Kamis, 30 Oktober 2008

PERAHUKU

Mardi Luhung
Jurnal Nasional 14 Sep 2008

Umi dan Abi pergi ke taman kampung. Umi berkebaya sedap. Abi berbaju koko. Kata keduanya: “Kami ingin naik sepur kelinci yang panjang!” terus tersenyum. Senyum yang lepas. Dan membuntut di belakang sepur kelinci yang panjang itu. Seperti buntut layang-layang yang tertempa oleh angin. Meriah dan menyala. Dengan warna yang terang. Warna yang ketika masuk ke dalam mimpiku, akan mewarnai relungnya. Sampai membuat mimpiku merajuk: “Tolong, jangan, jangan bangunkan aku dari ini semua!” Dan senyum yang mengingatkan aku pada yang bertumbuhan di kelebatan bulumu. Yang kerap kau warnai. Yang sesekali menggumpal. Dan sesekali bergerai. Meluncurkan perahuku yang aku anyam dari puisi.

Perahuku yang aku anyam dari puisi?

Ya, ya, perahuku memang aku anyam dari puisi. Puisi yang kata-katanya aku petik dari butir embun yang menetes. Jatuh ke sayap kepik. Memantul. Dan membuat rona yang kelap-kelip. Rona yang sering memasuki mata. Membangun sebuah kolam air yang lonjong. Kolam air yang jernih. Yang kata kabar, tempat tujuh bidadari turun dari surga dan keramas di situ. Lalu seorang pemburu datang. Menembakkan senapannya. Tujuh bidadari pun lenyap sambil menebar ancaman: “Seumur-umurnya, kau, pemburu, akan terlunta-lunta. Seperti terlunta-luntanya si penjual. Sebab telah menjual si orang suci dengan dua karung keping emas. Dua karung keping emas yang kelak akan menjelma besi yang menggembol di punggung!”

Dan si penjual yang kelak akan turun-naik bukit. Sebab dikejar sesal. Diburu awas: “Aku tak sengaja! Aku tak sengaja, menjual si orang suci itu!” terus hilang di balik hutan onak. Dan sekian abad ke depan, rimbun hutan onak itu akan menjadi teka-teki. Teka-teki tentang pengkhianatan sebuah kesetiaan. Juga pembalasan kekelabuan yang ada di tempat yang tak terjangkau. Kekelabuan yang sesekali muncul di dalam angan atau di sela genta. Genta yang digoyang-goyang oleh si pengkotbah. Yang sering berkotbah semacam ini: “Bangun, bangunlah hai orang yang lalai mendengar. Orang yang selalu berjalan di musim panas dan dingin. Di musim yang selalu membuat kau menjadi menghormati setiap yang layak untuk dihormati!”

Tapi selamu: “Apa perahumu yang meluncur itu punya kemudi?” Wah, aku tak menggubris. Sebab, aku tetap terpukau pada Umi dan Abi. Yang asyik di sepur kelinci yang panjang itu. Lihatlah, keduanya bahagia. Ada musim panen yang tak mau pamit. Dan ada kibaran benderang di musim itu. Yang di bawahnya, kebun palawija dan rempah pun saling hilir dan sihir. Kebun palawija dan rempah yang dijaga si orang-orangan yang terus menegak. Si orang-orangan yang punya tangan dari jerami. Sedang, topinya pun tampak kebesaran. Menutupi wajahnya yang terbikin dari labu kering. Labu yang cokelat dan keling. Seakan menyimpan hangat matahari. Matahari yang pernah diketapel oleh si anak nakal. Dan gumpilannya dipungut untuk diberikan kepada si adik. Yang berkilah: “Kakak, Kakak, ayo, ketapelkan matahari untukku!”

Dan waktu itu, si adik berbaju kuning. Berpita merah. Dan bersepatu putih. Tanpa kaos kaki dan topi. Dari lentik matanya, seperti ingin meringkus setiap yang dipandangnya. Untuk kemudian dilipat dan diremas-remas menjadi secangkup lempung basah. Lempung basah yang akan dengan mudah dijadikan rumah dengan segala isinya. Termasuk juga dua ekor kucing gemuk. Kucing yang selalu ditemui di genting. Ketika gerhana bulan tiba. Dan musim kawin membuka selubungnya.


Selanjutnya, menurut bisik-bisik, setelah si adik menerima gumpilan matahari, pun menelannya. Dan seketika itu pula, si adik pun menjelma cahaya. Cahaya yang melintas. Melintas dengan kecepatan yang tinggi. Seperti seekor naga yang bergegas. Naga yang menyala yang menggores angkasa di malam hari. Dan menurut bisik-bisik yang lain, jika siapa saja melihat goresan di angkasa itu, maka setiap permintaannya akan terpenuhi. Oleh karenanya, tak salah jika goresan di angkasa itu dirindukan bagi yang ingin merengkuh harap. Termasuk juga meringkus cemas. Dan doanya adalah: “Naga lewat, semua selamat. Naga pergi, jangan melambai. Segala amanat, tak terkhianat!”

Dan kelak, siapa saja tahu, jika naga itu akan berhenti di sebuah negeri. Kawin. Beranak. Dan mati dalam wujud seonggok batu. Batu bening yang tersepuh binar keemasan. Batu yang selalu diziarahi para pasangan kekasih. Agar mereka tetap setia. Sampai kakek-kakek dan nenek-nenek. Sampai di antara mereka ada yang mengembuskan napas terakhir. Dan berbisik: “Aku tunggu kau, aku tunggu kau. Tak ada yang bisa melenyapkan kenangan kita. Sebab, sekali telah tertulis di jantung ini, siapa yang mampu menghapusnya…”

Lalu, aku berangan: “Apa kelak kita bisa sebahagia mereka?” Ya, ya, di depan cerminmu aku pun mencoba menelisik tubuhku. Tubuh yang hijau. Hijau yang bening. Dan bening yang menampakkan setiap isi perutnya. Menampakkan dirimu yang ada di balik usus. Dan sergahku: “Mengapa kau bersembunyi di balik ususku? Apa kau tetap tak ingin pulang?” Kau menggeleng. Gelengan yang tak begitu tegas. Apa kau ragu? Apa juga kau punya pilihan yang tak terduga? Pilihan yang selalu muncul-hilang seperti bayangan si burung bul-bul. Si burung bulbul yang membuat segenap kampung ribut. Ingin memburu dan menangkapnya. Agar dapat dijadikan hidangan bagi sang raja. Sang raja yang sakit tapi tak mati-mati. Sang raja yang telah membunuh dan memakan 1.000 istrinya. Sampai istri yang ke-1001 datang dan menyadarkannya. Menyadarkan dengan hikayat yang sambung-bersambung. Hikayat yang kelak akan dibaca oleh siapa saja yang percaya pada cinta dan pengorbanan. Hikayat yang menempel di sebentuk potongan tangan.

“Tapi, aku juga mengenal potongan tangan yang lain?” sergahmu tiba-tiba.

“Potongan tangan yang lain! Potongan tangan apa?”

Ternyata dari sergahanmu itu, aku jadi tahu, jika potongan tangan yang lain, yang kau kenal itu telah gosong. Keling, liat dan cenderung ingin menangkapi angin. Dan antara membuka dan menutupnya seperti tak berbeda. Sama-sama normal tapi bebal. Potongan tangan yang pernah diceritakan saat dunia masih dihuni para penyihir. Yang menyihir tongkat jadi ular. Ular jadi belalang. Belalang jadi gunung. Gunung jadi rumput. Rumput jadi kambing. Kambing jadi kembang. Kembang jadi kayu. Kayu jadi angin. Angin jadi genting. Genting jadi kodok. Kodok jadi pipi. Pipi jadi ludah. Ludah jadi daging. Daging jadi jalan. Dan jalan jadi jarak panjang yang berkelok. Jarak panjang yang pergi tapi tak pernah pulang. Terus dan terus melangkah. Ke mana? Lagi-lagi tak jelas.

Dan akh, ketika aku ingin tahu itu potongan tangan milik siapa? Kau pun cuma menunjuk pada si bugil yang datang dari arah lain. Si bugil yang kerahasiaannya telah tersilang. Yang lehernya jenjang. Tapi, justru di leher itu selingkar ijuk terlingkar. Dan si bugil yang seluruh tubuhnya berwarna selang-seling. Ada hijau, kuning, cokelat, merah, jingga juga ungu. Yang menyalanya silih-ganti. Tergantung pada tempat yang ditempatinya. Jadi, barangkali si bugil mirip bunglon yang berwujud manusia. Bunglon yang pernah dibisikkan oleh si pengigau. Ketika dua kupingnya telah diiris sendiri. Dan ketika di ubun-ubunnya telah melingkar asap berat. Yang sesekali menjelma mulut buas. Sesekali lain, menjelma bibir yang merangsang.

Lalu potongan tangan gosong itu pun menarik ijuk yang melingkar di leher si bugil. Sampai si bugil mendekat. Menjilat. Dan menyergah: “Kekasihku, kerinduan kita untuk menjadi sepasang mambang, adalah kerinduan yang begitu melelahkan. Padahal, pantai demikian jauh. Kelenyapan demikian merayap.” Seperti rayapan seekor cecak di tembok licin. Pelan, pelan, pelan dan pelan. Sambil mendengarkan tangisan manja si wanita pada si lelakinya. Tangisan manja yang selalu bertanya seperti ini: “Sayang, cecak itu bicara apa? Adakah dusta? Adakah luka? Adakah yang tak terketahui padaku?” Ya, karena si lelakinya cuma tersenyum, maka saat itu juga, si wanita pun mengakhiri hidupnya persis di bawah patung si dewa kasmaraan.

Si dewa kasmaran yang pernah menikam ayahnya yang berwujud anjing. Lalu menendang sampan jadi gunung. Sebab tak tahu, jika dia mencintai soal yang salah. Padahal, menurutnya, cinta bukan merupakan sebuah kekeliruan. Melainkan, sebuah rasa yang tak diketahui: dari mana datangnya, siapa yang mendatangkannya, dan mengapa mesti datang? Dan mengapa pula, bagi setiap yang didatangi selalu mesti berpikir dulu. Dan mesti mencari jawab, pada orang-orang suci yang telah menusuk dua matanya. Agar menjadi buta dan tidak dibutakan oleh cinta. Grrrrrhhh, si dewa kasmaran benar-benar marah waktu itu.

Malamnya, taman kampung pun padam. Pengunjung pulang. Dan sepur kelinci yang panjang itu pun teronggok seperti bangkai. Bangkai yang melingkar. Bangkai yang tak lagi punya kekuatan dan daya. Kecuali pasrah dan menerima segala tiba. Apakah nanti menjadi padam, remang atau malah sesekali menggeliat. Seperti digeliatkan oleh sesuatu yang tak pernah putus. Sesuatu yang pernah menulis setiap nama (termasuk namaku dan namamu), di selembar daun. Sedangkan, dari kursi bekas yang dipakai Umi dan Abi, aku melihat tangan gosong dan si bugil itu sedang berpelukan. Berpelukan lama. Lama sekali. Dan dari balik remang, pelukan keduanya mengingatkan aku pada sebentuk lambang purba. Dari sebuah hutan yang selalu ditakaburi bandang.

“Mengapa kau masih bersembunyi di balik ususku?”

Perahuku yang aku anyam dari puisi pun terus meluncur.


Ya, ya, perahuku yang aku anyam dari puisi memang terus meluncur. Meluncurkan diriku. Juga meluncurkan dirimu yang bersembunyi di balik ususku. Dan perahuku ini melewati setiap ketinggian yang membentang. Ketinggian yang begitu luas. Dan begitu membuat dirinya kelak akan menjelma debu. Debu alit. Debu yang segera meragukan diri sendiri. Apakah benar dirinya terus bisa meluncur dan bahagia? Atau malah remuk dan lenyap disaput waktu.

Disaput waktu!

(Gresik, 2008)

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae