Jumat, 26 September 2008

Seabad sang Penyelamat NKRI

Bernando J. Sujibto

100 Tahun Mohammad Natsir

Memang tidak berlebihan jika akhirnya presiden pertama RI Soekarno menyebut Mohammad Natsir atau Pak Natsir, sapaan akrabnya, sebagai Penyelamat NKRI. Pak Natsir adalah seorang tokoh kunci dan pejuang yang gigih mempertahankan negara kesatuan RI. Berkali-kali Natsir menyelamatkan Republik dari ancaman perpecahan. Pada tahun 1949 ia berhasil membujuk Syafruddin Prawiranegara, yang bersama Sudirman merasa tersinggung dengan perundingan Rum-Royen, untuk kembali ke Jogjakarta dan menyerahkan pemerintahan kembali kepada Soekarno-Hatta.

Spirit NKRI Natsir juga ditunjukkan ketika Aceh mau melepaskan diri dari kesatuan republik ini pada Januari 1951. Sikap keras sang tokoh kemerdekaan Aceh, Daud Beureuh yang menolak bergabung dengan Sumatera Utara, akhirnya ‘melunak’ ketika berunding dengan Natsir karena kesalehan dan keteladanan Natsir yang terpancar teguh dan menjadi keyakinan bagi sosok Daud Beureuh.

Dalam konteks realitas bangsa dan negara Indonesia sekarang warisan Pak Natsir akan selalu menjadi topik hangat terkait melemahnya rasa kesatuan bangsa sebagai akibat rongrongan reformasi yang kebablasan. Kita pun harus kembali belajar bagaimana spirit persatuan itu tetap terangit (imaged) dalam setiap diri bangsa Indonesia.

Jika Natsir masih hidup sejarah kesatuan republik ini tentu masih utuh seperti sedia kala. Pemekaran wilayah saja pasti akan menjadi harga mahal apalagi hendak lepas dari NKRI seperti kasus di Timor-Timor (sekarang Timor Leste) atau pulau-pulau kecil seperti Sipadan yang telah menjadi hak Malaysia. Meskipun dengan berbagai alasan dan jajak pendapat yang akhirnya pemerintah kita kalah dalam mempertahankan NKRI, berpisahnya Timor-Timor dan Sipadan dari NKRI tentu telah menjadi ironi tersenbdiri yang menggodam benak bangsa kita semua. Kesatuan republik ini yang telah diperjuangkan oleh founding fathers musti harus dijaga keutuhannya demi kebesaran—multikultur, multi etnik, dan multi agama—yang telah menjadi cirikhas bangsa dan negara Indonesia di mata dunia.

Pak Natsir memang telah berpulang 15 tahun silam, tepatnya pada 06 Februari 1993. Namun spirit kebangsaan yang telah ditunjukkan semasa hidupnya dalam mengisi tampuk penting pemerintahan harus menjadi bahan refkeksi bagi generasi masa depan Indonesia. Perilaku kesehariannya yang sederhana dan sopan harus dijadikan cambuk bagi para punggawa pemerintahan kita. Yang diajarkan Pak Natsir bukan topeng-hedon yang menjadi bungkus bagi material semata, tetapi keteguhan komitmen dan spirit taat hukum negara adalah domain pertama yang harus ditunjukkan oleh pembesar negara ini. Kta memang telah terlampau jauh meninggalkan jasa dan tauladan yang banyak sekali diajarkan para pendahulu bangsa dan negara ini.

Kesederhanaan Pak Natsir ditunjukkan dalam kondisi dan jabatan apapun. Kita bisa menyimak pengakuan George McT Kahin, Guru Besar Sejarah Indonesia di Cornell University tentang kebersahajaan sosok Natsir. Kenang Kahin, “saat pertama kali berjumpa dengannya di tahun 1948, pada waktu itu ia Menteri Penerangan RI, saya menjumpai sosok orang yang berpakaian paling camping (mended) di antara semua pejabat di Yogyakarta; itulah satu-satunya pakaian yang dimilikinya, dan beberapa minggu kemudian staf yang bekerja di kantornya berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas, mereka katakan pada saya, bahwa pemimpin mereka itu akan kelihatan seperti ‘menteri betulan’”.

Mungkin sebagian orang mudah menganggap sikap Natsir dalam kondisi seperti itu dinilai agak ‘naif’. Jauh sebelum anggapan itu dicampakkan, kita harus menyadari bagaimana realitas kehidupan bangsa dan negara kita pada masa awal kemerdekaan itu. Natsir jauh menyadarinya tanpa rasa rendah diri dan malu meskipun dirinya telah diangkat menjadi Menteri Penerangan.
Kegitan politik putra kelahiran Kampung Jembatan Berukir, Kecematan Lembah Gumanti, Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat pada 17 Juli 1908 ini semakin menonjol sesudah dibukanya kesempatan mendirikan partai politik pada bulan November 1945. Bersama tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Sukiman dan Mohammad Roem, dia mendirikan partai Islam Masyumi, menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Badan Pekerja KNIP. Dalam kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) dan dalam kabinet Hatta 1948 Natsir ditujuk sebagai Menteri Penerangan.

Kiprah Natsir di ranah politik semakin terlihat utamanya ihwal spirit terbentuknya NKRI. Pada 3 April 1950, sebagai anggota parlemen, Natsir mengajukan mosi dalam Sidang Parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat). Mosi itulah yang dikenal sebagai ”Mosi Integral Natsir”, yang memungkinkan bersatunya kembali 17 Negara Bagian ke dalam NKRI. Inilah satu capaian Natsir dalam karir politik yang harus diteladani bagi bangsa ini ke depan.

Untuk saat sekarang memperingati sosok Natsir, yang juga dikenal sebagai negarawan sejati, mempunyai nilai urgen di tengah kondisi bangsa dan negara yang semakin kacau-balau; inkonsisten terhadap setiap kebijakan yang diambilnya, dan kehilangan kepercayaan terkait wakil di tubuh pemerintahan yang semakin bobrok dan tak bermoral. Sehingga keberadaan negara ini ibarat tanpa peran pemerintahan (disebut etats sans gouvernement seperti dalam analisis Daniel Thürer, professor hukum International di Universitas Zurich), kata lain dari negara yang gagal (failed states) yang seringkali kehilangan kontrol dan determinasi tentang pentingnya pembangunan kesejahteraan rakyat.

Kondisi bangsa dan negara kita sekarang sebenarnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan problem kehidupan di masa Natsir hidup berjuang. Kita bisa membayangkan bagaimana kondisi kehidupan bangsa pada awal kemerdekaan—di mana kata ’Indonesia’ masih berupa pendar-bayangan, teranggit (imaged) dalam keluhuran sikap para founding fathers seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Natsir sendiri di bawah tekanan masa kolonial. Meskipun nama terakhir dalam buku sejarah Indonesia banyak dilupakan dan tereduksi oleh kepentingan politik yang berkembang sejak awal republik ini tertatih. Hal itu bisa dibuktikan secara kasat mata di mana hingga hari ini Natsir masih belum jelas sematan gelar pahlawan seperti yang dijanji-janjikan oleh pemerintah sejak tahun kemarin. Inilah salah satu ironi bagi Indonesia, suatu negara yang besar tetapi tidak mampu menghargai jasa-jasa pahlawan yang telah ikut serta membesarkannya.

Namun demikian nilai kepahlawanan tidak bisa ditaksir dengan takaran materi semata. Bagaimanapun Natsir dengan sendirinya telah menjadi pahlawan di benak bangsa dan negara sebelum diresmikan sebagai pahlawan oleh pemerintah. Keteladanan dan spirit sang teknokrat ini kalau boleh dibilang telah menjadi tiang penyanggah bagi kekokohan persatuan Indonesia sepanjang masa. Bagi Natsir persatuan NKRI adalah harga mati dan sekarang generasi harus meneruskan cita luhur itu, semahal apapun realitas sosial yang telah melegonya.

Begitulah. otoritarianisme Soeharto berimbas pada dirinya sehingga pada tahun 1980 segala macam kegiatan, termasuk bepergian ke luar negeri dicekal karena ia terlibat dalam kelompok petisi 50 yang mengeritik pedas pada masa kejayaan Orba. Ternyata akibat kelaliman rezim Orba ini pula jasa-jasa luhur pak Natsir bagi bangsa dan negara direduksi demi kepentingan politis Orba sehingga sosok yang dikenal alim beragama dan gigih dalam setiap perjuangan demi NKRI ini dilupakan untuk disemati sebagai pahlawan bangsa dan negara.
Namun demikian Pak Natsir tetap menjadi pahlawan kami, bangsa Indonesia...

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae