Sabtu, 29 November 2008

HUBUNGAN KRITIK SASTRA DENGAN SOSIOLOGI

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Perkembangan kritik sastra Indonesia dalam dekade tahun 1980-an ditandai de-ngan munculnya beberapa pembicaraan mengenai sosiologi sastra atau pendekatan sosio-logis terhadap karya sastra. Dalam konteks ini, kritik sastra sesungguhnya mencoba me-manfaatkan disiplin ilmu lain (sosiologi) untuk memberi penjelasan lebih mendalam menge-nai salah satu gambaran kemasyarakatan yang terdapat dalam karya sastra. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai hubungan kritik sastra dengan sosiologi, muncul lantaran ada anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin masyarakat. Karya sastra juga dianggap sebagai ptret kehidupan masyarakat dan gambaran semangat zamannya.” Dalam hal ini, karya sastra dianggap sebagai gambaran “struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas dan lain-lain.

Pandangan demikian sesungguhnya jangan ditafsirkan secara lugas, letterlijk. Dalam hal ini, kita masih perlu menjernihkannya lagi. Rene Wellek dan Austin Warren, Swingewood dan David Daiches, sebagaimana yang dikutip Sapardi Djoko Damono (1984) mengungkapkan sejumlah keberatan atas pandangan itu. Persoalan itu, seperti telah disebutkan, sebenarnya bersumber dari campur tangan sosiologi --sebagai disiplin tersendiri-- dalam kegiatan kritik sastra.

Keberatannya sendiri berkisar pada keraguan bahwa sosiologi akan mampu menje-laskan aspek-aspek unik dalam karya sastra. Soalnya, pengarang mustahil dapat menang-kap situasi sosial zamannya secara lengkap. Bagaimanapun, yang diungkapkan pengarang tentang kehidupan menurut pengalamannya sendiri. Ia tidak mungkin dapat menuangkan semua pengalamannya. Fakta yang ditampilkan adalah fakta yang sudah diseleksi. Hanya fakta yang dianggapnya penting yang perlu dituangkan.

Dengan demikian, gambaran masyarakat dalam karya sastra tak lagi persis sama dengan keadaan masyarakat yang sebenarnya. Kehidupan yang digambarkan pengarang adalah kehidupan yang hanya ada dalam karya itu sendiri; sebuah “dunia” yang bersumber dari pengalaman pengarang yang telah mengalami proses penghayatan, penafsiran dan pemaknaan atas semua itu. Hasilnya lalu dituangkan lewat medium bahasa setelah dibaluri imajinasi. Jadi, anggapan sastra sebagai potret kehidupan, sesungguhnya merupakan potret rekaan pengarang, bukan potret kehidupan itu sendiri. Bukan pula fakta atau keadaan masyarakat an sich! Fakta lalu menjadi fiksi.

Beberapa hal itulah yang menyebabkan penelitian sosiologis yang semata-mata bersumber dari karya sastra, tidak cuma akan mencabut tempat karya itu sendiri, tetapi juga akan memperlakukan karya itu sebagai dokumen sosial yang mengungkapkan secara utuh fakta-fakta sosial. Itu, tentu saja menyesatkan.

Sesungguhnya begini: sosiologi tetap punya arti penting bagi kritik sastra sejauh tetap menempatkan karya itu bukan sebagai objek sosiologi. Sosiologi berfungsi cuma sebagai alat bantu agar lebih memahami berbagai aspek sosial yang menjadi muatan karya sastra. Anggapan bahwa sastra sebagai cermin masyarakat, harus pula ditafsirkan sebagai masyarakat dalam karya yang bersangkutan yang erat kaitannya dengan latar sosio – budaya pengarangnya.

Persoalan ini akan menjadi jelas jika kita menempatkan karya sastra pada proporsinya. Dunia dalam karya tidak hanya berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya, tetapi juga ia mempunyai norma-norma yang juga berbeda dengan norma atau kaidah dalam ilmu lain. Karya sastra atau teks sastra dapat dengan bebas menggunakan bahasa yang maknanya ambigu (konotatif), yang dalam teks ilmu lain justru dihindarkan. Ada konvensi tertentu dalam dunia sastra yang sama sekali tidak berlaku dalam ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu pula, dalam kegiatan kesastraan masalah ketaksaan (ambiguitas) ditempatkan sebagai salah satu bagian penting dalam memahami dan menafsirkan makna karya sastra yang bersangkutan.

Jika ilmu lain hendak membantu kegiatan kritik sastra, maka anggapan sastra sebagai cermin masyarakat mesti ditempatkan dalam konteks konvensi sastra. Dengan demikian, penafsiran karya sastra lewat kacamata sosiologi, lebih merupakan usaha penafsiran karya sastra dalam maknanya yang sekunder; makna sekunder karena penafsirannya berasal dari hubungan makna karya itu (internal) dengan dunia di luar (eksternal). Bantuan sosiologi atau sebut saja pendekatan sosiologis, terhadap karya sastra sebenarnya merupakan usaha penafsiran, pemahaman dan pemaknaan unsur-unsur intrinsik karya itu dan menghubungkaitkannya dengan dunia di luar itu (unsur ekstrinsikalitas).

Dengan cara menempatkan kedudukan karya sastra dan sosiologi secara proporsional, maka pandangan bahwa sastra sebagai “cermin kehidupan”, “cermin sosial” atau gambaran “semangat zamannya” tetap dalam kerangka lingkup pendekatan intrinsik-ekstrinsik: intrinsik jika pemaknaannya hanya atas dasar unsur-unsur yang membangunnya, dan ekstrinsik jika ia dihubungkan dengan faktor-faktor di luar karya itu sendiri.

Masalah teoretis mengenai hubungan sosiologi (masyarakat) dengan sastra telah cukup jelas dipaparkan Rene Wellek dan Austin Warren (Teori Kesusastraan, 1989) Sapardi Djoko Damono (Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar, 1984) atau Andre Hardjana (Kritik Sastra: Sebuah Pengantar, 1981). Namun tentu kita tidak perlu terburu-buru menerima atau menolaknya. Jangan pula dilupakan penerapan hal yang bersifat teoretis itu terhadap karya sastranya itu sendiri. Dengan cara ini, akan tampak betapa hubungan sastra dan masyarakat sebenarnya tidak dapat diabaikan begitu saja dalam kegiatan kritik sastra.

Grebstein (1968), mengungkapkan: pemahaman atas karya sastra hanya mungkin dapat dilakukan secara lebih lengkap apabila karya itu tidak dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau atau peradaban yang menghasilkannya. Dikatakannya juga bahwa karya sastra sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural.

Pernyataan itu mengisyaratkan perlunya menghubungkan faktor sosio-budaya dalam usaha memahami karya sastra selengkapnya. Dari hubungan ini akan tampak bahwa dalam beberapa hal, ungkapan sastra sebagai cermin masyarakat mempunyai nilai kebenaran. Apalagi jika ternyata kita tidak memperoleh bahan tertulis tentang karya itu.
* * *

Dalam kasus Sejarah Melayu atau karya-karya Abdullah Munysi, boleh jadi penjelasan lewat kacamata sosio-budaya, akan memberi gambaran mengenai tata kehidupan masyarakat Melayu pada masa itu. Sejumlah karya sastra lain, khususnya novel, dalam beberapa hal mengandung nilai-nilai cermin masyarakat. Novel Shansiro (1910), Natsume Soseki, misalnya, secara jelas menggambarkan terjadinya perubahan sikap budaya masyarakat Jepang pada masa awal Restorasi Meiji. Karya George Orwell, Nineteen Eighty-Four (1984) atau Animal Farm (1945) akan lebih jelas jika kita menghubungkannya dengan situasi sosial dan semangat zamannya.

Demikian juga novel, dalam khazanah kesusastraan kita. Tak sedikit yang terasa nilai ar-tistiknya jika kita menghubungkannya dengan faktor-faktor ekstrinsik. Warisan, Chairul Harun (1979) dan Bako (1983) Darma Moenir malah terkesan sebagai sisi negatif cermin masyarakat Minangkabau. Gambaran potret masyarakat tertentu, tampak dalam novel Upacara (1978) Korrie Layun Rampan (Dayak), Sri Sumarah (1985), Para Priyayi (1990), Umar Kayam dan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (Jawa) atau Bila Malam Bertambah Ma-lam (1971) Putu Wijaya (Bali). Tentu saja kita masih dapat menderetkan lebih jauh mengenai karya-karya sastra kita yang sarat menggambarkan kondisi masyarakat kita yang multi-etnik.

Karya sastra yang menampilkan cermin masyarakat tampak lebih dominan terdapat pada novel daripada puisi atau drama, meski tidak sedikit pula drama dan puisi yang dihasilkan sas-trawan-sastrawan kita, sarat menampilkan gambaran demikian. Khusus mengenai novel, ada ke-cenderungan masalah tersebut berkaitan dengan warna lokal atau gambaran tradisi masyarakat tertentu. Jadi, tidak semua karya sastra dapat secara leluasa dianalisis berdasarkan pendekatan sosiologis. Dalam hal ini, cermin masyarakat itupun mesti selalu dalam konteks konvensi sastra.

Mengingat pengarang tidak dapat melepaskan diri dari situasi sosio-budaya yang me-lingkarinya, maka pendekatan sosio-budaya untuk menjelaskan karya sastra, masih amat diper-lukan. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan keanekaragaman tradisi sosio-budaya pengarang kita. Masalahnya akan terasa penting saat kita mencoba menganalisis novel zaman Balai Pustaka. Analisis intrinsik hanya akan menghasilkan kesimpulan bahwa tema novel-novel itu berkisar pa-da persoalan adat; tokoh hitam-putih; amanat eksplisit, yang justru mengurangi nilai artistiknya. Padahal, novel Sitti Nurbaya atau Salah Asuhan, dalam beberapa hal justru mencerminkan ke-adaan masyarakat pada masa itu. Persoalannya memang kompleks. Ia berkaitan dengan kebijak-sanaan Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial dan situasi sosial serta semangat zamannya.

Betapapun pendukung strukturalisme menolak anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin masyarakatnya, dan mereka menekankan pentingnya otonomi sastra, kita tetap dapat menempatkan pada proporsinya. Dalam kritik sastra kita pendekatan ekstrinsik masih tetap penting. Memutlakkan salah satu pendekatan sebagai yang terbaik, tidaklah tepat; tidak sesuai dengan tradisi ilmiah. Jadi, pendekatan sosiologis atau sosio-kultural, perlu terus digalakkan untuk mengangkat berbagai tradisi kultural masyarakat kita yang multi-etnis. Justru dalam hal itulah, kekayaan sastra Indonesia menjadi sangat khas Indonesia dibandingkan dengan kesusastraan negara lain. Dengan cara ini kita masih akan menemukan nilai cermin masyarakat atau nilai lain, sejauh tetap menempatkan secara kontekstual dan proporsional.

(Maman S. Mahayana, Staf Pengajar FSUI, Depok)

Jumat, 28 November 2008

Novelis dalam Konteks Sastra Indonesia

Sayyid Fahmi Alathas*
http://www.lampungpost.com/

BERMUNCULANNYA para penulis baru dalam kancah sastra Tanah Air ditandai buku-buku terbaru karya-karya penulis anak negeri. Hal ini diharapkan dapat memacu perkembangan sastra Tanah Air yang lebih didominasi para pemula dengan berbagai ragam tema serta perkembangannya menuju teks sastra yang hidup.

Seperti pada novel Dianing W. Yudhistira didominasi tokoh Sasaswati yang mencoba digambarkannya sebagai gadis belia yang cerdas dari keluarga miskin. Gadis berusia 13 tahun itu gagal menikah dengan Kirman, anak dari juragan Wargo di kampungnya. Dalam hitungan Saraswati, terpaksa menuruti permintaan ibunya untuk menjadi seorang sintren, agar dia bisa ikut membiayai sekolahnya.

Yang terjadi justru Ia menerima cercaan lingkungannya. Sebagai seorang sintren. Dengan pesona yang dimilikinya, Sarawati menjadi pusat perhatian dan pujaan para lelaki (baik bujangan maupun yang sudah menikah--dari segala lapisan dan golongan--sehingga menjadi pusat hinaan kaum istri).

Membaca novel tersebut, diharapkan pembaca dapat merasakan beban keluarga dalam lingkungan sosial masyarakat untuk memahami pahit dan getirnya realitas hidup yang dijalani Saraswati.

Dalam novel ini, kekuatan cerita seberapa jauh penulisnya mampu menangkap sinyal-sinyal realitas sosial kedalam alur cerita yang ingin disampaikan, mampu memasuki unsur-unsur sosial yang digambarkan. Meskipun cerita bernuansa kehidupan dan cinta, penulisnya praktis dan simpel membangun rangkaian peristiwa kedalam sekelumit persoalan dalam keluarga.

Di lain sisi, novel ini sarat muatan sosial keluaraga. Di sisi yang lain novel ini mencoba menggali tradisi lokal kelas bawah yang didominasi kaum kelas atas yang kadang mengambil kelemahan kaum kelas bawah (dalam hal ini keluarga Saraswati) untuk menerima atas permintaan lamarannya.

Untuk itu, pada dasarnya kerangka mengembangkan pola alur cerita dalam novel ini terasa disesuaikan dengan tokoh-tokohnya dalam cerita, terutama dalam membangun karakter tokoh-tokohnya kedalam alur cerita.

Mungkin ada banyak kisah menarik sebelum menarik kesimpulan dari tema yang ingin disampaikan. Terutama dalam hal ini membangun persoalan sehingga peristiwa tidak dibuat kaku. Sehingga rangkaian peritiwa dan struktur penceritaannya begitu kuat dan kesimpulan tema dengan mudah didapat.

Akhirnya pembaca dengan mudah menangkap jalan cerita yang disuguhkan. Dan ruang lingkup konflik yang ditawarkan cukup luas. Tinggal bagaimana pembaca mengikuti alur cerita yang disampaikan yang telah dibumbui kepahitan dan kesedihan. Getir-getir cinta yang dapat membawa pembaca kepada frekuensi kematangan penulis dalam memahami kehidupan sosial dalam lingkungan masyarakat.

Jikalau diperhatikan, novel ini hampir mirip dengan novelis-novelis mutakhir "Indonesia" tahun 1930-an ketika Armin Pane, Suman H.S., Hamka, dan lain-lain yang mengangkat persoalan urbanistik dan mengeksplorasinya kekayaan lokal dengan konsep cita rasa modern.

Lokalitas dan urbanitas dalam sastra Tanah Air telah dibahas sebelumnya oleh Ahmadun Yosi Herfanda dalam esai (Republika, Ahad, tanggal 17 September 2006, "Antara Lokalitas dan Urbanitas Cerpen Indonesia"), sebagai prasaran Kongres Cerpen Indonesia (KCI) tahun 2005. Mengetengahkan bahwa dalam upaya mengengkat tradisi khazanah sastra Tanah Air dalam kekayaan lokal dan mengeksplorasinya ke dalam cita rasa modern.

Masalahnya, pembentukan jalan cerita dalam novel ini didominasi selera pasar hingga tidak ada jalan lain untuk mengangkat sektor lain yang belum pernah terdengar kabar tentang keberadaannya. Pertanyaannya, bagaimana seorang penulis menjembatani lahirnya novel tanpa perubahan yang mendasar "sastra bergenre sastra" ke wilayah cara pandang global dan mereduksinya ke akar perubahan global.

Secara konstitusional lahirnya lokalitas dan urbanitas di tengah maraknya arus perkembangan karya sastra kearah global mereduksi akar perubahan kemajuan budaya di tengah perkembangannya kearah modernitas akar perubahan sastra Tanah Air.

Pada kenyataan nantinya, karya sastra bergenre sastra berevolusi pada kematangan sebuah karya penulis Tanah Air untuk menggali akar budaya sosial dalam aneka warna local dalam kancah sastra Tanah Air, mencari dan menggali alternatif lain kedalam setiap sudut persoalan.

Memang, pada akhirnya memangku jabatan sebuah novel harus memiliki konsep yang sangat jelas ditulis dengan kematangan penulis dalam mereduksi akar perubahan dalam sudut pandang yang berbeda tanpa mengesampingkan kebutuhan pasar yang ada dan penerbitan.

Hal ini dirasakan cukup menarik, sebagai upaya keluar dari persoalan yang diangkat dalam cerita, penulis dapat mengeksplorasi masyarakat urban kepada persoalan-persoalan "kompleksitas" kekayaan budaya yang termarginalkan dan mereduksinya kembali kedalam "konkretisitas" masyarakat dalam ruang peristiwa yang sering memunculkan beragam fenomena-fenomena lokalitas budaya yang termarginalkan tersebut.

Titik nominal dari sebuah karya adalah mampu atau tidaknya penulis mengembangkan “sayap imajinasinya, merasuk mitos budaya sebuah karya sastra dengan jalan cerita dan tema yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Sehingga, jalan cerita lebih menggambarkan kepada realitas masyarakat sosial.

Diharapkan penulis mutlak melahirkan wajah baru dalam kemajuan karya sastra mereduksinya akar perubahan dari sudut pandang ke arah wilayah "verbal" budaya. Meskipun karya sastra mengalami persoalan-persoalan yang sangat kompleks mengangkat kehidupan dan cinta dalam sosial lingkungan masyarakat setidaknya merefleksikan akar budaya bangsa kedalam akar budaya global masa kini yang berlangsung dalam tatanan-tatanan sosial budaya dalam masyarakt kita.

*) penyair, tinggal di Labuhan Maringgai, Lampung Timur

Mukjizat Sastrawan

Asef Umar Fakhruddin
http://www.lampungpost.com/

Sejarah membuktikan, teks sastra mempunyai kekuatan dahsyat dalam kehidupan. Pahatan-pahatan aksara para sastrawan membuat pembaca tercerahkan.

Untuk mengetahui kedahsyatan teks sastra--yang mewujud dalam karya sastra--kita bisa membaca novel karya Gabriel Garcia Marquez, Cien Anos de Soledad (1967). Novel ini berkisah tentang kepahlawanan keluarga Kolombia. Novel karya peraih Nobel Sastra tahun 1982 ini memberikan motivasi kepada warga Kolombia agar api patriotismenya tidak pernah padam. Alhasil, novel ini menyadarkan warga Kolombia melakukan perubahan dan perjuangan. Tidak hanya itu, mereka menancapkan keyakinan dalam sanubari bahwa tidak ada kerugian dalam pejuangan dan bahwa kehidupan itu harus diperjuangkan, berapa pun saham yang harus dibayar.

Ling Shan (2000), karya monumental Gao Xingjian (peraih Nobel Sastra tahun 2000), juga demikian. Novel ini menampilkan ulir-ulir indah dalam pengemasan kata dan logika. Bahkan, para panitia Nobel menyebut novel ini sebagai "permadani naratif dengan beberapa tokoh utama yang saling mencerminkan satu sama lain, dan mungkin menghadirkan kesatuan dan kesamaan ego".

Kekuatan novel karya mantan anggota partai komunis China ini membuat para pembaca terperangah sekaligus mendapatkan pencerahan baru: tentang kedirian, kemanusiaan, kesemestaan, dan ketuhanan. Di samping itu, yang membuat novel ini bertenaga adalah pertautan antara beberapa nuansa di dalamnya; rasa-diri, spiritualitas, argumen-argumen logis, analisis, semantik, intrik, diskursus, dan juga humanisme-religius.

Kekuatan Sastrawan
Sebagaimana dijelaskan singkat, pada dasarnya semua teks merupakan sesuatu (teks) yang biasa, bahkan absurd, sebelum dipoles sang sastrawan. Artinya, sastrawanlah penentunya. Melalui polesan mereka, keindahan teks lantas memuai, membias, memendar, dan memesonakan pembaca. Dari sinilah, teks tersebut memiliki dan memasuki dimensi sastrawi.

Untuk menghasilkan karya sastra bermutu, para sastrawan melakukan pergumulan-hebat dengan teks. Mereka terus tenggelam dalamnya, kemudian mencecap putik kearifannya. Muaranya adalah klimaks yang mewujud dalam rasa-jiwa yang senantiasa berdegar-degar untuk terus menulis dan menghasilkan karya sastra-karya sastra bertenaga.

Teks dan juga bahasa yang awalnya biasa itu disulapnya menjadi gugusan ide yang mampu meluncur kepada kedalaman pemaknaan dan pengalaman impresi batin pembaca atau masyarakat. Inilah wujud apresiasi sastrawan terhadap kehidupan, termasuk pusparagam ambiguitasnya, melalui media bahasa atau teks (yang memiliki nilai) sastra.

Memang, bahasa dalam suatu karya sastra bersifat multiinterpretasi. Dalam suatu karya sastra, lipatan-lipatan makna akan senantiasa menyembul. Karena itu, diperlukan ilmu yang memadai dan kepekaan hati guna menangkap bertangkup makna dari suatu teks sastra.

Meskipun demikian, hal itu tidak langsung mengamini bahwa setiap karya sastra harus rumit, njlimet, sulit dipahami, bahkan gelap. Sebab, jika bisa menghasilkan karya sastra yang bagus namun dengan bahasa yang renyah, hal itu juga baik. Dengan karya seperti ini, transformasi pengetahuan (knowledge) maupun nilai (value), akan cepat sampai kepada pembaca.

Di antara karya sastra dengan formulasi makna-mendalam, bahasa renyah dan ringan, namun tetap membawa makna simbolik sekaligus transenden adalah karya sastra-karya sastra hasil tenunan Emha Ainun Najib dan almarhum Kuntowijoyo. Mereka mampu mendedahkan gagasan-gagasannya dengan tetap menjaga dan melestarikan secara bijak garis kesinambungan dari transmisi kearifan yang langsung bermuara pada diri dan kehidupan.

Dalam mengapresiasi kehidupan, para sastrawan tidak hanya memaknai bahasa dengan satu paradigma saja. Ini dilakukan karena, sebagaimana diwartakan Paul Ricouer dalam Hermeneutics and The Human Sciences (1984), makna bahasa selalu bersifat ganda. Kalau makna itu muncul dari dalam hubungan-hubungan yang ada dalam teks itu sendiri, maka kita akan dapatkan apa yang dinamakan sense (yang oleh Ignas Kleden disebut dengan makna-teks). Kalau makna itu lahir dari hubungan antarteks dengan dunia di luar teks, maka kita akan mendapatkan reference atau referensi di dalamnya.

Kemampuan sastrawan meramu setiap makna-teks dengan peristiwa, yang bahkan telah mewujud dalam wilayah kesejarahan, menunjukkan merekalah aktor terpenting dalam dunia aksara. Itulah daya-kuasa atau kekuatan sastrawan. Dalam suatu ideal type, dapat dikatakan para sastrawan adalah sekelompok orang yang memproduksikan makna kata-kata, sedangkan pengguna bahasa lainnya hanya mereproduksikannya.

Tidak hanya itu, sastrawan, dalam pandangan Leo Loewenthal, seorang sosiolog sastra dari Frankfurter Schule, sejatinya mempunyai kedudukan yang unik di antara penulis sejarah, penulis ilmu sosial, atau penulis biografi dan memoar. Ini karena sastrawan tidak terlalu berurusan secara sadar dengan struktur sosial dan lembaga-lembaganya. Yang menjadi pusat kajiannya adalah sikap dan perasaan para tokohnya sebagai individu. Sastrawan menganggap manusia tidak hanya sebagai eksemplar sebuah tipologi maupun resipien pasif suatu kebudayaan. Memang, para sosiolog mengkaji manusia dan masyarakatnya, tetapi mereka menghadapi dilema antara deskripsi dan analisis tentang tendensi-tendensi umum dalam kebudayaan dan struktur sosial di satu pihak dan kebutuhan untuk melukiskan hal-hal yang khas untuk setiap kelompok sosial pada pihak lain. Demikian juga dengan para sejarawan, yang lebih menekankan aspek-aspek ideografis menyangkut gejala-gejala yang bersifat spesifik untuk suatu masa atau suatu tempat (Kleden: 2004)

Karena menempatkan manusia sebagai individu dengan makna hakikinya itulah, pahatan aksara para sastrawan menjadi berbeda. Penyajian yang mereka berikan senantiasa berkelindan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Mereka membiaskan dawai-dawai harmoni dan wewangian rasa-diri dalam menangkap bertalam kearifan dari kehidupan ini.

Karena itu, tidak mengherankan apabila karya-karya para sastrawan seringkali memiliki makna "lebih" setelah dibaca, yang kadang para sastrawan pun tidak pernah menduga sebelumnya.

Terkait hal ini, Leo Loewenthal dalam Das Buergerliche Bewutsein in der Literatur (1981) berujar: Sastra mengandung banyak lapisan makna, yang beberapa daripadanya memang dimaksudkan pengarang, dan beberapa pula yang tidak dimaksudkannya.

Lantaran kemampuannya meraba cakrawala rasa-jiwa, keberaniannya merobek tirai mimpi ilutif, dan kebijaksanaannya menyanyikan melodi kehidupan dengan media teks sastra (yang kadang mereka tidak merasa, atau kita yang mengalami kesulitan dalam menangkap pesan mereka), kita, ajak pelopor hermeneutika modern, Schleiermacher, melalui pernyataannya yang sangat terkenal, es gilt einen Verfasser besser zu verstehen al ser sich selbst verstanden hat--harus berusaha memahami seorang pengarang (baca: sastrawan) dengan cara yang lebih baik dan lebih berhasil dari pengarang itu memahami dirinya sendiri.

Karena itu, untuk memahami teks sastra, kita harus menggunakan kebeningan dan kepekaan rasa-diri. Syarat tersebut merupakan suatu sine qua non, keniscayaan. Dari sinilah, kita akan mampu memahami dan merasakan kemukjizatan para sastrawan.

Tauhid sebagai Esensi Estetika Sastra Sufi

Heru Kurniawan
http://www.lampungpost.com/

APA yang ingin saya diungkapkan ini mengenai paradigma pemahaman sastra sufi dilihat dari fondasi Islam dan epistemologi sastra. Penggabungan keduanya, menurut saya, akan menghasilkan suatu paradigma sastra sufi yang logis. Sekalipun pengertian ini bersifat analogis, tetapi dapat dijadikan sebagai perspektif dalam memosisikan sastra sufi, yang sampai saat ini paradigmanya masih rancu karena dikaburkan oleh cara pandang subjektif sebagai pengaruh etika agama yang tidak dilihat secara keilmuan. Hasilnya, cara pandang paradigma sastra sufi dalam kesusastraan Indonesia masih terbelenggu oleh romantisme dan keyakinan Islam yang sempit.

1.
Hal mendasar yang diungkapkan dan diabadikan dari karya seni adalah estetika, yaitu cabang filsafat yang berbicara tentang keindahan. Kesamaan fundamental dari setiap karya seni adalah estetika, sedangkan letak perbedaannya pada media penyampainya. Misalnya, antara seni sastra dan seni lukis itu sama-sama menyampaikan keindahan. Namun, keindahan dalam sastra disampakan lewat bahasa, sedangkan keindahan dalam lukisan disampaikan lewat harmonisasi warna. Warna dan bahasa inilah yang disebut media penyampainya.

Di sini terlihat bahwa media penyampai adalah badan, sedangkan estetika merupakan roh. Sekalipun keduanya mempunyai posisi yang penting, tetapi tubuh hanya mempunyai fungsi untuk mengantarkan sedangkan kenikmatan yang sebenarnya adalah pada "roh". Dengan roh ini ekspresivitas seni terlahir, yang efeknya akan menciptakan pengalaman hidup baru yang "mencerahkan atau katarsis." Sebab estetika merupakan roh, maka hakikat estetika adalah "pribadi" yang keberadaannya paling fundamental dalam seni. Tidak mengherankan bila pergelutan kreator dalam dunia kreativitas sebenarnya adalah suatu usaha dalam menemukan estetika yang berpribadi.

2.
Sementara itu, fondasi ajaran Islam itu bertumpu pada tauhid, yaitu suatu kesadaran dalam "peng-Esa-an Tuhan" dengan "Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan." Kesadaran ke-Esa-an Tuhan ini mengimplikasikan suatu pandangan hidup bahwa eksistensi alam semesta hanya berinti pada Tuhan. Maka keyakinan hidup manusia haruslah bertumpu pada Tuhan. Manusia harus yakin bahwa segala gerak alam semesta itu terjadi kerena eksistensi Tuhan. Tanpa Tuhan Yang Mahakuasa, maka alam semesta tidak ada. Tuhan adalah inti realitas yang membuat realitas menjadi ada, termasuk manusia itu sendiri. Sebab dasar tauhid ini, tidak mengherankan bila "pengingkaran" manusia terhadap Tuhan, dalam Islam, diposisikan sebagai sikap berdosa paling tinggi yang tidak terampuni. Implikasi dari penyaksiaan ketauhidan ini adalah iman, yaitu keyakinan-keyakian terhadap keberadaan Tuhan, malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kiamat, dan takdir. Dengan keimanan ini maka sudah sempurnalah setiap individu menjadi muslim. Selanjutnya, individu tersebut akan hidup dalam garis Islam yang bersandar pada Alquran dan Hadis. Di sini terlihat bahwa peran utama tauhid adalah sebagai pintu masuk menuju "Islam" sebagai agama teologis-humanisme, yaitu pencipta rahmatan lil alamin dengan berdasar konsep ketuhanan.

3.
Dua penjelasan di atas memperllihatkan bahwa esetetika adalah esensi dari sastra, sedangkan tauhid adalah pondasi dari Islam. Oleh karenanya paradigma "sastra sufi"--sebagai dunia yang dibangun oleh "seni" dan "Islam" merupakan bagian seni Islam yang fondasi filosofinya berdasarkan estetika tauhid, yaitu keindahan-keindahan filosofis yang berpangkal pada peng-Esa-an Tuhan. Estetika tauhid akan mengungkapkan pengembaraan dan perjalanan untuk menuju yang transendental. Muaranya adalah pada nilai-nilai ilahiah, yaitu suatu kesadaran tentang keberadaan Tuhan pada setiap gerak dan peristiwa dalam kehidupan.

Di sini saya memaknai konsep tauhid Islam tidak hanya pada wilayah prinsip keimanan yang eksoterik. Namun, tauhid saya letakkan pada dimensi esoterik, yaitu ruang kehidupan yang luas, yang oleh Ismail Raji al-Faruqi dalam bukunya Cultural Atlas of Islam disebut tauhid sebagai prinsip peradaban. Tauhid sebagai dasar peradaban adalah unsur struktur pemberi identitas peradaban yang mengikat dan mengintegrasikan keseluruhan unsur pokok sehingga membentuk suatu kesatuan yang padu. Peradaban yang dibangun di atas nilai-nilai tauhid inilah yang sesungguhnya mencerminkan hak tipikal Islam. Dengan dimensi tauhid yang sampai menjangkau peradaban, maka seni Islam (sastra) tidak terkecuali, hakikatnya adalah menyuarakan tauhid dalam kapasitasnya sebagai sarana untuk mempengaruhi peradaban masyarakat.

Oleh sebab itu, sastra sufi sebagai bagian dari gerak kehidupan akan berpartisipasi aktif, kreatif, sadar, dan bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas kehidupan yang bermuara kepada Tuhan. Estetika sastra sufi selalu menyuarakan kesatuan alam semesta dalam pencipta-Nya sehingga sastra sufi membangun pemahaman yang berujung pada Tuhan. Sarana pengucapan dalam sastra sufi yang bertabur hal keduniaan hakikatnya adalah jalan untuk menginsyafi keberadaan Tuhan. Hal inilah yang menyebabkan sastra sufi selalu menyuarakan nafas ketuhanannya dengan simbolitas. Hal ini dapat dimaklumi karena Tuhan sebagai inti realitas tidak sama dengan realitas-realitas yang diciptakannya.

4.
Setelah mengetahui tauhid sebagai esensi estetika sastra sufi, persoalan yang kemudian muncul adalah "apa parameter estetika sastra dianggap menyuarakan dimensi tauhid?" Dalam hal ini, saya mengatakan bahwa ketauhidan sebagai suatu estetika hanya dapat dilihat dari dialog yang intens antara "pembaca dengan karya." Pembaca adalah pemegang "otoritas esetetis" karena hakikat interpretasi sebagai pemahaman itu subjektif. Hal ini terjadi karena konsep "subjektivikasi" estetika terjadi dengan adanya dialog antara "penciptaan yang personal" dengan "penikmatan yang impresi" sehingga dialog antara karya dan penikmat menjadi suatu produksi pengalaman pribadi penikmat yang tanpa henti dalam konteks sejarah.

Idealisasi rekonstruksi karya harusnya didasarkan pada "pengalaman pembaca" dan "kemungkinan-kemungkinan yang diciptakan teks". Namun, sering sekali hal itu tidak terjadi. Rekonstruksi makna justru berjalan searah, yaitu hanya dikuasai oleh pembaca. Pembaca karya sastra, menurut saya, sering arogan dalam memperlakukan karya. Karya hanya diperlakukan sebagai "artefak" yang pemaknaannnya menjadi semau gue sehingga apa yang didapat pembaca dalam pemaknaan hanyalah "reproduksi pengalaman" pembaca. Pembacaan model inilah yang menyebabkan pemaknaan gagal karena pembaca tidak bisa merefleksikan dirinya di hadapan karya.

Harus dipahami bahwa hakikat pembacaan pada karya muaranya adalah "refleksi diri" di hadapan karya. Oleh sebab itu, dalam proses pembacaan, pengalaman pembaca dan karya berada dalam posisi yang sama, yaitu pembacaan terhadap karya haruslah memperlakukan karya sebagai "ruang kemungkinan" yang juga akan mengarahkan pembacanya untuk menelusuri "makna keinginan" dari karya. Di sini pembaca dan karya terlibat dalam pemaknaan yang harmonis sehingga pembaca akan dapat "merefleksikan dirinya" dengan sempurna di hadapan karya, dan karya mampu memberikan pengalaman-pengalaman baru kepada pembaca. Efeknya, pembaca akan mendapatkan pemahaman atas karya yang dimaknai.

Dengan "perefleksikan diri" di hadapan karya "sastra sufi" maka pembaca akan menikmati pengalaman transendental yang bermuara pada Tuhan. Di sini terlihat bahwa kesufian suatu karya terletak pada "apresiasi pembaca" yang memang ketika membaca karya ia mendapatkan "Tuhan" di sana. Saya memersepsi bahwa "estetika tauhid" yang diusung "karya" adalah hakikat karya dikatakan sufi karena "sufi adalah pemahaman terhadap nilai yang terdapat dalam karya". Dan ujung dari sastra sufi adalah menyampaikan pemahaman pada pembaca tentang Tuhan sebagai inti realitas.

Oleh sebab itu, siapa pun penyairnya jika puisi yang diciptakan mampu memberikan pemahaman ketauhidan pada pembaca, puisi itu dapat dikatakan sastra sufi. Hal ini berarti bahwa pemahaman sastra sufi harus diletakkan pada "nilai ketauhidan yang terdapat pada karya" bukan pada penciptanya. Dalam hal ini saya menyamakan kedudukan "penyair sebagai pencipta" sama seperti "pendakwah" dalam terminologi syiar Islam. Pendakwah mempunyai tugas menyampaikan kebaikan (Islam) pada orang lain, tetapi pendakwah tentu tidak ingin kalau ada orang yang masuk Islam karena dirinya. Pendakwah menginginkan orang masuk Islam itu karena kesadarannya bahwa Islam adalah agama yang baik, seperti isi dakwahnya. Di sinilah terlihat bahwa penyair hanyalah "penyampai" yang hanya bertanggung jawab untuk membuat "apa yang disampaikannya itu baik". Selanjutnya, otoritas penilaian baik dan buruk atau sufi dan tidaknya suatu karya itu mutlak di tangan pembaca.

-------
*) Pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto

Prosa-Puisi Kartini

Asarpin
http://www.lampungpost.com/

"Segala yang murni dan indah dalam kehidupan manusia adalah puisi". Kata-kata ini diucapkan Kartini (kepada Stella--nama panggilan Kartini kepada Estella Zeehandelaar, feminis sosialis yang membuka diskusi pertama kali dengan Kartini melalui surat-menyurat--sebagai bukti bahwa ia mencintai puisi. Bagi Kartini, puisi atau seni pada umumnya adalah jiwa bangsa Bumiputera. Dari mulut anak-anak sampai orang jompo, senantiasa melahirkan puisi.

Namun, tak setiap puisi menggoda imajinya. Salah satu yang memancing dahaga seninya adalah tatkala ia mendengar denting gamelan yang disebutnya ginonjing. Alunan suaranya, denting liriknya, tak ayal membetot pikiran dan jiwanya. Ketika diajak membicarakan soal seni dengan sahabat-sahabatnya di Eropa, Kartini menegaskan bahwa seni yang memikat hatinya adalah yang di dalamnya mengandung keindahan sekaligus pembebasan.

Seni baginya adalah alat untuk mewujudkan cita-cita pembebasan rakyat pribumi dari penjajahan dan keterbelengguan oleh adat-istiadat yang sangat feodalistik. Baginya, tali peranti yang mengikat rakyat Jawa sudah semestinya diputus dengan seni pembebasan. "Roman bertendensi dalam segala hal harus lebih tinggi. Dia sempurna dan sama sekali tanpa cacat," katanya kepada Stella 12 Januari 1900.

Kedalaman karya seni akan tercapai bila dilakukan dengan penuh penghayatan dan seintens mungkin oleh senimannya. Tak ada seni yang berjiwa dan berwatak tanpa pergulatan pengarangnya terhadap realitas, baik yang dirasakan dalam jiwanya maupun yang tengah dirasakan bangsanya. "Kedalaman hanya bisa didapatkan dengan penggalian," kata Kartini dalam surat bertanggal 11 Oktober 1901.

Kartini mencintai seni yang berwatak, berkepribadian, bukan seni mesum atau anggur kolesum. Salah satu yang diusulkan Kartini untuk menemukan kedalaman puisi atau prosa adalah dengan cara masuk ke dalam kesunyian diri, semacam meditasi atau kontemplasi. "Kesunyian adalah jalan ke arah pemikiran," tulisnya dalam surat 15 Agustus 1902. Dan "pemikiran adalah jalan ke arah perjuangan".

Prosais yang Piawai Bertutur
Kelebihan Kartini terletak pada bahasa prosanya yang kaya dengan ungkapan renungan. Prosanya ditulis dalam bentuk surat dengan menampilkan cerita dan kisah-kisah yang kaya dengan ilustrasi dan imajinasi. Bentuk surat memang memiliki kelebihan sendiri dalam mengungkapkan cerita. Salah satu cerpen terbaik Seno Gumira Ajidarma adalah cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku dan Jawaban Alina. Kedua cerpen ini ditulis dalam bentuk surat-menyurat, tak ubahnya dengan apa yang dilakukan Kartini.

Tengok misalnya gaya prosa dalam fragmen surat Kartini bertanggal 15 Agustus 1902: "malam waktu itu; jendela dan pintu-pintu terbuka. Bunga cempaka berkembang di lebuh kamar kami, dan bersama dengan puputan angin segar, berdesah dengan dedaunnya serta mengirimkan kepada kami ucapan selamanya dalam bentuk bau harumnya. Aku duduk di lantai, sebagaimana sekarang ini, pada sebuah meja rendah, di kiriku Dik Rukmini yang sedang menulis".

Surat di atas cukup panjang dengan gaya prosa yang unik. Mengomentari surat ini, Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja menegaskan bahwa kecintaan Kartini pada seni rakyat bukan sebagai cinta platonik, tapi cinta seniwati dari darah dan daging. Dan ini memang ditegaskan Kartini sendiri dalam surat 11 Oktober 1901: "kukatakan itu untuk menyatakan kepadamu, untuk menunjukkan, betapa nilai pena itu meningkat kalau orang mempergunakan tinta sebagai darah jantungnya sendiri".

Banyak contoh prosa terbaik dalam surat Kartini dengan gaya bertutur yang masih segar hingga kini, seperti contoh fragmen-fragmen berikut ini: "kucing-kucing dekil itu, para tamu, seniman-seniman mendatang. Lihat, tanah bekas kaki mereka mengandung bukti-bukti bakat mereka. Ah, ah, dari mana kau datangkan keindahan? Dengan bersemangat seorang pengagum bertanya, laksana mimpi, ke mana pun pandang ditebarkan, tertatap juga semburan cahaya, hijau dedaunan dan bunga-bungaan, kilau emas dan perak, satin dan sutra".

Puisi dari Bentuk dan Isi
Kartini pernah bertanya soal bentuk dan isi dalam salah satu pembelaannya terhadap tuduhan Belanda kepada kaum pribumi yang ditujukan kepada Nyonya Abandenon 27 Oktober 1902. "Terang yang Bunda sinarkan kepada kami membuat kami melihat dan juga bertanya: apakah makna bentuk tanpa isi?"

Bagi Kartini, tak ada puisi jika hanya isi, sebagaimana juga apalah artinya puisi jika hanya bentuk. Sesuatu disebut puisi jika di dalamnya mengandung bentuk sekaligus isi. Apakah ini anakronis? Bagi Kartini tak, karena hakikat seni adalah perpaduan isi dan bentuk. Salah satu puisi Kartini yang tidak dimuat dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang terjemahan Armijn Pane (Balai Pustaka, 1951) tapi dimuat dalam karya Pram, sebuah puisi panjang bertajuk Manusia dan Hatinya, seperti dalam fragmen ini: Dan bila jiwa seia, retak tidak, tali abadi, Mengikat erat, setia arungi segala, rasa, jarak dan masa. Tunggal dalam suka, satu dalam duka, seluruh hidup gagah ditempuh, Oi, bahagia dia si penemu jiwa seia, Yang Mahakudus dia suntingkan.

Selera puitik Kartini banyak dipengaruhi selera pencerahan Eropa. Ini sulit dimungkiri. Revolusi Prancis pada abad ke-16 telah mengilhami jiwa Kartini dalam hal memilih selera puitik. "Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya seni! Tapi di mana bisa ada seni tanpa puisi? Segala yang baik, yang luhur, yang keramat, pendekanya segala yang indah di dalam hidup ini adalah puisi," tulisnya dalam surat 2 April 1902.

Kartini ingin mendekatkan puisi ke hati rakyat. Caranya memandang puisi pun berbeda dengan kaum bangsawan. Pernah dalam sebuah suratnya ia melakukan monolog batin yang menghasilkan sejenis renungan prose-poem (puisi-prosa): "Orang sederhana, yang menggelesot dina di atas tanah, mengangkat pandang takzimnya, sekejap, dan menjawab sederhana: "Dari hati hamba, bendoro!"

Tak ada amanah di situ. Renungan yang ditampilkan sangat menohok dan mengejutkan. Gayanya sederhana dan tak hendak berfilsafat. Walau demikian, betapa sulit puisi itu bisa dijangkau rakyat kebanyakan. Apa pun dalih dan dalil Kartini, renungan-renungan puisinya tetap miliknya sendiri. Sudah tabiat puisi jika hanya bisa dipahami oleh si penyairnya sendiri.

Bahasa puisi Kartini sangat dekat dengan liris, bahkan sangat posesif. Dalam larik lain, Kartini pernah juga menulis begini: "Betapa ini jiwa, Dalam sorai melanglang, Jantung pun gelegak berdenyar, Bila itu mata sepasang, Rumah pandang menatap, Jabat tangan hangat diulurkan. Tahu kau, samudra biru, Menderai dari pantai ke pantai? Di mana, bisikan padaku, Di mana, mukjizat bersemai?"

Puisi itu bicara soal jiwa puisi Eropa yang sorak-sorai, sementara bagi Kartini yang diilhami oleh alunan ginonjing, puisi pribumi tak demikian adanya: "gamelan tak pernah bersorak-sorai, kendati di dalam pesta yang paling gila sekali pun, dia terdengar sayu dalam nyanyinya, mungkin begitulah seharusnya. Kesayuan itulah hidup, bukan nyanyi bersorak-sorai!"

Ketika Kartini sedang duduk termangu di lantai, tiba-tiba ia mendengar peting ginonjing yang diiringi suara nyanyian perempuan, dan ia pun melukiskan dalam surat 15 Agustus 1902: "Di kananku Annie Glaser, yang juga di lantai sedang menjahit, dan di hadapanku seorang perempuan, yang menyanyikan kami sebuah cerita. Betapa indahnya! Suatu impian yang mengalun dalam suara-suara indah, kudus, jernih dan bening, yang mengangkat roh kami, yang menggeletar-membubung ke atas ke dalam kerajaan makhluk-makhluk berbahagia".

Di sini Kartini menunjukkan jati dirinya sebagai seniwati yang tangguh. Terlepas banyak hal yang paradoks dalam prosa-puisi kartini, setidaknya ia telah mengawali hidup dengan puisi dan prosa sebagai bagian dari menegakkan martabat dan harga diri bangsa pribumi. Dan upaya menghadirkan nilai sastrawi dalam karya Kartini yang serba-selintas ini, semoga apa yang pernah dikatakan Ruth Indiah Rahayu sebelas tahun lalu, kita telah "mengangkat Kartini ke tempat yang pantas dia terima daripada sekedar menjadikannya relikwi menghormati raga dan memuja peninggalan busana putri suci masa lampau". Selamat Hari Kartini!

*) Pembaca sastra, tinggal di Bandar Lampung

Menapaki Lorong Sastra

Fathor Lt
http://www.lampungpost.com/

SASTRA akan memberi hikmah bagi orang yang mencari hikmah. Sastra akan memberi hiburan bagi orang yang menginginkan hiburan. Tapi, sastra tidak akan memberikan apa-apa bagi orang yang tidak memiliki apresiasi sastra. Begitula jawaban yang diberikan penyair Madura, Zawawi Imron, ketika ia diminta Gubernur Gorontalo Ir. Fadel Muhamamad untuk menceritakan suatu--cerita rakyat--kepadanya. Adapun yang diceritakan Zawawi antara lain, kedekatan hubungan seorang sufi yang diberi julukan Bahlul yang ternyata mampu menjadi kontrol kekhalifahan Harun Al-Rasyid.

Sebagaimana Bahlul, Zawawi pun demikian. Dengan mengambil peran sastra sebagai kontrol terhadap kekuasaan, Zawawi bisa diterima oleh berbagai kalangan, tak terkecuali apakah ia pejabat tinggi negara atau masyarakat bawah. Dengan bersandar pada nilai-nilai keilahian, pandangan Zawawi tentang sastra tak jauh beda dari ajaran Plotinos (205--270) yang mendekatkan pengalaman estetik dan pengalaman relegius, menjadi satu-kesatuan tak terpisahkan, hingga dapat memunculkan kesadaran akan keesaan Tuhan, yang kemudia dikenal dengan filsafat emanasi (pengaliran).

Terlepas dari semua itu, ada hal menarik dari dua hubungan anatara Zawawi Imron sebagai sastrawan dan Ir. Fadel Muhammad sebagai gubernur. Dua sisi kehidupan yang jauh berbeda namun bisa dipertemukan, dan dua posisi yang memiliki wilayah berbeda "dalam teori negara modern--namun bisa berjalan beriringan, saling berpengertian dan saling menghormati." Yang satu hidup dalam birokrasi pemerintahan dan yang satu lagi hidup di wilayah nonformal. Tapi kedua-duanya bisa saling bertutur sapa.

Tak ada lain yang memberi alasan kenapa mereka bisa bertemu, kecuali sastralah yang menjadi jembatan bagi mereka berdua untuk berjalan bersama untuk saling mengureksi diri. Sebab dalam sastra, selain mengutamakan keindahan material (kata-kata) seperti yang digemari para penganut Epikurisme, ia juga memiliki keindahan jiwa dan kedalaman makna. Seorang penganut Plotinus, Monroe C. Beardsley mengungkapkan, beauty enthrones itself keindahan sekali-kali akan sirna, terkecuali di situ ada keindahan jiwa yang di dalamnya ada hubungan akrab dan hangat dengan sumber pemberi kehidupan (Kanisius; 1993).

Puncak Pencapaian
Untuk mencapai kesempurnaan sebuah karya seni, Aristoteles memberi pandangan tentang katarsis (pemurnian). Di mana ia mengatakan katarsis adalah puncak kesempurnaan seni, hingga makna dari karya tersebut dapat memberi bekas dalam diri penonton. Dalam perkembangannya saat ini, teori katarsis tidak hanya ditekankan pada penonton saja, akan tetapi bagaimana seorang pemeran juga dapat menjiwai sebuah karya yang akan diperankankan (totalitas). Jika dikaitkan dengan teori emanasi (pengaliran) yang merupakan filsafat plotinus seperti yang telah dijelaskan di atas, maka di disitulah katarsis dapat tercapai. Beauty enthrones itself, keindahan materi mesti berpadu dengan keindahan jiwa.

Walau teori katarsis oleh Aristoteles banyak ditujukan pada seni drama atau panggung, tidak menutup kemungkinan teori itu juga mengarah pada seni sastra. Sebab dalam drama tidak bisa mengabaikan sastra. Sebaliknya sastra akan terasa kaku jika tidak ada unsur-unsur teaterikalnya. Jadi, baik drama atau pun sastra merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Maka sah-sah saja jika ada aksioma bahwa katarsis adalah puncak kesempurnaan karya sastra. Bergantung pada sejauh manakah sastrawan melebur dalam karyanya dan sedalam apakah karyanya membekas di hati pembaca atau pendengarnya. Yang tentunya tidak sepenuhnya meletakkan kata-kata sebagai poros utama keindahan, melainkan bagaimana keagungan makna dapat memberi keindahan pada kata-kata. Kemudian bagaimana makna itu benar-benar mengakar pada diri seorang pengarangnya. Sehingga yang membaca dan yang mendengarkan ikut larut di dalamnya, tanpa diperintah ia akan membenarkan dan mengikuti makna dari kata-kata tersebut.

Seperti halnya yang terjadi pada Gubernur Gorontalo Ir. Fadel Muhamamad. Setiap kali bertemu Zawawi, ia pasti minta diceritakan sastra sufi. Termasuk di antaranya cerita seperti yang penulis jelaskan di atas. Padahal cerita tersebut mengandung kritikan tajam terhadap seorang penguasa. Tapi ketika sastra mulai bicara, seorang gubernur pun tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan ia merasa ketagihan dengan cerita-cerita tersebut.

Begitulah sekilas contah gerakan sastrawan, Zawawi Imron, sebagai agen of change dan agen of control yang merupakan perwujudan pertanggungjawaban keintelektualannya kepada sesama dan Sang Penciptanya kelak. Dengan bahasa nurani dan kejujuran, sastra senantiasa bejubahkan perdamaian dan melangkah di jalan antikekerasan. Lain halnya dengan gerakan-gerakan politik, yang selalu meninggalkan bekas luka, dendam, dan kebencian. Seperti yang saat ini melanda pada bangsa kita, di mana permusuhan antarkelompok elite politik tak henti-hentinya berdengung.

Andai saja manusia Indonesia termasuk juga para pemimpinnya mau memilih gerakan sastra sebagai gerbong untuk menuju negara yang berkedaulatan dan berkeadilan, tentunya harta dan tahta bukanlah sesuatau yang pantas dipertaruhkan. Tapi, kenyataan negara kita bukan seperti Malaysia, China, Jepang dan lain sebagainya, yang memandang sastra sebagai salah satu penentu identitas dan pendewasaan bangsa. Sehingga layaknya kitab suci, di sana sastra mendapatkan tempat yang agung. Lain di Indonesia, sastra selalu dipandang sebelah mata. Sebab itulah mencari sastra dan sastrawannya di Indonesia sangatlah mudah, ia bisa dijumpai di kolom jembatan, emperan pertokoan, gang-gang kumuh dan sebagainya. Gerakan sastra untuk mendewasakan bangsa ini selalu dipandang remih dan dikucilkan. Lantas sampai kapankah negeri ini berjalan di tengah kehampaan dan kekosongan, jika kesadaran akan pentingnya sastra masih belum juga tumbuh dan ditumbuhkan, khususnya bagi para pemimpin bangsa ini. Seperti ungkapan Zawawi, "akan melompong bagi orang yang tak memiliki apresiasi sastra".
***

Teolog-Seniman, Aktor Pencerahan Budaya

Endri Y
http://www.lampungpost.com/cetak

PADA era global sekarang, di mana sekat politik-geografis bukan lagi hambatan informasi, kebudayaan bukan hanya ditentukan akal budi manusia saja. Namun, kapital, informasi, media, dan manusia, semua memiliki peran strategis-ketergantungan.

Sedangkan esensi peta posisi budaya berada hanya pada hasil penciptaan para manusia yang telah tercerahkan. Dalam lingkup mencipta gerak budaya "yang tercerahkan" itu adalah seniman dan teolog. Keduanya menjadi pendulum kesejarahan yang terus diproduksi dan mereproduksi diri dalam hadirnya untuk memandu arah zaman.

Telaah Martin Buber yang terkenal, I require a you to become, becoming I, I say you. Jika dikaitkan dengan relevansi keterbukaan masyarakat yang tecermin dalam ranah budaya yang include pada kedirian, menemukan kebenarannya. Masuk di dalamnya akulturasi-akulturasi pada hampir semua diri-budaya sebagaimana filosofi Buber itu, "aku membutuhkan engkau untuk menjadi, sambil menjadi aku, aku berkata engkau."

Dapat dikatakan, napas semangat teolog adalah kemampuan untuk sejauh mungkin menembus medan-medan tersulit (fisik dan metafisik) untuk kemudian bersinergis "menjadi" manusia dengan dimensi watak ketuhanan. Sabar dan ikhlas.

Memberi tanpa pamrih. Menebar cinta kasih. Kehidupannya lebur dalam lika-liku jalan immaterial. Dan tentu, selalu larut dalam pengembaraan-pengembaraan intelektual.

Tidak jauh berbeda, seniman dalam ranah pengembara ke manifes mencerahkannya, senada dengan teolog. Ketika teolog bergerak pada ranah indrawi-batiniah ke ketentraman hidup "yang ada". Seniman berjuang untuk mengantar estetika pada fisik-indrawi untuk eksis. Keduanya berkhidmat demi menjadi manfaat bagi manusia lain.

Adalah Gus Tf Sakai yang mengalirkan pembeda kategori, antara agamawan dan seniman sebagai dua kutub pengarah dengan keberbagaiannya. Dia membuat eksistensi kesenimanan terlegitimasi untuk berbuat sesuatu dalam hidup dan kehidupan manusia, mengarahkan dan mengantarkan. Bedanya terletak pada beban nilai yang terbatas dan tidak terbatas. Kontekstual-eksklusif dan universal-inklusif.

Dalam paham ini, kedua pencerah (teolog dan seniman) itu sekarang berusaha melingkupi dan melampaui nilai yang dibawanya untuk kontekstual dan universal sekaligus.

Bagi seniman, yang dikenal berkarya dalam kandungan nilai universal mulai digagas karya seni yang kontekstual untuk kalangan sendiri, intern, dan spesifik. Indikator utamanya, marak komunitas dan karyanya tersegmentasi untuk komunitasnya. Pun teolog, yang tanda kajian- nasehatnya dulu eksklusif dan hanya beredar untuk kalangan sendiri kini melangkah ke aksi sosial, praksis semakin peduli pada universalisme kemanusiaan. Misalnya, peran agamawan yang aktif dalam kampanye hidup sehat, memberantas kemiskinan, dan semacamnya. Padahal dengan usaha mendekonstruksi teologi awalnya.

Radikalisasi Peran
Terkait dengan teori pemberontakan dengan anjuran cinta kasih sebagai manifestasi watak ketuhanan para teolog dan seniman ini, terjadi radikalisasi perubahan peran atau sekedar penyelarasan peran sesuai tuntutan zaman. Albert Camus, membuat peta ziarah intelektual atas kontemplasinya terhadap filsafat Eropa (Pemberontak, 2000) terjemahan dari buku (The Rebel, 1956).

Salah satu hasil permenungan Camus adalah Sade, yang membenarkan kebinalan manusia dalam term libido terkejam. Di mana logika itu pada dasarnya dibangun oleh hasrat, nafsu kebalikan dari pemikiran tradisional. Sade, sebagaimana dianalisis Albert Camus, memberikan pembenaran terhadap fitnahan, pencurian, dan pembunuhan dan kita diharapkan sabar terhadap kejahatan-kejahatan.

Dari sini, pengarusutamaan kepasrahan diri adalah kemutlakan absolut. Ketika seluruh institusi pengelompokan pengatasnamaan "pemberdayaan" menjadi mitos, sekadar langkah- langkah dan celoteh utopis para agamawan atau seniman, rajutan kata- kata, teks- teks, karya- karya yang imajiner dan terkesan menipu.

Sangat dibutuhkan peran radikal teolog dan seniman dalam ranah gerakan tersebut di atas. Bukan hanya berkutat pada kontekstual, universal, tetapi lebih pada praksis sosial dari produk pemikirannya. Yaitu terwujudnya kebudayaan global yang tercerahkan itu. Yang tentram dengan keberbagaiannya dan kebebasan nilainya.

Budaya, dalam kacamata untuk mengejawantahkan visi nun jauh ke depan, baik dalam rentang 10, 20, dan atau 30 tahun mendatang tentang prospek berkebudayaan perlu ada pembongkaran. Meminjam bahasa dalam judul buku terbitan Kompas, (September, 2007); Membongkar Budaya, Visi Indonesia 2030 khususnya dalam rangka perancangan produk (product design) pencerahan teolog dan seniman, diperlukan rekonsiliasi dengan masa lalu.

Proyek rekonsiliasi berarti juga kesadaran untuk membangun spiritualitas. Dalam teori rekonsiliasi mempersyaratkan kesediaan memaafkan masa lalu.

Terkait dengan masa lalu, maka penting pula bagi kita untuk berjuang melawan lupa, meminjam bahasa Milan Kundera dalam buku The Book of Laughter and Forgetting--perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa--sebab, "lupa" bagi para pencerah itu (teolog dan seniman) adalah musuh yang paling nyata. Baik itu dilupakan, terlupakan, atau bahkan melupakan. Kata sakral dalam peran pemegang mandat kultural.

Dilupakan, adalah penolakan atau peniadaan yang menjadi musuh sejati para seniman dan teolog. Sebab, karya seni dan teologi tujuan utamanya meng-ada-kan. Membuat prasasti, mengukir sejarah, meninggalkan jejak, monumen, dan untuk menegaskan 'kehadiran' sebagai zeitgeist zaman.

Persepsi Tubuh Kebudayaan
Adalah Maurice Merleau-Ponty (1908--1961) seorang filsuf besar perumus fenomenologi dan termasuk di dalam kajian filsafatnya ada pendedaran hakekat persepsi tubuh. Untuk sampainya pada pembacaan "persepsi tubuh kebudayaan kita" perlu diperhatikan bahwa, bagi Merleau Ponty istilah "persepsi" mempunyai arti lebih luas daripada mata mengamati suatu subyek. Sebetulnya, istilah itu meliputi seluruh hubungan kita dengan dunia, khususnya pada taraf indrawi.

Dengan demikian persepsi secara langsung berkaitan dengan dunia, tubuh, dan intersubjektivitas. Bahkan lebih lanjut, persepsi digunakan untuk menunjukkan pertautan antara dunia dan tubuh, perpaduan tubuh dan dunianya. Persepsi dalam arti psikologis juga sebagai aktus kesadaran (pengamatan). Dari persepsi inilah kita dapat menyentuh langsung denyut nadi, sebagai penanda adanya kehidupan artefak dan karya pencerahan.

Denyut nadi itu adalah gerakan- gerakan lembaga, institusi, dan lain semacamnya yang menaungi atau dijadikan tempat bernaung karya seni dan teologi. Sedangkan tubuhnya adalah seniman dan teolog.

Maka, bagaimana persepsi itu bergerak, sebagaimana pula tubuh itu menggerakkan.
Persepsi tidak akan bergerak jika tubuh tidak pernah beranjak dari tempat berdirinya. Penggerakan persepsi adalah juga pergerakan tubuh, adiluhungnya matan nilai-nilai altruis, semangat membuat transformasi sosial, membangun tanda-tanda, sampai pada penyuguhan hiburan serta ketentraman adalah muatan kebajikan produksi karya seni dan teologi. Di ranah tubuh budaya yang mampu menggiring manusia ke pergerakan menuju kutub-kutub matrial di luar kesejatiannya sebagai manusia, sangat diperlukan basis pengembang nilai, pengumpul tatal-tatal altruis yang berserakan untuk mampu menegasikan budaya ke proses pencerahan paripurna. Dan tidak ada yang lebih mampu untuk tugas estetis seberat itu selain seniman dan teolog.

*) Koordinator Kajian Komunitas Tendean Tujuh, Lampung.

Sosok di Balik Korden

Kuswinarto
http://www.lampungpost.com/

MATAMU basah. Kau ingat sepotong hati yang telah pergi. Kau ingat benar, saat hati itu meninggalkanmu, saat itu cabai di pasar tak terasa pedasnya. Matamu basah. Saat ini, kau pun tahu, cabai yang dijual di pasar rasanya sedang amat pedasnya. Kita biasanya memetik cabai-cabai kita dengan duka. Cabai-cabai yang sampai sedemikian tua merahnya. Merahnya seperti amarah. Amarah yang tak lagi tertanggung. Amarah yang dendam hendak menjelma bom. Amarah yang ingin meledak seketika!

Andai cabai-cabai itu manusia, mungkin dia sudah membantai habis bibir, lidah, juga gigi orang-orang yang menjadikannya penambah nikmat santapan. Andai cabai-cabai itu manusia, sangat mungkin dia melakukan itu, bahkan bisa jadi ia berserikat dengan garam, bawang, tomat, beserta cobek sekalian ulekannya.

Seperti cabai-cabai itu, matamu merah tua. Dan dari mata merah tua itu, mengalir butir-butir putih air mata. Jernih. Jernih sekali. Seperti sangat suci. Seperti fitri. Dan sesekali, kau seka air mata jernih itu dengan punggung tangan. Pun seperti orang baru saja menyantap makanan bercabai banyak. Suara tangismu pun jadi persis orang sedang kepedasan. Suara tangismu sendiri menderu. Menderu seperti ulekan menghancurkan biji-biji cabai keras-bernas di atas cobek. Kau pun bertanya tanpa suara. Sepotong hati, yang telah pergi dari diri, akankah ia kangen? Akankah ia kangen, dan pulang kembali kepada rumah jiwanya?

Tak ada jawaban, karena sekeliling menganggap tak ada pertanyaan. Meja, kompor, api, piring, sendok, gelas, panci, almari makan, lantai, plafon, cobek, ulekan, cabai, terasi, garam, dan semuanya diam saja. Kau pun menggigit bibir. Dan bibirmu kau rasakan seperti rasa bibir terluka kena cabai pula. Tangismu lalu terdengar seperti hujan malam di atas genting dan jatuh di telapak dedaunan, saat kau mulai mengisak di balik korden. Dari balik korden itu pula kau biasa menilik kehidupan di luar, juga saat matamu membidik sesosok yang amat kau kesumat. Gerak-gerik, dan apa pun yang ada padanya, baik gerak-gerik yang baik maupun--dan apalagi--gerak-gerik yang buruk, membuatmu meremas-remas kain korden.

Ah, sudah berapa kali berganti? Pedas, tidak pedas, pedas, tidak pedas... Sudah berapa kali berganti? Kau tak tahu pasti. Yang kau tahu, sekarang cabai sedang pedas-pedasnya. Sedang amat pedasnya. Dan matamu makin basah di antara waktu yang menghujan dan pandang yang menggurun. Dan tak kau sadari, tangismu jadi lolong anjing di tengah malam memanggil-manggil dari bukit-bukit jauh. Lolong yang hingga kini kau masih belum juga mengerti. Lolong yang hingga kini kau masih juga belum sanggup menerjemahkan apa maknanya.

O, basah nian matamu ingat hatimu. Betapa ingin kau mengoleskan cabai yang saat ini sedang pedas-pedasnya, mengoleskan ke matamu sendiri. Sesosok, beberapa musim lalu, musim cabai, mati di atas cobek kehidupan. Kau telah menggerusnya dengan tenang, menggunakan ulekan kehidupan. Kau telah menggerusnya dengan tenang, setenang kau menggerus cabai di dapur.

Tangismu pun makin desis. Jiwamu seperti terlilit benang kusut.

Waktu itu, mata dan tanganmu begitu malam. Waktu itu, kau pun ingat, ingat selalu, cabai di pasar sedang tak terasa pedasnya. Kita biasanya memetiknya dengan riang gembira. Jadi berkebalikan dengan saat ini: cabai sedang pedas-pedasnya, sedang amat pedasnya. Waktu itu, kau bersekutu dengan segenap angin, bersekutu dengan segenap desas-desus, bersekutu dengan segenap penguasa nafsu dan syahwat. Karena itu, akhirnya selesai dengan mudah. Sesosok yang menurutmu adalah pembenci itu selesai dengan taring malam. Ia melakukan atas namamu yang rela berkorban sebagai ongkos persekutuan itu. Sebuah ongkos yang teramat mahal karena sebuah harga diri telah tergadai dan tak bisa kembali.

Tapi saat itu kau benar-benar merasa puas. Saat itu kau berasa benar-benar jadi orang yang paling sukses di dunia, padahal--seperti kau sadari saat ini--saat itu adalah awal pedih bagimu. Karena kau jadi budak yang nyaris abadi dan tak bisa menampik lagi.

Saat itu kau berasa benar-benar jadi orang yang paling sukses di dunia. Kau tidak tahu bahwa kepergiannya ditangisi oleh seluruh tumbuhan dan hewan. Kau tidak tahu bahwa kepergiannya didoakan oleh seluruh alam semesta saat seluruh manusia seperti tidak tahu apa-apa dan seperti tak mau tahu apa-apa, kecuali kesenangannya sendiri-sendiri. Kau tidak tahu bahwa berdesak-desak malaikat mengantarnya kembali kepada Allah Penguasa Segala. Kau tidak tahu bahwa di sana, dia disambut dengan pesta maha meriahnya. Dia disambut sebagai pahlawan yang paling pahlawan dari segala pahlawan yang pernah kau kenal. Sebagian juga jadi pahlawan karena tipu-tipu. Kau tidak tahu bahwa...

Ah, sudah lama. Sudah berapa kali berganti? Pedas, tidak pedas, pedas, tidak pedas... Sudah berapa kali berganti?

Airmatamu menderas.

O, matamu! O, matamu yang basah, o, matamu basah, o, matamu basah, matamu basah, matamu basah, matamu basah, matamubasahmatamubasahmatamubasahmatamu, o, gemetar ingat hatimu! Ingat hati-Mu! Dan, begitu ingin kau dia Kembali!

Kediri, 2007-2008

Selasa, 25 November 2008

Keretamu Tak Berhenti Lama

Ratih Kumala
http://www.riaupos.com/

BEL itu berbunyi empat ketukan dengan nada yang membosankan. Seolah lonceng bubaran sekolah, penghuni stasiun serempak menjadi awas dengan pengumuman yang akan diworo-woro setelahnya. Aku tengah terkantuk-kantuk ketika bel itu menyentak, menyadarkanku dari lelap yang belum lengkap.

Pengumuman dikumandangkan bahwa kereta api dari Bandung tujuan Stasiun Malang tiba di jalur tiga. Bagi para penumpang yang telah membeli karcis tujuan ke Malang harap bersiap-siap sebab kereta api tak akan berhenti lama. Dalam pengumuman itu tak lupa diingatkan agar orang-orang menjauh dari jalur kuning yang telah ditandai. Area aman untuk berdiri di dekat jalur rel, agar tak tersambar kereta lewat. Para porter tentu saja tak mengacuhkan pengumuman untuk menjauh dari jalur kuning. Mereka menyambar pintu kereta dengan kelincahan kaki yang terlihat lihai. Meski kereta tak berhenti lama, ada sebagian orang yang turun di Stasiun Tugu, Jogjakarta, ada pula yang naik menuju ke Malang. Ini berarti ada saja orang yang butuh jasa angkat-angkat barang bawaan.

Aku mulai sibuk menjajakan dagangan kepada penumpang lewat jendela-jendela, berharap ada saja orang yang menyempatkan diri untuk sekadar membeli oleh-oleh. Karak, intip, bakpia, atau nasi pecel bungkus, semua tersedia. Wajah-wajah berminyak dan separuh ngantuk mengintip dari balik jendela kereta. Tak mungkin aku curi-curi naik ke dalam gerbong kereta, pramugara kereta eksekutif galak-galak. Mereka akan mengusirku jauh-jauh agar tak mengganggu kenyamanan penumpangnya.

Aku bergeser menuju ke kepala gerbong. Dan seperti dugaanku, ‘’Ning! Ning!’’ sebuah suara berat memanggilku. Dari arah kepala kereta. ‘’Ada bakpia?’’ tanyanya. Pak Kasdi, masinis kereta dengan perut agak buncit dan kumis yang enggan tumbuh sekaligus enggan dicukur.

‘’Ada,’’ kataku cepat-cepat ke arah Pak Kasdi. Beberapa teman pedagang yang juga menjual bakpia dan berdiam tak jauh dari Pak Kasdi langsung menyumpah serapah. Aku menerima uang dan menukarnya dengan sekotak bakpia.

‘’Kembaliannya buatmu saja!’’
Aku tersenyum. Aku sudah tahu, kok.

‘’Ayo, ikut!’’ ajak Pak Kasdi sambil menggodaku. Aku menggeleng. ‘’Bener, ndak mau ikut? Ayo! Naik kereta api...tut, tut, tut...,’’ goda Pak Kasdi lagi, kali ini sambil mendendangkan lagu anak-anak itu. Aku menggeleng lagi. Lalu pluit panjang disempritkan. Suara pengumuman terdengar lagi, kereta di jalur tiga segera diberangkatkan. Aku minggir, menjauh dari jalur kuning. Kupandangi kereta yang mulai bergerak, klakson kereta panjang dibunyikan. Aku tahu itu tanda ‘’sampai jumpa’’ untukku. Kulirik uang yang tadi diberi Pak Kasdi, selembar merah seratusribuan. Lumayan. Diam-diam dengan girang kusimpan uang itu di dalam beha.

Siang ini aku bisa memberi Dono, anakku, makan yang lebih enak. Mungkin dengan ayam bakar atau terik. Kugandeng bocah empat tahun itu menuju ke pangkalan becak. Becak suamiku ada di situ, tapi pengemudinya raib. Aku menoel seorang tukang becak yang sedang tidur di dalam becaknya sambil menutup mukanya dengan caping. Tukang becak itu terbangun sambil menyumpah-nyumpah sebab baru saja ia terlelap.

‘’Bojoku mana?’’

‘’Embuh!’’ jawabnya tak acuh, membuatku sebal. Tukang becak itu kembali meringkuk di kursi becaknya yang tak bisa dibilang nyaman. Toh ia tetap mencari posisi paling enak untuk sekadar istirahat.

Kulihat sekelompok tukang becak tak jauh dari situ sedang berkerumun sambil jongkok. Judi lagi, judi lagi! Aku benci bukan main dengan kebiasaan suamiku ini. Aku sudah menduga, pasti siang ini Mas Jarno tak bisa memberi kami uang untuk makan siang. Lelaki itu malah minta tambahan uang untuk bertaruh. Tentu saja kutolak mentah-mentah, kami cekcok sejenak. Lalu dipisah oleh seorang tukang becak di sana. Hutang setoran becak sudah menunggak tiga hari. Jika dituruti terus berjudi, kami benar-benar akan puasa. Biar! Kugendong Dono. Sambil jalan keluar, aku memegang-megang pangkal dada kiriku, kurasakan uang dari Pak Kasdi masih terselip di situ.

***
Sejak pertama aku mengenal Jarno, ia adalah lelaki kampung yang suka bergaya meski tukang becak. Ia menyediakan dana untuk membeli gel rambut, selain pakai kemeja dan kacamata hitam lengkap dengan sepatu kets bututnya. Aku merasa geli melihatnya ketika itu. Ketika aku memasuki 22 tahun, bapak dan ibuku mulai cerewet, menanyakan kapan aku akan menikah. Aku sadar betul, dengan usia yang semakin bertambah, aku cenderung menjadi beban bagi mereka. Maka ketika Jarno, yang beda lima tahun usia, mengutarakan keinginan untuk melamar, aku memperbolehkan laki-laki itu datang berbicara pada orang tuaku.

Meski sebelum menikah kami dekat cukup lama —sekitar satu tahun— ternyata waktu segitu tak cukup bagiku untuk mengenalinya. Ketika kami mulai berrumah tangga, sedikit demi sedikit perangai aslinya mulai terlihat. Selain berjudi, aku kadang menemukannya pulang ke rumah sambil teler. Kalau sudah begini, ia tak segan main tangan dan menyisakan bilur-bilur di pipi dan badanku. Aku ingin pulang ke rumah orang tua, tapi malu. Mau lari, lari ke mana? Tak ada tempat berlindung bagiku. Hingga pada suatu pagi buta, jam tiga pagi, ketika Jarno telah tiga hari tak pulang dan aku terus menunggunya di stasiun, ketika itulah kereta dari Jakarta tiba.

Aku tak akan melupakannya; Dono tidur meringkuk di bangku tunggu dengan jarit menutupi tubuh kecil anakku. Pluit panjang melengking dingin, melafalkan subuh yang tak bisa dibilang hangat. Aku terkantuk-kantuk ketika sebuah suara menegurku. Sosok berperut buncit berdiri di depanku. Pak Kasdi yang baru turun dari kereta membeli sebungkus nasi, meski kubilang itu bukan nasi baru, melainkan nasi kemarin sore. Sudah sekitar dua tahun aku mengenalnya. Ia kerap jajan daganganku.

‘’Biarin, saya lapar,’’ ujarnya waktu itu. Ia langsung memakannya dengan lahap, juga mengambil air botol untuk minum. Aku beramah-tamah sekenanya. Laki-laki ini kerap kulihat di stasiun, bolak-balik, turun-naik kereta.

‘’Pasti enak ya, naik kereta api bagus tiap hari,’’ komentarku.
‘’Kalau jadi penumpang enak, jadi masinis sih kerja!’’
‘’Aku belum pernah naik kereta api eksekutif.’’
‘’Sekali-kali naiklah!’’
‘’Duit dari mana?’’ aku mencibir.

Lalu ujarnya, ‘’Naik kereta kalau aku jadi masinisnya, nanti kugratisi!’’ Aku tertawa kecil mendengar perkataan Pak Kasdi.

‘’Berapa?’’ tanyanya selesai makan.
‘’Tujuh ribu lima ratus, Pak.’’

Pak Kasdi mengeluarkan selembar sepuluh ribuan, ‘’Nih, kembaliannya buat jajan anakmu.’’ Aku kesenangan. Pak Kasdi menusuk-nusuk giginya dengan batang korek api. ‘’Kamu kok ndak pulang, Ning? Kasihan anakmu tidur di sini.’’

‘’Ngejar setoran, Pak!’’ jawabku.
‘’Lah... setoran biar bojomu saja yang nyari toh!’’

‘’Ya dua-duanya yang nyari setoran, Pak. Kalau cuma satu, bisa-bisa puasa. Wong dua orang saja masih lapar!’’ lalu aku terkekeh, terbiasa membicarakan perut kosong dengan kelakar. Pak Kasdi memandang sambil diam, ia tak tertawa sama sekali. Jelas ia tak menganggap leluconku lucu. Aku tak akan pernah lupa rasa salah tingkahku waktu itu. Tak pernah aku merasa rikuh sebegitu rupa.

‘’Ning, biar anakmu tidur di mess-ku saja ya!’’ ujar Pak Kasdi. Lelaki itu langsung mengangkat Dono tanpa menunggu persetujuanku. Tentu saja ini membuatku panik. Aku memohon untuk tidak membawa Dono, tapi Pak Kasdi bersikeras. Cepat-cepat kuminta temanku untuk mengawasi barang daganganku.

‘’Oalah Ning, Ning!’’ keluh temanku, ‘’kalau bojomu datang nyari kamu gimana?’’ Aku tak menjawabnya, mengikuti langkah Pak Kasdi dengan terburu-buru menuju mess yang letaknya tak jauh dari stasiun.

Lelaki itu merebahkan Dono di kasur. Ini kali pertama aku masuk ke mess pegawai kereta api. Sekali lagi kucoba membujuk Pak Kasdi untuk membawa Dono pergi, tapi laki-laki itu tak membiarkannya.

Pak Kasdi dengan santai melepas seragamnya, menggantungnya di pintu dan berganti kaos berkerah yang lecek tak diseterika. Aku hanya diam, memperhatikan ruangan asing dan anakku yang lelap sambil sekali-kali mencuri pandang pada Pak Kasdi.

‘’Bojomu jam segini di mana, Ning?’’
‘’Paling mangkal di sekitar terminal. Kan gini hari banyak yang pakai becak di sana ketimbang di stasiun,’’ jawabku, dalam hati aku bilang; sudah tiga hari dia tak pulang.
‘’Nganter lonte, maksudmu?’’

Aku diam saja. Semua orang juga tahu bahwa tukang becak itu kerja sampingannya jadi mak comblang antara lonte, tamu, dan pemilik penginapan jam-jaman. Upahnya lebih besar ketimbang mengantar penumpang
biasa, dan kalau beruntung bisa dapat ‘’jatah’’ seorang lonte. Entah gratisan dari tamu atau dari lontenya sendiri.

‘’Kamu ndak kasihan lihat anakmu toh, Ning?’’ tanya Pak Kasdi lagi, ia mengelus kepala Dono.
‘’Ya kasihan,’’ jawabku singkat, tapi mau gimana lagi, lanjut kalimatku dalam hati.

Kami diam, Pak Kasdi memandangiku. Aku seraya berdebar-debar. Tiba-tiba tangan Pak Kasdi mendekat ke rambutku dan membetulkan helai rambut yang jatuh di pipiku. Diselipkannya ke balik telinga kananku, membuatku semakin berdebar-debar.

‘’Ning...,’’ ujar Pak Kasdi lirih. Aku bisa mencium aroma tubuh laki-laki itu. Masam dan panas. Dua detik kemudian pipiku terasa geli sebab kumis jarang-jarang Pak Kasdi telah mendarat di situ. Bulu kudukku berdiri. Aku tak beranjak. Aneh, aku merasa nyaman. ‘’Ning...,’’ bisik Pak Kasdi lagi. Lelaki itu semakin berani, kali ini mencium bibirku. Aku mengira, Pak Kasdi akan merambah tubuhku, tapi dugaanku salah. Sebab Pak Kasdi kemudian hanya memandangi wajahku hingga dari luar terdengar suara ayam jantan berkokok dan samar hari yang hitam berubah jadi terang.

‘’Saya harus pergi, Pak.’’
Pak Kasdi jeda sejenak, lalu jawabnya, ‘’Ya.’’

Aku menggendong Dono keluar mess, jalan menuju stasiun.

***
Empat hari lewat, aku masih belum percaya dengan kejadian itu. Dan, setiap ingatan itu lewat, setiap kali pula jantungku berdebar kencang. Lebih dari itu, jika aku menutup mata, masih bisa kuingat dengan jelas aroma tubuh, ruangan asing, dan kulit bibir serta kumis tipis Pak Kasdi yang menempel di wajah.
Setiap kali Pak Kasdi datang, aku tahu laki-laki itu pasti akan menemuiku meski sejenak, meski kereta hanya berhenti sejenak. Aku jadi rajin menanyakan jadwal perjalanan yang ditempuh Pak Kasdi.

***

Entah siapa yang memulai, yang pasti para pedagang di stasiun dan tukang-tukang becak mulai kasak-kusuk dengan gosip aku pacaran lagi. Aku tak merasa pacaran lagi, tak pernah ada kejadian intim apa-apa setelah insiden di mess tempo lalu. Paling-paling, Pak Kasdi hanya mampir beli sesuatu dengan tidak mau diberi kembalian. Itu saja. Lebih dari itu, kami hanya mengobrol, tak pernah janjian di mana-mana. Awalnya, aku tak terlalu ambil pusing, meski aku tetap berbicara pada Pak Kasdi mengenai gosip-gosip itu.

‘’Ning, ikutlah denganku,’’ ujar Pak Kasdi lembut. Aku menatap Pak Kasdi, lalu menggeleng ragu. ‘’Anakmu ajak saja. Aku nanti yang merawat kamu.’’
‘’Pergi?’’
‘’Iya, pergi sama aku. Aku, cinta sama kamu, Ning,’’ ucapnya ragu.
‘’Cinta?’’
‘’Cinta,’’ tegasnya.

Ah, tak mungkin. Tak mungkin! Aku mengelak berkali-kali dalam hati. Dia punya istri. Entah di kota mana, yang pasti di salah satu kota yang dilewati keretanya. Jika aku nekad, naik ke dalam keretanya ketika kereta itu berhenti sejenak, dengan berpura-pura menawarkan dagangan, tentu tak akan ada orang yang sadar. Tahu-tahu aku hilang begitu saja. Meski mungkin akan ada yang curiga dan bisa menduga bahwa aku pergi dengan Pak Kasdi. Jadi, tak mungkin, tak mungkin!

***
Jarno pulang, sambil mabuk (lagi). Ujarnya, ibu warung bilang aku membayar dengan uang seratus ribuan. Padahal aku tak pernah memegang uang seratus ribuan. Omongannya meracau, dan sampailah pada gosip hubunganku dengan Pak Kasdi. Ia menyumpah-nyumpah; membandingkan dirinya yang sopir becak dengan masinis kereta api, mengatai-ngataiku. Dia bilang seharusnya aku berterima kasih kepadanya yang sudah mengawiniku, karena tak ada laki-laki yang mau padaku selain dirinya.

Aku geram, sambil ketakutan aku berkata dengan nada tinggi, ‘’Kamu pikir aku tidak tahu, kamu sering ngelonte di terminal sana?!’’

‘’Heh, aku ini tukang becak, patut kalau ngelonte. Kamu itu ayu juga enggak, sok ngelonte sama masinis!’’ balas Jarno.

Aku kalap, berteriak keras, ‘’AKU BUKAN LONTE...!’’ sambil menyerang lelaki itu. Lalu dengan kekuatan orang mabuk, Jarno memukulku keras. Aku tersungkur, tapi langsung bangkit lagi. Rahangku sakit tapi aku tak terima perlakuan kasarnya. Dengan cepat aku meraih pintu depan, keluar, lalu berlari sekencang-kecangnya. Ketika itu jam dua pagi, beberapa orang terbangun dan terlihat heran, berdiri di depan pintu rumah petak kami.

Aku terus berlari menuju stasiun. Pak penjaga pintu masuk kerkantuk-kantuk. Aku tahu, Jarno mencoba mengejarku, dan orang-orang mencoba menghentikannya. Ia mabuk dan kalap, semua orang tahu ia berbahaya. Ia tak terlihat di belakangku. Kakiku perih, kelihatannya berdarah, entah tadi aku menginjak beling atau kerikil tajam. Aku terus menuju ke toilet perempuan. Aku cuci muka, kulihat mata kananku mulai kebiruan. Seorang banci menegurku heran, lalu dengan kemayu ia memberikan tisunya.

Salah satu bilik toilet kumasuki, dan diam di sana sambil menangis. Kepalaku pening sekali. Tiba-tiba kudengar bel empat nada, pengumuman dilantangkan, kereta dari Jakarta tujuan akhir Solo tiba di jalur empat. Ini berarti penumpangnya akan cepat turun, dan kereta segera berangkat lagi melanjutkan perjalanan ke stasiun akhir di kota tetangga. Aku mencoba mengingat-ingat jadwal kereta Pak Kasdi. Apakah dia yang ada di situ?

Aku keluar dari toilet. Anak usia belasan tahun yang jaga toilet menyumpah-nyumpah karena aku tak membayar uang kebersihan. Aku tak peduli, langsung berjalan ke jalur empat. Dari kejauhan, kereta mulai mendekat, lalu berhenti. Aku berjalan ke arah kepala gerbong. Kucari-cari wajah Pak Kasdi, apakah dia di sini? Sebuah suara menegurku dari belakang, ‘’Ning?’’ Aku kenal betul suara itu. Pak Kasdi! Aku menujunya sambil menangis. Dia menyuruhku untuk mengendalikan diri, lalu memeriksa bengkak di wajahku.

‘’Ikutlah denganku!’’ ujarnya. Aku ragu. Bel empat nada berbunyi lagi, pengumuman dilantangkan lagi, kereta di jalur empat segera diberangkatkan. ‘’Ayo!’’ ajaknya lekas-lekas. Aku makin bimbang, yang terbayang dalam benakku wajah Dono. Anak itu tadi masih tidur di rumah. Pak Kasdi memegangi tanganku, katanya lagi, ‘’Ayo!’’

Sedetik kemudian, kakiku sudah menjejak ke dalam gerbong. Kurasakan kereta bergerak. Samar dari kejauhan, kulihat Mas Jarno berjalan sempoyongan, tanpa daya memaksa kereta berhenti, dan Dono berjalan gontai di belakangnya sambil menangis. ***

*) Cerpenis dan novelis. Tinggal di Jakarta.

Pegawai Negeri

Teguh Winarsho AS
http://www.suarakarya-online.com/

AKU dan Annisa memutuskan menikah di usia muda. Aku, duapuluh tahun; sedang Annisa, sembilanbelas tahun. Awalnya keputusan ini ditentang ayah. Ayah menghendaki agar kami selesai kuliah, baru menikah. Tapi setelah mendengar penjelasanku, akhirnya ayah maklum dan mau menerima. Begitulah, aku dan Annisa sudah saling menyinta. Kami tak ingin terjebak pada perbuatan yang dilarang agama. Dan, menikah adalah jalan keluar yang terbaik.

Tapi sembilan tahun lebih menjalani hidup berumah tangga, hingga dikaruniai seorang gadis kecil cantik dan seorang laki-laki ganteng, aku masih belum mampu membawa ekonomi keluarga ke arah yang lebih baik. Kami hidup sederhana bahkan cenderung pas-pasan. Hingga kadang bantuan dari orang tua masih mengalir. Tapi ini bukan berarti aku dan istriku tidak berusaha untuk maju. Kami sudah berusaha semampu kami. Tapi, ah, mungkin hanya nasib baik saja yang masih belum mau berpihak pada kami.

Istriku dengan bekal ijazah yang ia miliki sudah berulang kali mendaftar masuk pegawai negeri. Tapi ternyata tidak pernah berhasil. Ia tetap menjadi tenaga pengajar honorer di beberapa SMP yang gajinya sangat sedikit, setelah dipotong ongkos naik angkutan dari sekolah yang satu ke sekolah lainnya. Benar-benar sebuah perjuangan.

Dan, seperti pesan ayah yang selalu didengung-dengungkan sejak aku lulus kuliah, aku juga tak pernah melewatkan setiap kali ada pendaftaran calon pegawai negeri. Ayah sangat berharap agar aku bisa menjadi pegawai negeri. Tapi rupanya tidak mudah memenuhi harapan ayah. Hingga kini aku masih kerja sebagai seorang penulis cerita dengan penghasilan tidak tetap.

Aku tahu ayah kecewa melihat nasibku. Masih kuingat pertemuan dengan ayah, beberapa waktu lalu. Tidak seperti biasanya ayah menyambut kedatanganku dengan sikap dingin, datar. Aku jadi serba salah. Malamnya aku baru tahu apa penyebabnya. Lagi-lagi, soal nasib. Soal kerja. Dengan menyebut-nyebut nama Anwar, anak tetangga sebelah yang belum lama diterima menjadi pegawai negeri, ayah berusaha membanding-bandingkan aku dengannya. Ayah bilang bahwa Anwar orangnya tekun dan rajin, ketika kuliah tidak pernah ikut kegiatan aneh-aneh, karenanya wajar begitu lulus kuliah langsung mendapat pekerjaan.

Aku tahu, ayah sedang menyindirku. Dulu ketika kuliah aku memang sempat ikut banyak kegiatan. Puncaknya ketika aku bergabung dengan sebuah organisasi mahasiswa yang kemudian mengantarkan aku menjadi penghuni tahanan polda selama beberapa hari bersama beberapa teman aktivis lain usai unjuk rasa di depan halaman kampus.

Berkali-kali ayah menyebut nama Anwar. Mengatakan bahwa Anwar adalah anak yang baik, mau mengerti bagaimana keinginan orang tua. Tahu bagaimana cara membalas budi pada orang tua, dan lain-lain. Padahal aku tahu siapa Anwar sebenarnya. Bagaimana sepak terjang dan reputasinya ketika kuliah. Dan, rasa-rasanya ayah juga tahu, Anwar bisa diterima menjadi pegawai negeri karena telah menyuap petugas dengan jumlah uang yang tidak sedikit.

Ya, orang sekampung rasanya juga tahu, ayah Anwar telah menjual dua ekor kerbau dan beberapa petak sawah agar Anwar bisa diterima menjadi pegawai negeri. Aku heran, kenapa ayah seolah menutup mata di balik keberhasilan Anwar diterima menjadi pegawai negeri. Padahal dulu ayah tidak suka dengan praktik-praktik seperti itu. Aku masih ingat, ayah pernah bilang di pengajian masjid bahwa suap menyuap hukumnya haram. Baik orang yang menyuap atau yang menerima suap sama-sama berdosa. Tapi kenapa sekarang justru berbalik? Ada apa dengan ayah? Apakah ayah sudah lupa dengan apa yang pernah dia katakan dulu?

"Kamu sudah tahu tahun ini ada pendaftaran calon pegawai negeri?" tanya ayah acuh tak acuh.

Aku mengangguk. Beberapa teman sudah mengabarkan berita itu. Dan, berita seperti itu tentu cepat sekali menyebar. Mungkin puluhan ribu orang di pelosok negeri ini pun sudah tahu.
"Kamu sudah mendaftar?"
"Sudah."
"Istrimu?"
"Sudah."
Sejenak ayah terbatuk. Matanya menerawang.

"Sekarang ini susah untuk mendapat pekerjaan. Tidak seperti lima belas atau dua puluh tahun lalu...." suara ayah pelan, bergetar. Wajahnya tegang, seperti ada sesuatu yang berat untuk diucapkan. "Begitu pula dengan cara-caranya. Sudah berbeda sekali...."
"Maksud ayah?" tanyaku merasa kurang paham.

Ayah tak segera menjawab. Meraih sesuatu dari laci meja. Lalu, "Kali ini jangan kamu tolak!" kata ayah kemudian, sambil meletakkan setumpuk uang masih terikat rapi.

Aku hampir melonjak kaget. Aku belum pernah melihat uang sebanyak itu. Dari mana ayah mendapatkan uang sebanyak itu?

"Ini uang hasil penjualan sawah. Kamu seorang sarjana. Sudah bukan masanya lagi kamu bertani dan mencangkul. Sawahmu adalah pegawai negeri. Gunakan uang ini untuk kamu dan istrimu. Kalau masih kurang ayah rela menjual satu sawah lagi. Yang penting, kamu dan istrimu bisa diterima menjadi pegawai negeri...." kata ayah samar-samar, seolah aku harus mengerti apa maksudnya.

Ya, aku memang mengerti. Uang itu maksudnya bisa digunakan untuk menyuap. Tapi kenapa ayah tidak langsung bilang saja? Ataukah sebenarnya ayah masih berat mengucapkan kata-kata itu?

"Ini bukan penyuapan. Tapi memang beginilah prosedur yang ada sekarang..." kata ayah seperti memahami pikiranku.

Aku terdiam dan seperti masih tak percaya dengan apa yang kulihat di depan mataku. Perubahan sikap ayah? Setumpuk uang di atas meja? Memang, satu tahun yang lalu, ayah pernah menawarkan hal serupa, tapi tidak langsung menunjukkan uang di depan mata. Dulu aku menolaknya.

"Aku tidak mau tahu. Sekarang juga kamu harus bawa uang ini. Aku tidak ingin melihat kamu gagal dan gagal lagi. Pikirkan baik-baik!" kata ayah langsung bergegas masuk kamar.

Sesaat lamanya aku bingung tidak tahu apa yang harus kulakukan. Dan, entah oleh dorongan apa, tanganku telah meraih tumpukan uang di atas meja. Tapi begitu sampai di rumah, uang pemberian ayah kusimpan di tempat yang aman. Di samping jumlahnya sangat banyak, aku juga tak mau bertengkar dengan istriku gara-gara uang itu. Aku tahu, istriku pasti akan marah besar jika tahu aku membawa uang untuk digunakan menyuap.

* * *

Dua bulan kemudian aku kembali ke rumah ayah. Hasil seleksi calon pegawai negeri sudah diumumkan. Seperti tahun-tahun lalu, aku kembali gagal, tidak diterima. Tapi, alhamdulillah, Annisa, istriku, bisa diterima. Paling tidak, cukuplah di antara kami ada yang menjadi pegawai negeri, seperti keinginan ayah.

"Duduk!" kata ayah dingin, saat aku masuk ruang tamu. Aku menurut. Tapi aku sengaja mengambil duduk sedikit jauh, menjaga jarak untuk menghindari puncak kemarahan ayah. Ya, tentu ayah akan marah besar melihat kegagalanku yang entah untuk ke berapa kalinya ini. Tapi sungguh, sedikit pun aku tidak menyesal atau kecewa. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin lewat prosedur yang benar. Bahwa aku gagal, itu memang sudah nasib.

Mungkin sepanjang hidup aku akan dihantui persaan berdosa jika akhirnya aku diterima menjadi pegawai negeri karena telah menyuap petugas seperti keinginan ayah. Aku tidak bisa menari-nari di atas penderitaan orang lain. Bagaimana tidak, orang-orang yang sebenarnya punya potensi justru tersingkir karena tidak punya uang untuk menyuap. Sebaliknya orang-orang yang tidak memiliki potensi justru berhasil karena berani menyuap. Lebih dari itu, aku tak ingin memberi makan keluargaku dengan cara-cara yang tidak halal.

"Maaf, aku tidak bisa memenuhi keinginan ayah," kataku sambil meletakkan uang pemberian ayah di atas meja. Uang itu masih utuh. Jangankan mengambil, menyentuh pun aku merasa takut.

Ayah menatapku tajam. Urat-urat di sekitar matanya bergetar. "Dasar keras kepala!" kata ayah pelan, tapi penuh kemarahan. Aku menunduk tak berani menatap ayah.

"Aku sudah bilang berkali-kali tak ingin melihat kamu gagal. Nyatanya? Kamu gagal lagi! Gagal lagi! Lihat, itu Anwar!" kata ayah, suaranya lebih keras.
"Aku tidak gagal...." jawabku parau.
"Tidak gagal?" potong ayah sinis.
"Ya, tidak gagal. Paling tidak aku tidak gagal mempertahankan nuraniku," kataku lebih tegas.

"Di zaman seperti ini kamu masih menyebut-nyebut nurani? Ingat, zaman sudah berubah. Kamu harus mau mengikuti arus perubahan jika kamu tak ingin digilas!"
"Tapi bagaimana pun menyuap adalah...."

"Cukup!" Ayah memotong. Wajahnya berubah merah. "Contoh Annisa, istrimu. Dia mau mengikuti apa kata ayah. Dan, seperti yang kamu lihat, Annisa berhasil!" lanjut ayah.

"Apa? Annisa menyuap agar bisa diterima menjadi pegawai negeri?" tanyaku terkejut luar biasa. Sedikit pun aku tak menduga Annisa akan menempuh jalan pintas seperti itu.

Ayah tersenyum. "Ya, sebulan lalu istrimu datang kemari. Katanya uang pemberian ayah tidak kamu berikan padanya. Ketika itu ayah pikir uang itu akan kamu gunakan sendiri. Karenanya ayah menjual satu sawah lagi untuk istrimu." Suara ayah terdengar nyaring penuh kemenangan.

Aku tak tahan lagi di rumah ayah. Aku buru-buru pulang. Sampai rumah, kulihat Annisa sedang duduk di teras rumah. Sikapnya biasa-biasa saja. Sedikit pun tak menunjukkan perasaan bersalah.

"Aku senang kamu bisa diterima menjadi pegawai negeri. Tapi jika untuk semua itu ternyata kamu harus menyuap petugas, aku sangat marah!"

Sesaat Annisa terkejut, tapi kemudian tersenyum. "Ayah yang terus mendesak agar aku menyuap. Setiap kali aku datang ke rumah ayah, beliau selalu membujukku. Lama-lama aku merasa tidak enak...."
"Dan, kamu merasa bangga dengan semua itu?!"
"Tunggu dulu...."
"Kamu benar-benar sudah berubah, Annisa. Kamu mengkhianati kebenaran. Kamu tega merampas hak orang lain."
"Tenang, tunggu dulu. Beri kesempatan aku bicara..

"Apa lagi yang ingin kamu bicarakan? Semuanya sudah jelas. Kamu menyuap petugas. Demi Allah aku tidak ikhlas!" Aku tak bisa menguasai amarahku.

Sejenak Annisa menatapku. Lembut. "Sudah selesai? Sekarang giliran aku yang bicara," Annisa mencoba mengatur napas, berusaha tenang. "Ayah memang memberiku uang. Tapi uang itu tidak kugunakan untuk menyuap. Uang pemberian ayah kusimpan di bank. Aku bisa diterima menjadi pegawai negeri adalah murni usahaku sendiri."

"Benarkah?" Aku tergagap merasa tak percaya. Kutatap bola mata Annisa yang tetap lembut dan dalam.

"Ya. Mungkin ini berkah Allah atas keteguhan hati kita dalam memegang kebenaran. Tahun ini aku berhasil, mudah-mudahan tahun depan, kamu...."

Aku menunduk tak bisa berkata-kata. Berbagai macam perasaan campur aduk di hatiku. Tapi satu hal yang pasti, aku semakin merasa bangga memiliki istri cantik, tabah dan amanah, seperti Annisa. ***

Senin, 24 November 2008

CATATAN KECIL ATAS CERMIN MERAH NANO RIANTIARNO

http://mahayana-mahadewa.com/
Maman S Mahayana

“Cermin Merah seperti saluran air yang mampat. Ia menyimpan kepedihan psikis anak manusia yang gelisah: mempertanyakan sang ayah yang hilang diterkam politik tahun 1965, kakak yang tewas dalam pendakian gunung, menggelandang di ibukota atau menikmati percintaan yang tak lazim. Novel yang sangat filmis ini seperti sengaja berakhir tak selesai. Sejumlah pertanyaan menggantung tak berjawab.” Itulah kesimpulan yang dapat saya tangkap selepas membaca (naskah) novel ini. Sebuah kesimpulan yang sangat umum dan tentu saja belum menjelaskan apa-apa.

Sesungguhnya banyak aspek yang dapat kita angkat dari novel ini. Secara struktural, setidaknya ada tiga anasir yang menonjol, yaitu (1) penokohan yang dalam proses karakterisasinya –memakai ungkapan Nano—membrodol sejumlah pertanyaan tak berjawab, (2) tema penyimpangan yang menciptakan semacam labirin yang terus berputar entah sampai kapan. Semua seperti dihadirkan begitu saja sebagai pengejawantahan kemarahan yang tak terucapkan; kepedihan yang tak perlu ditangisi, tetapi tokh kerap mencuat dan mengganjal; atau harapan-harapan yang kandas, tetapi coba dibangun kembali lewat bayang-bayang, dan (3) alur cerita yang tampaknya sengaja disusun bolak-balik, bertumpuk-tumpuk antara masa lalu dan masa kini. Sementara, bagian awal yang semula digunakan sebagai sintesis tentang kehidupan tokoh utama, kini menjadi bingkai yang mengawali dan menutup rangkaian semua peristiwa dalam novel ini.

Kisahnya sendiri disajikan secara konvensional, meski pengarang mengolah kembali bangunan ceritanya dengan memanfaatkan serangkaian peristiwa kilas-balik.

Arsena –tokoh aku—berasal dari lingkungan keluarga sederhana. Semasa SMA, ia masuk dalam pesona teman sebangkunya, Anto –yang wandu. Itulah pengalamanan pertamanya “bercinta”. Dalam keluarga dan lingkungan sosial, sang Kakak, Herman, menjadi pusat orientasi. Ketika masa pembentukan pribadi sedang dalam proses, sang Kakak tewas dalam pendakian gunung. Anto, bersama ibunya, juga tewas dalam sebuah kecelakaan. Belum lepas dari kedua tragedi itu, Ayah yang diyakininya tak pernah bermasalah, tiba-tiba diculik dan dinyatakan terlibat G 30 S PKI. Sebuah vonis yang berimplikasi sangat dahsyat dan sisi negatifnya menepel terus jauh ke depan.

Lulus SMA, Arsena merasakan, vonis itu menjelma kuburan. Ia lalu hijrah ke Jakarta. Berkat bantuan Hilman, kawan kakaknya, ia mulai menata hidupnya. Mulai lahir kegairahan. Berkenalan dengan Nancy yang kemudian menjadi kekasih abadi. Juga berkenalan dengan Edu –yang dalam bayangan Arsena sebagai “reinkarnasi” dua sosok manusia: Herman –kakaknya dan Anto “cinta pertamanya”. Ternyata magnet Edu terlalu kuat. Arsena tak dapat melepaskan diri dari gerayang si gay itu. Ia lupa segalanya, lupa pula pada Nancy yang belakangan tewas lantaran abortus.

Segalanya seperti berantakan. Ia ingin lepas dari Edu, sekaligus juga tak hendak keluar dari ketiaknya. Sikap ambivalensi itu seperti terus-menerus lengket menempel mengganggu batin-pikirannya. Dan pada saat tertentu, tumpah semua dalam wujud bayangan Ayah, Nancy, Anto, Herman, hingga ia memutuskan masuk ke dalam “Lubang Putih Bercahaya”. Pertanyaannya: bagaimana nasib Arsena, si tokoh aku itu? Matikah atau masih sempat natal bersama Ibu dan adiknya?
***

Ringkasan tadi niscaya tidak mewakili keseluruhan isi teks Cermin Merah. Meski begitu, setidak-tidaknya, ia dapat digunakan sebagai alat untuk membentangkan benang merah kisah Arsena –Aku—yang menjadi tokoh utama novel ini.

Dalam konteks mengusung inovasi, Cermin Merah tak menawarkan gebrakan estetik. Meski demikian, gaya berceritanya yang filmis, lincah dan jernih, menunjukkan bahwa pengarangnya masih menyimpan potensi besar yang belum sepenuhnya ditumpahkan dalam novel ini. Periksa saja, misalnya, deskripsi tentang malam perdana pentas sandiwara yang mengawali karier kesenimanan tokoh Aku. Selama 30 menit menunggu layar dibuka, pengarang berhasil mengungkapkan banyak hal (hlm. 114—129) yang mengingatkan kita pada gaya Pramoedya Ananta Toer dalam Keluarga Gerilya, Alexandre Solzhinitsin dalam Sehari dalam Hidup Ivan Denisovitch, atau Gustave Flaubert dalam Madame Bovary ketika tokoh Emma menghadapi proses kematian ia setelah menenggak racun. Jadi, dalam soal penyajian cerita, Nano Riantiarno tampak sangat matang dan peduli pada detail.

Sebagaimana disinggung tadi, setidaknya ada tiga anasir yang menonjol dalam novel ini, yaitu penokohan, tema, dan penyajian alur cerita. Mari kita periksa:

(1) Dilihat dari aspek penokohan, pengarang tampaknya masih banyak menyimpan kegelisahan subjektifnya dalam memandang dan menempatkan tragedi G 30 S PKI. Tokoh Aku –Arsena— dan Ibunya, jelas merupakan korban tak bersalah dari ratusan ribu korban lain yang sangat mungkin mengalami peristiwa yang lebih dahsyat lagi –seperti yang dialami tokoh tukang beca. Tetapi, korban utamanya, Ayah, seperti sengaja dibiarkan sebagai misteri: apakah benar terlibat atau sekadar fitnah. Jika di bagian awal, tokoh Aku gigih membela Ibu dan tetap berkeyakinan bahwa Ayah tak bersalah, lalu mengapa ia dipersalahkan hanya lantaran Ayah tak (sempat) memberi penjelasan. Apakah ini bentuk pemaafan –atau kompromi— utnuk melupakan masa lalu yang kelam dan menatap masa depan yang lebih rekonsiliatif?

Ke mana pula “lenyapnya” tokoh Johari –teman sekelas tokoh Aku—dan terutama Ayah Johari yang menjadi salah sebuah sekrup dari mesin raksasa yang bernama Aparat Keamanan (: Penguasa)? Keengganan pengarang untuk menghadirkan kembali kedua tokoh itu sangat mungkin pula sebagai bentuk pemaafan itu.

Peranan tokoh-tokoh itu memang berbeda dengan Herman—Sang Kakak, Anto, Hilman –sutradara, Edu, dan Nancy yang secara psikologis menjadi bagian penting bagi pembentukan karakter tokoh Aku. Dari sudut itu, novel ini jelas menyajikan sebuah problem psikologis yang kompleks. Penyimpangan yang dilakoni tokoh Aku dengan nyaman dan kadang kala dirasakannya menjijikkan itu, terbangun dari kenangan indah masa lalu (nostalgia) dan sekaligus juga sebagai pelarian dari sebuah trauma kehilangan (Kakak dan Anto yang tiba-tiba tewas). Demikian juga kenikmatan bersebadan dengan Nancy, di satu pihak menghadirkan rasa bersalah, dan di pihak lain menyedot tokoh Aku lebih jauh dalam ketiak Edu.

Problem psikologis yang disajikan sedemikian rupa lewat kegelisahan, letupan-letupan hasrat terpendam, dan kemenduaan cinta Arsena –Edu yang gay dan Nancy— di satu pihak seperti hendak membiaskan kisah tragedi G 30 S PKI, dan di pihak lain, justru hendak memperkuat, betapa tragedi itu berimplikasi jauh lebih dahsyat dari sekadar kehilangan ayah atau sanak keluarga. Trauma psikologis yang tak gampang disembuhkan dan menempel terus selama hidup. Kasus yang dialami Arsena adalah salah satu contoh. Contoh lain, sangat mungkin lebih dahsyat lagi.

Cara “mematikan” tokoh-tokohnya (Herman, Anto, Nancy) yang terkesan begitu gampang itu, di satu pihak, pengarang terkesan terlalu memokuskan diri pada tema cerita, dan di pihak lain, justru sengaja untuk memperkuat problem psikologis tokoh aku. Dengan kematian, rasa kagum, cinta, benci, dan bersalah, jauh lebih kuat dibandingkan jika tokoh-tokohnya masih hidup.

Tokoh-tokoh lain sesungguhnya masih mengundang problem tersendiri. Tokoh Hilman, Sang Sutradara, misalnya, seperti dilenyapkan begitu saja, padahal ia juga salah satu tokoh yang memungkinkan tokoh Arsena makin terpuruk oleh rasa bersalah.

(2) Tema penyimpangan yang menciptakan semacam labirin yang terus berputar itu seperti sebuah selimut yang menutupi subjektivitas pengarangnya dalam mencemooh penguasa. Sumber segala penyimpangan itu, tidak lain, adalah penculikan Sang Ayah. Tak jelas kesalahannya, tak jelas keberadaannya, tak jelas pula keterangan yang diberikan pihak aparat keamanan adalah penyimpangan yang dilegitimasi atas nama negara. Penyimpangan ini menularkan pula penyimpangan lain. Satu di antaranya menyangkut hubungan janjan dan jantina. Ekses-ekses lain tentu saja dengan gampang dapat kita tunjuk berbagai penyimpangan lain yang terjadi di sekitar kita. Artinya, tindakan apapun yang menyimpang yang dilakukan penguasa, dampaknya akan sangat besar, tidak hanya bagi orang per orang, tetapi juga bagi bangsa yang bersangkutan.

Dalam kasus ini, tampak benar kehati-hatian pengarang berpengaruh pada struktur formal karyanya. Kasus penculikan Ayah seperti dibiarkan begitu saja menggantung dan menjadi misteri. Ia menjadi pertanyaan yang tak berjawab; saluran air yang mampat dan mengocor (: menyimpang) ke arah yang lain. Dan itu diselusupkan pada diri tokoh Aku yang tak banyak menggugat dan mempertanyakan keberadaan sang ayah. Ia berkutat pada persoalan dirinya sendiri, meski kemudian ia juga tidak bisa keluar dari lingkaran persoalan yang diciptakannya sendiri.

Secara tematik, percintaan menyimpang model ini boleh dikatakan sebagai hal yang baru –apalagi jika benar novel ini sudah diselesaikan tahun 1973. Jadi, jika belakangan ini bermunculan novel yang mengangkat persoalan homoseksual atau lesbianisme, Cermin Merah sudah mendahului zamannya.

(3) Alur cerita yang tampaknya sengaja disusun bolak-balik, bertumpuk-tumpuk antara masa lalu dan masa kini.

Jika disusun secara kronologis, novel ini sebenarnya dimulai dari kisah “Anto si Kenes Berbakat” (hlm. 61) dan terus berlanjut sampai “Apel Merah Gairah Terpendam” (hlm. 82—96). Bagian awal yang bertajuk “Lubang Putih Bercahaya” sesungguhnya merupakan sintesis dari keseluruhan kisah novel Cermin Merah yang kemudian dimunculkan lagi di bagian akhir. Sedangkan bagian yang bertajuk “Secangkir Kopi dan Bogenvil” (hlm. 97—104) merupakan kelanjutan dari kisah bagian yang bertajuk “Dalam Benteng Kemustahilan” (hlm. 55—60). Demikian, pengarang seperti bersengaja bolak-balik mempermainkan ingatan si tokoh aku. Dengan bentuk kilas balik seperti itu, maka pengarang sesungguhnya hendak menarik-ulur tegangan dan sekaligus juga “menguji” tingkat apresiasi pembaca.

Teknik model itu tentu saja bukan hal yang baru dalam perjalanan novel Indonesia modern. Tetapi, setidaknya pengarang tidak terjebak pada bentuk penceritaan yang teguh berpegang pada bentuk konvensional.
***

Secara keseluruhan, unsur-unsur yang membangun struktur novel Cermin Merah, harus diakui memperlihatkan kekompakan dan koherensi yang kokoh sebagai sebuah kesatuan integral. Artinya, tema penyimpangan dengan karakterisasi tokohnya yang berlatar belakang problem psikologis yang kompleks, dan didukung oleh pola penceritaan yang memanfaatkan bentuk kilas-balik, keseluruhannya menjadi sangat fungsional. Unsur yang satu tidak dapat dipisahkan begitu saja dari unsur lainnya. Jadi, segenap unsurnya itu hadir sebagai satu kesatuan.

Meskipun demikian, kecenderungan pengarang untuk memasukkan komentarnya, kadang-kadang seperti mencolot begitu saja. Justru dalam hal itulah, hubungan intim pembaca dan teks, acap kali terganggu. Komentar itu seperti menyadarkan pembaca, bahwa ada jarak yang tegas antara pembaca dan teks. Padahal, proses pembacaan bagi pembaca adalah sebuah penyatuan hubungan yang memungkinkan pembaca sampai pada apa yang disebut sentuh estetik. Sebuah kenikmatan estetik yang menyelusup –tanpa sadar—masuk ke dalam segenap rasa dan imajinasi pembaca. Perhatikan kutipan berikut:

Akan kuceritakan segera, runtut, sabarlah (hlm. 187)
Dia, yang kuceritakan sejak awal lakon ini (hlm. 220)
Dia datang. Dia, yang kukisahkan sejak awal tulisan ini. (hlm. 238) dst.

Pertanyaannya: Jika kutipan-kutipan itu dihilangkan, apakah makna keseluruhan cerita dalam novel itu akan terganggu? Jika tidak, itulah yang disebut hingar –gangguan komunikasi antara pembaca dan teks.
***

Terlepas dari apa yang diuraikan dalam catatan kecil ini, Cermin Merah jika dianalisis lebih jauh dan mendalam sesungguhnya menyimpan banyak hal yang menarik. Saya sendiri melihat, potensi pengarang belum sepenuhnya tumpah dan mengejawantah dalam novel ini. Dalam hubungan itulah, saya amat yakin, tak lama lagi novel monumental akan segera lahir dari tangan seorang Nano Riantiano. Kita tunggu saja.

(Maman S. Mahayana, Pensyarah).
----------------------------------
Lihat komentar dalam backcover. Komentar itu didasarkan pada pembacaan saya atas naskah novel Cermin Merah yang menjadi salah satu naskah sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta. Ketika saya membaca buku ini, ada sejumlah perubahan penting yang tidak hanya mengubah struktur cerita, tetapi juga makna yang tersimpan di dalamnya. Menyesal sekali naskah aslinya saya serahkan ke penerbit Grasindo, sehingga perbandingan secara detail, tidak dapat saya lakukan. Dalam ilmu sastra, perbandingan antara teks asli dan teks yang sudah berujud cetakan (buku) termasuk ke dalam wilayah kajian teks dan pra-teks. Kajian ini akan mengungkapkan berbagai faktor eksternal di luar teks, seperti keterlibatan penerbit, editor, dan hasrat pengarang untuk menafsir ulang dan memberi makna baru pada karyanya. Bagaimanapun, bagi kritikus, setiap tanda dalam teks, mesti dicurigai menyodorkan makna tertentu. Oleh karena itu, terjadinya perubahan dari teks asli ke teks cetak menjadi sangat penting untuk membongkar berbagai faktor eksternal itu.

Seingat saya, struktur cerita dalam naskah pertama Cermin Merah yang menjadi salah satu naskah peserta Sayembara Penulisan Novel DKJ 2003, disusun secara kronologis. Dalam proses penerbitan naskah itu, pengarang agaknya melakukan banyak perubahan yang menyangkut urutan peristiwa yang mengeksploitasi bentuk kilas balik dan penambahan beberapa bagian yang menjadi penutup cerita novel ini. Bagian awal “Lubang Putih Bercahaya” misalnya, dalam buku ini seperti sengaja digunakan sebagai bingkai; peristiwa awal muncul kembali di bagian akhir –yang mengingatkan saya pada pola drama absurd. Periksa misalnya, drama Dag-Dig-Dug Putu Wijaya. Hal yang juga dilakukan Agus R. Sarjono dalam naskah drama pertamanya, Atas Nama Cinta (Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2004).

Bandingkan problem psikologis tokoh Arsena ini dengan tokoh Hasan (Atheis) atau Guru Isa (Jalan Tak Ada Ujung). Cermin Merah memperlihatkan kematangan pengarangnya dalam bidang psikologi. Bandingkan dengan novel-novel yang terbit belakangan ini yang cenderung mengabaikan persoalan itu, Cermin Merah seperti menjulang sendiri dalam konteks novel sejenis sastra Indonesia kontemporer.

Bandingkan kritik Nano Riantiarno terhadap penguasa dalam sejumlah dramanya dengan kritik yang disampaikannya dalam novel Cermin Merah.

Dalam naskah pertama yang saya baca, bagian akhir yang berjudul “Lubang Putih Bercahaya” sebenarnya tak ada. Jadi, tanpa ada penambahan bagian akhir itu, makna keseluruhan cerita dalam novel ini, tetap tidak terganggu. Penambahan itu boleh jadi sebagai penegasan kembali nasib yang dialami tokoh aku.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae