustaka yang muncul pada masa itu, tercatat tiga pengarang wanita, yaitu Paulus Supit (?), Selasih (=Sariamin =Seleguri), dan Hamidah (=Fatimah Hasan Delais). Kecuali novel Paulus Supit, Kasih Ibu (1932), Selasih, Kalau tak Untung (1933) dan Hamidah, Kehilangan Mestika (1935), seperti juga tema umum novel terbitan Balai Pustaka masa itu, mengangkat tema yang berkisar pada persoalan percintaan yang tidak berjalan mulus dan perkawinan yang gagal. Penderitaan yang dihadapi kaum wanita akibat perbuatan laki-laki yang ingkar janji. Tokoh utama perempuan, jatuh sebagai pecundang. Tetapi, di dalam novel Kasih Ibu, Paulus Supit menggambarkan tokoh ibu –yang janda— berhasil mengantarkan anak-anaknya meraih sukses sebagai guru.

Dari sekitar 80-an novel yang diterbitkan Balai Pustaka (1920—1941), hanya novel Kasih Ibu karya Paulus Supit itulah yang menggambarkan tokoh perempuan tidak jatuh sebagai pecundang. Bahkan, berkat keberhasilan tokoh ibu itu pula, masyarakat di desanya mulai menyadari pentingnya arti pendidikan.

Dilihat dari ketiga jalur perkembangan sastra Indonesia, kehadiran para pengarang perempuan sesungguhnya ramai terjadi justru di luar Balai Pustaka. Tetapi, lantaran Balai Pustaka didukung keuangan pemerintah, menjadi bahan bacaan di berbagai peringkat sekolah, dan pendistribusian buku-bukunya melalui perpustakaan-perpustakaan keliling sampai ke pelosok desa, maka pengaruhnya, jauh lebih luas dan mengakar. Sastra Indonesia pada akhirnya seperti dikembangkan hanya oleh peranan Balai Pustaka.

Dua novel yang terbit pada zaman Jepang, Cinta Tanah Air (Balai Pustaka, 1944) karya Nur Sutan Iskandar, dan Palawija (Balai Pustaka, 1944) karya Karim Halim, agaknya mewakili gambaran umum kesusastraan Indonesia pada masa itu. Dalam dua novel itu, kita akan melihat, betapa hampir semua tokoh wanitanya, tidak hanya memperlihatkan semangat membela Tanah Air, tetapi juga ikut terjun membantu perjuangan di medan pertempuran. Tokoh-tokoh ibu, istri, atau anak perempuan, nyaris semuanya digambarkan sebagai pendorong semangat para pejuang. Bahkan, dalam novel Palawija, peristiwa perkawinan tokoh Sumardi –guru, pribumi—dan Sui Nio, gadis keturunan Tionghoa, seperti hendak memperlihatkan pentingnya berbagai suku bangsa menyatu dalam semangat bangsa Asia dan dalam usaha membela Perang Asia Raya.

Novel terbitan Balai Pustaka sebelum merdeka, secara tematik, tidak ada yang menyinggung persoalan agama. Meski begitu, citra Islam yang dilekatkan pada tokoh haji dan pemuka adat, digambarkan begitu negatif. Sementara gambaran tokoh perempuan, kecuali dalam Kasih Ibu karya Paulus Supit dan novel yang terbit pada zaman Jepang, sebagian besar jatuh sebagai pecundang, kalah oleh perbuatan brengsek tokoh laki-laki.
***

Selepas merdeka, jumlah pengarang wanita mulai bertambah, beberapa di antaranya patut pula diperhitungkan. Arti Purbani (istri Husein Djajadiningrat) mengawali periode ini lewat novelnya Widiyawati (1949). Ceritanya sendiri sebenarnya agak bertele-tele lantaran hampir semua tokoh dalam novel itu diungkapkan panjang lebar. Meskipun begitu, titik pusatnya jatuh pada tokoh utama Widiyawati (Widati) yang harus berhadapan dengan tradisi keluarganya yang kukuh berpegang pada adat kebangsawanannya.

Pengarang-pengarang wanita lainnya, di antaranya Luwarsih Pringgoadisuryo, Titis Basino, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Haryati Subadio (Aryanti), Marianne Katoppo, dan N.H. Dini. Yang terakhir inilah dalam deretan pengarang wanita menempati kedudukan istimewa, terutama melalui novelnya Pada Sebuah Kapal (1973).

Secara keseluruhan, tema novel-novel pengarang wanita masih selalu berkisar pada persoalan dirinya sendiri; masalah wanita yang diceritakan dan diselesaikan oleh tokoh wanita. Memang masih bermunculan novel lain karya pengarang wanita, seperti Raumanen (1977) karya Marianne Katoppo atau Selembut Bunga (1978) dan Getaran-Getaran (1990) karya Haryati Subadio, tetapi tpersoalannya masih seputar problem domesti.
***

Fenomena yang kini menggelinding deras sebagai semacam gerakan dalam sastra Indonesia telah diperlihatkan oleh para novelis perempuan Indonesia pasca-Saman Ayu Utami. Jika Nh Dini dan Titis Basino sebagai novelis senior berhasil menerobos dan menempatkan dirinya sebagai novelis wanita yang sejajar dengan novelis pria pada zamannya, Ayu Utami lewat novelnya, Saman (1998) seperti berhasil menyebarkan semacam virus yang menggelisahkan bakat-bakat terpendam penulis perempuan lainnya. Dengan kualitas narasinya yang kuat, metaforanya yang cerdas, dan tema ceritanya yang memaksanya harus mengangkat persoalan seksual, posisi Saman dalam peta novel akhir dasawarsa tahun 1990-an itu seolah-olah seperti menjulang sendiri tanpa tersaingi. Novel keduanya, Larung (2001) memang tidak sesukses novel pertamanya itu, tetapi tempat Ayu Utami tetap penting dalam sastra Indonesia kontemporer.

Dewi Lestari lewat Supernova (2001) juga berhasil memahatkan “mainstream” baru dalam peta novel Indonesia dengan memasukkan deskripsi ilmiah sebagai bagian integral dalam cerita. Seperti juga yang terjadi pada Ayu Utami, novel kedua Dewi Lestari, Akar (2002) masih berada di bawah bayang-bayang novel pertamanya. Bersamaan dengan itu, muncul pula Fira Basuki yang mengawali kepengarangannya lewat novel Jendela-Jendela (2001) yang ternyata merupakan bagian pertama dari trilogi, Pintu (2002) dan Atap (2002). Fira Basuki jelas ikut melengkapi peta novelis perempuan Indonesia.

Sebelum Dewi Lestari dan Fira Basuki, sesungguhnya telah muncul nama Naning Pranoto yang dari tangannya tiba-tiba berloncatan sejumlah novel. Entah mengapa, tak banyak pembicaraan mengenai novel-novelnya itu. Sesungguhnya, ia menyodorkan sesuatu yang baru dalam tema novel Indonesia kontemporer, yaitu ketersisihan korban-korban politik. Dua novelnya, Mumi Beraroma Minyak Wangi (2001) dan Miss Lu (2003) misalnya, jelas hendak menempatkan masalah politik dan kekuasaan yang otoriter sebagai penyebab jatuhnya korban orang-orang tak berdosa. Di sini, Naning sengaja menggambarkan korban-korban politik itu dalam posisi yang teraniaya, meskipun korban-korban itu sesungguhnya tidak tahu-menahu dan sama sekali tidak terkait dengan masalah politik. Lalu, mengapa ia harus menjadi korban? Itulah politik. Di tangan penguasa yang otoriter, politik menjadi semacam hantu yang kapan saja dapat melakukan teror kepada siapa pun.

Naning Pranoto telah menghasilkan sekitar 15 novel; sebuah prestasi yang mengagumkan. Kehadirannya dengan sejumlah karyanya itu, tentu saja ikut memperkaya tema novel Indonesia. Bukankah tema politik yang seperti itu dianggap tabu dan dapat “mengganggu stabilitas nasional” jika terbit dan beredar pada zaman Orde Baru? Boleh jadi novel-novel Naning Pranoto ini ikut mengilhami beberapa novelis perempuan lainnya yang juga mengangkat masalah yang sama. Sebutlah novel Langit Merah Jakarta (2003) dan Laras (2003) karya Anggie D. Widowati. Pada zaman Orde Baru, tema dalam kedua novel itu dapat dikategorikan “tabu dan berbahaya karena dapat mengganggu stabilitas nasional.”

Dalam Langit Merah Jakarta, Widowati coba memotret peristiwa menjelang dan sesudah terjadi gelombang reformasi yang berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Soeharto. Novel ini laksana catatan penting mengenai peristiwa seputar gerakan reformasi.

Berbeda dengan Langit Merah Jakarta, dalam novel keduanya, Laras, Anggie D. Widowati lebih banyak mengungkapkan penyelewengan yang dilakukan para pejabat Orde Baru yang hampir tidak dapat dipisahkan dari tindakan korupsi dan manipulasi. Di balik kisah itu, Anggie tampak hendak mempersoalkan konsep keperawanan bagi perempuan. Dalam hal ini, laki-laki sering bertindak tak adil dalam menempatkan konsep keperawanan. Tokoh Laras dalam novel itu, adalah korban lelaki yang tidak bertanggung jawab. Tokoh Hendra kabur setelah berhasil merenggut keperawanan Laras. Hanya dengan ketabahan, Laras tampil menjadi sosok perempuan yang tegar dan kembali ke jalan yang benar.

Dalam novel Maria Etty, Hayuri (2004) tokoh-tokoh yang menjadi korban politik dan terjadinya penyelewengan yang dilakukan pejabat negara digambarkan lebih transparan lagi. Buntaran, ayah Hayuri, adalah salah satu korban politik yang kemudian meninggal di Pulau Buru. Hayuri adalah korban berikutnya meski sebenarnya ia tak memahami duduk persoalannya. Ia dibesarkan dalam bayangan traumatik oleh sosok seorang ibu yang berusaha tetap tegar. Setelah dewasa, cintanya kandas hanya lantaran ia berasal dari keluarga ekstapol. Meskipun akhir cerita happy ending, setidak-tidaknya terungkapkan betapa korban politik bisa menimpa seseorang berikut keluarganya. Dan stigma itu bisa datang dari siapa saja, termasuk orang-orang yang sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan pergolakan politik itu sendiri.

Selain kisah seputar gerakan reformasi serta kisah tentang korban politik pasca-tragedi 1965, sejumlah novelis perempuan mulai menunjukkan keberaniannya mengangkat masalah seks sebagai tema cerita. Sebutlah novel Nova Riyanti Yusuf, Mahadewa Mahadewi (Gramedia, 2003). Di balik penggambaran yang cukup gamblang perilaku seksual tokoh-tokohnya, termasuk persetubuhan dokter rumah sakit jiwa dengan pasiennya dan percintaan “aneh” pasangan gay (transeksual dan biseksual), Nova tampaknya hendak mengkiritik kemunafikan masyarakat dalam persoalan seks. Maka, saat kebutuhan biologis mendera seseorang, bebaskanlah hasrat itu tanpa perlu menutupinya dalam selimut norma atau konvensi sosial. Seputar persoalan itulah pesan yang hendak disampaikan Nova.

Djenar Maesa Ayu dalam novel pertamanya, Nayla (Gramedia, 2005), juga mengangkat berbagai penyimpangan seks. Sebagaimana tersirat dalam tulisan yang terdapat di halaman depan “untuk pembaca dewasa” –juga tertera dalam kumpulan cerpennya, Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (Gramedia, 2004)—novel Nayla mengangkat persoalan seks dalam kerangka pengungkapan perilaku brengsek orang per orang yang pada akhirnya harus selalu ada yang menjadi korban. Tokoh Nayla adalah korban dari segala kebrengsekan itu. Ibu yang telengas, kekasih sang ibu, Om Indra, yang menghamili pembantu. Ia juga kerap memamerkan sesuatu di hadapan Nayla yang jelas merupakan pelecehan seksual. Masa kecil yang suram itu, makin gelap setelah sang ayah meninggal dan ibu tiri membawanya ke tempat rehabilitasi. Kepedihan yang menggumpal-gumpal itulah yang membawanya menjadi lesbian dan menikmati hubungan seks dengan siapa pun dalam situasi penuh yang kegamangan. Ia tak lagi mempercayai cinta dan kebahagiaan. Di sana, penyimpangan seksual lebih disebabkan oleh trauma masa kecil yang sering menyimpan serangkaian kegetiran. Akibatnya memang jauh lebih dahsyat dari perkiraan, mengingat ia berkaitan dengan luka-jiwa, trauma psikologis. Boleh jadi Djenar hendak menegaskan kembali bahaya psikologis yang berat dan jauh lebih berbahaya dibandingkan luka fisik ketika seseorang di masa anak-anaknya mengalami pelecehan seksual.

Ana Maryam dalam Mata Matahari (Bentang, 2003), juga mengangkat persoalan seks bebas dan lesbianisme. Tokoh Thery digambarkan aman-aman saja dan begitu menikmati hubungan intimnya dengan Destano, kekasihnya. Tokoh Lola, sahabat Thery, juga begitu menikmati perilakunya yang gonta-ganti pasangan. Suatu hari, ketika Destano melumat Lola dan membawanya terbang puncak kenikmatan, Lola pun menyambut dengan gairah yang tak kalah dahsyatnya, meski ia tahu, bahwa lelaki itu tidak lain kekasih sahabatnya sendiri. Lalu apa yang terjadi ketika Thery memergoki keduanya sedang berkecan? Mula-mula terjadi sumpah-serapah. Namun, ketika Destano meninggalkan kedua perempuan yang selalu menjadi pemuas nafsunya itu, Thery dan Lola jatuh pada hubungan lesbianisme. Begitulah, novel ini coba menguak perilaku seks bebas dan lesbianisme. Di akhir cerita, kedua perempuan itu memutuskan untuk masing-masing punya satu anak, tanpa ayah, sambil tetap menikmati hidup sebagai sepasang kekasih sesama jenis.

Jika dalam novel-novel itu, penggambaran tindak perbuatan seks sebagai salah satu peristiwa yang sebenarnya bisa saja disampaikan secara implisit, maka dalam novel Bukan Saya, tapi Mereka yang Gila (KataKita, 2004) karya Stefani Hid, seks seperti sengaja dihadirkan sebagai bagian penting dari keseluruhan cerita. Dalam novel itu, seks ditempatkan sebagai peristiwa yang seolah-olah yang harus ada. Maka, lewat telepon pun, orang dapat melakukan hubungan seks dan menikmatinya lewat suara, tanpa harus berhubungan secara fisik. Struktur cerita novel ini menyerupai kisah dalam film-film biru. Meski di sana ada penggambaran latar belakang masa kecil Nian –ibu yang cerai dan kawin lagi, dan ayah, seorang dokter yang entah mengapa mengidap kelainan jiwa— seperti tidak ada pengaruhnya pada hasrat seksual tokoh utama itu. Seks menjadi sesuatu yang hadir stereotipe bahwa hidup dan segala aktivitas keseharian seolah-olah tidak lengkap, jika tak ada peristiwa yang berhubungan dengan perkara begituan. Hidup seakan hanya untuk urusan itu. Lalu apa maknanya seks bagi tokoh-tokohnya, tak ada penjelasan. Bukankah perilaku seseorang di masa kini, termasuk perilaku seksualnya dengan segala penyimpangannya, menyimpan sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu, dengan pembentukan jiwa (psikis) masa kanak-kanak. Dalam hal ini, unsur seks sengaja dihadirkan sebagai alat sensasi lantaran penggambarannya yang artifisial dan vulgar itu.

Pemanfaatan seks sebagai alat perjuangan ideologis –jadi bukan sekadar tempelan—tampak pada novel Ode untuk Leopold von Sacher—Masoch (2002) karya Dinar Rahayu, Swastika (2004) karya Maya Wulan –meski juga dalam kedua novel itu terkesan hendak membangun sensasi— dan Tabularasa (2004) karya Ratih Kumala. Dalam novel Dinar Rahayu, masalah seks dalam hubungannya dengan masokisme dan perilaku transeksual dibungkus dalam kemasan mitologi. Mitos tentang persembahan seorang gadis perawan untuk menambah kekuatan Sang Dewa atau dipercaya untuk tujuan tertentu, sesungguhnya sekadar alat legitimasi maskulin yang memperlakukan perempuan sebagai hidangan. Dinar Rahayu membalikkan mitos itu dengan menjadikannya laki-laki sebagai hidangan, dan perempuan dapat memuaskan nafsu seksualnya dengan perilaku heteroseksualnya. Dalam masalah seks, perempuan sebenarnya lebih berkuasa. Maka, dengan kekuatan seksnya, perempuan dapat berkuasa atas diri laki-laki. Jadi, dalam hal ini, Dinar Rahayu seolah-olah hendak menciptakan kembali sebuah mitos tandingan –sebuah mitologi baru— dari mitos masa lalu –khasnya mitologi Yunani dan Skandinavia—yang sesungguhnya bersifat transhistoris. Bukankah mitologi itu merupakan peristiwa masa lampau yang cenderung sulit –bahkan tidak—dapat dipertanggungjawabkan secara historis.

Dalam Swastika, Maya Wulan menempatkan problem seks justru sebagai alat untuk membunuh hasratnya melakukan penyimpangan seksual. Swastika, tokoh utama dalam novel itu, merasa ada gejala lesbianisme dalam dirinya. Ia selalu terangsang ketika berdekatan dengan sesamanya. Tambahan lagi, Sila, sahabatnya sejak kecil, selalu menggangu dan menumbuhkan naluri seksualnya. Maka, ia harus melupakan hasratnya bercinta dengan sesama. Ia tak mau jadi lesbian. Dalam bayangan ketakutan itulah, ia harus dapat meyakinkan diri sendiri. Pilihannya, jatuh pada pengembaraan melakukan hubungan seks dari satu lelaki ke lelaki lain. Termasuk keputusannya menikah dengan Amrullah, lelaki baik-baik yang kuliah di Kairo.

Apa yang terjadi pada malam pertama perkawinan Swastika itu? Amarullah, lelaki yang sangat mencinta Swastika dan kini resmi menjadi suaminya itu, merasa terluka. Meski soal virginitas tak mutlak benar, ia tetap tak dapat menerima Swastika. Ia tak mau tahu duduk perkara sebenarnya. Yang dihadapinya kini adalah Swastika yang terlalu jujur dan tak lagi perawan. Salahkah jika kelak Swastika jadi lesbian?

Begitulah, Maya Wulan menempatkan tema seks bukan sekadar tempelan, meski penggambarannya kerap jatuh pada bentuk artifisial. Ia justru hendak digunakan sebagai alat perjuangan untuk mengembalikan hasrat seksualnya sesuai dengan jenis kelamin yang disandangnya sejak lahir. Meski Wulan tak tegas menyatakan keberpihakannya, setidaknya ia memberi penyadaran bahwa hasrat seksual seseorang tidaklah sesederhana yang diduga. Ia terbangun melalui proses panjang sejarah hidup orang per orang. Maka, stigma atas kaum homoseks, lesbian, biseks, atau heteroseks, perlu ditempatkan secara proporsional dengan mempertimbangkan berbagai persoalan yang melatarbelakanginya.

Ratih Kumala dalam Tabularasa, justru melihat masalah perkelaminan sebagai hak asasi manusia yang berlaku universal. Ia coba mengangkat masalahnya dari semangat untuk tidak tergantung pada salah satu jenis kelamin –laki-laki atau perempuan—, meski gagasan itu bukan yang utama, Ratih cenderung menempatkan hakikat naluri seksual manusia yang tidak terikat oleh jenis kelamin, sukubangsa, ras, tradisi budaya atau agama. Ia menekankan kesetaraan dalam kehidupan manusia, termasuk dalam melakukan pilihan atas teman hidup. Ketika seorang laki-laki atau perempuan menentukan hendak hidup bersama dengan lawan jenisnya atau dengan sejenisnya, ia telah menjalankan hak asasinya sebagai manusia. Lalu, mengapa laki-laki yang kawin dengan sejenisnya (homoseksual) atau perempuan yang kawin dengan perempuan (lesbian), harus mendapat sanksi sosial? Bukankah hakikatnya sama dengan seseorang yang kawin dengan lawan jenisnya. Bukankah perkawinan itu tidak semata-mata berurusan dengan persoalan reproduksi? Siapa pun bebas menentukan pilihan ketika seseorang dengan pasangan hidupnya memilih untuk punya anak atau tidak. Bukankah kawin dengan sesama jenis jauh lebih bertanggung jawab dibandingkan dengan suami-istri yang menelantarkan anak-anaknya sendiri?

Dalam novel ini, kita sama sekali tidak menemukan penggambaran adegan seks yang artifisial. Ratih Kumala tampaknya sengaja tidak mengeluarkan kata-kata ini, itu, anu atau nama apa pun yang berhubungan dengan perangkat jenis kelamin. Dengan demikian, yang muncul adalah gagasan tentang makna perkawinan, tentang makna memilih pasangan hidup, apa pun jenis kelaminnya. Inilah sebuah novel yang berhasil mengusung ideologi seksual dalam makna sesungguhnya. Jadi, tanpa harus menggambarkan adegan ciuman atau persenggamaan secara eksplisit, Ratih dengan sangat meyakinkan telah berhasil mengangkat substansi persoalannya menjadi lebih ideologis dan universal. Sebuah novel yang mengangkat hakikat seks secara piawai dan cerdas. Dari sanalah estetika novel itu hadir dan menyelusup ke dalam alam pikiran pembacanya sebagai sebuah pesan ideologis.
***

Demikianlah, berbagai persoalan yang sebelumnya dianggap tabu, terlarang atau hal-hal yang pada zaman Orde Baru sering dicap “berbahaya bagi stabilitas nasional” kini seperti berjejalan memasuki sejumlah novel karya para penulis perempuan. Selain kisah yang berhubungan dengan korban politik tahun 1960-an dan tema seks, tak sedikit pula penulis perempuan ini yang coba mempertanyakan kembali kedudukan dan citra perempuan menurut perspektif tradisi, kultur, dan agama.

Oka Rusmini dalam Tarian Bumi (2000) dan Kenanga (2003), misalnya seperti hendak menggugat tradisi adat, budaya, dan agama yang terlalu memojokkan posisi perempuan. Dalam Tarian Bumi, tokoh utama Ida Ayu Telaga Pidada, perempuan bangsawan yang karena menikah dengan seorang Wayan, lelaki dari kasta yang lebih rendah, kerap dituding sebagai biang kesialan keluarga. Telaga akhirnya ikhlas menanggalkan kasta kebangsawanannya dan memilih menjadi perempuan sudra yang utuh.

Dalam Kenanga, problemnya agak lebih rumit. Tokoh utama Kenanga harus berhadapan dengan cinta terlarang. Kencana, adiknya, kawin dengan Bhuana, lelaki yang justru memperkosanya. Di sana, cinta terpaksa tunduk pada norma agama, citra kasta Brahmana, dan sejumlah aturan yang justru memasung kebebasan perempuan. Belum problem yang menyangkut perselingkuhan yang harus disembunyikan rapi semata-mata demi menjaga martabat kasta. Kritik atas perkastaan dan kebangsawanan dalam masyarakat Bali yang juga pernah dilontarkan Putu Wijaya dalam Bila Malam Bertambah Malam.

Tokoh utama dalam kedua novel itu seakan-akan menjadi corong pengarangnya yang hendak merepresentasikan problem gender dalam masyarakatnya. Di sana, posisi wanita, dari kasta mana pun, tetap saja berada dalam posisi yang tak berdaya, ketika segala urusan bermuara pada tradisi adat, budaya, dan agama. Novel Tarian Bumi dan Kenanga menjadi begitu penting dalam peta novel Indonesia, tidak hanya karena kekuatan warna lokal dan kultur etniknya yang khas Bali, tetapi juga lantaran di sana ada problem gender yang begitu kompleks, rumit, dan penuh manipulasi.

Novel Namaku Teweraut (2000) karya Ani Sekarningsih juga sangat kuat mengangkat problem gender dalam kaitannya dengan kultur etnik. Novel pemenang Hadiah Yayasan Buku Utama untuk terbitan tahun 2000 ini secara sangat meyakinkan menyuguhkan sebuah potret sosial masyarakat Asmat, Papua. Teweraut, tokoh utama dalam novel itu, berkisah tentang berbagai harapan, idealisme, dan kegetiran seorang perempuan yang terkungkung sedemikian rupa oleh tradisi dan norma masyarakatnya. Di sana, perempuan seperti benda yang dapat diperlakukan seenaknya oleh siapa pun yang bernama laki-laki. Atas nama tradisi, laki-laki menjadi begitu berkuasa atas “benda-benda” itu.

Ratna Indraswari Ibrahim dalam Lemah Tanjung (2003) dan dalam sejumlah novelnya yang lain, tampak masih setia pada persoalan yang dihadapi perempuan Jawa dalam berhadapan dengan masuknya pengaruh modern serta terjadinya perubahan sosial politik di Indonesia.

Masih dengan semangat melepaskan diri dari berbagai stigma yang memojokkan kaum perempuan, Abidah el Khalieqy dalam Geni Jora (2004) mengaitkannya dalam lingkaran tradisi Jawa dan pesantren (Islam). Meski gugatan Abidah disampaikan secara implisit, ia seperti menyodorkan semacam solusi untuk menjawab problem itu, yaitu dengan menjadi sosok seorang muslimah yang cerdas, berwawasan, dan cantik –setidak-tidaknya, cantik perilakunya. Hanya dengan itu, kaum lelaki akan menghargai perempuan. Dengan itu pula, ia tak akan dilecehkan, bahkan sangat mungkin, lelakilah yang akan jadi pecundang atau suka—tidak suka, menempatkan posisi perempuan secara proporsional.

Beberapa penulis perempuan yang juga mengusung citra ideal perempuan muslimah, antara lain, Asma Nadia yang telah menghasilkan lebih dari 25 novel, dan nama-nama lain yang bertebaran dan sangat mungkin masih banyak yang tercecer.

Secara umum, kehadiran para penulis perempuan dalam peta novel Indonesia kontemporer memperlihatkan adanya perubahan sikap dalam menempatkan posisi dan peranan perempuan dalam kehidupan kemasyarakatan, yaitu hasrat untuk tidak lagi terkungkung dalam lingkup domestik. Perubahan sikap itu terungkap dari tema-tema yang diangkatnya yang berkaitan dengan lima stigma sebagai akibat dari: (1) korban politik, (2) tradisi dan kultur masyarakat, (3) problem seks, (4) tafsir agama sebagai alat legitimasi, dan (5) problem domestik. Mengenai problem domestik yang dimaksud di sini, bukanlah persoalan yang berkutat dalam lingkup kehidupan rumah tangga, melainkan sebagai sumber yang kemudian melahirkan berbagai problem lain yang menggiring perempuan dalam posisi yang serba-salah, marjinal, teraniaya, inferior, dan tak berdaya. Dalam novel Dadaisme (2004) karya Dewi Sartika, misalnya, digambarkan bahwa perkawinan atas nama tradisi dan martabat yang disepakati keluarga merupakan sumber terjadinya segala perilaku menyimpang. Jadi, ada usaha untuk melebarkan problem domestik menjadi masalah publik. Dan itu pula yang terjadi dalam sejumlah besar novel yang telah dibicarakan itu.

Di antara para penulis perempuan itu, satu novelis lagi yang patut mendapat catatan khusus seyogianya disematkan pada nama Nukila Amal. Dalam novelnya Cala Ibi (Pena Gaia Klasik, 2003) itu, Nukila Amal tidak hanya memanfaatkan sejumlah teknik dan gaya bertutur yang kompleks dan kaya dengan tema yang sepenuhnya diserahkan kepada tafsir pembaca, tetapi juga hendak mengembalikan hakikat novel sebagai cerita. Maka, ia pun bercerita tentang apa saja, tentang siapa saja, atau apa pun. Mengingat cerita sebagai hakikat novel, maka kekuatan narasi adalah kunci segalanya. Nukila Amal berhasil memanfaatkan kekuatan narasinya secara maksimal.

Pertanyaannya kini: di manakah perempuan dan agama dalam novel Indonesia?
Dari sejumlah novel yang sudah dibicarakan tadi, posisi tokoh perempuan ketika ia harus berhadapan dengan tafsir agama sebagai alat legitimasi tampak menonjol dalam novel Geni Jora karya Abidah el Khalieqy dan novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Dalam melakukan perlawanan, tokoh Kejora harus berhadapan dengan tradisi keluarga dalam lingkungan pesantren yang menempatkan perempuan cukup duduk manis di dapur atau di dalam rumah. Tradisi keluarga terlanjur kokoh menempatkan posisi perempuan—istri, dalam ruang tiga –ur: sumur—dapur—kasur. Lalu, ia juga berhadapan dengan kultur masyarakat yang telah punya stigma sendiri dalam memandang posisi perempuan. Di sana, hadir pula doktrin agama yang ditafsirkan berdasarkan kepentingan laki-laki.

Posisi perempuan dalam Tarian Bumi, juga lebih rumit lagi. Perkastaan tidak hanya berdampak pada perkara kehidupan di dunia, tetapi juga menyangkut akhirat –nirwana. Maka, barang siapa tak patuh pada perkastaan, ia akan sengsara hidup di dunia, mendapat karma, di akhirat, ia juga akan gagal masuk nirwana. Tetapi di sana, persoalannya tidak sesederhana ini. Serangkaian manipulasi sengaja dilakukan, semata-mata untuk menjaga kehormatan dan martabat keluarga, melanggengkan posisi dunia laki-laki berada setingkat di bawah dewa.

Agama sebagai alat legitimasi dan pemanipulasian ajarannya sebagai usaha melanggengkan kekuasaan laki-laki, ternyata juga bertebaran dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan di belahan dunia yang lain. Periksa saja novel Pohon Tanpa Akar karya Syed Waliullah (Bangladesh), Sutan Baginda karya Shahnon Ahmad (Malaysia), atau Istri untuk Putraku karya Ali Ghalem (Aljazair). Para pengarang laki-laki itu juga melihat, betapa agama dijadikan alat untuk ngapusi, memanipulasi kebrengsekan, dan legitimasi peran sosial laki-laki.

Novelis India, Kamala Markandaya dalam novelnya Madu dalam Saringan (Nectar in a Sieve), juga mengungkapkan posisi perempuan India sama buruknya dengan perempuan Bangladesh, Aljazair, Malaysia, Papua, atau Mesir –sebagaimana yang diangkat Nawal el-Saadawi dalam Perempuan di Titik Nol dan beberapa novelnya yang lain. Agama dan kebudayaan dibangun sedemikian rupa untuk memposisikan perempuan sebagai makhluk yang paling teraniaya. Meskipun tanpa balutan agama, Pearl S. Buck dalam Bumi yang Subur menggambarkan perempuan Cina sekadar sebagai pajangan dunia laki-laki.

Di balik gambaran yang sangat mengenaskan tentang kondisi perempuan di berbagai belahan dunia itu, tersirat –terutama dari sejumlah novel karya pengarang perempuan—bahwa perempuan dalam banyak hal lebih tahan banting, lebih tabah, sabar, ulet, dan lebih matang ketika menghadapi persoalan hidup yang begitu gawat.

Dari gambaran itu, kita (: pembaca) tanpa sadar seperti memperoleh penyadaran, bahwa selama ini penindasan dan penganiayaan perempuan terjadi di mana-mana atas nama martabat keluarga, norma sosial, keluhuran budaya, kesucian agama, bahkan atas nama kekuasaan Tuhan. Begitu banyak manipulasi digunakan sebagai kedok untuk menutupi penganiayaan dan penindasan.
***

Bagaimana para pengarang perempuan Indonesia menyikapi problem kaumnya yang begitu rumit dan kompleks itu? Menurut hemat saya, persoalan seks yang diangkat sebagai tema cerita hanyalah salah satu bagian dari problem perempuan yang mahakompleks. Jadi, ada persoalan yang sebenarnya jauh lebih mendasar, yaitu pembongkaran pada akar masalahnya. Kebudayaan dan agama harus diterjemahkan sebagaimana semestinya. Islam, misalnya, merupakan agama yang menjunjung keagungan perempuan. Tetapi mengapa begitu banyak pemuka agama yang membalikkan keluhuran dan keagungan perempuan itu menjadi penganiayaan dan penindasan. Di sana tentu ada sesuatu yang tidak beres. Ada penafsiran doktrin agama yang menyesatkan. Maka, gerakan penyadaran itu, mesti dimulai dengan pembongkaran-pembongkaran segala pemanipulasian norma sosial, tradisi, budaya, dan agama. Stigma tentang perempuan seyogianya ditumpas sampai ke akar-akarnya.
***

Jika melihat fenomena yang terjadi dalam sastra Indonesia selepas tahun 2000 ini, rasanya kita optimis bahwa kehidupan kesusastraan Indonesia di masa mendatang, akan jauh lebih semarak dengan tema dan gaya pengucapan yang lebih beragam. Persoalannya tinggal, apakah para sastrawan kita, terutama sastrawan perempuan Indonesia dapat mengangkat tema-tema yang bersumber dan bermuara pada problem gender. Oleh karena itu, kinilah saatnya sastrawan (perempuan) Indonesia, memperlihatkan diri akan kemampuannya mengeksploitasi dan mengeksplorasi berbagai problem sosio-kultural kita. Tanpa usaha pendayagunaan dan penjelajahan itu, tanpa usaha penggalian dan pendalaman keberagaman kekayaan kultur kita, niscaya karya-karya yang akan dihasilkannya hanya sebagai karya yang baik, tidak monumental. Jika begitu, ia hanya sekadar meramaikan belaka dan tidak cukup penting untuk melengkapi catatan sejarah kesusastraan Indonesia. Sejumlah nama yang secara kolektif telah disebutkan itu, cukup signifikan mewarnai peta kesusastraan Indonesia di masa mendatang. Semoga!
***

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae