Kamis, 21 Agustus 2008

For You; Love

Nh. Anfalah

Aku Naia. Gadis sebatangkara. Entah mengapa hidupku seperti tak berguna. Hanya Allah-lah satu-satunya sang Kuasa yang takdirnya harus kuterima.
“Pisang,... Goreng,… Pisang gorengnya, Bu. Masih hangat.” Lantang suaraku semakin meramaikan pagi yang cerah. Begitulah, tak ada seorang pun yang mengiraukanku.

Sering kudengar bisik-bisik yang tak menyenangkan. Ejekan, cemooh, caci dan maki sudah terbiasa bersarang di telingaku. Kadang kalau pisang gorengku tak laku, aku membawa dan menjualnya ke kampus, meski banyak yang takut dengan luka bakar di pipiku yang menjijikkan. Semua kulakukan hanya demi kuliahku. Demi ilmu. Demi hidupku. Dan demi cintaku. Cinta yang tak terbalas. Cinta yang tak tersampaikan yang berakhir dengan penantian tak berujung.

“Iih… Si dia ngelamun tuh. Ngelamunin pisang gorengnya, kaleee…. Hey, Naia. Lihat pisang goreng lu…!”
Tak kuhiraukan celoteh si Amel sebelum ku dengar suara yang ramai di kantin yang memang berdekatan dengan kelasku. Aku segera menuju ke kantin tempat penjualan pisang gorengku dan kulihat…

“Astaghfirullahal ‘adzim…” Kulihat pisang goreng dan wadahnya di tendang-tendang dan dibuat main oleh si kaya bergengsi Jeny dan teman-temannya.
“Jeny, jangan…!” cegahku.
“Hey, teman-teman. Ini dia si monster datang,” serunya. “Hey, ini pisang goreng lu ‘kan?! Ambil dong! Kamu bukannya udah terbiasa makan makanan kotor kayak gini, hah?! Gue heran, bisa-bisanya kampus favorit kayak gini nerima gembel kayak lu. Apalagi di kelas gue. Kelas tempat anak tajir semua.”

“Eh, Jen. Denger-denger dia suka sama Martin,” Marta berceloteh. Aku bingung mau berkata apa. Mulutku serasa terkunci.
“Apa?! Nggak salah denger?! Bocah kayak gini suka Martin?! Lu jangan mimpi deh. Martin itu milik gue. Milik Jeny si cantik di kampus ini. Lagian, Martin itu sampai kiamat pun juga gak bakalan mau sama lu. Udah gembel, miskin, monster,… Iih,… jijik.” Dan semua berakhir dengan jitakan keras dari tangan Jeny yang membuat kepalaku terasa sakit.

Aku menangis sesenggukan membereskan pisang gorengku yang sudah kotor dan hancur. Saat itulah, sempat mataku tertuju kepada Martin yang lewat di depanku. Dingin dan acuh tak acuh seperti biasanya. Entah kenapa hatiku terasa tenang melihat dirinya yang begitu mengagumkan.

Martin merupakan salah seorang cowok top dan beken di kampus. Banyak di antara cewek-cewek yang berlomba-lomba mendapatkan hatinya. Tak terkecuali Jeny. Sayang, dengan ketampanan, kekayaan, dan kepintarannya, dia seperti gunung es yang dingin dan angkuh. Tak ada yang bisa meluluhkan hatinya. Apalagi aku.

Ya, Allah. Sungguh, kapankah cintaku akan terwujud. Cinta yang murni. Suci dari lubuk hatiku yang paling dalam. Bukan karena dia kaya, pintar, dan tampan yang membuat semua orang tergila-gila. Bukan. Tetapi karena sesuatu. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sesuatu yang abstrak dan tak kupahami.
* * *

Aku masuk pagi seperti biasanya. Meski lebih awal, daganganku pun aku bawa ke kampus, karena ada kegiatan ekstra. Dan dosennya kali ini bener-bener killer.

Tapi, alangkah malang nasibku hari ini. Sebuah mobil silver menyerempetku. Akibatnya, bajuku yang sudah tak bagus ini terkena sisa air hujan semalam bersama kotoran jalan. Mataku berkaca-kaca. Ingin rasanya aku marah. Tapi, pada siapa. Dan alangkah terkejutnya diriku ketika di kejauhan mobil itu berhenti. Ternyata,… ya Allah, pemilik mobil itu adalah Martin.

Mataku yang berkaca-kaca seketika menunjukkan gurat-gurat senyum. Aku berharap dia menghampiriku, mengucapkan kata maaf, dan memberikan tawaran untuk naik mobil bersamanya. Atau, setidaknya dia memberikan senyumnya kepadaku. Dan entah apa yang dipikirkannya ketika dia hanya menatapku dingin seperti biasanya.
Perlahan aku bangkit. Melangkah penuh ragu. Tetapi, dia malah kembali masuk mobil. Lantas melaju bersama deru yang meninggalkanku. Aku kecewa.

Kenapa?! Padahal hanya sebuah senyum saja. Nggak lebih. Senyum yang tak pernah tampak dan kulihat seumur hidupku. Apa mungkin Martin lahir di dunia ini tanpa senyum? Dia anti senyum? Atau ada yang salah dengan syaraf-syaraf pada bibirnya? Atau mungkin, dia punya kelainan penyakit sehingga tak punya senyum atau yang lainnya? Ah, nggak mungkin. Bukankah senyum itu sebuah shodaqoh? Tapi, apa yang terjadi dengan Martin? Kenapa?!

Aku terus merenung sampai akhirnya mataku menangkap sebuah benda seperti buku, tepat di tempat Martin berhenti tadi. Kupercepat langkah.
Kuambil buku itu. Dan ternyata, buku itu memang milik Martin. Sebentar kubuka lembar demi lembar buku itu, hingga kutemukan;

Aku benci dengan perempuan. Perempuan sangatlah menyebalkan. Semua perempuan sama. Aku benci mereka. Apalagi perempuan di kampusku. Mereka lebih menyebalkan dari yang aku kira. Aku benci mereka sampai kapanpun…


Aku diam terpasak dalam pertanyaan. Kenapa seperti itu?
Aku terus menyusuri jalan yang sepi. Sesampainya di kampus, aku tersontak ketika melihat jam besar menunjukkan 07.30. Padahal aku berangkat pukul 05.30. Apa saja yang aku lakukan?! Jelas saja aku terlambat. Bagaimana ini?!

Aku segera menuju ruang ekonomi semester II. Aku lebih memilih memberikan buku ini ke Martin terlebih dulu. Masalah guru killer itu urusan nanti lah. Akan tetapi, liftnya sedang rusak. Jadi aku harus berjalan lewat tangga dengan lebih cepat. Karena ruangnya ada di lantai 5. Paling atas.

Aduh. Aku nggak bisa berpikir ulang. Malu. Aku malu. Anak ekonomi tuh dari dulu saingan berat sama anak hukum. Apalagi anak ekonomi tuh mayoritas 85% cowok dan terkenal usil. Meski cowoknya cakep-cakep. Bagaimana kalau aku dikerjain dan diusilin?! Ah, sudahlah. Tak ada waktu lagi. Aku harus segera masuk ke ruang kelas itu.
Lewat jendela, kulihat Martin berdiri di depan dosen itu. Prof. Fariqotur Rohman, dosen ter-killer di kampus ini.
Cepat…! batinku berucap. Aku segera berjalan ke ruang itu, meski ragu. Sebentar aku sudah di pintu. Bagaimana ini?!
“Assalamu’ alaikum.”

Hanya dosen ter-killer itu yang menjawab. Sementara semua mahasiswa seperti terbengong-bengong.
Seketika ia mengarahkan matanya kepadaku. Aku semakin gugup. Semua mata menatapku lekat-lekat. Hanya Martin yang tak menoleh sedikitpun, karena memang dia membelakangiku.

Aduh. Lidahku kelu.
“Hallo!” seru dosen ter-killer itu tiba-tiba di depanku.
“Hey, di sini bukan tempat untuk melamun. Kalau tidak ada perlu, cepat pergi. Kamu bukannya anak hukum? Kenapa di sini?!”
“Ehm, sss… sssa… sssaya menemukan buku Martin yang jatuh, Pak.”
Kulirik Martin menoleh padaku. Aku segera menunduk. Tak berani menatapnya. Entah bagaimana reaksinya?! Yang jelas mungkin bukan sebuah senyum. Marahkah? Bencikah dia padaku?
“Ini, Pak. Maaf mengganggu pelajaran anda.”
Aku bergegas pergi dengan malu dan takut. Meninggalkan ruang kelas Martin yang tetap tenang.

Lalu bagaimanakah ini? Bagaimana nanti kalau aku dimarahin Pak Affandi yang juga killer di kelas sekarang? Dengan sedikit keberanian, aku terus melangkah hingga di depan pintu.
“Assalamu ’alaikum,” suaraku memecah keheningan. Seketika Pak Affandi menoleh tanpa menjawab salamku. Tatapan mata yang tajam membuat aku semakin takut. Aku masih menunduk. Terdengar bisik-bisik dan tawa teman-teman.

Perlahan Pak Affandi beranjak dari tempat duduknya dan menghampiriku. Kalaupun pada waktu itu aku memilih pergi, aku akan berlari sekencang-kencangnya.
“Kenapa kamu terlambat?” serunya.

“Jawab pertanyaan saya! Kenapa kamu terlambat?” tambahnya membentak semakin membuatku tak berdaya. Sepertinya mulutku tidak bisa diajak kompromi.
“Ayo jelaskan! kenapa diam?!”
“Sss… sss… sssaaya…”

“Kamu tahu, sekarang jam berapa?! Sekarang sudah jam 07.45. Saya paling benci dengan mahasiswa yang tidak disiplin. Sekarang kamu berdiri di lapangan sampai waktu pulang!”

Aku tersentak. Tapi, apalah daya. Aku harus berdiri di tengah lapangan yang didukung oleh matahari yang membuatku menderita. Meskipun demikian, aku senang. Terlambatku bukan karena keteledoran atau apalah itu. Melainkan karena sebuah pengorbanan cinta?

Waktu berlalu. Jam mata kuliah pun usai. Semua mahasiswa menghambur keluar, meski masih ada yang tetap di ruangan karena masih ada jam ekstra. Ingin aku ikut pulang juga seperti yang lain. Tapi, Pak Affandi masih mengawasiku dari kejauhan. Sehingga aku tidak berani bergerak. Saat itu Martin lewat di depanku. Tanpa senyum yang sangat ingin kulihat. Padahal semua ini kulakukan hanya demi dia. Demi cintaku padanya. Tentu saja aku kecewa. Namun, apa mau dikata. Aku hanya pasrah.
* * *

Sepekan telah berlalu, di kampus diadakan acara perkemahan. Aku ingin sekali ikut acara itu. Ternyata Jeny juga ikut. Tapi, aku tak perduli.

Hari yang dinantikan tiba. Kami berangkat naik bus. Tanpa disangka aku satu bus dengan Jeny. Dan ternyata disana juga ada Martin. Dia diam membisu. Padahal aku duduk tepat disampingnya. Aku begitu gugup dan bahagia. Namun,…

“Hei,...pindah! Ini tempat dudukku. Nyadar dong, beraninya duduk di dekat Martin.” Bus yang semula ramai menjadi sepi karena tindakan Jeny. Saat itu ekspresi Martin tidak berubah.
Saat malam diadakan penjelajahan, di tengah perjalanan Martin tidak ada di tengah rombongan. Kami mencarinya, namun hasilnya nihil. Pencarian dihentikan dan diteruskan besok. Aku sangat tidak sabar dan khawatir. Akhirnya aku mencarinya sendiri. Dan setelah beberapa lama, aku mendengar suara orang minta tolong.
“Tolong,... tolong,…” Aku seperti tahu pemilik suara itu. Aku mendekatinya.
“Martin?!”
Ternyata Martin hampir jatuh ke jurang dan dia hanya bergantung pada cabang pohon. Aku segera menolongnya.

Akhirnya dia bisa terselamatkan dengan menggunakan tali. Aku sangat shock. Aku hampir jatuh dan tanganku memar-memar. Sebentar aku dan Martin hanya terdiam membisu, lalu Martin berlalu dari pandanganku. Aku tidak menyangka setelah semua itu.
“Martin, kamu tidak apa-apa?” Jeny dan rombongan menemukan kami. Martin hanya menggeleng, lalu pergi. Tidak peduli.

Setelah itu kami kembali. Aku kembali ke rumah. Aku betul-betul kecewa. Padahal aku sudah menolongnya, namun sikapnya tetap sama. Sebenarnya dia diciptakan dari apa?
Aku berangkat pagi seperti biasa. Aku langsung menuju ke kelas hukum. Aku hanya duduk terdiam, membaca tulisan di depan; “DASAR MONSTER PEMBUNUH.” Semua teman-teman memandangiku sinis. Aku begitu marah, tapi aku hanya bisa menangis.

Jeny datang ke ruanganku. Dia dengan teman-temannya mengejekku. Aku tak peduli. Aku hanya takut...
“Dasar monster! Kamu mau membunuh Martin karena tidak bisa memilikinya ‘kan? Ngaca sana! Pikir dong! Martin itu kaya, cakep dan cuma serasi sama aku.”

Semua yang ada di sana memandangku dan Jeny. Mereka seperti mengiyakan perkataan Jeny. Saat itu Martin lewat kelasku dan menuju ke loteng. Sesaat aku terdiam. Dan sepertinya, Martin marah.
“Martin, kenapa sikap kamu seperti itu? Aku tahu kau membenci perempuan. Tapi kenapa? Tidak semua perempuan itu sama. Aku memang jelek, miskin, dan menjijikkan…” Martin menatapku tajam.

“Bagus kalau kau tau itu.”
Martin langsung pergi. Meski kata-katanya menyakitkan, tetapi baru kali ini dia bicara padaku secara langsung. Aku kembali ke kelas dan bertemu dengan pak Doni. Dia satu-satunya dosen yang ramah di kampus. Aku menatapnya sesaat. Aku langsung menuju tempat dudukku. Tapi pada saat itu, pak Doni memulangkan kami karena ada rapat.

Semua sudah pergi, tinggal aku dan pak Doni. Dia menghampiriku.
”Naia, ada apa? Apa ada masalah sampai kamu seperti ini?” Senyumnya yang ramah membuatku jadi luluh dan menceritakan semuanya.
“Sebenarnya, aku bersedih karena Martin. Bapak tahukan, kalau aku mencintainya. Tetapi sikapnya betul-betul dingin.” Airmataku mulai keluar.

“Martin mempunyai masa lalu yang kelam,” kata pak Doni mulai bercerita. “Dulu saat Martin masih kecil, ibunya kecelakaan. Tim SAR mencarinya ke mana-mana, tetapi tidak ditemukan. Saat itu aku adalah dokter muda yang melakukan praktek lapangan. Aku melihat sebuah mayat seorang wanita. Aku mengira wanita itu telah meninggal karena darah yang keluar dari tubuhnya sangat banyak. Tapi setelah kuperiksa, denyut nadinya masih berdetak. Lalu aku membawanya ke rumah sakit. Aku menemukannya tanpa identitas apapun atau nomor telepon yang bisa dihubungi. Selama ini orang-orang menganggapnya telah meninggal. Keadaannya parah, dan baru dua tahun terakhir ini dia mulai membaik. Dan saat ini dia sedang pemulihan. Wanita itu menceritakan semua masa lalunya.”

“Sebenarnya, apa maksud bapak menceritakan semua ini? Dan siapa wanita itu sebenarnya?” Aku agak bingung, namun pak Doni mengerti pikiranku.

“Wanita itu adalah ibu kandung Martin,” pak Doni menjelaskan. “Martin mengalami trauma yang mendalam, karena itu jika ia melihat perempuan, ia ingat akan ibunya. Padahal ia sangat ingin melupakannya. Akhirnya aku mengerti perasaan Martin. Dia kehilangan kasih sayang ibunya dan melampiaskannya kepada para wanita. Sebaknya kamu menemui Martin dan menceritakan semuanya pada Martin.”

“Tapi, dia sudah pulang.”
“Kalau begitu, tunggu sampai besok.”
Pak Doni meninggalkanku. Lalu aku mengikuti di belakangnya. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Martin saat mendengarnya.

Aku pergi ke kantin mengantarkan daganganku. Saat aku keluar, aku melihat Jeny meletakkan sesuatu di sekitar pisang. Aku tidak menaruh curiga sedikitpun. Aku langsung pergi ke loteng. Seperti dugaanku, Martin sudah berada di sana.

“Martin,” aku membuka pembicaraan. “Tolong, untuk saat ini dengarkanlah aku. Ini sangat penting untukmu.” Martin tetap tidak memperdulikanku.

“Martin, ini,... ini,… tentang ibumu.” Akhirnya Martin menoleh padaku.
“Apa yang kau ketahui tentang ibuku?”
Awalnya aku takut menceritakan semuanya. Tapi tatapan Martin memberiku kekuatan, dan aku memberitahukan Martin tentang keberadaan ibunya.

Martin lalu menyeretku menuju rumah sakit di mana ibunya sekarang sedang dirawat. Detak jantungku yang mulanya normal, sekarang menjadi tak beraturan. Setelah bertanya ke ruang resepsionis, dia langsung berlari ke kamar ibunya. Martin lalu masuk dan memeluknya ibunya. Dia merasakan kehangatan seorang ibu setelah bertahun-tahun ia kehilangan ibunya.

“Martin anakku.”
Aku tahu bagaimana perasaan Martin sekarang, karena aku tidak punya ibu.
“Martin, kau,… kau sudah besar.”
Aku begitu terharu melihatnya. Aku membayangkan jika ini terjadi padaku, aku akan sangat bahagia. Selama ini Martin sangatlah menderita. Mungkin detik ini deritanya hilang. Pak Doni masuk ke ruang kami.

“Bagaimana keadaan ibu saya, dok? Saya ingin membawanya pulang.” Martin sangat berharap pak Doni yang seorang dosen dan sekaligus dokter mengizinkannya.
“Jangan sekarang. Ibumu masih harus dirawat di sini. Dia belum sembuh total. Sebaiknya kamu menceritakan tentang ibumu kepada ayahmu. Dia pasti akan bahagia mendengarnya.”
Meski Martin kecewa karena tidak bisa mengajak ibunya pulang, tapi paling tidak dia bisa menemukan ibunya. Ayahnya bahagia mendengar bahwa istrinya masih hidup

Esok harinya Martin ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya. Keadaannya semakin membaik. Martin lalu pergi ke kampus. Aku melihatnya pergi ke loteng dengan wajah berbinar-binar. Dia sekarang pasti sedang bahagia. Aku menyusulnya ke loteng, tapi pandangannya masih tetap dingin kepadaku. Sepertinya dia tidak suka aku mengikutinya. Padahal aku ingin sekali melihat senyum mengembang di wajahnya. Saat marah saja dia begitu manis. Apalagi saat tersenyum, pasti...

“Untuk apa kamu mengikutiku?!” bentaknya membuyarkan lamunanku.
“Pergi!!! Aku tidak mau kau mendekatiku. Bukankah aku orang yang jahat. Bukankah aku terbuat dari batu?!” Baru saja aku membayangkan dia tersenyum padaku, dia malah berkata sekasar itu. Tapi, bagaimana dia tahu pikiranku. Meski begitu aku tidak bisa marah. Jiwanya mungkin masih labil. Trauma yang sudah berakar tidak bisa hilang begitu saja. Dia terus berlalu meninggalkanku.

Aku kembali ke kelas. Jeni memandangku dengan emosi. Dia pasti cemburu melihat kedatanganku dengan Martin. Padahal Martin begitu dingin padaku.
Hari ini aku bangun lebih pagi, karena jam pertama adalah milik pak Affandi. Lima detik saja aku terlambat, aku pasti dikeluarkan dari kelas. Sebelum ke kelas, aku ke loteng. Tapi Martin tidak ada di sana. Aku lalu pergi ke kantin.

Penjaga kantin mengomeliku. Dia bilang makananku ada racunya.
“Naia, selama ini aku percaya padamu. Tapi, kamu merusak semuanya. Kamu membuat semua pelangganku pergi.”

“Maksud ibu apa? Aku nggak ngerti, bu.”
“Nai, ibu sudah mengenal kamu bertahun-tahun dan membolehkan kamu berjualan disini. Tapi, apa balasan kamu?! Gara-gara membeli pisang goreng yang kamu buat, semua yang beli makanan di sini pada sakit perut. Memangnya apa yang kamu campurkan dalam makananmu?! Apa Nai?”

“Bu, Naia tidak tahu apa-apa. Naia tidak pernah bermaksud macam-macam sama para pelanggan dan mahasiswa di sini. Mereka kan ‘juga teman-teman Naia.”
“Ahh,… sudahlah, ibu mau pulang.”
“Bu, Naia...” Suaraku terputus. Ibu kantin tidak menghiraukan. Dia marah kepadaku. Aku terdiam membisu.

Aku tersadar dan terus melangkah. Sepanjang koridor kampus sudah sepi. Aku melangkah pergi ke tempat seperti biasanya. Tempat yang selalu menjadi curahan hatiku. Tempat aku mengadu segala penderitaanku. Aku menangis sepuasnya. Kenapa sih hidupku harus seburuk ini?!

“Naia!” Aku menoleh dan Martin telah berdiri di depanku
“Martin, kenapa kamu disini?”
“Aku ngerti apa yang menimpamu sekarang ini. Tapi, aku percaya. Kamu nggak mungkin melakukan hal seperti ini. Pasti ini semua ulah Jeny.”

“Jeny?! Tapi,… Itu mungkin saja, karena tadi pagi aku melihatnya menaruh sesuatu di makananku. Tapi aku tidak menaruh curiga sedikitpun.”
“Sudahlah jangan terlalu memikirkan itu. Aku pasti membantumu mengatasi masalahmu. Sekarang kamu mau ‘kan ikut aku menjenguk mama?! Apa?! Kamu serius?”

“Tentu saja. Memang aku tipe orang yang suka bercanda.”
Akhirnya aku nurut aja. Aku memang mengiginkannya, dan baru kali ini Martin bicara banyak. Aku merasa dia begitu menenteramkan jiwaku.

Martin berbicara panjang lebar dan mengenalkanku pada ibunya. Ibu Martin kelihatan sudah sehat. Senyumnya menerawang. Begitupun dengan Martin. Dia begitu manis dengan lesung pipit di pipinya. Cukup lama berselang, kami kemudian pulang berjalan kaki.
“Naia, maafkan aku. Tidak bisa mengantarmu pulang. Mobilku sedang di bengkel.”

“Tidak apa-apa. Aku sudah cukup senang kamu mengajakku menjenguk ibumu. Aku ikut senang atas kondisi ibumu yang sudah membaik dan dibolehkan pulang besok. Oya. Nampaknya kita harus berpisah.”
“Ya, aku… Aku harus pulang “
Aku dan Martin berpisah. Aku merasa harus mengungkapkan perasaanku padanya. Aku harus mengatakannya.
“Martin...” Dia menoleh tersenyum.

Ya Allah, sungguh aku seperti tersihir oleh senyumannya yang baru kulihat sekali ini dalam hidupku. Dan baru kuketahui bahwa dia mempunyai lesung pipi yang lebih dalam dan bagus ketika tersenyum.

“Ada apa, Naia?”
“Ehm, nggak apa-apa. Makasih, ya…” Perlahan dia mulai menghapiriku lagi.
“Naia, kenapa harus makasih? Seharusnya aku yang makasih dan minta maaf padamu. Selama ini aku emang nggak punya hati. Salahku banyak sama kamu. Kamu sudah sering banget nolong dan bantu aku. Tapi aku yang nggak tahu diri.” Perlahan aku tersenyum dan menunduk.

“Naia, sampai jumpa besok.” Aku mengangguk dan membiarkannya pergi. Aku tak mampu mengungkapkan kata hatiku. Tapi, Harus.
“Martin…” Aku memanggilnya sekali lagi. Padahal dirinya sudah berjalan agak jauh. Dia menoleh dan melambaikan tangannya.

Tiba-tiba dari kejauhan kulihat sebuah truk berjalan dengan kecepatan tinggi tanpa bisa terkendali. Bagaimana ini? Aku berlari sekencang-kencangnya seperti hendak terbang kalaupun bisa.
“Martin. Awas…!!!” Martin tersentak. Aku mendorong tubuh Martin. Dan…
“Aaauuww... “ aku menjerit kerasku. Tubuhku terpental penuh darah berceceran.
“Naia…“ Martin menghampiriku
“Martin, maa… maafin aku. Ternyata umurku hanya sampai di sini.”
“Tidak, Nai. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit.”
“Nggak. Hanya satu yang aku minta Martin. Kamu mau ‘kan…” Nafasku semakin tersengal-sengal.
“Nai, kamu jangan seperti itu. Kamu harus bertahan.”
“Martin, aku… Aku haa… hanya ingin selalu menyayangimu. Izinkan aku untuk selalu mencinyaimu.” Martin menggangguk. Airmatanya menetes di pipiku yang berlumuran darah

“Nai, asal kamu tahu. Aku juga sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu. Kamu jangan ninggalin aku, Nai.”
Aku tersenyum mendengar kata-kata Martin.
“Sudahlah, Martin. Relakan aku…” Kutatap dirinya sebelum mataku berat terpejam.
“Asyhadu alla ilaaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah…”

Tubuhku terasa ringan. Dan sebelum nafasku terhenti, sempat kudengar tangis Martin. Aku bahagia Martin mau menangis. Menangis untukku. Menangis karena cintaku. Cintaku padanya. For You; Love.

Lamongan, 2007

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae