Minggu, 28 September 2008

Puisi-Puisi Esha Tegar Putra

Jurnal Nasional, 21 Sep 2008
Orang Ladang

tujuh petang menukak punggungnya, di bukit
ingin mencakau alang-alang. niat tinggal kalimat
tujuh petang gigih menikam, menyansam,
mirip ragam umbi yang ditanak dalam periuk
teruka ini tinggal batas, tinggal jejak, sebab di bukit
ia tumbuh dan menyusup ke dalam lempung tanah

tujuh petang menukak punggungnya, di ladang
ada yang tak pernah hafal desau biola, segelas anggur
atau niat untuk membangun rumah pasir di tepi pantai
sebab ia orang ladang. ia lesap ketika mengejar tupai dan beruk,
dia rapal musim petik kopi
dan ketukan yang berkali pada pintu dangau
ia tahu siapa yang tiba

maksud hanya menukak tanah lalu tanam. menanam
lalu petik. tapi sepi berkuasa terlalu dalam
ia ingin bertuju pada sebuah jalan batu, simpang
dengan udara masam, ilalang kering merabuk
ke sebuah tempat di mana tupai dan beruk berdamai,
bersamanya. mereka akan berkejaran di bukit
dalam botol anggur,
lalu mereka akan lelap di desau biola

tujuh senja adalah ia yang ingin berladang
pada sebuah tanah yang bernama puisi
yang berlari, yang terhenti, ia tetap orang ladang

Kandangpadati, 2008



Tampuk

ke tampuk batang jambu,
bila inginmu ikut bergelantung
kelamaan akan terhitung
mumbang yang berjatuhan dari sebelah
sebelum hijau memerah, batang rapuh melapuk,
tampuk merabuk

baiknya lubang atau kulit tergelubik
pecah dipijak serangga mabuk
dan membiarlah rampai hari tergujai.
biar bibir-bibir angin menikahi lumut
diam akan jadi berkah buah di penghujung bulan hujan
berkah air menikahi tanah, membiarlah.
ke tampuk, tetap kita akan mengembali
sebab waktu abadi di tumbuh-patahnya tampuk

ke kelok angin lihatlah,
“adakah tampak sepasang murai
sedang terbang mencari hinggap?”
padahal kaki sebelah luka dibawa berharap pada sayap

merabuk juga ini waktu
cerita makin pasi didendang hari. berkali menjalin kata,
berkali-kali tersungkur batu pijakan
barangkali tampuk, tempat tuju, menjadi lurah
bertumbuk jalan. biar jatuh jadi pokok pencarian lain
selain ingin bergelantung
mungkin batang jambu akan tumbuh
di tepian bebatu lurah

Kandangpadati, 2008



Sakit

dalam parak, gugusan daun
memendam kampung dalam lebam

serupa tungku, serupa abu,
serupa batu yang pecah diamuk bara
dan kubaca kau dalam igau
dalam parau tidur yang tak jadi nyata

rupanya rasa membilah hari
lewat tarian bulan garang

ingatlah yang berzanji
menyadap sebatang nira di lurah bermiang
dalam haus, lalu mereguk pincuran matanya
yang lahir dari ubun-ubun bukit sakit

Kandangpadati, 2008



Di Gelungan Rambut

di gelungan rambutmu telah kutanam rimba
tempat panas percintaan kita dengan kabut
bersemayam. dan kau telah menukak tanahnya
dengan garang, lalu menancapkan kota,
membuat sumur dalam yang penuh liur serigala.
mengingatnya, aku jadi rindu pada percintaan
masam tanpa garam. ingin aku bergumul lagi
dengan hamparan ilalang panjang. membiarkan tubuh
gatal dan mata yang memendam hujan lebat. maka
akan kita selusuri lagi
lekuk bukit, ceruk lembah, dari ketiadan

sumpah, di gelungan rambutmu telah kusembunyikan
beragam kerinduan dan kau akan menemui diriku
di lain waktu. seketika kota dengan beragam
bangunan yang kau tancapkan menjadi ingatan gilamu
pada percintaan kita. kau akan bersigegas menyisir
gelungan rambutmu yang terus merontok
dengan jemari yang membatu, sumpah

Padang, 2007



Lepas Ingatan

merinduimu sampai ke ngilu tulang adalah keharusan
apa yang tampak, apa yang tertanam, adalah kenangan
sebut aku yang berdiang di lipatan matamu
mendulang bebiji hari buat membayar hutang pada waktu

kau terlalu cepat menagih sakit yang tertuang
hingga puisi menjadi candu pahit
bakal pelepas ingat

mengingatmu adalah keharusan, sebab badan
terlanjur basah, terlanjur bermandi di gelegak pertemuan
“aku akan menjemputmu
seketika tahun menawarkan
sepetak tanah untuk membikin pondok”
meski seketika itu matamu berubah lain
dan geraian rambutmu tak lagi menjadi pertanda pertautan.
tetap akan kupersuakan padamu, senja yang
menyauh lesi angin laut emma haven
tempat kita bertandang pada sebuah cerita. di mana
lembaran-lembaran catatan tentang padang tersuratkan

Kandangpadati, 2008



Simpang Sawahan

bertolaklah pulang, badanku sedang di simpang sawahan
jalan menikung mana yang harus kutuju? sedangkan mata
hati kau bawa ke seberang laut dan dengan angin asin
yang tersangkut di selimut kau suruh aku menujumu

tak akan ada selasa yang mengganggu lagi, sebab hari
akan sama adanya. ketakutan telah kubenam di kampung
selebihnya kumuarakan ke danau (tempat kita duduk-duduk
lalu sepasang kumbang mengganggumu)

masihkah kau menyukai warna merah? ah, sementara
aku di simpang masih sempat bertanya gila,
bertolaklah pulang, badanku sedang di simpang sawahan

Kandangpadati, 2008



Tahun Kecil

rambutmu yang terurai, ingin aku mengepangnya
ke arah selatan pantai yang sesak perkabungan
dan ingin juga aku menyulamkan ratusan cadik berwarna
sampai rambutmu tak berterbangan lagi dicium badai
(badai yang seringkali
membangunkanmu di parak siang)

mari menyulam rambutmu dengan cadik, adinda
mungkin akan mengingatkanmu pada tahun kecil
di mana kau ingin berterbangan di atas asin laut
bersama bunga kapas yang tumbuh dalam tidurmu
(mengingatnya
mengembalikan inginku untuk pulang)

Kandangpadati, 2007



Nyanyi Sunyi

gemerisik daun dan gebalau angin
kangen terbengkalai di balik jarak
adalah nyanyian sunyi para peladang.
serupa perempuanku, memendam buncah jantung
dengan ucapan sakit paling garang. “berangkatlah,
masih banyak kapal ke padang!” begitulah ucap
tinggal ucap. sedangkan kau berusaha membenam
ingatan di tiap suapanmu

di pulau lama, diri akan mengembali sendiri
sebab aku hanya pemuisi yang lupa merapal jarak
maka ingatlah sepatah kata sakit ini “bahwasanya
aku telah berupa bengkalai tangis dalam matamu”

Padang, 2008



Puisi Kecil

puisi-puisi kecil
yang dikirim angin lembah harau
menyertai kau,
melepas gagau,
dalam beragam risau

moga kau ingat sebuah pagi dimana cuaca
melembabkan tampang-tampang padi. sebait saja
ini puisi baca dalam hati.
agar suatu kali kau menginginkan lagi
bermalam di pondok ladang
dan makan dialas daun pisang

2008



Cangkang

begitu desau biola lembab itu
disapu habis bulan yang basah
maka terlantar pohon-pohon
untuk melebarkan daunnya
di luar masih basah,
lembab juga belum tentu
bakal menetaskan
telur-telur ingatan kita

yang terpaut dalam cangkang cuaca
yang makin asing bermain selimut.
aku menginginkan sepi yang dulu,
bahkan berkali-kali sepi
berikanlah,

tapi bukan sepi telur
dalam cangkang di musim basah.

Kandangpadati, 2008



Perimba

lelaki perimba tiba dari basah selatan
membesuk ingatan yang tertinggal
mirip getah damar.
atau ingin menurunkan kapal yang disangkut
dulu di batang besar? ah, hebatnya kenangan
bermain di sela-sela jari, di bungkahan dada berisi
ia lelaki yang menari dalam jambangan
berkumur pedas tembakau hutan
dengan merah gigi, dengan merah bibir
yang disumbat gelungan daun nipah
ia menjadi si pembakar diri
dalam sebuah perhelatan yang dinamai pinangan:
adakah yang datang selain beruk, mungkin juga
celeng yang tersungkur di lubang galian?

ia perimba yang ingin lindap di kerumun belukar
dulu telah disuruh menanam cempedak
biar bisa digulai orang sekampung
malah menjuluk bebuah masam yang condong
ke parak orang

Kandangpadati, 2008



Kenanglah

gedebur ombak puruih, kenanglah
di senja yang menyimpan peristiwa pantai
serupa cadik yang membenam kisah pelabuhan
kota yang digarami angin-angin perantauan
membuat sekian liku pada pasir jejalanan

“dirimukah yang bercinta dengan teluk?’
malam memasang sayap untuk senja
orang-orang melepas kenangan dengan cepat
sehempas buah-buah meriam melepas hangat
kenangan yang kandas,
mabuk dalam diam

gedebur ombak puruih, kenanglah
di senja yang menyimpan peristiwa pantai
serupa parit batas kota yang dijauhi bunga ilalang
kenanglah, pun bila tak merindu
(perihal muara jumpa yang tersakiti.
ah, bangunan tua itu
juga sempat menikami pergantian malam)

Kandangpadati, 2007



Penakik Getah

sungguh aku yang berdandan
serupa memoles petang gamang
dalam cahaya mulai remang
makin bertumbuh saja cupang cupang di kuduk pesisiran
dan telah mengapit tetumbuh payau yang berbagai tangkai
sepanjang cuaca dan bahkan sekian lama
tertanam di antara runtunan bebuah katulistiwa
aku yang tak sempat lagi menyebut sesiapa
yang bergumam beriring serak suara segala malam
tertuang dalam sekian lama perang di badan
hingga yang tertelungkup bukan lagi kalah

sungguh aku yang meluka dalam sayatan
dikepal musim luka kayu yang timbul getah
hujan lama menuai gelisah penakik
cuma bau karet kering lekat di badan
hingga mereka mulai menghitung jejak padam
dalam pandam tempat orang orang kalah tersemayam

2007



Pulang

benar tak ada jalan untuk pulang?
aku hanya pamit sebentar menjenguk mimpi
yang semalam tertinggal di taman kota.
sebentar saja,
kalau tak pintu biar jendela itu kau buka
aku janji tidak pulang larut.

2007

Jumat, 26 September 2008

Seabad sang Penyelamat NKRI

Bernando J. Sujibto

100 Tahun Mohammad Natsir

Memang tidak berlebihan jika akhirnya presiden pertama RI Soekarno menyebut Mohammad Natsir atau Pak Natsir, sapaan akrabnya, sebagai Penyelamat NKRI. Pak Natsir adalah seorang tokoh kunci dan pejuang yang gigih mempertahankan negara kesatuan RI. Berkali-kali Natsir menyelamatkan Republik dari ancaman perpecahan. Pada tahun 1949 ia berhasil membujuk Syafruddin Prawiranegara, yang bersama Sudirman merasa tersinggung dengan perundingan Rum-Royen, untuk kembali ke Jogjakarta dan menyerahkan pemerintahan kembali kepada Soekarno-Hatta.

Spirit NKRI Natsir juga ditunjukkan ketika Aceh mau melepaskan diri dari kesatuan republik ini pada Januari 1951. Sikap keras sang tokoh kemerdekaan Aceh, Daud Beureuh yang menolak bergabung dengan Sumatera Utara, akhirnya ‘melunak’ ketika berunding dengan Natsir karena kesalehan dan keteladanan Natsir yang terpancar teguh dan menjadi keyakinan bagi sosok Daud Beureuh.

Dalam konteks realitas bangsa dan negara Indonesia sekarang warisan Pak Natsir akan selalu menjadi topik hangat terkait melemahnya rasa kesatuan bangsa sebagai akibat rongrongan reformasi yang kebablasan. Kita pun harus kembali belajar bagaimana spirit persatuan itu tetap terangit (imaged) dalam setiap diri bangsa Indonesia.

Jika Natsir masih hidup sejarah kesatuan republik ini tentu masih utuh seperti sedia kala. Pemekaran wilayah saja pasti akan menjadi harga mahal apalagi hendak lepas dari NKRI seperti kasus di Timor-Timor (sekarang Timor Leste) atau pulau-pulau kecil seperti Sipadan yang telah menjadi hak Malaysia. Meskipun dengan berbagai alasan dan jajak pendapat yang akhirnya pemerintah kita kalah dalam mempertahankan NKRI, berpisahnya Timor-Timor dan Sipadan dari NKRI tentu telah menjadi ironi tersenbdiri yang menggodam benak bangsa kita semua. Kesatuan republik ini yang telah diperjuangkan oleh founding fathers musti harus dijaga keutuhannya demi kebesaran—multikultur, multi etnik, dan multi agama—yang telah menjadi cirikhas bangsa dan negara Indonesia di mata dunia.

Pak Natsir memang telah berpulang 15 tahun silam, tepatnya pada 06 Februari 1993. Namun spirit kebangsaan yang telah ditunjukkan semasa hidupnya dalam mengisi tampuk penting pemerintahan harus menjadi bahan refkeksi bagi generasi masa depan Indonesia. Perilaku kesehariannya yang sederhana dan sopan harus dijadikan cambuk bagi para punggawa pemerintahan kita. Yang diajarkan Pak Natsir bukan topeng-hedon yang menjadi bungkus bagi material semata, tetapi keteguhan komitmen dan spirit taat hukum negara adalah domain pertama yang harus ditunjukkan oleh pembesar negara ini. Kta memang telah terlampau jauh meninggalkan jasa dan tauladan yang banyak sekali diajarkan para pendahulu bangsa dan negara ini.

Kesederhanaan Pak Natsir ditunjukkan dalam kondisi dan jabatan apapun. Kita bisa menyimak pengakuan George McT Kahin, Guru Besar Sejarah Indonesia di Cornell University tentang kebersahajaan sosok Natsir. Kenang Kahin, “saat pertama kali berjumpa dengannya di tahun 1948, pada waktu itu ia Menteri Penerangan RI, saya menjumpai sosok orang yang berpakaian paling camping (mended) di antara semua pejabat di Yogyakarta; itulah satu-satunya pakaian yang dimilikinya, dan beberapa minggu kemudian staf yang bekerja di kantornya berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas, mereka katakan pada saya, bahwa pemimpin mereka itu akan kelihatan seperti ‘menteri betulan’”.

Mungkin sebagian orang mudah menganggap sikap Natsir dalam kondisi seperti itu dinilai agak ‘naif’. Jauh sebelum anggapan itu dicampakkan, kita harus menyadari bagaimana realitas kehidupan bangsa dan negara kita pada masa awal kemerdekaan itu. Natsir jauh menyadarinya tanpa rasa rendah diri dan malu meskipun dirinya telah diangkat menjadi Menteri Penerangan.
Kegitan politik putra kelahiran Kampung Jembatan Berukir, Kecematan Lembah Gumanti, Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat pada 17 Juli 1908 ini semakin menonjol sesudah dibukanya kesempatan mendirikan partai politik pada bulan November 1945. Bersama tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Sukiman dan Mohammad Roem, dia mendirikan partai Islam Masyumi, menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Badan Pekerja KNIP. Dalam kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) dan dalam kabinet Hatta 1948 Natsir ditujuk sebagai Menteri Penerangan.

Kiprah Natsir di ranah politik semakin terlihat utamanya ihwal spirit terbentuknya NKRI. Pada 3 April 1950, sebagai anggota parlemen, Natsir mengajukan mosi dalam Sidang Parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat). Mosi itulah yang dikenal sebagai ”Mosi Integral Natsir”, yang memungkinkan bersatunya kembali 17 Negara Bagian ke dalam NKRI. Inilah satu capaian Natsir dalam karir politik yang harus diteladani bagi bangsa ini ke depan.

Untuk saat sekarang memperingati sosok Natsir, yang juga dikenal sebagai negarawan sejati, mempunyai nilai urgen di tengah kondisi bangsa dan negara yang semakin kacau-balau; inkonsisten terhadap setiap kebijakan yang diambilnya, dan kehilangan kepercayaan terkait wakil di tubuh pemerintahan yang semakin bobrok dan tak bermoral. Sehingga keberadaan negara ini ibarat tanpa peran pemerintahan (disebut etats sans gouvernement seperti dalam analisis Daniel Thürer, professor hukum International di Universitas Zurich), kata lain dari negara yang gagal (failed states) yang seringkali kehilangan kontrol dan determinasi tentang pentingnya pembangunan kesejahteraan rakyat.

Kondisi bangsa dan negara kita sekarang sebenarnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan problem kehidupan di masa Natsir hidup berjuang. Kita bisa membayangkan bagaimana kondisi kehidupan bangsa pada awal kemerdekaan—di mana kata ’Indonesia’ masih berupa pendar-bayangan, teranggit (imaged) dalam keluhuran sikap para founding fathers seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Natsir sendiri di bawah tekanan masa kolonial. Meskipun nama terakhir dalam buku sejarah Indonesia banyak dilupakan dan tereduksi oleh kepentingan politik yang berkembang sejak awal republik ini tertatih. Hal itu bisa dibuktikan secara kasat mata di mana hingga hari ini Natsir masih belum jelas sematan gelar pahlawan seperti yang dijanji-janjikan oleh pemerintah sejak tahun kemarin. Inilah salah satu ironi bagi Indonesia, suatu negara yang besar tetapi tidak mampu menghargai jasa-jasa pahlawan yang telah ikut serta membesarkannya.

Namun demikian nilai kepahlawanan tidak bisa ditaksir dengan takaran materi semata. Bagaimanapun Natsir dengan sendirinya telah menjadi pahlawan di benak bangsa dan negara sebelum diresmikan sebagai pahlawan oleh pemerintah. Keteladanan dan spirit sang teknokrat ini kalau boleh dibilang telah menjadi tiang penyanggah bagi kekokohan persatuan Indonesia sepanjang masa. Bagi Natsir persatuan NKRI adalah harga mati dan sekarang generasi harus meneruskan cita luhur itu, semahal apapun realitas sosial yang telah melegonya.

Begitulah. otoritarianisme Soeharto berimbas pada dirinya sehingga pada tahun 1980 segala macam kegiatan, termasuk bepergian ke luar negeri dicekal karena ia terlibat dalam kelompok petisi 50 yang mengeritik pedas pada masa kejayaan Orba. Ternyata akibat kelaliman rezim Orba ini pula jasa-jasa luhur pak Natsir bagi bangsa dan negara direduksi demi kepentingan politis Orba sehingga sosok yang dikenal alim beragama dan gigih dalam setiap perjuangan demi NKRI ini dilupakan untuk disemati sebagai pahlawan bangsa dan negara.
Namun demikian Pak Natsir tetap menjadi pahlawan kami, bangsa Indonesia...

Pulang dalam Hujan

Suara Merdeka, 6 Maret 2005, dan Riau Pos, 19 November 2006
Marhalim Zaini

Kampung-kampung di sini tak pernah memiliki cerita yang lain. Kerentaan dan kehampaan, selain itu waktu yang berjalan sangat lambat. Kepulanganku, seperti juga kepulanganku yang lain, hanya kembali menyaksikan jalan berlubang, berdebu ketika kemarau, banjir dan bencah saat hujan. Ini Desember, hujan membuat tubuh kampung-kampung di sini menggigil. Hujan, berarti juga angin dan tak jarang adalah badai. Hati-hatilah kalau menyebut Selat Melaka, saat musim sedang begini. Atau jangan sesekali bernyanyi lagu Lancang Kuning, kalau tak ingin atap rumbia rumah penduduk terbang seperti kapas, dan pohon-pohon kelapa bertahlil, tak jarang menimpuk jalan, kedai, rumah, bahkan manusia. Entahlah, begitu keramatnya nama-nama itu. Tak seorang pun mengerti, sejak kapan sebutan itu dapat mengundang badai. Yang pasti, kalau mau aman dan selamat, tolonglah jangan sebut nama-nama itu. Dan tengoklah, mulai naik dari pelabuhan kecil tadi, kita seperti berjalan di atas anak sungai. Genangan air hujan bercampur dengan air sungai asin yang naik pasang, meluap. Aku tak heran, dan berusaha meyakinkan pada istriku untuk turut tidak heran. Aku bilang, ini ciri yang paling istimewa untuk kampung-kampung di pulau ini. Kau selalu menontonnya di televisi, bukan?

“Dari kecil, aku penggemar air. Jadi sebaiknya jangan membenci air.”
Istriku tersenyum pahit. Sebab ia sempat memergoki aku belajar berenang di sebuah kolam renang sewaktu di Jogja dulu. Sejak itu aku merajuk, dan tak pernah lagi belajar berenang. Aku memang aneh. Anak pelaut, yang tak bisa berenang. Aku kadang malu. Malu untuk identitas yang tak jelas itu. Seringkali aku menolak ajakan istriku untuk ke Umbangtirta, sebuah tempat pemandian di Kridosono Jogja. Aku beralasan, aku lebih suka mandi di parit, atau di sungai di kampung. “Kau pasti merasa lebih puas kalau mandi di parit atau di sungai,” kataku, “sebab kau bisa menyaksikan air berkejaran mengalir menuju dadamu, sentuhannya yang alami, ah….” Tapi dalam kondisi banjir seperti ini, kalau keadaan mendesak, aku kira, aku bisa berenang.

Oplet berjalan dalam hujan, seperti seorang renta yang memaksakan diri untuk berlari (benar, kampung ini memang tak memiliki cerita yang lain; kerentaan). Dan sejak di Pekanbaru hujan memang sudah turun. Tapi kami memutuskan untuk tetap berangkat, pulang ke Bengkalis. Menunggu hari tidak hujan, sepertinya tak mungkin. Desember acapkali tak meninggalkan hari tanpa hujan, bukan? Sementara hari pesta perkawinan adikku sudah dekat, dan tiket sped boat sudah dipesan jauh-jauh hari. Inilah kali pertama, pulang bersama istri, setelah satu tahun perkawinan kami. Pulang dalam hujan.

Sudah kubayangkan, oplet ini pasti sesak. Jarak kabupaten yang jauh, dan tak gampang ditempuh, tak menyurutkan keinginan orang-orang untuk berbelanja keseharian, meski dalam hujan. Dan biasanya, yang paling rajin berbelanja adalah mereka. Kami menyebut mereka Orang Asli. Mereka tinggal dalam rumah-rumah panggung yang menyerupai gubuk-gubuk di sebuah kampung, yang terletak di tepian sungai di sepanjang jalan menuju kampung kami. Bagi mereka, berbelanja adalah hobi. Tak puas rasanya kalau uang hasil dari kerja balak dan menjaring ikan tak dibelanjakan, terutama untuk membeli makanan. Biarlah uang habis untuk hari ini, besok bisa cari lagi. Kais pagi makan pagi, kais petang makan petang.

Kondisi inilah yang seringkali membuat aku malas untuk pulang. Malas bersesakan selama satu setengah jam dalam oplet, dalam uap tubuh-tubuh yang bau amis. Entah kenapa, tubuh-tubuh Orang Asli ini seperti akuarium, seperti menyimpan ikan-ikan mentah yang masih hidup. Mungkin karena asal usul mereka yang akrab dengan kehidupan laut, atau mungkin karena mereka memang gemar memakan ikan-ikan segar setengah matang. Atau, karena mereka mandi di parit-parit kecil di depan rumah mereka, tempat segala sesuatunya dibersihkan, termasuk anjing-anjing piaraan mereka. Jadi, tentu saja, mandi yang sangat sederhana dan ala kadarnya.

Senja yang mulai jatuh. Hujan yang terus menderas. Dari balik kaca jendela mobil yang buram, hutan-hutan bakau seperti bayangan-bayangan rambut yang kacau. Perutku, dan aku kira juga dalam perut istriku, sedang berenang ratusan ikan-ikan mentah. Goyangan oplet, goyangan tubuh-tubuh, tampak seperti bandul jam yang malas dan teler. Terus terang, kami, aku dan istriku, menahan mual. Kepalanya mulai rebah, seperti pohon kelapa yang tumbang di bahuku. Pening, katanya. Aku tentu harus pura-pura bertahan, menegakkan bahu, membuat posisi kepala istriku tampak nyaman. Mereka, orang-orang Asli itu, dua-tiga di antaranya belum berhenti berkicau sejak ia mulai naik dari pasar tadi. Sementara empat-lima yang lain, belum berhenti menikmati tembakau lintingnya. Bayangkanlah, betapa kami benar-benar sedang teler dalam ruang diskotik yang sedang berjalan dalam genangan air ini. Semoga saja kami tidak muntah. Dan mereka? Aku tak heran. Mereka memang selalu tampak bersahaja. Mereka sudah amat terbiasa dengan gelombang, dengan sampan kecil yang bergoyang. Hidup tampaknya belum berhasil memabukkan mereka.

Tapi jangan bayangkan bahwa mereka telanjang, seperti orang-orang suku pedalaman yang masih sangat primitif. Paling tidak, mereka telah mengerti mana anggota tubuh yang tidak pantas diperlihatkan orang banyak. Pakaian mereka tidak jauh berbeda dengan kita. Bahkan lebih rapi dan santun dari orang modern. Cuma, selera mereka terhadap warna, sama halnya selera mereka terhadap makanan. Apapun dan serupa apapun, asal enak dan nyaman, maka mereka telan dan kenakan. Sekilas, mereka memang tampak seperti boneka-boneka yang aneh. Kulitnya yang gelap, dan jenis rambut yang rata-rata keriting, ada yang bergigi warna emas dan perak, pergelangan tangan dan jari yang dipenuhi mastasi (mas yang di dalamnya besi), murah senyum dan sangat percaya diri. Tapi, tolonglah, tinggalkan ikan-ikan itu di rumah, kami sedang tidak suka ikan segar…

Senja benar-benar telah jatuh. Kenapa hujan tak juga berhenti? Udara dingin nyelinap dari lubang dan celah, mencuri ruang dari kesadaran kami yang belum penuh dan utuh. Oplet ini kian menghitam. Hanya cahaya dari lampu mobil di bagian depan, yang sesekali membias. Istriku melenguh. Merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Hujan dan dingin memang milik para pengantin. Meski sudah satu tahun kami kawin, kami merasa masih menjadi sepasang pengantin. Bukankah demikian sebaiknya? Masih pening, tanyaku. Penat, katanya. Aku hanya bisa mengatakan, tidak seberapa jauh lagi. Dan ia kembali merebahkan kepalanya ke bahuku, yang rasanya agak penyok. Tapi, sekali lagi aku harus berpura-pura bertahan. Lelaki selalu berpura-pura, bukan?

Satu persatu mereka turun. Yang tersisa hanya seorang lelaki dan seorang perempuan, hampir seusia, tengah baya. Menurutku, mereka sepasang suami istri. Dan aku kira, rumah mereka terletak di ujung kampung ini. Oplet kembali merangkak menembus malam. Ketahuilah, malam di pulau ini, tepatnya di kecamatan Bantan, bagiku selalu menyisakan keasingan. Ia menyerupai sebuah rumah kuno dan tua yang ditinggal penghuninya selama ratusan tahun. Dan seringkali, bagiku malam di kampung ini adalah seperti mimpi buruk yang tak terelakkan. Gelap yang pekat. Lubang hitam yang teramat dalam. Listrik, baru berupa tiang-tiang sebesar dan setinggi pohon kelapa, tertancap di sepanjang jalan. Entah telah berapa tahun. Seingatku, sejak kami, aku dan abangku, masih rajin pergi mengaji di surau dulu, dengan alat penerangan colok yang terbuat dari belarak kelapa, tiang-tiang itu telah berdiri di sana. Berdiri seperti patung tua yang angkuh.

“Turun kak sikak, Bang!”
Benar, kataku, mereka suami istri. Mereka turun di ujung kampung ini. Itu, titik api dalam rimbunan gelap, pasti rumah mereka. Ah, lega rasanya. Tinggal kami berdua, tentu perjalanan akan lebih nyaman. Meski, rasanya ikan-ikan mentah itu masih tertinggal di sini…

Baru sekitar sepuluh meter oplet berjalan, tiba-tiba mesinnya mati. Sopir mencoba berulang kali menghidupkannya kembali, tapi tak berhasil. “Ah, berulah lagi!” Ia merutuk sendiri. Dan kami mencoba untuk tenang. Meski, terus terang, ada perasaan-perasaan yang tak sedap berselirat dalam diri kami. Sebuah malam dan mimpi buruk yang tak terelakkan. Gelap yang pekat. Lubang hitam yang teramat dalam. Sesuatu yang tak terduga bisa saja berlaku. Tak ada penerang, kecuali sebuah senter kecil yang malap di tangan sopir yang sedang mengotak-atik mesin oplet. Kenapa hujan tak juga berhenti? Kami seperti sepasang manusia yang dikarantina dalam penjara bawah tanah yang bau bangkai ikan, bau badan sendiri yang sudah melebihi bau bangkai ikan, yang sedang berbisik-bisik tentang kerisauan. Risau tentang malam yang kian larut. Risau tentang mereka, keluarga di kampung, yang tentu saja juga sedang menunggu dan merisaukan kami. Risau, kalau-kalau sesuatu terjadi dan membuat kami celaka. Risau kalau-kalau ada Orang Asli yang mabuk arak, minta duit dengan paksa. Atau Orang Asli yang sengaja membuat kami (orang-orang Teluk) menjadi takut dengan tiba-tiba membakar oplet rongsokan ini. Maklumlah, dendam lama. Konon, dulu salah satu oplet milik orang Teluk pernah menabrak seekor anjing piaraan Orang Asli, dan berujung dengan dendam. Sebab sampai sekarang dendam itu belum terbalas. Ah, dalam situasi serupa ini, waktu terasa bergerak semakin lambat.

Sopir menghampiri kami. Dia mengatakan, bahwa mesinnya tak bisa hidup. Mungkin genangan air sepanjang perjalanan adalah penyebabnya. Kami tak menjawab sepatah pun, kata-kata seperti tersekat di tenggorokan. Malam memang benar-benar telah menjelma sebagai mimpi (yang sangat) buruk. Dan lalu? Solusinya kami harus tidur dalam oplet. Sebab ini adalah angkutan terakhir. Besok pagi, baru ada oplet lain yang lewat. Sesuatu yang tak sempat dan tak pernah kami bayangkan sebelumnya.

Belum sempat kami terlelap, di balik kaca yang lembab, aku melihat cahaya yang mendekat. Seorang lelaki hitam dan keriting, di tangannya sebuah colok dari bambu. Seorang lelaki yang sepertinya tak begitu asing. Ya, lelaki paruh baya yang tadi sama-sama menumpang di oplet sialan ini. Aku sedikit terkejut. Apa maunya Orang Asli ini? Apa mereka tak berkenan kalau kami berhenti tepat di wilayah tanah mereka? Numpang tidur satu malam dalam bangkai oplet?

“Mikek, bisak tidok di rumah kami.”
Apa? Tidur di rumah kalian? Sungguh, sebuah malam dan mimpi buruk yang tak terelakkan. Gelap yang pekat. Lubang hitam yang teramat dalam. Kenapa hujan tak juga berhenti? Ah, tiba-tiba aku mencium bau amis di sekujur tubuhku.***

Pekanbaru, 2005

Ke Teluk Bayur, Tanah Minang Membujur

Bernando J. Sujibto

Bagi yang terikat
Merpati pasti lebih jinak


Memang bukan hanya sekedar ketepatan, ataupun ketidaksengajaan yang sia-sia belaka, jika akhirnya saya dan beberapa teman (Ira, Sukma, Imam, Roman, Lanceng, Joko, Yoso, Thendra, dan Koto) bisa bertandang ke tanah Minangkabau, khususnya di daerah Pesisir Barat pulau Sumatera, tempat Raudal TB, Indrian Koto, dan Riki Dhamparan Putra lahir. Jauh sebelum hari itu, tanggal 27-29 April 2008, hari penting dalam peta perjalanan hidup ini, saya sudah begitu terbius-kagum kepada tanah kelahiran si ‘mitos’ Siti Nurbaya. Di sana pula telah saya tahu, meskipun mungkin telat, HAMKA, Marah Rusli, Hanafi, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Abdul Muis, dengan jalannya sendiri yang telah ditempuh untuk suatu yang sangat berharga demi martabat bangsa dan negara ini.

Tujuan saya dan teman-teman pertama adalah Payakumbuh, kota yang airnya bersih dan ikannya jinak (sebuah adagium tanah darek Payakumbuh). Di sana kita ada perhelatan temu penyair 5 kota yang sampai hari ini ada banyak penolakan dan polemik dari banyak teman-teman, khusunya penyair muda. Saya sangat bersyukur jika polemik itu terus berlanjut dengan kesadaran dan dialektika kebudayaan yang cerdas karena bagaimanapun bangsa yang kuat lahir dari pertaruhan dan pertarungan yang kuta pula. Untuk mengisi waktu sisa acara, kami pun melanglang ke Bukittinggi, Padang, dan Pesisir Barat yang lain.

Bagi orang yang tidak mempunyai kontak-spirit emosi, tanah Minang memang tidak ada yang bisa dibanggakan khusunya untuk hari ini—juga serupa daerah-daerah lain yang dari hari ke hari makin sekarat dikerat globalisasi dan modernasasi. Semua berubah ke arah degraden yang mencemaskan khususnya bagi saya sebagai pegagum budaya dan kreasi tradisi masa lalu bangsa ini.

Namun, bagi saya sebagai pembaca yang sebelumnya telah dibius pertalian emosi yang teramat dalam dengan jalan-jalan dan aroma tanah Minang, adalah sebuah keistimewaan bisa mengunjungi tanah Minang pada akhirnya. Pertalian emosi itu di tanah Minang saya lahirkan menjadi media dialog antara realitas yang saya hadpi dengan spirit-kepercayaan yang telah saya rengkuh dari bacaan-bacaan masa kecil (khususnya waktu saya masih di bangku SD saat membaca buku-buku itu… dan buku itu saya rompak dari perpustakaan sekolah karena tidak diperkenankan untuk dipinajmkan dan dibawa pulang selain boleh dibaca waktu jam sekolah saja, yang siapapun tahu kapan ‘jam sekolah’ bagi sekolah kampung terpencil.)

Jika kepercayaan suatu masyarakat kepada tradisi melahirkan ‘mios’, seperti kasus jembatan dan makam Siti Nurbaya yang hari ini bisa kita kunjungi di Padang, begitu juga bagi saya di mana pada akhirnya saya merasakan bahwa kepercayaan yang demikian nyaris tidak pernah sah sebelum melahirkan simbol yang bisa mengokohkan kepercayaan bagi suatu masyarakat. Simbol adalah hasil sebuah karya dan karsa; kepercayaan—untuk melahirkan karya—adalah basis terkuat yang tidak ditawar untuk membuktikannya. Dari simbol itu kemudian saya coba mengkomonikasikannya dengan apa yang telah saya bawa dalam sekeping ingatan kecil saya.

Ternyata mujarab. Minang yang telah menanam ‘kekuatan’ dalam diri saya lahir kembali meskipun dengan nuansa yang jauh dari keping ingatan itu. Saya bisa menyembuhkan ingatan itu dengan meraup butir-bitir pasir atau tanah sawah dengan keyakinan bahwa: dari tanah itu kepercayaan dan sebuah karya lahir dan mengembang ke semua lapisan dan ranah.

Akhirnya, kearifan (wisdom) adalah jalan yang paling bijak untuk dipertaruhkan sepenuhnya dalam hidup ini. Kearifan di sini saya pahami sebagai sebentuk kesadaran hakiki (holistical conciousness) yang bisa membawa jasad kepada suatu yang semestinya menurut konteks yang natural. Dengan kearifan akan lahir sekian banyak respon positif yang dikembangkan dari rasa dan karsa kemanusiaan kita dalam menghadapi kehidupan yang berlari.

Minang-Jakarta, 03 Mei 2008

Belajar Bercinta dengan Laut

Koran Tempo, Minggu, 19 Juni 2005
Marhalim Zaini

Segala yang datang dari laut, cintailah.
Tentang perjalanan. Tentang hidup yang tak terukur. Dan sesuatu yang tiba-tiba membuat kita merasa tidak lengkap. Di mana ia? Seorang saja yang hilang, pasti hati kita lengang. Kehilangan itu kian akrab. Seakrab kematian. Dan laut, selalu menyimpan ketakterdugaan. Ia, lelaki yang pergi bersama subuh. Aku, perempuan yang menanti seperti luluh. Kami, sepasang kekasih, yang disebabkan laut, maka harus melepas pagut.

Ini bekas barut perahumu. Apa yang tertulis di pasir, itulah yang kutunggu. Ingat, akulah ibu untuk calon anak-anakmu kelak. Bukankah telah kautanam di batas pantai, sebuah janji? Bahwa kepulanganmu adalah pasti. Aku perempuan yang tak ingin diingkari, menatap laut yang tak berbatas di matamu, seperti mimpi yang tak bertepi. Apakah kita sedang bermimpi? Tidak. Perasaanku adalah saksi. Sewaktu kau menyerah pada laut, dan membiarkan tangannya membawamu, aku sebenarnya sedang belajar mengekalkan kecupan selamat tinggalmu di hatiku. Belajar memahami kerelaan seorang ibu saat melepas anak-anaknya pergi, dan rela menerima kapanpun mereka kembali.

Dan ketahuilah, aku berhasil. Sebagai seorang perempuan kampung yang sederhana, keberhasilan ini bagiku sungguh menakjubkan. Aku tidak lagi menangis. Aku pun telah berhasil mengekalkan air mata menjadi butiran tawa anak-anak yang berlarian mengejar kupu-kupu di bawah rumah panggung. Kalaupun aku menangis, adalah tangisan yang tak sebenarnya. Dan itu hanya sebagai senjata untuk kemudian memenangkan permainan secara telak. Bukankah selalu ada permakluman bagi mereka yang menangis?

Demikianlah, kau kukekalkan. Segalanya yang sempat kukenang. Dan hidup di tepian ini, tak banyak yang dapat kuberi nama pada setiap yang singgah, selain laut yang selalu menyimpan ketakterdugaan. Dan aku yakin, kau di sana. Aku sering mencuri kabar dari mulut-mulut para pelaut yang singgah, bahwa kau masih di sana. Di suatu tempat yang terlampau asing untuk disebut. Dan di sana, tidak ada perempuan, katanya. Tak ada perempuan yang sepertiku. Berkebaya, berambut panjang, berselendang, lembut, ramah, dan selalu memandang ke bawah sambil menyembunyikan senyum simpul yang menawan. Benarkah? Kalau begitu, aku tentu tak perlu merasa cemburu. Dan tidak ada gunanya cemburu. Laut begitu luas untuk bisa dicemburui.

Maka, cukuplah aku tahu bahwa kau masih di sana. Dan mereka percaya padaku. Anak-anak itu percaya padaku. Kau ingat, anak-anak yang selalu mengganggu saat kita duduk berdua di pohon kelapa tumbang menghadap ke laut? Anak-anak itu kini telah berkeluarga. Dan anak-anak yang sedang duduk bersila di depanku ini, yang demikian percaya dengan segala kisah-kisahku tentangmu, adalah anak-anak yang dilahirkan dari anak-anak yang dulu mengganggu kita itu. Mereka memanggil aku nenek. Lucu kan? Tanpa perkawinan pun rupanya orang bisa saja memiliki cucu. Dan aku semakin yakin, bahwa kau telah benar-benar kukekalkan. Bahkan jika aku pun kelak telah dikekalkan oleh waktu, anak-anak ini akan selalu mengekalkan kisahmu di ingatannya.

“Jadi, Hang Jebat itu kekasih nenek?”
Mereka anak-anak cerdas. Dan aku seorang tua yang kian renta. Pertanyaan mereka yang lugas harus kujawab dengan terbata-bata. Tapi, sebagai seorang nenek yang baik, dan sebagai seorang perempuan tua yang sangat ingin kisahnya didengarkan, aku tak pernah memberi jawaban yang membuat mereka kecewa. Aku takut mereka merajuk, dan tak lagi mau mendengarkan ceritaku.

“Hang Jebat itu seorang pelaut. Sedangkan nenek hanya seorang gadis kampung yang sederhana. Kami bertemu saat orang tua kalian masih seusia kalian. Nenek kan pintar mengaji. Dan Hang Jebat seorang lelaki yang sangat suka belajar. Neneklah yang mengajarinya mengaji. Dan apakah kalian suka belajar? Kalau kalian mau pintar, ya harus rajin belajar.”

“Nenek pernah dicium Hang Jebat?”
Huss! Apa pertanyaan semacam ini pantas aku jawab? Dan apakah pertanyaan itu memang pantas ditanyakan oleh anak-anak seumur mereka? Aku gamang. Anak-anak yang lebih cepat dewasa dibanding umurnya. Dan untunglah aku belum sempat kawin dan memiliki anak. Barangkali, anak-anakku baru akan terlahir setelah aku tak bisa lagi mengucapkan nama-namanya. Anak-anakku akan terlahir dari kisah-kisahku yang tak pernah berakhir. Dan mereka, tentu sangat suka berlayar. Suka belajar. Sebab laut adalah Ayah mereka (yang selalu mendenyarkan debar).

Seperti anak ayam yang pulang ke kandang, azan magriblah yang memanggil mereka pulang. Di kepala mereka telah dikekalkan sebuah ingatan. Aku bahagia. Rupanya kebahagiaan seorang nenek adalah saat cucu-cucunya datang mengunjunginya, dan dengan riang meminta didongengkan tentang masa lampau, tentang kenangan-kenangan, lalu pulang dengan ingatan-ingatan yang dikekalkan. Dan kebahagiaan terbesar adalah saat timbul rasa penasaran dalam diri mereka dan kemudian dengan rasa keingintahuan yang besar mereka bertanya tentang, “Lalu, Nenek bagaimana?” Tentu, mereka tak mau mendengar sosok hero mereka lemah dan terkalahkan, “Ah, nenek ini kan gadis kampung yang sederhana. Tapi karena nenek orangnya memang suka belajar, ya tidak ada yang tidak bisa dilakukan selagi kita punya kemauan. Dan nenek belajar dari laut. Kalian tahu, laut itu kaya ilmu. Laut membuat pandangan kita menjadi lebih luas. Dan saat memandangnya, kita menjadi tahu, bahwa hidup kita itu terbatas. Karena tahu hidup kita terbatas, maka kita tidak boleh sombong.”

“Jadi Hang Jebat itu, menuntut ilmu di laut ya Nek?”
“Ya. Dan karena laut itu demikian luas, maka tentu saja membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa mempelajari semua ilmu-ilmunya. Dan Hang Jebat adalah seorang lelaki tangguh. Ia takkan pernah berhenti, sebelum mendapatkan apa yang dicarinya. Dan kalian, jadilah anak-anak yang tangguh ya…”

Anak-anak itu menganggukkan kepala dengan cepat dan serempak. Aku tersenyum, seperti melihat boneka-boneka yang hidup. Selepas itu mereka tampak demikian kegirangan. Mereka turun tangga rumahku sambil mengacungkan tangan-tangan kecilnya ke langit dan meneriakkan, “Akulah Hang Jebat! Akulah Hang Jebat!” Dan gaung suara mereka kian jauh, terbawa angin laut pada senja yang lepuh.

Sejak itu, setiap petang datang hanya mengabarkan lengang. Aku heran, kenapa anak-anak itu tak lagi bertandang ke rumahku. Aku merasa kisah-kisahku belum seluruhnya habis kuceritakan. Apakah mereka tak tertarik lagi dengan ceritaku? Atau, mereka telah menemukan seseorang yang lain, yang bisa menyampaikan cerita-cerita yang lebih hebat dan lebih memikat? Tapi setahuku, tak ada orang tua lain di kampung ini yang memiliki kisah dan nasib badan sehebat aku. Mereka semua punya keluarga. Mereka kawin, punya anak, punya cucu. Mereka semua hidup dengan masa lampau yang lengkap. Masa depan yang gampang ditangkap. Akulah satu-satunya seorang tua yang masih tahan belajar bersabar. Belajar menunda waktu dengan menunggu dan menunggu. Banyak dari mereka yang seumurku telah pikun. Jangankan untuk mengingat masa lampau, mengingat di mana letak kacamata yang menempel di matanya saja mereka tidak bisa. Diam-diam aku sebenarnya bangga. Bahwa inilah rupanya pelajaran berharga itu. Mengingat dan menunggu sesuatu yang datangnya dari laut, membuat aku terhindar dari penyakit lupa. Terima kasih, kekasih…

Tapi ke mana anak-anak itu? Aku harus menyelesaikan sejumlah ingatan lain yang masih tersisa, untuk segera kukekalkan di ingatan mereka. Mereka adalah harapanku. Aku merasa tak yakin dengan sisa usia yang memutih di rambutku ini, dapat bertahan untuk waktu yang agak panjang. Hidup seperti telah menuntut sesuatu yang lain dari nafasnya yang patah-patah di dadaku. Dan pada mereka, anak-anak yang belia, hidup masih sesegar tunas daun-daun jambu saat hijaunya basah oleh sapuan embun pagi. Aku memang harus bergegas. Belajar dengan kesungguhan yang lebih tinggi. Menyelesaikan segalanya, dan menyerahkannya kembali pada laut. Tapi, apakah segalanya akan selesai?

Gaung suara anak-anak itu, lamat-lamat seperti dapat kutangkap. “Akulah Hang Jebat! Akulah Hang Jebat!” Tapi di mana mereka? Tak kudengar suara kaki-kaki mereka yang berlari menuju kemari. Debu-debu jalan setapak itu, yang biasanya membuat ingus mereka menghitam di wajahnya, tak juga kulihat berterbangan di udara petang. Kulit tebu, ampas tebu, daun-daun ubi kayu, reranting patah ubi kayu, dan sobekan kertas layang-layang, sobekan kertas perahu mainan, buah congkak karet, buah semunting, tak lagi kulihat berserak di bawah tangga rumahku. Padahal aku paling suka jika mereka datang dengan sampah-sampah itu. Setiap pagi aku bisa mendengarkan suara sapu lidiku sendiri, mengumpulkan satu-persatu sampah-sampah itu. Bagiku, inilah kenikmatan pagi. Saat sebuah pekerjaan dapat kutuntaskan sendiri, dan melihat halaman rumahku bersih kembali. Bukankah kita terbiasa ingin melihat sebuah pagi yang bersih?

Ah, sunyi juga rasanya. Gaung itu kukira juga adalah gaung kesunyian yang terngiang-ngiang di telingaku. Beginilah agaknya, perasaan seseorang yang telah sekian lama belajar pada kesunyian. Ia sangat peka terhadap bunyi. Bahkan hanya untuk sebuah gaung. Engkau, apakah juga masih sedang belajar pada kesunyian? Apakah laut bergemuruh itu, masih menyisakan kesunyian? Belum juga usai kau mempelajarinya? Ingat, akulah ibu untuk calon anak-anakmu kelak. Jangan biarkan janjimu di batas pantai itu berubah. Aku lihat, abrasi memang telah menggeser garis pantai itu. Sudah lama aku tak ke pantai. Dan mungkin batasnya sudah sangat jauh bergeser. Bakau-bakaunya, pasti sudah serupa gigiku ini, ompong. Pohon-pohon kelapanya, yang dulu condong, kini pastilah telah tumbang. Aku cemas, kau kembali pada saat semuanya telah hanyut. Aku takut, kau kembali pada saat semuanya telah tiada.

Tapi, suara apa itu? Dari bingkai jendela yang setengah terbuka, mataku yang tua hanya mampu melihat debu-debu jalan yang mengepul ke udara. Ah, anak-anak itu kembali? Tapi ini hari masih pagi. Apakah mereka tidak sekolah? Tapi, bukan. Aku kira itu serombongan orang-orang yang sepertinya aku kenal. Mereka berbelok ke arahku. Benar, mereka adalah tetangga-tetanggaku. Mereka sepertinya adalah para orang tua dari anak-anak yang setiap petang mendengarkan kisahku. Dan mereka adalah anak-anak yang dulu sering mengganggu saat kami duduk berdua di atas batang pohon kelapa tumbang menghadap ke laut. Tapi, ada apa?

“Ajaran apa yang telah kautanamkan di kepala anak-anak kami, Nek Tun?”
“Ya. Setiap petang datang, sepulang sekolah, mereka langsung berlari ke arah laut.”
“Dan kini, tak hanya setiap petang, tapi setiap hari, dari pagi sampai petang mereka di laut. Mereka malas sekolah. Mulutnya meracau tak tentu arah. Hang Jebat, Hang Jebat, nama itu terus yang mereka teriakkan.”

“Janganlah pula anak-anak kami jadi sasaran dendammu pada kekasihmu Hang Jebat yang tak setia itu, Nek Tun!”
Satu hal yang terbaik bagiku kini adalah diam. Mereka nampaknya mengamuk. Apakah aku harus bertanggungjawab terhadap anak-anak mereka yang tak mau sekolah? Aku hanya bercerita. Itu saja. Apakah itu salah? Lalu, sebenarnya kenapa anak-anak itu lebih betah memandang laut, aku sendiri tak tahu sebabnya. Aku tak pernah mengajarkan pada mereka untuk jadi seperti Hang Jebat. Aku hanya meminta mereka untuk jadi anak-anak yang tangguh. Tapi, aku kira, mereka adalah anak-anak yang tangguh. Dan mereka kini tahu, bahwa laut kaya ilmu. Mereka mulai belajar bercinta dengan laut. Maafkan, jika aku telah berhasil mengekalkan ingatan-ingatan pada mereka. Dan kau Hang Jebat, kembalilah. Biarkan anak-anak ini yang menggantikanmu…***

Pekanbaru, 2005

Puisi-Puisi Sri Wintala Achmad

SULUK SRIKANDI

(I)
Di alun-alun
Rumput merimbun
Semilir angin
Buai sepasang beringin

Angkasa membiru-jingga
Membakar gairah asmara
“Kanda, ajarkan aku memanah matahari
Sebelum terbenam ke dasar hati!”
Ujar Srikandi, sembari
Mencolek pipi Permadi

(II)
Angin lelap di sarang malam
Tidak ada kecipak ikan di kolam
Hanya desah Srikandi di bibir ranum
Melenguh hingga ke tulang sungsum
Lunglai telanjang di ranjang
Di pipi, airmata berlinang

“Kanda, mengapa kita cepat berpisah
Manakala matahari terpanah
Koyak berdarah?”

(III)
Di depan gerbang istana
Hati Srikandi berbunga-bunga
Melepas Permadi ke Madukara
Dadanya hangat diraba
Namun matanya tersirat sendu
Sekali mencinta lelaki buat dimadu

Sanggar Gunung Gamping, 07082006



SULUK BANOWATI

Di depan Bunda Setyawati
Aku hancurkan cermin kaca
Malu hidup sekali
Sebagai wanita pendua cinta

Akulah si bungsu Narasoma
Yang terlepas dari kudangan
Bukan pecinta s’orang hingga senja tiba
Melainkan pengkhianat kasih pujaan

Tidak sebatas Aswatama
Aku rela dicap sephia
Menebus dosa seusai Baratayuda
Rela mati dicidra Kartamarma

Sanggar Gunung Gamping, 13032008



SULUK KUNTHI NALIBRATA

Di bengawan Suwilugangga
Aku alirkan aib keluarga Mandura
Sesudah perutku mengembang tanpa suami
Selain cinta dari jambangan hati

Karna, putra Surya yang lahir dari lubang telinga
Jangan simpan dendam matahari di dalam gendaga
Ibumu hanya mentaati titah Kakanda Basudewa
Yang lebih malu pada kawula daripada Raja semesta

Menjelang baratayuda tiba, datanglah kepadaku
Ibumu bakal merestui di mana kau berkubu
Sebab kunci surga bagi senopati sejati
Bertumpu pada kesetiaan janji

Sanggar Gunung Gamping, 14032008



BURISRAWA KASMARAN

Mbok Mbadra kembang Widarakandang
Kepadamu aku mabuk kepayang
Setiap malam kau menghiasi mimpi
Seanggun Wulan berselendang pelangi

Jangan kau tolak cintaku, Mbok Badra!
Meski wajahku seburuk raksasa
Namun kesetianku melampaui Permadi
Dan setara Bunda Setyawati

Mbok Badra, namun apa mau dikata?
Apabila hanya ilusi yang kau dambakan
Hingga perawanmu seharga kerennya rupa
Bukan jiwaku yang berakhir remuk berkepingan

Sanggar Gunung Gamping, 28032008



SULUK BALADEWA

Apa guna makutharama
Bila hanya memperpanjang usia percuma
Sebab mahalnya harga diri ksatria
Dijual di pasar baratayuda

Adinda Kresna, mengapa kau musti menipu
Memintaku bertapa di Grojogan Sewu
Meski aku sebagai senopati Kurawa
Pandawa kalis dari kesaktian nenggala

Ingin aku hancurkan makutharama
Berpuingan serupa negeri Astina
Mustahil segera pulih di tangan Parikesit
Raja muda berjiwa satria piningit

Sanggar Gunung Gamping, 15032008



SULUK DURYUDANA

Kurukasetra menderaskan hujan darah
Manakala sukmaku terbang dari sarang raga
Serupa burung pulang kehilangan arah
Langit berawan tak bercahaya

Jangan pongah Bima berbusung dada
Meski aku tak mendapat jatah surga
Dilayani seribu bidadari penuang anggur
Angkaraku bakal menjelma kilat dan guntur

Lantas apa yang kau banggakan
Atas kejayaan Pandawa dalam baratayuda?
Selain penyesalan berkepanjangan
Bahwa Kedamaian hanya petaka tertangguhkan

Sanggar Gunung Gamping, 14032008



SULUK ARJUNA

Telah Adinda lepaskan warastra
Dari busur paling nurani
Ke dadamu Kanda Suryatmaja
Buat meredam dendam matahari

Bukan lantaran Srikandi
Yang kau lepaskan kutangnya di Kurusetra
Hingga payudaranya senampak ranum khuldi
Selain demi harga diri seorang ksatria

Bukan salah Kanda apalagi Adinda
Baratayuda sekadar kunci pintu surga
Bagi kita senopati palagan pilihan
Bukan pecundang kematian

Sanggar Gunung Gamping, 11032008



SULUK KARNA

Di medan pertempuran
Kau memenuhi undangan Tuhan
Buat menyongsong Arjuna
Dengan dada terbuka
Di mana cintamu pada kehidupan
Tak memihak saudara atau lawan

Sebelum matahari menanggalkan lembar usia
Tuntaskan anak panah dari busurnya
Hingga ajal membuka langit surga
Tempat Tuhan memenuhi janji-Nya
Bersulang bersama di meja perjamuan
Atas kemenangan erat dalam genggaman

Sanggar Gunung Gamping, 03082006



SULUK SITI SENDARI

Kepadamu seorang
Cintaku tiada mencabang
Lelaki berjiwa satu
Senilai panah seribu

Langit telah terbuka
Tunggu aku di gerbang surga
Sebab cintaku adalah cahaya
Nyala dari api pancala?

Hanya Kanda Abimanyu
Pelabuhan cintaku
Tak berbataskan ruang dan waktu
Hingga kematian sebagai awal kehidupan baru?

Sanggar Gunung Gamping, 04082006

Selasa, 23 September 2008

HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I - CXIII

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=231


Ia tak pernah menjatuhkan vonis kematian kedua kali, kecuali kau
naik banding, serupa mati surinya pemegang sapu lidi di makam Ampel (II: I).

Tahukah kau mengenai tercerabutnya nyawa? Sebuah awal perjalanan baru
berakhirnya kesedihan menuju kelanggengan kasih sayang (II: II).

Tidakkah kau merasa bersalah, berjalan di depan matahari
sambil menggandeng bayangan? Kiranya bayangan lenyap jika kau bersujud
di hadapan cahaya, ia seekor burung mengamati langkah-langkahmu (II: III).

Sebenarnya kau tidak mencintai bayangan tetapi ia selalu mengikuti,
bukankah ketenanganmu bercermin cahaya? Dan bayang bergetar olehnya (II: IV).

Di atas bukit ia berseru, ikutilah kepakan sayapku serupa menuruti nuranimu,
dulu aku memiliki bayangan, di saat terbang tinggi hilang sendiri,
ia tak mampu terbang, hanya membebani pengembara (II: V).

Jadilah kekupu waktu, menerima berkepompong terlebih dulu,
lama memintal benang sutramu, akan anggun begitu tampil (II: VI).

Kelepakan sayapmu menawan mata seekor elang berhasrat reinkarnasi,
menyerahkan tulang-belulang digerogoti cacing-cacing tanah (II: VII).

Tahukah doanya burung elang itu sewaktu sekarat? Ia tak ingin menjelma
laba-laba juga kelelawar, tapi memohon dijadikan kekupu pendampingmu (II: VIII).

Bersabarlah kekupu betina, kekupu jantan ialah lelaki
yang diciptakan demi abadi dari seekor burung rantau (II: IX).

Kekupu itu menghiasi taman temanten kembang,
mempercantik kebun para petani di lereng gunung anggur
dan pujangga memetiknya bagi syair percintaan, tapi ia menyebut pasurgan (II: X).

Ia tak ingin lautan madu sejak berlayar, tapi sebenarnya, terdampar di pesisir
tersapu angin butiran garam, tidak luput dikenyamnya terik ombak lautan (II: XI).

Dari beberapa pantai di datangi, ia menemukan keserupaan, yakni dirimu selalu
di hadapan, dan ketika meninggalkannya, ombak mengejar sambil menghapus bekas
tapakan kaki, seperti hasratnya angin mengubur masa lampau bersamamu (II: XII).

Maka janganlah mendatangi tercinta
bila hanya sekadar mata rindu tak bertepian (II: XIII).

Kekupu itu tak membutuhkan tambang berlian, tetapi udara kesegaran,
hawa tipis dataran tinggi keakraban, lagi menghangatkan kemesraan (II: XIV).

Mereka memberi nama persetubuhan, ia menyebut peribadatan
setelah cincin pelangi melingkar di jemari manis sungai pengertian (II: XV).

Jika ada artikan sama antara tangga kayu dan tangga berjalan,
usah membuang keringat ke sangkar langitan (II: XVI).

Ia membiarkan kekabutan bersahabat,
tetapi kekupu itu tak pernah ada, kata mereka (XVII).

Di bawah langit paling jauh, jelas mereka tak mampu melihatnya
sebab tulang lehernya belum patah, saat mendongak di hadapan cinta (II: XVIII).

Kekupu itu menundukkan sayapnya penuh santun
tanpa mencelakai diri pun mencederai yang lain (II: XIX).

Selepas naungan magrib menghilang, lebih dekat terbayang,
pentas segera digelar, lelampu menanti gelapnya malam
dan terangnya panggung merindu gemerincing binggel penari (II: XX).

Ia dendangkan lagu yang kau tunggu-tunggu, syair tak pernah dinyanyikan
sebelumnya, lantas perasaanmu, serupa penantiannya di masa-masa lalu (II: XXI).

Wahai jiwa mengarus bertenggelam, tentramlah di kedalaman tak terukur,
ia berpesan, jarutlah wewarna benang sutra bagi baju sedang kau tenun (II: XXII).

Ia menyebut bukan cinta tetapi sekadar perjumpaan awal,
apakah pertemuan pertama melahirkan cinta?
Dan ia tak perbesar keadaan, atau melebihkan canda (II: XXIII).

Biarkan makna kata kita lebur dalam hati semesta,
bila nyatanya mengandung (II: XXIV).

Engkau rela diracun demi menyelamatkan jiwa-jiwa merdeka,
kesalahan jangan terulang, jikalau tak ingin dikatakan bodoh (II: XXV).

Tapi ia lebih suka dibodoh-bodohkan atau dianggap gembel
daripada diasingkan sebagai orang tidak waras (II: XXVI).

Sempurnakan bebulu sukmamu agar tangguh di saat menjelajahi bumi,
menafsirkan malam-siang, dari dingin masa merangsek terik meyengat (II: XXVII).

Menuangkan kendi moyang pada dirinya takkan lupa, seperangkat kisah
terlaksana dari dorongan terdalam, bersatunya puja seringkikan turangga sembrani
menembusi kematangan fajar cakrawala hati (II: XXVIII).

Sampailah panggilanmu, gegas berkemas bawalah rempa
seperti burung bersiap terbang mempertaruhkan pagi-wengi pulang
membawa luka juga salam debu yang mati (II: XXIX).

Keringkan bebulu sayapmu, terlebih dulu bersisirkan angin seribu
dan mereka tidak mengira, atas apa kilauan mahkotamu (II: XXX).

Naikilah kereta kencana, yang ditarik enam kuda bersayap putih mengibas
seharum melati, dan berilah sapaan kepada orang-orang mendiamkan batu,
ia segera datang, sebelum matahari sepenggal gapura (II: XXXI).

Saat membuat perumpamaan dirinya, ia bersedih berat, bertangis tidak berair duka,
terangnya sesal oleh malu, sehelai saputangan membalut luka melebar (II: XXXII).

Ia turut percaya suatu masa nanti ketika tidak dalam irisan perasaan,
airmata itu menggenang memaknai haru, sedalam menyebut keajaiban (II: XXXIII).

Dia tidak kelebihan muatan perkara, sukmanya lelah tidak pernah menetap,
bergetaran meranggeh kepada perkampungan sejati rasa (II: XXXIV).

Dengan kerinduan terpisah, ia bicara berbahasa ruh, lelangkah menjangkau,
mendebarkan lelantai marmer nurani, sesering kalbu jatuh cinta (II: XXXV).

Nafasnya tersengal, tak terukur kiranya memahami alam kelemah-lembutan diri,
begitu tegar wahai kau (II: XXXVI).

Lama tidak bermain cat di kanvas keadaannya mengering,
hanya cakar-cakar pena di kertas, tidak mendesahkan warna (II: XXXVII).

Kawah penciptaan menggelegak leleh, kau bergetar demi cinta,
tetangkai reranting yang kering menarikan api sederai tangisan jerami
merobek langit menggosongkan kulit awan (II: XXXVIII).

Resapilah wewaktu memilukan, ini benar baju kebesaranmu paling kekal
sedang borok kalian murni kenangan (II: XXXIX).

Bila keras dibanting pecahnya jangan sesali, ia tak menyarankan membeli lagi,
kenapa tak memberi tahu sebenarnya, bahwa tidak memiliki segelas piala? (II: XL).

Ia tak menamakan prahara maupun canda,
mestinya kau menerima dirinya tidak sedang terluka berat (II: XLI).

Kau puteri kegembiraan, aku lelaki ganjil,
aku menulis perjalananmu yang asing di sebrang itu (II: XLII).

Seharusnya tidak terbuai suasana anyar
sebab kau berpamor menghipnotis yang menyaksikanmu (II: XLIII).

Jangan menunggu, jadilah yang ditunggu
sebab keputusanmu dinanti-nanti dirimu juga semua bangsa (II: XLIV).

Mereka memendam perhatian mengagumimu menerima pengajaran,
perintahnya menguasai kemakmuran masa-masa tidak tersampaikan (II: XLV).

Sungguh ia mengenali tatapan itu, menulis tidak dalam puncak legendamu,
masamu kini kembali, kau penari, pelukis, pemusik, pemahat
dan terkadang sesosok penyanyi (II: XLVI).

Kenapa kau meragu di perempatan jalan simpang? Cukup ambil nuranimu
bagi penentu, dan jangan biarkan kebimbangan bersinggah kedua kali (II: XLVII).

Kau harus tetapkan diri, kalau ingin disetiai mereka,
kebuntuanmu kemarin oleh kepakkan sayap dengan meragu,
tidak seharusnya, ada rintihan sakit hati ketika itu (II: XLVIII).

Ia membimbing pertimbanganmu lagi tersenyum bila kau melewati,
tidak menjadi tumpang-tindih, ia mencintai pemampu yang ambil putusan
serupa patokan kecerdasan mematikan keberuntungan (II: XLIX).

Dapatkah berkeajaiban baru? Puing-punig terbangun lestari, hidup penuh
kemenjadian, dibantu senjakala, sikap syukurmu menerangi pelataran malam (II: L).

Tiada terlambat nalar berputar-balik tersebab kau makna
kala terdiam memperhatian berkecukupan limpahan doa
letak di mana dirimu tidak terjangkau kapal manapun,
hasratmu di atas segala gelombang lelautan (II: LI).

Tidakkah merasa kesepian di suatu masa? Maka turunlah sesekali
demi mengusir kebosanan, menyembuhkan rindu benar mereka (II: LII).

Ketika sangat kangen bergetaran kencang, jika tidak menepati janji,
kebosanan segera naik berkendaraan kabut naluri ibarat seekor burung ganas,
sekian waktu memporak-porandakan singgahsanamu (II: LIII).

Kau perlu waspada datangnya sambillalu berluap cinta, ia persis mereka
akan melabrakmu berkekuatan rindu dan jika tidak memenuhi kesepakatan,
tangan maut melentik bagai bintang pembantaian malam atas janji cedera
tiada pertemuan (II: LIV).

Awal tidak terduga, kesadaran awan mengepulkan kata-kata
di kala tersulut loncatan peristiwa, memercikkan cahaya waktu ke udara,
berkendaraan sunyi menyusuri pijakan suwong (II: LV).

Burung terbang buta beban tubuhnya, ia hanya menyiasati angin diandalkan,
badai merangsek memaksa dirinya menyisir ke samping lintasan
mengepak menuju satu titik yang musti melawan arus,
tapi mereka enggan hati penasaran (II: LVI).

Mempercayai mentari terbit dari timur itu pilihan,
sedang senja dan fajar jingga masih sama tidak mau bicara,
terbit-tenggelam ialah wewarna busana kehidupan (II: LVII).

Suatu ketika cahaya mentari menapaki tangga pebukitan,
kita perlu duduk di pematang memandangi rerumputan padi
dedahan reranting turi ditarik angin berlalu,
kaki-kaki menikmati aliran pesawahan membasuh keringat pagi sore hari (II: LVIII).

Bukankah setiap insan membutuhkan ketentraman? Sebelum tanah lumpur
mengering, injaklah, sedurung nafas-nafas melupakan kita (II: LIX).

Tetumpukan ruang waktu itu bebulu pena menaburkan benih,
serupa para petani merawat garis-garis benang ke pematang (II: LX).

Tangan tidak lembut mengusangkan kilauan cermin,
memantulkan cahaya mengelupas lelapisan jiwa, menciumi rumput sama kering,
bebijian embun tergolek di alun-alun tengah kota (II: LXI).

Siapa yang bersolek di meja perundingan menawan nalar?
Bersegeralah menyongsong pecahnya arah kebangkitan,
mengacungkan keris menaiki turangga perjuangan (II: LXII).

Luka terlabut selendang pelangi yang melengkung di lelangit pertiwi,
bagaikan selintingan sejarah akan ingatan resah dalam kalbu tersontak
dan tiada lagi wajah-wajah hafal terpuaskan (II: LXIII)

; petikan kembang diberikan walau berselang di belakang,
keharumannya menetapi kelopak-kelopak cahaya bulan
dan mata takkan silau kehendak kebijakan (II: LXIV).

Usah kagumi keindahan semerbak dengan bersorak,
cukup jelajahi senyum ranummu sederhana terima apologi, ikhlas
menjalankan tempaan senja keemasan, menuju waktu percintaan (II: LXV).

Kelebatan sampur penari selentur kerahasiaan bayu meniup jiwa lembut
yang gemulai mengejawantah (II: LXVI).

Kau didukung walau tidak sepadan pendapatnya sebab hak penghormatan
serupa bunga dalam pot, tetangaki menjalar menghiasi kediamanmu (II: LXVII).

Celotehmu ringan ke kanan dan ke kiri,
sebab panggung terbagi dua atas tempat duduk mereka (II: LXVIII).

Yang muncul pertama kali gemetaran, bukankah awal cinta debaran jantung,
tubuh terasa berdemaman, lalu terbiasa mengalir? (II: LXIX).

Bengawan Solo membutuhkan tanggul petani sejati,
di sudut-sudut ruang temaram diterangi senyuman,
menyenandungkan gurau toak dalam kenduri (II: LXX).

Adakah pertanyaan tersembunyi dalam percakapan hening?
Lamunan kerap berkelana tersadarkan dentingan tuwong kencana,
menumpahkan anggur mata beling hening berserak duka (II: LXXI)

; gempa menggeserkan letak atmosfir dari kesamaan menjauh
atau jemari gadis keluar darah atas tarian pisau tidak disengaja, terpesona
bagaikan batin berkecambah dosa tak menstabilkan alam nyata (II: LXXII).

Bersungguhlah menyimak letih, jangan bertirakat mengenai dakian gunung,
gelar dan pelajarilah peta sebelum berangkat (II: LXXIII).

Menjadi membosan terlalu banyak mengunyah hikmah, berlenggak-
lenggoklah mewarnai kanvas semesta, wahai kuas berbulu langsing (II: LXXIV).

Kurang bijak sering menerbangkan layang-layang
siapa tahu bayu kencang cepat berakhir (II: LXXV).

Walau tarian di sana tiada menjemukan, tapi ambillah bunga rumput
di kampung hujan, itu jalan kaki gerimis petani dan rebah di kala reda (II: LXXVI).

Waktu pijakan kaki bersinggah, gerak langit menafaskan lautan,
mendung masih menggemerincingkan bintang-gemintang,
pada selat malam kata-kata menggelombangkan makna (II: LXXVII).

Menyisir air laut ke ladang-ladang, bayu terik menggiring padatan kecil;
pengalaman mengeraskan lengan kincir mematangkan masa menemui titik jiwa,
kehendaknya menghadirkan bulir-bulir garam berfaedah (II: LXXVIII).

Ada keraguan menggegerkan jagad, digoyang hebat daya bersalah
sampai di sebilah pucuk bimbang, memotong benang pilihan (II: LXXIX).

Terketuk batinnya berucap, bukan menjadi seorang atas besar-kecilnya,
titisan hikmah pengetahuan terus berjalan, sedang yang belum menemukan arah
tidak lebih dikejar waktu berpayah, memburu luruh tenaga lungrah (II: LXXX).

Nilai belumlah terjawab, bukankah bulan tak selalu purnama? Terkadang
mentari enggan menyapa, pada dirinya bulan sabit tandas kasih setia (II: LXXXI).

Penantian pada kekekalan bukan berasal dayadinaya,
ini prosesi telur burung onta menetaskan bidadari, seekor burung
tidak selalu bersenandung merdu di gantungan dedahan (II: LXXXII)

; semua atas kehendak pemilik jagad, ada sengaja, setengah tidak disengaja,
sedangkan gelap terang ialah pilihan, dalam gua nurani atau padang peperangan (II: LXXXIII).

Tidakkah lebih indah meniti buih mencari makna
daripada berdiamnya karang di pantai? (II: LXXXIV).

Siang malam bercampur aduk mematangkan pewarnaan,
pada kanvas pun masih menambah-tambal kemungkinan (II: LXXXV).

Ia melukis berjemari telanjang tanpa palet-kuas masih kerap bersketsa,
semakin lincah mencoba guratannya lembut senilai pencarian (II: LXXXVI).

Ingatannya digiring sesuatu, resapilah sisi-sisi keabadian,
dengungan hening tak perlu di pertanyakan, apakah ruang, waktu, kesadaran,
ia mengisi bagian-bagian terlupakan (II: LXXXVII).

Bergegaslah pergi dari perbincangan kulit, sebab semua datang dari-Nya,
akan kembali kepada-Nya pula. Membongkar isi nalar jiwamu menerima cemooh,
tangan lembutnya menggendong kekasih, berdekap muka tiada risau,
meski tidak selalu sempurna (II: LXXXVIII).

Andai maut menjelang, terlepas berluapan senang,
akan jauh gunjingan atas keikhlasan (II: LXXXIX).

Pertanyaan besar menciumi kening melepaskan nyawamu,
tidakkah sesamamu berpengharapan, bercumbu sampai sepuh? (II: XC).

Ia pikul keheningan, saat kalian tidak menguliti bimbang,
rupa setali kesadaran menyampaikan salam perpisahan (II: XCI).

Tetapi yang lain meneguk racun keraguan,
atau membaca sambil mencuri-curi waktu (II: XCII).

Karena ingin menjadi bagiannya, kunyahlah ke-aku-anmu serta (II: XCIII).

Kalimah hadir tidak terkira seperti turunnya kabut berpelangi
atas kesamaan kehendak itu lahirnya embun dikilau cahaya (II: XCIV).

Sudahlah, baca mimpi-mimpimu lalu lipatlah, dan berkemaslah menuju
kampus dunia, tersebab di bangku kosong, selalu ada perbincangan serius (II: XCV).

Gambaran bayu menggejala di tiap kepala, tegaskan coretanmu
meski gagal bukan tanpa makna kuasa berkehendak (II: XCVI).

Para seniman dihargai menyetiai kesunyiannya, ini karya terbaik
tidak membuang tanaman bunga dari potnya (II: XCVII).

Jadikan sisi ganjil penentu membicarakan garam di sebrang,
ombak uji-coba berbuih-buih ke pantai (II: XCVIII).

Hadir tiada apa kesiangan menaiki kereta sejarah,
sebab kepayahannya membawa jiwa merdeka (II: XCIX).

Tidakkah itu lebih baik dari berjalannya gerbong kosong?
Berhentilah di stasiun kau kehendaki atau berhasrat melanjutkan,
ia melantunkan tembang, sesudah memahami kata-kata (II: C).

Bukankah pelayar tidak dipaksa selain tengah peperangan?
Adakah tragedi dalam dadamu ketika itu? (II: CI).

Seyogyanya duduk sama tinggi saling terima, tiada perlu kompromi kecewa
sebagaimana dongeng dalam negeri mimpi para penguasa (II: CII).

Siapa membuka gerbang, mengunjungi petilasan malam,
batinnya saling rengkuh-dekap gemintang menangkap gelap,
di sini tiada bahasa curiga, dedaun dikilau cahaya kejujuran
dan bayangan burung terbang, lenyap di gerumpul awan (II: CIII).

Mengajaknya membangkit dan keagungan ditandai
atas tuangan kendi air suci tempaan purba, digerojogi
melewati tenggorokan rindumu terdalam (II: CIV).

Adalah angin menyibak rambutmu pelahan, kepergiannya
mencipta kangen kebisuan perbincangan, bersegera menuju kekekalan,
wahai tempat naungan kalbu, darinya membawa waktu penentu (II: CV).

Sungguh ia tidak menghadiahkan selain kepadamu,
gemuruh teknik warna coretan, arah gelisah kepada puncak rahasia (II: CVI).

Ini racikan bumbu para utusan terkuak, menumbuhkan selera baca,
malam mematangkan langit klawu, menyenandungkan laguan serangga
di celah pinggir danau, sewaktu kekasih mendampingimu (II: CVII).

Diamnya berabad-abad berpadat tumpukan gemawan,
memulangkanmu ke bibir hening menuju tetembangan muasal,
lantas memasuki lambung renung akan kemanusiaan (II: CVIII).

Guratan salam pujangga, bagaimana kabar hatimu kali itu? Pahatan
tidak perlu dijawab dengan kata-kata terucap, biarkan mengalir melewati
perbincangan membisu, membimbing sampai mengaribi gelap (II: CIX).

Ia hadir menghikayat di saat ketidaksadaranmu,
bagimu aku sarankan menyerahkan pilihannya (II: CX).

Kelopakan bunga menyeruakkan revolusi menjelang cahaya,
selanjutnya berpasrah, meninggalkan setengah hati getir tersisa (II: CXI).

Suaranya mengisi ruang sunyi, kau jauh lebih berarti ketika mengolah
telapak nasib, sebelum memahami jagad diri berlebih dengan bekerja (II: CXII).

Tak seharusnya ia berterimakasih sebab dirinya kesadaranmu terdalam,
hanya selayang kertas begitu mudah, tapi selangkah kaki kenapa susah?
Cobalah terka, dari manakah asalnya kata-kata pecinta? (II: CXIII).

*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

Minggu, 21 September 2008

Beduk I

Jawa Pos, 14 Sep 2008
D. Zawawi Imron

Beduk dan kokok ayam bersahutan dinihari
Mengolah ufuk timur merentang senar-senar cahaya
Gita dari getar gitar hidupku
Beduk itulah yang memanduku tersenyum
agar senyumku tak terhapus usia
---

Aku berwudu untuk bersubuh, kubasuh wajahku agar keramahan
menjadi bahasa kasih yang tak bisa diterjemahkan
kecuali oleh bahasa embun yang menetes pada mawar
---

Kubasuh kedua tanganku
agar aku mampu merias wajah kampung halaman ibuku,
ibu dari seluruh bangsaku
sambil kuharap, keringat menderap menjadi bagian takdir Tuhan
yang masih tersimpan di balik cakrawala
---

Kuusap kepalaku
agar aku bisa membedakan pecahan kaca dengan berlian
Aku rindu pada secercah kunang-kunang yang mekar dalam sanubari
tempat beduk sejati bertalu
dan belum tentu sekali
bertalu dalam hidupku
---

Kubasuh kakiku
agar aku bisa menempuh jarak dan abad
karena aku dilahirkan untuk menjadi pejalan jauh
yang mencari beduk yang mungkin hilang sebelum kutabuh
Orang yang mujur bukan yang kaya teori
namun lumpuh dalam membangun kenyataan
---

Fajar tak selalu cahaya
tapi darah yang menyalakan bara
sehingga debur lautan pun ingin bernyanyi bersama
dan seluruh rumput dan daunan ingin berzikir bersama
dalam denyut jantung yang meneriakkan azan kehidupan
---

Di beranda mesjid Kiai Mojo beduk digantung
Langit sangat biru, dan Bengawan Solo saat itu
konon masih berhulu pada mata air sorga

Tembang-tembang dolanan yang dinyanyikan anak-anak desa
membuat ruh-ruh leluhur tersenyum dalam kuburnya
lir-ilir lir-ilir
tandure wus sumilir

Tapi kemudian beduk ditabuh tidak sebagai pertanda salat
tapi sebagai isyarat agar orang Jawa yang dibikin melarat
segera menghunus kerisnya segera mengasah pedangnya

Lihat, seorang pangeran telah mengganti blangkonnya
dengan sorban, yang hakikatnya adalah kain kafan

Bende dan beduk bersahutan
menjagakan gubuk-gubuk ilalang ke dukuh-dukuh yang jauh

Inilah perang Diponegoro,
perang untuk memberi makna harga diri
akibat kemelaratan yang terlalu dekat dengan kebenaran
dan airmata terlalu suci untuk ditelantarkan
---

Maka saksikan, kapak-kapak rakyat
yang sebelumnya hanya untuk memotong kayu bakar
lalu digunakan untuk mewakili hati nurani

Petani-petani miskin yang rendah hati
menyerbu ke medan laga, medan pelor dan meriam
karena kematian dianggap kehormatan

Lima tahun lamanya
Batavia seperti dilanda gempa
dan Amsterdam berguncang-guncang
---

Bunyi beduk itulah yang harus menjelaskan
bahwa perang itu bukan balas dendam
tapi sejenis batu ujian
bahwa orang-orang jelata
sempat memaknai penghinaan dan kemelaratan
---

Langit bercadar mendung
dan beduk bertalu dari palungan lembah

Saat beduk makin bertalu mengaliri darah
tubuhku menjadi sebuah gunungan
yang termangu di pusat semesta
---

Beduk bertalu dalam sipongang bonang yang lantang
membuat mekar rasa sadar, rasa Takbir:

Bahwa lapar bisa ditulis dengan madu campur zakfaran
dan hidup bisa tergadai, saat aku terlalu silau

---

Beduk dan Takbir itu yang mencanangkan
bahwa kemiskinan tak enak untuk didengar
bahwa kekejaman yang sopan pun harus dilawan

Sabtu, 20 September 2008

MEMBUKA RAGA PADMI, I: I - XCIII

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=233


Ketika dunia berupa kabut pekat, siapa berkata?
Manakala embun belum terlahir, siapa menggapai?
Di saat sejarah belum tercatat, siapa berbicara kata?
Wewaktu masih berupa potongan-potongan cahaya,
siapa yang dahulu menempati lautan es cahaya? (I: I).

Wanita ditakdirkan melahirkan anak-anaknya,
menyusui anak laki-laki dan perempuan (I: II).

Ia pembuka gerbang langit, ketika kitab waktu belum dipelajari (I: III).

Dia insan tertinggi di muka bumi,
karenanya kabut singkup, mega lenyap, wajah langit biru (I: IV).

Doa ibu mencipta senyum menafaskan angkasa
bagaikan gelombang ke pantai berulang-ulang (I: V).

Perawan cantik sejagat keturunan Hawa, kepadanya cahaya memancar
dan setiap lelaki yang dicintai, niscaya bermahkotakan raja (I: VI).

Menjadikan awan kerudung baginya,
lalu kegundahan menderas bagi menertawai (I: VII).

Begitu singkat keperjakaan memaknai sang gadis, maka melangkahlah
mengikuti harum kanthil menuju taman-taman jauh di sana (I: VIII).

Jangan paksa memegang sayap kekupu,
nanti meronta tinggalkan bekas luka, tangkaplah lewat pandangan saja,
lantaran dirinya telah memahami semerbak angin di udara (: IX).

Perempuan itu kembang di petamanan mimpi,
siapa tandas menghirup kedalamannya, misteri kelembutan bakal sampai
sehalus tirai kabut berwarna-warni di kutub Maha Kasih (I: X).

Bagi bangsa-bangsa menghormati moyangnya, wanita
menjadi panutan, selendang panjangnya menyeret lelangkah
dan dunia setuju, walau berkali-kali terhempas prahara (I: XI).

Ia menciptakan badai-badai maut membuncang,
memusar pisau-sakauw menjemput usia, batu-batu lebur tertiup olehnya (I: XII).

Sosoknya setegar angin ranum melintasi cakrawala,
dalam kelembutan dirinya menyimpan ketegasan (I: XIII).

Ia keindahan mengubur leluka di setiap lipatan rapi,
ia gula-gula yang menguasai pasar kebudayaan (I: XIV).

Keagungannya meneladani batin seniman,
para pemahat, para pelukis, pujangga juga penari
terlahir atas kobaran api semangat keabadiannya (I: XV).

Cinta setia, tulus membasuh lingga hingga tiada berdaya
dalam rengkuhan kasih, renggutan tangan sayang mesra (I: XVI).

Wanita membawa ruhmu ke puncak padang padat pasir lamunan
bagaikan rerumputan hijau bergoyangan atas bisik ketinggian (I: XVII).

Mereka tak sadar sudah melangkah jauh ke onak duri senyuman
yang mengekalkan kelanggengan perasaan (I: XVIII).

Begitu lama tuan meresapi yang tercinta,
namun siapa berkeputusan begitu mulia, bijak lagi mencengangkan dunia?
Dikaulah perempuan dari kerajaan-kerajaan misteri (I: XIX).

Saat mata memahami, tertangkap gambaran mendatang
pula sejarah sebelumnya, ia matahari, mata rajawali di Maospati,
segala yang terlihat didapatkannya sebagai mangsa (I: XX).

Ia sang pemburu lihai, setiap kelepakan sayapnya mencabut nyawa pelena
sedangkan tarian jemarinya mengangkasa, menghapus papan hari-hari pembalasan
kepada bumi yang tak selamanya beredar (I: XXI).

Lentik jemarinya mengalirkan air dari hulu,
butiran embun gugur mengenangkan masa silam (I: XXII).

Gerimis selalu membuka tirai lembut dedaun jendela,
taman raya kembali menuai warna memberi harum mewangi
bagi kesejukan setiap perawan yang dipandang (I: XXIII).

Ratu perkasa jagad ini ialah kecantikan berhilir
sepenuh gemerincing kata-kata penyair (I: XXIV).

Tataplah kekasihmu segelombang samudra, sebab decak canda pantai
ada di depan mata, biru langit biru lautan bersatu mesra,
kerling tak pernah usai nan terus cari penentu (I: XXV).

Kalau ruang langit pada benda-benda,
bentuk ganjil memberi makna yang belum terlahir (I: XXVI).

Keakuan mata berkekuatan, percikkan api menyepuh batu delima,
jati diri utuh bola matanya, dan takdir terdukung ketajaman mata jiwa (I: XXVII).

Sebagian pendapat mata adalah bahasa kalbu,
mata jelita ketika kantuk terlihat sendu (I: XXVIII).

Siapa memasang penglihatannya tiap malam,
siangnya sayu penangkapan, dan bagi penyaksi
menghirau lelangkah magnit purnama (I: XXIX).

Perempuan diberi kejelian lebih, ia sanggup meramal lelaki
walau tanpa terlebih dulu berkenalan (I: XXX).

Bila ada sosok jelita boleh dibeli bola matanya seharga diriku,
maka aku sangatlah beruntung setuju (I: XXXI).

Alis bahasa kedua dari mata,
jikalau seorang lelaki melihatnya selarik fajar merah
janganlah marah dirimu dikejar selamanya (I: XXXII).

Alis lengkungan pantai bagi tertambatnya perahu nelayan,
alis pebukitan karang memanjang bersimpan sumber ketegaran,
sedang lelaki mengharap damai di rimbun ketentraman (I: XXXIII).

Rawatlah alismu, maka pandanganmu akan jitu (I: XXXIV).

Alis lengkungan busur melesatkan anak panah sewaktu awan dalam jiwamu
dan sang cantik selalu menanti kedalaman lelaki pujaan jaman (I: XXXV).

Alis kerejutan tanda sedang diperhatikan
dari jarak tak terlihat dan terjangkau, alis perlambang gerak-gerikmu (I: XXXVI).

Alis kerudung kedua bagimu, bilamana alis dicukur habis
hilanglah bulan sabit menggantung anggun di tengah malam,
sementara lampu-lampu kota hanyalah hiasan (I: XXXVII).

Alis naungan merawat kepurnaan waktu, maka perhatikan
tidak kurang serupa memanjakan tubuh pesonamu (I: XXXVIII).

Tiada salah kaum lelaki memanjangkan rambut,
tetapi sejarah kodrat, kaum wanita lebih lembut dari lentera (I: XXXIX).

Itu rambut panjang tersisir seribukali dalam sehari,
beserta pemandang temukan kilau tiada terkirakan, dan kini
cukup dengan elusan lembut, menemukan kedamaian (I: XL).

Juga rapikan kukumu sebab itu lukisan jiwa pemiliknya,
potonglah sekali seminggu, dan di setiap harinya
eluslah sebagaimana menyucikan tubuh (I: XLI).

Bersih lentik perlambang perawatan badanmu,
mereka segera faham setelah membelai tetangkai jemarimu
yang terasa gemulai lewat jabat tangan perkenalan (I: XLII).

Pada perempuan pekerja, dirinya ada kelembutan lain
dan setiap insan memahami rabahan penuh kasih (I: XLIII).

Bibir selalu dibasahi puja sepohon jati kering berpuasa,
bunga mekar dicumbui embun telah lama dirinya putik
seperti ombak kuluman bibir samudera (I: XLIV).

Ia mengalirkan daya pesona, terimalah waktu di dasar renungan,
hasrat tumpah di jalanan membentang, gerak sadar pun ketaklumrahan (I: XLV).

Putaran ini, bumi merestui lelaki mendaki gunung gamping,
sementara kabut memberi kabar terbaik fajar menyingsing (I: XLVI).

Hadir ingatan lembut serupa bayu bersegala yang tersimpan,
ruang tanpa penyekat, setiap saat ada pengisi (I: XLVII).

Akan berkunjung bagi yang terpanggil, tergerak benang-benang halus,
setiap kehendak lelangkah dipersaksikan, tercatat di lembaran hayat (I: XLVIII).

Kalam menyeret mata pena dari titian cinta meninggalkan curiga,
mengekalkan janji setia secantik sepasang merpati berkejaran di udara
ialah insan diberi kasih dekapan mesra semesta (I: XLIX).

Laksana kisah uap membumbung ke angkasa jiwa
berkecupan di pucuk-pucuk daun disepuh cahaya rasa purnama
pada siratan kluwung, padang rumput memekarkan mahabbah (I: L).

Seumpama sayap lautan bertemu pantai, hati nan tergerai
gugusan bintang permata, pengikat bengi menggugah kelahiran berita (I: LI).

Sakit penuh terobati, ganjil terkelupas hening bercampur lebur,
kelopak-kelopak teratai merawat kerahasiaan malam,
menanti-nanti kehadiran seorang panutan (I: LII).

Walau malam tak seputih batu biduri atau susu murni,
ia tetap datang kepadamu, sebab rindu telah disampaikan awan (I: LIII).

Lintang hadir di pantai pedusunan, rumah membuka dedaun jendela, hasrat
bumi tersentak berdetak, luput dari pandangan memasuki alam temaram (I: LIV).

Ia di sisimu sampai lupa datangnya pertemuan,
melepaskan kejaran ke mana perginya (I: LV).

Tidak patut menyangkal kesungguhan, seharusnya kau dengar, selebihnya
jarak tak terjangkau dari dekat ingin tenang, menuju selimut pengasingan (I: LVI).

Ia melengkapi bila tersingsal, menyuguhkan batin di meja perkenalan,
anggur dinanti-nanti saat sungai mengering, sumber hujan datang kepadamu,
sawah-ladang dahaga memohon (I: LVII).

Dari puncak jauh air mengalir kemari, ke ladang-ladang kerontang
kecuali di kebun tebu, sebab kemarau menghadirkan gairah menantang manisan,
ini hasil perasan penuh kasih, berkeringat kerja sungguh memabukkan (I: LVIII).

Dalam perayaan, ia menarikan gemulainya bulu-bulu sayap burung merak
kala sang raja sedang berburu, itulah terbesar bagimu perihal jejiwa keagungan,
melenggak elok bersahabat, sahaja difahami, hikmahnya mudah didapat (I: LIX).

Marilah hadir bersama keindahan, membimbing kesadaran alam terdalam,
sia-sia dipenuhi hikmah, malapetaka jikalau ajaran berharga dibuat bangga (I: LX).

Bersama kilauan kabut marilah hadir melambai nan mengembang,
murnikan mutiara pagi hijau di jalanan membentang, sesulur awal perjumpaan
mentari walau gerimis, awan rindu sepenggala di tanah basah kelahiran (I: LXI).

Di punggung pebukitan, pesawahan padi tersapu bayu pengharapan,
mengibaskan rambut pepohonan cemara, isyaratkan pergantian musim,
merekam kenangan di setiap degupan, berlalu-lalangnya waktu (I: LXII).

Semulur bayu membawamu ke sana, wahai penanti kesegaran,
setiap petikan kata tertangkap ruhnya kepada jasad pergolakan
darah-daging tercabik mengikuti tarian jerami (I: LXIII).

Bongkahan kayu usia dari tungku masa silam,
menyisakan asap berabu hingga muksa menuju danau pelayaran (I: LXIV).

Hisaplah daun-daun malam melayang, tertangkap di terangnya bulan,
rerumputan terlelap, serangga berkidung di samping kau bercakap,
mengenai titah pujangga dari sepinya impian (I: LXV).

Mengguyur lemah membangkitkan kelahiran, kau bangun wajah berseri,
menyambut kekupu dari kepompong sutra hati (I: LXVI).

Mencipta senyum membayang sewaktu debarannya menguat,
matahari setinggi dahan akasia, heningnya memuncak,
mengisi jiwa tenggelam, debu berhamburan di sorot cahaya (I: LXVII).

Hadir tiada akhir bagi awal jawaban,
bentangan kesunyian berduyun saling memanggil, menanti bagian (I: LXVIII).

Batin isyaratkan anak telanjang dada, menikmati hembusan putri angin
di bawah pohon pada tanah kelahiran pertama (I: LXIX).

Kisahkan hikayat pertemuan sebelum perahu meluncur melaju
menelan gelombang demi badai, semakin menemukan kerahasiaan,
pertanda tujuh hari terlewati bagi gairah kabar di ujung abad (I: LXX).

Yang berdegup luruh, batu terkubur lapisan waktu kesungguhan lebur
di tanah moyang, ialah titah di setiap menyunggi kerinduan (I: LXXI).

Yang lelah tiada terasa, ketika memandang jalan di belakang terlihat awan
mengkumpulkan satu-persatu pegangan (I: LXXII).

Senyum terakhir, bekal pulang tidak terlupakan,
kekal dalam hati, tiada musnah ataupun muksa (I: LXXIII).

Secukup mimpi menyempurnakan bunga tidur di garis wajah,
tetapi tidak sanggup melupakan seluruhnya, itu bekas jejak ia tempuh (I: LXXIV).

Embun di daun jati menghabiskan siang kata bosan, digoyang dedahan
tak terusik sebab waktu belum bertibaan, sesal terucap tiada sampai (I: LXXV).

Apakah sedang bergelagat? Biarkan masa menajamkan lapar,
menerima pandangan kini disangsikan bagi cikal bakalnya langgam (I: LXXVI).

Berkacalah terlebih dulu sebelum ada yang datang ke kediamanmu,
ia di antara mereka, yang lenyap dalam cerminmu (I: LXXVII).

Ia tidak melebih-lebihkan yang ada, di hari nanti penuh diresapi
puting ibu oleh kesungguhan anak-anaknya (I: LXXVIII).

Beranjaklah dari ketersipuan menerima layang darinya,
keprasahajaan laku tiada jemu kegilaan menggapai masa
ialah syair gubahan alam berkembang di musim semi (I: LXXIX).

Menawarkan butiran garam di setiap pantai, buah korma di meja perjamuan,
kesegaran bau melati putih, serta mawar merah berduri (I: LXXX).

Kapas randu ditiup hawa kemarau pegunungan selatan,
masihkah terhempas di dada berdecak kagum kehidupan
akan rindunya malam berdegupan jaman (I: LXXXI).

Barangsiapa sakit menjelma kesaksian ke ujung jawaban
sebagai hakekat terciptanya ada sebelum kelahiran (I: LXXXII).

Bila yang hadir ketiadaan, sambut kekurangan darinya,
tidakkah murka langit melipat-lipat mega menjelma nyata di cakrawala (I: LXXXIII).

Tuhan memberi lebih kepada pupusnya dambaan, namun waktu senantiasa
datang dan pergi tiba-tiba, ini terawat bumi sehingga ada mengikisnya (I: LXXXIV).

Dibawa pergi mengendarai turangga sembrani meninggalkan masa menuju
pucuk-pucuk semesta, sedang para utusan mendekati beruapan kasih (I: LXXXV).

Kabut ganjil, sederap langkah paling lembut,
tetesan embun dilewatinya dalam kedamaian telaga,
menembusi abad nanti yang belum menjelma (I: LXXXVI).

Yang tersenyum menanggapi dengan kagum bergumam,
kalian tanpa bertanya dihantui kala mengikuti nurani (I: LXXXVII).

Semerbak kembang dengan tetangkai menjalar, mengantung di antara ruang
perjumpaan, itulah jelmaan asap dupa dari bumi berkisah keagungan (I: LXXXVIII).

Mereka terkesima geraian rambut jiwamu, jujur menerima persuaan
menghadirkan ketakterhinggaan perasaan, mimpi setengah dibangunkan
teringat nafasmu takkan luput, walau menjauh tinggalkan pantai (I: LXXXIX).

Memetik kembang paling anggun di jalan ia tempuh,
demi persembahan bagimu (I: XC).

Kini berdua setelah para malaikat meninggalkan suasana,
suka cita dibangunkan sayap-sayap seputih kapas randu kemarau,
kaki-kaki mengapit erat punggung turangga sembrani (I: XCI).

Lalu naik ke tingkatan langit paling tinggi,
tiada debu beterbangan, angin lembut melepaskan selendang (I: XCII).

Dan tidaklah perlu memertik sekar kembali di taman duniawi, sebab
di sisinya telah ada, kembang paling manusiawi di antara bunga surgawi (I: XCIII).

*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

Jumat, 19 September 2008

Berenergi Sedih

A Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/

Sehabis membaca cerpen (cerita pendek) Mein Dina Oktaviani di Jawa Pos, 29 Juni 2008 membuatku kembali berenergi positif dalam hidup. Hari-hari terakhir ini, aku sangat malas dan dihantui kesuntukan pesimis menjalani hidup. Hidup seakan sangat menjenuhkan sekali dan hanya menambah-nambah masalah saja. Dalam keadaan seperti itu, di mana kondisi psikis sangat tak bisa diajak kompromi, aku sonder seluruh rutinitas kegiatan, semisal membaca dan menulis. Jujur, hal lain yang membuat aku tertarik pada cerpen itu adalah ilustrasi apik (gambar gadis beraut sedih seakan berharap sesuatu) yang akrab dengan warna jiwaku.

Dalam kerinduan selalu ingin hidup stabil, aku berpikir dan merenung, meminjam istilah Pak Guru J. Sumardianta, mengaudit kesibukan-kesibukan guna antisipasi kesadaran palsu. Lazimnya orang sedih, kesedihanku tak jauh beda. Jika orang tatkala sedih beraura murung, aku pun menjalani kesedihan secara sama. Yang membedakannya (pengalaman kesedihan) hanyalah suasana transenden tiap-tiap orang. Aku misalnya, lebih menghadapi kesedihan dengan meninjau masa silam, pertanyaan dalam benak yang senantiasa keluar adalah “Apa yang telah aku lakukan, kok kesedihan sangat mendominasi pada diriku.”

Tak disangka, lambat laun tampil pertanyaan yang dikemukakan telah lama oleh J. Sumardianta, “Kesedihan macam apa yang Qorib rasakan? Anak muda saat ini senantiasa merelikui semangat Bung Karno, mendengus-dengus di kamar kos.” Kesedihan yang merundungku belum ada apa-apanya dibanding kesedihan yang dialami orang lain termasuk J. Sumardianta. Pak Guru, selain memikirkan dirinya, dituntut sibuk memberi nafkah lahir-batin kepada keluarga. Tiap aku tanyakan, kenapa Pak Guru ndak pensiun-pensiun dalam nulis di media. Jawabnya, selain memagari semangat literasi, Pak Guru juga mengais dari honor yang diberikan koran untuk menghidupi keluarga, dan buat biaya anak-anaknya yang sekolah.

Kembali pada permembincangan cerpen Dina Oktaviana, Mein. Mein, tokoh rekaan Oktaviana representatif menggambarkan kesedihan yang dialami olehku. Mein cukup lihai agar kesedihan yang merundungnya tak lekas tampil diwajahnya. Seperti kalimat yang tertera di cerpen tersebut, Mein telah terlatih menghadapi energi kesedihan agar tak langsung diapresiasi oleh raut wajahnya.

Inilah risalah energi kesedihan. Kesedihan hanyalah milik kaum yang spiritualitasnya tinggi. Merayakan hidup sedih dengan rendah hati, tidak sombong kendati berpotensi melakukannya karena memiliki segudang hal, namun tak dilakukannya. Sedih tak harus tampak pada fisik yang nestapa, aku lebih memaknai sedih dengan cukup dialami batin dan jiwa yang paling dalam untuk senantiasa patuh-tunduk pada kekuatan di luar kita.

Sajak-Sajak Mashuri

Orang Mati yang Tak Dikuburkan

datang, datanglah ke pengapku; ulir yang mengalir dari gelap; risau daun-daun dimangsa ulat; juga cahya yang pecah terbiar berdarah dilesakkan ke sekujur jazirah; kerna maut tak berbagi dalam satu detik ---segala waktu menghantu

dan tak ada dosa tak berampun di lembayungku ---hidup berkarat dalam sengau; serupa jarak memencil, sunyi labil, sambil berhibuk dengan kemarau; keesaan diri yang dicabut, dan dirambati mimpi-mimpi –mati pun berlabuh bersama hujan, tanpa suara dan terpaan

jika kau lah dipersilah, cakrawalaku tak lagi datar, serupa batas di laut lepas dan luas; tapi gelegar lah mencelat ke dalaman, menukik, ke dasar, dan kusadar: ada yang berbalik, ke bilik, menggedor sendiri, menjebol mimpi lalu menusukkan seribu belati ke terumbu ---langit

berlubang; berahasia

dinistakan

dan diantarkan ke pematang ---saat lahat demikian gencar berdentang

kau akan sampai di belulangku, dan kau akan menemui, aku lah berkarib maut, sebelum menjemput; tapi di sini, tak ada yang dikubur, kerna segalanya masih menghambur ---di udara

sebangsa selaksa asap mendesak-desak dada;

tak ada kubur bagi penyair

dan kau akan melihat seluruh tugu, batu dan nganga yang menyembilu di antara mata, telinga dan durja dipenuhi kata-kata; gerak yang memahat diri di sekujur pohon ---hidup

menghidupi, bunga, rumput juga padang-padang yang hanya berisi derak hampa; suara-suara

---kekosongan niskala

Surabaya, 2005



Orang-orang Mati Bangkit

kita ---orang-orang mati; bersendiri di ruang, diri, kita bercakap dengan gelap; tapi siapa peduli, kecuali remah sunyi yang tercampak di kaki sebelum segalanya dihitung jam, dan kita dicederai pertanyaan

hari kebangkitan?

alangkah jauh kita bersauh, lenguh kita ---hari ini—serupa pertalian dua angsa, saat leher-leher memanjang; memberi tanda; awal

lalu terpenggal; sebelum adzar terbiar berhenti di pal-pal: tempat penyimpanan alat kematian! ah terlalu berlalu, sejauh mata meloncatkan pandang ke seberang dan tak ada janji tuk kembali, kerna bintang benderang ---selamanya dalam ingatan, meski gelap berkali-kali membungkusnya dan memberi peringatan agar diam, di pangkuan semesta

di kelahiran, kita dipesan maut, serupa lumut yang terus menebal di pikiran dan perasaan, berdenyut di darah; meremangkan suasana; saat segala daun bertunas lalu gugus kubur bergegas gugur selekas kilat

meski mati mematri di nadi, kita tak ambil peduli; permainan harus dinyalakan, dalam api, di luar api; agar dalam dinginpun kita bisa membangkitkan kenang, impian, juga ingatan; dan segalanya bermula dari pergerakan diam-diam

di selangkang!

----atau bersitahan dengan diri

di pengap kamar; saat jemu serupa batu merajam!

Surabaya, 2005

Kamis, 18 September 2008

MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I - XXXIX

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=235


Allahhumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad;
ruh bersaksi sederaian gerimis mengantarkan rasa atmosfer semesta
terkumpul di dasar laut di kedalaman rongga dada pujangga (I).

Mengatup manggar sayang, mengadu dataran gurun,
gapaian kalbu menyingkap suluran tabir, berdentaman tembang ganjil (II).

Yang genap dinikmati terhuyung ingin penuh, dari awal hingga akhir
harap dipunggah, bermula lelembaran magnet cahaya rasa (III).

Kertas ini seluruhnya bertakdirkan nyawa persembahan,
kelanggengan bagi anak-anak sungai menuju muara (IV).

Maka jangan menghitung masa bertirakat,
hisaplah kutub keberadaan kekuatannya (V).

Percikan ini berasal bebijian zaitun bersimpankan minyak
cemerlang tanpa nyala api, laksana insan berkehendak tinggi
melebihi kursi kedudukan para Malaikat Ruhaniyyuun (VI).

Kesungguhan mendekatkan diri, di muka pintu serasa lenyap;
kau mendaki usia, ia suguhkan udara bagimu,
kau kunjungi telempap, ia persilakan waktu bagimu juga (VII).

Jangan mewujud tanya gentayangan, tak diketemukan senyawa
bila belum mendapati diri berpasang-pasangan (VIII).

Kenapa sebentar-sebentar kalian menarik nafasmu kembali?,
pena ini menemani gamelan hening kalimah ke dasar relung misteri (IX).

Rengkuhan kasih sayang merawat tiap-tiap abad,
lalu gerak reinkarnasi sayapnya sampai kepadamu, ke dasar jiwamu (X).

Bulu-bulu lembut juga tegas mengajarkan aksara tidak patah
walaupun air laut berselimutkan kain sutra angkasa jiwa (XI).

Sengaja mengunjungi masa silam
puja keagungan di tengah pencarian kesejatian,
bertarian Keilahian terpatri di dinding gua sejarah
inilah relief-relief pahatan orang-orang berbudi utama (XII).

Pada gua batu yang teguh tidak binasa lahar halilintar,
pintu-jendela tertutup, hilang ingatan kan kecewa dan di sebrang angan
tiada duga, sedang damai dititipkan pada goyangan rimbun dedaun (XIII).

Tubuh letih mata senja setajam pandangan arif menakar peristiwa,
segenggam benih padi, senyum taburan suci para petani (XIV).

Hadiahkan bulir-bulir jagung dari keranjang emasmu,
rindu datang sendiri sedang gerimis sebentar lalu pergi (XV).

Membasuh kaki-kaki kembara ke makam para wali,
ada teratai bermekaran dalam bentangan waktu petang hari,
malamnya purnama, siangnya menutup kelopak-kelopak penuh rahasia (XVI).

Memindahkan rasa sakitmu dari tangan alam ke titian waktu,
serpihan cahaya langit membatu granit, serupa butiran garam
dihempaskan ombak ke bunga karang berulang-ulang (XVII).

Yang setia menyusuri jalan menapaki pantai hakikat, segera tahu
bunga Wijayakusuma merekah, bagi syarat penobatan Ratu Adil (XVIII).

Inikah cahaya kata-kata di malam purnama demi rakyat jelata?
Surat muqaddimah ini kunyalah penuh ketabahan,
rajut benang-benang sutranya bagi baju kebesaran (XIX).

Dasarnya sakit ada tombonya, sejengkal air bengawan mengaliri mata kaki,
menikmati tapakan melangkahi bencah membaca peta pesisir,
menjelma tarian pulang berjejak makna peristiwa sejarah (XX).

Mengagungkan rahmat-Nya sejauh menimba sumur terdalam,
jikalau bersemedi di dalam gua nurani (XXI).

Setiap mengambil nafas darimu memejamkan mata terpuaskan
dan ruh suci kehidupan asyik-masyuk mengejawantah (XXII).

Bukan berasal ragu menjelma keyakinan, namun
mengangkat legenda dari kurungan masa sedari kungkungan pelita (XXIII).

Niat gairah berlimpah, menumpuk bebatuan candi menstupa,
apabila tugu tegak di tengah-tengah kota, manusia berlalu-lalang saling tanya
kepada dirinya juga lebih (XXIV).

Setidaknya kalian ketahui loncatan menjangkau perasaan kaum Hawa
melebihi percepatan hitungan nalar para penanya (XXV).

Panjangnya benang layang-layang ditiup bayu,
rambut terurai selendang mendatang yang mendentang
dan wengi melahirkan hikayat di bawah sadar penciptaan (XXVI).

Di terik mentari mereka enggan bersapa, maka ingatlah
yang mengalir ke bawah hati senantiasa berabadi
melepas beban ruang waktu pengisi sesungguhnya (XXVII).

Apabila menyelami inti sadarnya alam menjernihkan mata batin,
itulah embun di idep-nya kembang Prabusetmata (XXVIII).

Sengaja melibatkan hukum-hukum langit di bukit Giri
tersebab bumi menggosok-gosokkan tubuh mentari kian renta (XXIX).

Anak-anak jaman menjunjung kepundennya,
menciumi tangan-tangan mewangi (XXX).

Bunga merekah di awan meneteskan gerimis embun kahyangan,
terhisap para kembara yang mengajari jiwa-jiwa kalian (XXXI).

Tetapi rautnya kerap berubah jikalau pandanganmu gusar, maka
nyalakan api ke satu titik, setiap insan menyembunyikan tanya sebenarnya
; aku ingin terkubur di dasar laut, kata kembara (XXXII).

Yang hafal menancapkan keyakinan dalam-dalam,
lalu keringat kesembuhan menguap
melampaui awan ribuan jendela hujan (XXXIII).

Terbangun puing-puing menjelma lestari
dan umur berserakan tertata kembali (XXXIV).

Sebelum sampai hembusan membesar
sebentar-sebentar kalian merasa kekenyangan,
ini bukan kembang gula atau jajan pasar (XXXV).

Menujulah kepada diri kesucian,
saat di jalan licin mendapati tongkat di tengah-tengah sebrang titian,
bebatuan mulia kau simpan, tetapi para kekasih tidak membutuhkan (XXXVI).

Isyarat sudah cukup atau kalian telah muntah,
mimpinya lebih berharga dari selingkar kalung di leher putri raja (XXXVII).

Bulan tidak pecah hanya tanggal di kalender malam
dan masa mengembalikan tubuh purnama (XXXVIII).

Ragumu menghantui, tekadmu berjembatan,
ia di sisimu di setiap engkau rebah (XXXIX).
---

*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae