Jumat, 31 Oktober 2008

Nyanyian Matahari

Hudan Hidayat
http://www.korantempo.com/

Saat Tuhan sembunyi dalam dunia yang berteka-teki, manusia melayani teka-teki Tuhan dengan kesadaran yang membelah dirinya: ia menghidupkan hatinya dan mengembangkan akalnya. Dengan akalnya ia mengolah dunia empirik. Dengan hatinya ia mengolah iman. Begitulah dua kesadaran yang membelah dunia. Sampai kesadaran itu memisahkan dirinya: menjadi sepenuhnya akal. Dan orang pun sampai pada atheisme.

Tapi atheisme tak bisa utuh. Orang memberontak pada Tuhan, tapi tak punya jawaban tuntas tentang dunia tanpa Tuhan. Kemana pun ia memandang, akan tertumbuk pada bayang-bayang Tuhan. Ia bisa mewacanakan menolak Tuhan, tapi jejak Tuhan tetap dalam dunia, dan sang atheis terperangkap di dalamnya.

Sang atheis yang tak hendak menyerah, hanya bisa membuat jejak "yang bukan Tuhan", dan itulah saat orang-orang menyeru Tuhan dengan nama-nama lain. Seperti yang ditunjukkan Goenawan Mohamad dalam esainya, "Tentang Atheisme dan Tuhan yang Tak Harus Ada". Karena, "Tuhan... akan selamanya berhubungan dengan benda-benda."

Jejak yang bukan Tuhan itu, atau saat orang menyeru Tuhan dengan nama lain itu, dimainkan dengan istimewa oleh Albert Camus dalam novelnya Orang Asing, yang memasang "matahari" sebagai lambang penyebab kemalangan yang menimpa tokohnya, Meursault, yang tak percaya pada Tuhan, dan menunjuk pada matahari untuk alasan mengapa ia membunuh sang Arab.

Bila Tuhan membuat teka-teki ke dalam dunia benda, ke dalam nilai dan tujuannya, yang telah ditolak karena "ketaknyataannya" oleh sang atheis, maka manusia membalas teka-teki Tuhan ke dalam ciptaan (novel) yang tak kurang berteka-tekinya.

Inilah yang dilakukan Camus dengan Orang Asing, dengan menciptakan tokoh Meursault, yang jiwanya seolah sebuah gua dengan lorong-lorong yang tak terduga. Seolah Camus, dengan teka-teki jiwa tokohnya, meniru "Tuhan" dengan kerja-Nya yang rahasia mencipta semesta dengan lekuk dan misterinya. Seolah ia hendak berkata, "Kau menciptakan dunia yang absurd. Aku pun menciptakan manusia yang absurd. Kita sama, Tuhanku."

Absurditas tokoh ciptaan Camus bukanlah ide yang dibentang dalam pemikiran diskursif (seperti dalam bukunya Mite Sisipus), tapi dikemas dalam cerita yang teknik penceritaannya menjaga ruang dari seorang Meursault yang sukar diduga tindak-tanduknya.

Meursault adalah repsentasi Camus tentang dunia yang penuh tafsir, di mana novel berisi jawaban menggantung, yang menjadi tipikal novel ini. Dalam tiap peristiwa yang dialami Meursault, ia membuat pelukisan yang tak hendak memfinalkan situasi (jawaban dan alasan yang sudah diketahui). Selalu dia menciptakan ruang bagi ketakjelasan, meskipun persoalan yang mengemuka tampak sederhana.

Orang Asing adalah paradoks dari anasir-anasir dunia. Dari kontradiksi Tuhan yang memberikan kehidupan tapi sekaligus Tuhan yang mencabut kehidupan, yang dilambangkan Camus sebagai "matahari" yang membuat Meursault hidup tetapi sekaligus membunuhnya.

Dan, Camus yang memberontak menyadari paradoks dan kontradiksi itu, melawannya dengan menembakkan pistolnya ke dalam tubuh yang telah terjatuh oleh tembakan pertama.

Bila pada tembakan pertama matahari menjadi sebuah argumen, maka tembakan selanjutnya kita tidak lagi melihat alasan. Yang tampil hanya sebuah pernyataan tanpa muatan (Lalu, aku menembak lagi empat kali pada tubuh yang tidak bergerak...).

Saya tergoda untuk menafsir, bahwa tembakkan selanjutnya memang bukan untuk membunuh. Pistol itu diledakkan bukan untuk apa-apa. Pistol itu diledakkan untuk menunjukkan sebuah keburaman dari nasib yang menimpa manusia: ketakmengertian akan ke mana hidup ini.

Camus meramu "ketakmengertian" itu ke dalam sebuah keruwetan psikologi yang sukar dicari dasar-dasar logisnya: mengapa Meursault menembakkan pistol itu kembali.

Tapi, pistol itu telah ditembakkan. Dan, dengan menembakkan pistol, seolah Camus ingin mengatakan, "Lihat Tuhanku, hidup-Mu tak bisa dimengerti. Maka aku membalas-Mu dengan cara menembak seperti ini."

Ruang bagi ketakjelasan dalam Orang Asing ini mencapai puncaknya saat Meursault menghadapi situasi "sakratulmaut" bagi dirinya. Itulah saat ia harus membela diri di hadapan pengadilan, saat di mana dia menerima kemarahan dan limpahan kasih sayang. ("Aku merasa betapa orang-orang itu begitu membenciku" berselang-seling dengan "Itulah untuk pertama kalinya aku ingin memeluk seorang lelaki dalam hidupku".)

Meursault, sebagai tokoh (novel) yang dipasang untuk memberontak melawan Tuhan, mengerjakan misi yang diembannya dengan sebaik-baiknya. Ia pun "membongkar" ketakjelasan dunia dengan menampilkan laku yang sukar dimengerti dari perasaan dan jalan pikirannya sebagai manusia. Sebagai lambang bagi absurditas dari kehidupan yang ditimpakan pada manusia. Yang telah dilawannya atau harus dilawannya. Dengan membalasnya ke dalam laku yang membuat otoritas sidang penasaran (Saya tidak mengerti dengan cara Anda membela diri). Dan ketika diberi kesempatan terakhir menjawab, dengan konyol ia mengatakan, "Itu karena matahari".

Maka sempurnalah absurditas itu. Absurditas dari dunia. Absurditas dari dalam diri manusia. Kesempurnaan yang harus dibayar dengan kepala yang dipenggal dari sebuah kehendak untuk memberontak terhadap Tuhan.

Sebuah pemberontakan telah dilancarkan, atau sebuah penolakan terhadap absurditas telah dilakukan. Maka, apa lagi yang tersisa?

Tidak ada yang tersisa dalam dunia hampa nilai seperti itu (setelah Tuhan ditolak). Tidak ada sesuatu pun yang penting, kata Meursault (kata yang berulang ia ucapkan). Kecuali menjalani hidup secara iseng, yang di dalam novel digambarkan dengan kata-kata "Yok kita pergi ke sana" untuk sebuah ajakan teman kerja yang ingin naik ke dalam truk terbuka (seolah kanak-kanak yang iseng), dan sang Meursault yang baru saja kehilangan ibunya telah berlari mengejar truk itu.

Atau, ia mengamati detail-detail lucu dari kehidupan (persidangan) yang telah atau sedang menjeratnya sebagai manusia terhukum--yang dalam novel digambarkan dirinya seolah penumpang sebuah trem di mana semua mata memandang kepadanya untuk mencari hal-hal lucu darinya. Tapi segera disadarinya posisinya sebenarnya. ("Aku tahu itu pikiran yang tolol, karena di tempat ini bukan hal yang lucu yang mereka cari, tapi kejahatan.")

Atau, ia menikmati kekinian dalam hidup yang bersatu dengan alam--yang tampil sebagai bau laut dan warna langit, yang begitu indah dilukiskannya saat harus berjuang melawan kesepian di dalam penjara ("...Aku hidup dalam sebatang pohon dan aku akan menunggu awan-awan dan burung-burung bertemu.")

Tidak ada apa-apa kecuali menunggu saat-saat kematian sebagai nasib manusia yang terhukum itu. Meresapi masa kini dari sebuah kehidupan biasa yang bersahaja. Juga memanggil masa lalu pada saat kekinian, dan itulah yang dikerjakan Meursault saat nasibnya sebagai sang terhukum tinggal menunggu detik-detik kematiannya.

"Aku diserbu oleh kenang-kenangan sebuah kehidupan yang bukan lagi milikku, tetapi di mana kutemukan kebahagiaan yang paling melarat dan paling kokoh: bau-bauan musim panas, daerah tempat tinggal yang kucintai, suatu langit malam, tawa dan gaun Marie."

Dan, Meursault sampai pada pengertian mengapa ibunya mengambil "tunangan" di saat-saat akhir hidupnya, saat orang begitu menerima kehidupan dan alam secara apa adanya.

Aku bisa mengerti ibu, katanya. Ibu yang telah meninggal tapi telah menghidupkan seluruh cerita ini. Ibu dari hidup kita sendiri.

Jakarta, 18 Januari 2008

(Terima kasih kepada Ibu Apsanti Djokosujatno, yang telah dengan indah menerjemahkan novel Orang Asing ini)
*) Penulis buku esai Nabi Tanpa Wahyu (PustakaPujangga, 2008) dan novel Tuan dan Nona Kosong.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae