Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=231
Ia tak pernah menjatuhkan vonis kematian kedua kali, kecuali kau
naik banding, serupa mati surinya pemegang sapu lidi di makam Ampel (II: I).
Tahukah kau mengenai tercerabutnya nyawa? Sebuah awal perjalanan baru
berakhirnya kesedihan menuju kelanggengan kasih sayang (II: II).
Tidakkah kau merasa bersalah, berjalan di depan matahari
sambil menggandeng bayangan? Kiranya bayangan lenyap jika kau bersujud
di hadapan cahaya, ia seekor burung mengamati langkah-langkahmu (II: III).
Sebenarnya kau tidak mencintai bayangan tetapi ia selalu mengikuti,
bukankah ketenanganmu bercermin cahaya? Dan bayang bergetar olehnya (II: IV).
Di atas bukit ia berseru, ikutilah kepakan sayapku serupa menuruti nuranimu,
dulu aku memiliki bayangan, di saat terbang tinggi hilang sendiri,
ia tak mampu terbang, hanya membebani pengembara (II: V).
Jadilah kekupu waktu, menerima berkepompong terlebih dulu,
lama memintal benang sutramu, akan anggun begitu tampil (II: VI).
Kelepakan sayapmu menawan mata seekor elang berhasrat reinkarnasi,
menyerahkan tulang-belulang digerogoti cacing-cacing tanah (II: VII).
Tahukah doanya burung elang itu sewaktu sekarat? Ia tak ingin menjelma
laba-laba juga kelelawar, tapi memohon dijadikan kekupu pendampingmu (II: VIII).
Bersabarlah kekupu betina, kekupu jantan ialah lelaki
yang diciptakan demi abadi dari seekor burung rantau (II: IX).
Kekupu itu menghiasi taman temanten kembang,
mempercantik kebun para petani di lereng gunung anggur
dan pujangga memetiknya bagi syair percintaan, tapi ia menyebut pasurgan (II: X).
Ia tak ingin lautan madu sejak berlayar, tapi sebenarnya, terdampar di pesisir
tersapu angin butiran garam, tidak luput dikenyamnya terik ombak lautan (II: XI).
Dari beberapa pantai di datangi, ia menemukan keserupaan, yakni dirimu selalu
di hadapan, dan ketika meninggalkannya, ombak mengejar sambil menghapus bekas
tapakan kaki, seperti hasratnya angin mengubur masa lampau bersamamu (II: XII).
Maka janganlah mendatangi tercinta
bila hanya sekadar mata rindu tak bertepian (II: XIII).
Kekupu itu tak membutuhkan tambang berlian, tetapi udara kesegaran,
hawa tipis dataran tinggi keakraban, lagi menghangatkan kemesraan (II: XIV).
Mereka memberi nama persetubuhan, ia menyebut peribadatan
setelah cincin pelangi melingkar di jemari manis sungai pengertian (II: XV).
Jika ada artikan sama antara tangga kayu dan tangga berjalan,
usah membuang keringat ke sangkar langitan (II: XVI).
Ia membiarkan kekabutan bersahabat,
tetapi kekupu itu tak pernah ada, kata mereka (XVII).
Di bawah langit paling jauh, jelas mereka tak mampu melihatnya
sebab tulang lehernya belum patah, saat mendongak di hadapan cinta (II: XVIII).
Kekupu itu menundukkan sayapnya penuh santun
tanpa mencelakai diri pun mencederai yang lain (II: XIX).
Selepas naungan magrib menghilang, lebih dekat terbayang,
pentas segera digelar, lelampu menanti gelapnya malam
dan terangnya panggung merindu gemerincing binggel penari (II: XX).
Ia dendangkan lagu yang kau tunggu-tunggu, syair tak pernah dinyanyikan
sebelumnya, lantas perasaanmu, serupa penantiannya di masa-masa lalu (II: XXI).
Wahai jiwa mengarus bertenggelam, tentramlah di kedalaman tak terukur,
ia berpesan, jarutlah wewarna benang sutra bagi baju sedang kau tenun (II: XXII).
Ia menyebut bukan cinta tetapi sekadar perjumpaan awal,
apakah pertemuan pertama melahirkan cinta?
Dan ia tak perbesar keadaan, atau melebihkan canda (II: XXIII).
Biarkan makna kata kita lebur dalam hati semesta,
bila nyatanya mengandung (II: XXIV).
Engkau rela diracun demi menyelamatkan jiwa-jiwa merdeka,
kesalahan jangan terulang, jikalau tak ingin dikatakan bodoh (II: XXV).
Tapi ia lebih suka dibodoh-bodohkan atau dianggap gembel
daripada diasingkan sebagai orang tidak waras (II: XXVI).
Sempurnakan bebulu sukmamu agar tangguh di saat menjelajahi bumi,
menafsirkan malam-siang, dari dingin masa merangsek terik meyengat (II: XXVII).
Menuangkan kendi moyang pada dirinya takkan lupa, seperangkat kisah
terlaksana dari dorongan terdalam, bersatunya puja seringkikan turangga sembrani
menembusi kematangan fajar cakrawala hati (II: XXVIII).
Sampailah panggilanmu, gegas berkemas bawalah rempa
seperti burung bersiap terbang mempertaruhkan pagi-wengi pulang
membawa luka juga salam debu yang mati (II: XXIX).
Keringkan bebulu sayapmu, terlebih dulu bersisirkan angin seribu
dan mereka tidak mengira, atas apa kilauan mahkotamu (II: XXX).
Naikilah kereta kencana, yang ditarik enam kuda bersayap putih mengibas
seharum melati, dan berilah sapaan kepada orang-orang mendiamkan batu,
ia segera datang, sebelum matahari sepenggal gapura (II: XXXI).
Saat membuat perumpamaan dirinya, ia bersedih berat, bertangis tidak berair duka,
terangnya sesal oleh malu, sehelai saputangan membalut luka melebar (II: XXXII).
Ia turut percaya suatu masa nanti ketika tidak dalam irisan perasaan,
airmata itu menggenang memaknai haru, sedalam menyebut keajaiban (II: XXXIII).
Dia tidak kelebihan muatan perkara, sukmanya lelah tidak pernah menetap,
bergetaran meranggeh kepada perkampungan sejati rasa (II: XXXIV).
Dengan kerinduan terpisah, ia bicara berbahasa ruh, lelangkah menjangkau,
mendebarkan lelantai marmer nurani, sesering kalbu jatuh cinta (II: XXXV).
Nafasnya tersengal, tak terukur kiranya memahami alam kelemah-lembutan diri,
begitu tegar wahai kau (II: XXXVI).
Lama tidak bermain cat di kanvas keadaannya mengering,
hanya cakar-cakar pena di kertas, tidak mendesahkan warna (II: XXXVII).
Kawah penciptaan menggelegak leleh, kau bergetar demi cinta,
tetangkai reranting yang kering menarikan api sederai tangisan jerami
merobek langit menggosongkan kulit awan (II: XXXVIII).
Resapilah wewaktu memilukan, ini benar baju kebesaranmu paling kekal
sedang borok kalian murni kenangan (II: XXXIX).
Bila keras dibanting pecahnya jangan sesali, ia tak menyarankan membeli lagi,
kenapa tak memberi tahu sebenarnya, bahwa tidak memiliki segelas piala? (II: XL).
Ia tak menamakan prahara maupun canda,
mestinya kau menerima dirinya tidak sedang terluka berat (II: XLI).
Kau puteri kegembiraan, aku lelaki ganjil,
aku menulis perjalananmu yang asing di sebrang itu (II: XLII).
Seharusnya tidak terbuai suasana anyar
sebab kau berpamor menghipnotis yang menyaksikanmu (II: XLIII).
Jangan menunggu, jadilah yang ditunggu
sebab keputusanmu dinanti-nanti dirimu juga semua bangsa (II: XLIV).
Mereka memendam perhatian mengagumimu menerima pengajaran,
perintahnya menguasai kemakmuran masa-masa tidak tersampaikan (II: XLV).
Sungguh ia mengenali tatapan itu, menulis tidak dalam puncak legendamu,
masamu kini kembali, kau penari, pelukis, pemusik, pemahat
dan terkadang sesosok penyanyi (II: XLVI).
Kenapa kau meragu di perempatan jalan simpang? Cukup ambil nuranimu
bagi penentu, dan jangan biarkan kebimbangan bersinggah kedua kali (II: XLVII).
Kau harus tetapkan diri, kalau ingin disetiai mereka,
kebuntuanmu kemarin oleh kepakkan sayap dengan meragu,
tidak seharusnya, ada rintihan sakit hati ketika itu (II: XLVIII).
Ia membimbing pertimbanganmu lagi tersenyum bila kau melewati,
tidak menjadi tumpang-tindih, ia mencintai pemampu yang ambil putusan
serupa patokan kecerdasan mematikan keberuntungan (II: XLIX).
Dapatkah berkeajaiban baru? Puing-punig terbangun lestari, hidup penuh
kemenjadian, dibantu senjakala, sikap syukurmu menerangi pelataran malam (II: L).
Tiada terlambat nalar berputar-balik tersebab kau makna
kala terdiam memperhatian berkecukupan limpahan doa
letak di mana dirimu tidak terjangkau kapal manapun,
hasratmu di atas segala gelombang lelautan (II: LI).
Tidakkah merasa kesepian di suatu masa? Maka turunlah sesekali
demi mengusir kebosanan, menyembuhkan rindu benar mereka (II: LII).
Ketika sangat kangen bergetaran kencang, jika tidak menepati janji,
kebosanan segera naik berkendaraan kabut naluri ibarat seekor burung ganas,
sekian waktu memporak-porandakan singgahsanamu (II: LIII).
Kau perlu waspada datangnya sambillalu berluap cinta, ia persis mereka
akan melabrakmu berkekuatan rindu dan jika tidak memenuhi kesepakatan,
tangan maut melentik bagai bintang pembantaian malam atas janji cedera
tiada pertemuan (II: LIV).
Awal tidak terduga, kesadaran awan mengepulkan kata-kata
di kala tersulut loncatan peristiwa, memercikkan cahaya waktu ke udara,
berkendaraan sunyi menyusuri pijakan suwong (II: LV).
Burung terbang buta beban tubuhnya, ia hanya menyiasati angin diandalkan,
badai merangsek memaksa dirinya menyisir ke samping lintasan
mengepak menuju satu titik yang musti melawan arus,
tapi mereka enggan hati penasaran (II: LVI).
Mempercayai mentari terbit dari timur itu pilihan,
sedang senja dan fajar jingga masih sama tidak mau bicara,
terbit-tenggelam ialah wewarna busana kehidupan (II: LVII).
Suatu ketika cahaya mentari menapaki tangga pebukitan,
kita perlu duduk di pematang memandangi rerumputan padi
dedahan reranting turi ditarik angin berlalu,
kaki-kaki menikmati aliran pesawahan membasuh keringat pagi sore hari (II: LVIII).
Bukankah setiap insan membutuhkan ketentraman? Sebelum tanah lumpur
mengering, injaklah, sedurung nafas-nafas melupakan kita (II: LIX).
Tetumpukan ruang waktu itu bebulu pena menaburkan benih,
serupa para petani merawat garis-garis benang ke pematang (II: LX).
Tangan tidak lembut mengusangkan kilauan cermin,
memantulkan cahaya mengelupas lelapisan jiwa, menciumi rumput sama kering,
bebijian embun tergolek di alun-alun tengah kota (II: LXI).
Siapa yang bersolek di meja perundingan menawan nalar?
Bersegeralah menyongsong pecahnya arah kebangkitan,
mengacungkan keris menaiki turangga perjuangan (II: LXII).
Luka terlabut selendang pelangi yang melengkung di lelangit pertiwi,
bagaikan selintingan sejarah akan ingatan resah dalam kalbu tersontak
dan tiada lagi wajah-wajah hafal terpuaskan (II: LXIII)
; petikan kembang diberikan walau berselang di belakang,
keharumannya menetapi kelopak-kelopak cahaya bulan
dan mata takkan silau kehendak kebijakan (II: LXIV).
Usah kagumi keindahan semerbak dengan bersorak,
cukup jelajahi senyum ranummu sederhana terima apologi, ikhlas
menjalankan tempaan senja keemasan, menuju waktu percintaan (II: LXV).
Kelebatan sampur penari selentur kerahasiaan bayu meniup jiwa lembut
yang gemulai mengejawantah (II: LXVI).
Kau didukung walau tidak sepadan pendapatnya sebab hak penghormatan
serupa bunga dalam pot, tetangaki menjalar menghiasi kediamanmu (II: LXVII).
Celotehmu ringan ke kanan dan ke kiri,
sebab panggung terbagi dua atas tempat duduk mereka (II: LXVIII).
Yang muncul pertama kali gemetaran, bukankah awal cinta debaran jantung,
tubuh terasa berdemaman, lalu terbiasa mengalir? (II: LXIX).
Bengawan Solo membutuhkan tanggul petani sejati,
di sudut-sudut ruang temaram diterangi senyuman,
menyenandungkan gurau toak dalam kenduri (II: LXX).
Adakah pertanyaan tersembunyi dalam percakapan hening?
Lamunan kerap berkelana tersadarkan dentingan tuwong kencana,
menumpahkan anggur mata beling hening berserak duka (II: LXXI)
; gempa menggeserkan letak atmosfir dari kesamaan menjauh
atau jemari gadis keluar darah atas tarian pisau tidak disengaja, terpesona
bagaikan batin berkecambah dosa tak menstabilkan alam nyata (II: LXXII).
Bersungguhlah menyimak letih, jangan bertirakat mengenai dakian gunung,
gelar dan pelajarilah peta sebelum berangkat (II: LXXIII).
Menjadi membosan terlalu banyak mengunyah hikmah, berlenggak-
lenggoklah mewarnai kanvas semesta, wahai kuas berbulu langsing (II: LXXIV).
Kurang bijak sering menerbangkan layang-layang
siapa tahu bayu kencang cepat berakhir (II: LXXV).
Walau tarian di sana tiada menjemukan, tapi ambillah bunga rumput
di kampung hujan, itu jalan kaki gerimis petani dan rebah di kala reda (II: LXXVI).
Waktu pijakan kaki bersinggah, gerak langit menafaskan lautan,
mendung masih menggemerincingkan bintang-gemintang,
pada selat malam kata-kata menggelombangkan makna (II: LXXVII).
Menyisir air laut ke ladang-ladang, bayu terik menggiring padatan kecil;
pengalaman mengeraskan lengan kincir mematangkan masa menemui titik jiwa,
kehendaknya menghadirkan bulir-bulir garam berfaedah (II: LXXVIII).
Ada keraguan menggegerkan jagad, digoyang hebat daya bersalah
sampai di sebilah pucuk bimbang, memotong benang pilihan (II: LXXIX).
Terketuk batinnya berucap, bukan menjadi seorang atas besar-kecilnya,
titisan hikmah pengetahuan terus berjalan, sedang yang belum menemukan arah
tidak lebih dikejar waktu berpayah, memburu luruh tenaga lungrah (II: LXXX).
Nilai belumlah terjawab, bukankah bulan tak selalu purnama? Terkadang
mentari enggan menyapa, pada dirinya bulan sabit tandas kasih setia (II: LXXXI).
Penantian pada kekekalan bukan berasal dayadinaya,
ini prosesi telur burung onta menetaskan bidadari, seekor burung
tidak selalu bersenandung merdu di gantungan dedahan (II: LXXXII)
; semua atas kehendak pemilik jagad, ada sengaja, setengah tidak disengaja,
sedangkan gelap terang ialah pilihan, dalam gua nurani atau padang peperangan (II: LXXXIII).
Tidakkah lebih indah meniti buih mencari makna
daripada berdiamnya karang di pantai? (II: LXXXIV).
Siang malam bercampur aduk mematangkan pewarnaan,
pada kanvas pun masih menambah-tambal kemungkinan (II: LXXXV).
Ia melukis berjemari telanjang tanpa palet-kuas masih kerap bersketsa,
semakin lincah mencoba guratannya lembut senilai pencarian (II: LXXXVI).
Ingatannya digiring sesuatu, resapilah sisi-sisi keabadian,
dengungan hening tak perlu di pertanyakan, apakah ruang, waktu, kesadaran,
ia mengisi bagian-bagian terlupakan (II: LXXXVII).
Bergegaslah pergi dari perbincangan kulit, sebab semua datang dari-Nya,
akan kembali kepada-Nya pula. Membongkar isi nalar jiwamu menerima cemooh,
tangan lembutnya menggendong kekasih, berdekap muka tiada risau,
meski tidak selalu sempurna (II: LXXXVIII).
Andai maut menjelang, terlepas berluapan senang,
akan jauh gunjingan atas keikhlasan (II: LXXXIX).
Pertanyaan besar menciumi kening melepaskan nyawamu,
tidakkah sesamamu berpengharapan, bercumbu sampai sepuh? (II: XC).
Ia pikul keheningan, saat kalian tidak menguliti bimbang,
rupa setali kesadaran menyampaikan salam perpisahan (II: XCI).
Tetapi yang lain meneguk racun keraguan,
atau membaca sambil mencuri-curi waktu (II: XCII).
Karena ingin menjadi bagiannya, kunyahlah ke-aku-anmu serta (II: XCIII).
Kalimah hadir tidak terkira seperti turunnya kabut berpelangi
atas kesamaan kehendak itu lahirnya embun dikilau cahaya (II: XCIV).
Sudahlah, baca mimpi-mimpimu lalu lipatlah, dan berkemaslah menuju
kampus dunia, tersebab di bangku kosong, selalu ada perbincangan serius (II: XCV).
Gambaran bayu menggejala di tiap kepala, tegaskan coretanmu
meski gagal bukan tanpa makna kuasa berkehendak (II: XCVI).
Para seniman dihargai menyetiai kesunyiannya, ini karya terbaik
tidak membuang tanaman bunga dari potnya (II: XCVII).
Jadikan sisi ganjil penentu membicarakan garam di sebrang,
ombak uji-coba berbuih-buih ke pantai (II: XCVIII).
Hadir tiada apa kesiangan menaiki kereta sejarah,
sebab kepayahannya membawa jiwa merdeka (II: XCIX).
Tidakkah itu lebih baik dari berjalannya gerbong kosong?
Berhentilah di stasiun kau kehendaki atau berhasrat melanjutkan,
ia melantunkan tembang, sesudah memahami kata-kata (II: C).
Bukankah pelayar tidak dipaksa selain tengah peperangan?
Adakah tragedi dalam dadamu ketika itu? (II: CI).
Seyogyanya duduk sama tinggi saling terima, tiada perlu kompromi kecewa
sebagaimana dongeng dalam negeri mimpi para penguasa (II: CII).
Siapa membuka gerbang, mengunjungi petilasan malam,
batinnya saling rengkuh-dekap gemintang menangkap gelap,
di sini tiada bahasa curiga, dedaun dikilau cahaya kejujuran
dan bayangan burung terbang, lenyap di gerumpul awan (II: CIII).
Mengajaknya membangkit dan keagungan ditandai
atas tuangan kendi air suci tempaan purba, digerojogi
melewati tenggorokan rindumu terdalam (II: CIV).
Adalah angin menyibak rambutmu pelahan, kepergiannya
mencipta kangen kebisuan perbincangan, bersegera menuju kekekalan,
wahai tempat naungan kalbu, darinya membawa waktu penentu (II: CV).
Sungguh ia tidak menghadiahkan selain kepadamu,
gemuruh teknik warna coretan, arah gelisah kepada puncak rahasia (II: CVI).
Ini racikan bumbu para utusan terkuak, menumbuhkan selera baca,
malam mematangkan langit klawu, menyenandungkan laguan serangga
di celah pinggir danau, sewaktu kekasih mendampingimu (II: CVII).
Diamnya berabad-abad berpadat tumpukan gemawan,
memulangkanmu ke bibir hening menuju tetembangan muasal,
lantas memasuki lambung renung akan kemanusiaan (II: CVIII).
Guratan salam pujangga, bagaimana kabar hatimu kali itu? Pahatan
tidak perlu dijawab dengan kata-kata terucap, biarkan mengalir melewati
perbincangan membisu, membimbing sampai mengaribi gelap (II: CIX).
Ia hadir menghikayat di saat ketidaksadaranmu,
bagimu aku sarankan menyerahkan pilihannya (II: CX).
Kelopakan bunga menyeruakkan revolusi menjelang cahaya,
selanjutnya berpasrah, meninggalkan setengah hati getir tersisa (II: CXI).
Suaranya mengisi ruang sunyi, kau jauh lebih berarti ketika mengolah
telapak nasib, sebelum memahami jagad diri berlebih dengan bekerja (II: CXII).
Tak seharusnya ia berterimakasih sebab dirinya kesadaranmu terdalam,
hanya selayang kertas begitu mudah, tapi selangkah kaki kenapa susah?
Cobalah terka, dari manakah asalnya kata-kata pecinta? (II: CXIII).
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar