Nh. Anfalah
Aku Naia. Gadis sebatangkara. Entah mengapa hidupku seperti tak berguna. Hanya Allah-lah satu-satunya sang Kuasa yang takdirnya harus kuterima.
“Pisang,... Goreng,… Pisang gorengnya, Bu. Masih hangat.” Lantang suaraku semakin meramaikan pagi yang cerah. Begitulah, tak ada seorang pun yang mengiraukanku.
Sering kudengar bisik-bisik yang tak menyenangkan. Ejekan, cemooh, caci dan maki sudah terbiasa bersarang di telingaku. Kadang kalau pisang gorengku tak laku, aku membawa dan menjualnya ke kampus, meski banyak yang takut dengan luka bakar di pipiku yang menjijikkan. Semua kulakukan hanya demi kuliahku. Demi ilmu. Demi hidupku. Dan demi cintaku. Cinta yang tak terbalas. Cinta yang tak tersampaikan yang berakhir dengan penantian tak berujung.
“Iih… Si dia ngelamun tuh. Ngelamunin pisang gorengnya, kaleee…. Hey, Naia. Lihat pisang goreng lu…!”
Tak kuhiraukan celoteh si Amel sebelum ku dengar suara yang ramai di kantin yang memang berdekatan dengan kelasku. Aku segera menuju ke kantin tempat penjualan pisang gorengku dan kulihat…
“Astaghfirullahal ‘adzim…” Kulihat pisang goreng dan wadahnya di tendang-tendang dan dibuat main oleh si kaya bergengsi Jeny dan teman-temannya.
“Jeny, jangan…!” cegahku.
“Hey, teman-teman. Ini dia si monster datang,” serunya. “Hey, ini pisang goreng lu ‘kan?! Ambil dong! Kamu bukannya udah terbiasa makan makanan kotor kayak gini, hah?! Gue heran, bisa-bisanya kampus favorit kayak gini nerima gembel kayak lu. Apalagi di kelas gue. Kelas tempat anak tajir semua.”
“Eh, Jen. Denger-denger dia suka sama Martin,” Marta berceloteh. Aku bingung mau berkata apa. Mulutku serasa terkunci.
“Apa?! Nggak salah denger?! Bocah kayak gini suka Martin?! Lu jangan mimpi deh. Martin itu milik gue. Milik Jeny si cantik di kampus ini. Lagian, Martin itu sampai kiamat pun juga gak bakalan mau sama lu. Udah gembel, miskin, monster,… Iih,… jijik.” Dan semua berakhir dengan jitakan keras dari tangan Jeny yang membuat kepalaku terasa sakit.
Aku menangis sesenggukan membereskan pisang gorengku yang sudah kotor dan hancur. Saat itulah, sempat mataku tertuju kepada Martin yang lewat di depanku. Dingin dan acuh tak acuh seperti biasanya. Entah kenapa hatiku terasa tenang melihat dirinya yang begitu mengagumkan.
Martin merupakan salah seorang cowok top dan beken di kampus. Banyak di antara cewek-cewek yang berlomba-lomba mendapatkan hatinya. Tak terkecuali Jeny. Sayang, dengan ketampanan, kekayaan, dan kepintarannya, dia seperti gunung es yang dingin dan angkuh. Tak ada yang bisa meluluhkan hatinya. Apalagi aku.
Ya, Allah. Sungguh, kapankah cintaku akan terwujud. Cinta yang murni. Suci dari lubuk hatiku yang paling dalam. Bukan karena dia kaya, pintar, dan tampan yang membuat semua orang tergila-gila. Bukan. Tetapi karena sesuatu. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sesuatu yang abstrak dan tak kupahami.
* * *
Aku masuk pagi seperti biasanya. Meski lebih awal, daganganku pun aku bawa ke kampus, karena ada kegiatan ekstra. Dan dosennya kali ini bener-bener killer.
Tapi, alangkah malang nasibku hari ini. Sebuah mobil silver menyerempetku. Akibatnya, bajuku yang sudah tak bagus ini terkena sisa air hujan semalam bersama kotoran jalan. Mataku berkaca-kaca. Ingin rasanya aku marah. Tapi, pada siapa. Dan alangkah terkejutnya diriku ketika di kejauhan mobil itu berhenti. Ternyata,… ya Allah, pemilik mobil itu adalah Martin.
Mataku yang berkaca-kaca seketika menunjukkan gurat-gurat senyum. Aku berharap dia menghampiriku, mengucapkan kata maaf, dan memberikan tawaran untuk naik mobil bersamanya. Atau, setidaknya dia memberikan senyumnya kepadaku. Dan entah apa yang dipikirkannya ketika dia hanya menatapku dingin seperti biasanya.
Perlahan aku bangkit. Melangkah penuh ragu. Tetapi, dia malah kembali masuk mobil. Lantas melaju bersama deru yang meninggalkanku. Aku kecewa.
Kenapa?! Padahal hanya sebuah senyum saja. Nggak lebih. Senyum yang tak pernah tampak dan kulihat seumur hidupku. Apa mungkin Martin lahir di dunia ini tanpa senyum? Dia anti senyum? Atau ada yang salah dengan syaraf-syaraf pada bibirnya? Atau mungkin, dia punya kelainan penyakit sehingga tak punya senyum atau yang lainnya? Ah, nggak mungkin. Bukankah senyum itu sebuah shodaqoh? Tapi, apa yang terjadi dengan Martin? Kenapa?!
Aku terus merenung sampai akhirnya mataku menangkap sebuah benda seperti buku, tepat di tempat Martin berhenti tadi. Kupercepat langkah.
Kuambil buku itu. Dan ternyata, buku itu memang milik Martin. Sebentar kubuka lembar demi lembar buku itu, hingga kutemukan;
Aku benci dengan perempuan. Perempuan sangatlah menyebalkan. Semua perempuan sama. Aku benci mereka. Apalagi perempuan di kampusku. Mereka lebih menyebalkan dari yang aku kira. Aku benci mereka sampai kapanpun…
Aku diam terpasak dalam pertanyaan. Kenapa seperti itu?
Aku terus menyusuri jalan yang sepi. Sesampainya di kampus, aku tersontak ketika melihat jam besar menunjukkan 07.30. Padahal aku berangkat pukul 05.30. Apa saja yang aku lakukan?! Jelas saja aku terlambat. Bagaimana ini?!
Aku segera menuju ruang ekonomi semester II. Aku lebih memilih memberikan buku ini ke Martin terlebih dulu. Masalah guru killer itu urusan nanti lah. Akan tetapi, liftnya sedang rusak. Jadi aku harus berjalan lewat tangga dengan lebih cepat. Karena ruangnya ada di lantai 5. Paling atas.
Aduh. Aku nggak bisa berpikir ulang. Malu. Aku malu. Anak ekonomi tuh dari dulu saingan berat sama anak hukum. Apalagi anak ekonomi tuh mayoritas 85% cowok dan terkenal usil. Meski cowoknya cakep-cakep. Bagaimana kalau aku dikerjain dan diusilin?! Ah, sudahlah. Tak ada waktu lagi. Aku harus segera masuk ke ruang kelas itu.
Lewat jendela, kulihat Martin berdiri di depan dosen itu. Prof. Fariqotur Rohman, dosen ter-killer di kampus ini.
Cepat…! batinku berucap. Aku segera berjalan ke ruang itu, meski ragu. Sebentar aku sudah di pintu. Bagaimana ini?!
“Assalamu’ alaikum.”
Hanya dosen ter-killer itu yang menjawab. Sementara semua mahasiswa seperti terbengong-bengong.
Seketika ia mengarahkan matanya kepadaku. Aku semakin gugup. Semua mata menatapku lekat-lekat. Hanya Martin yang tak menoleh sedikitpun, karena memang dia membelakangiku.
Aduh. Lidahku kelu.
“Hallo!” seru dosen ter-killer itu tiba-tiba di depanku.
“Hey, di sini bukan tempat untuk melamun. Kalau tidak ada perlu, cepat pergi. Kamu bukannya anak hukum? Kenapa di sini?!”
“Ehm, sss… sssa… sssaya menemukan buku Martin yang jatuh, Pak.”
Kulirik Martin menoleh padaku. Aku segera menunduk. Tak berani menatapnya. Entah bagaimana reaksinya?! Yang jelas mungkin bukan sebuah senyum. Marahkah? Bencikah dia padaku?
“Ini, Pak. Maaf mengganggu pelajaran anda.”
Aku bergegas pergi dengan malu dan takut. Meninggalkan ruang kelas Martin yang tetap tenang.
Lalu bagaimanakah ini? Bagaimana nanti kalau aku dimarahin Pak Affandi yang juga killer di kelas sekarang? Dengan sedikit keberanian, aku terus melangkah hingga di depan pintu.
“Assalamu ’alaikum,” suaraku memecah keheningan. Seketika Pak Affandi menoleh tanpa menjawab salamku. Tatapan mata yang tajam membuat aku semakin takut. Aku masih menunduk. Terdengar bisik-bisik dan tawa teman-teman.
Perlahan Pak Affandi beranjak dari tempat duduknya dan menghampiriku. Kalaupun pada waktu itu aku memilih pergi, aku akan berlari sekencang-kencangnya.
“Kenapa kamu terlambat?” serunya.
“Jawab pertanyaan saya! Kenapa kamu terlambat?” tambahnya membentak semakin membuatku tak berdaya. Sepertinya mulutku tidak bisa diajak kompromi.
“Ayo jelaskan! kenapa diam?!”
“Sss… sss… sssaaya…”
“Kamu tahu, sekarang jam berapa?! Sekarang sudah jam 07.45. Saya paling benci dengan mahasiswa yang tidak disiplin. Sekarang kamu berdiri di lapangan sampai waktu pulang!”
Aku tersentak. Tapi, apalah daya. Aku harus berdiri di tengah lapangan yang didukung oleh matahari yang membuatku menderita. Meskipun demikian, aku senang. Terlambatku bukan karena keteledoran atau apalah itu. Melainkan karena sebuah pengorbanan cinta?
Waktu berlalu. Jam mata kuliah pun usai. Semua mahasiswa menghambur keluar, meski masih ada yang tetap di ruangan karena masih ada jam ekstra. Ingin aku ikut pulang juga seperti yang lain. Tapi, Pak Affandi masih mengawasiku dari kejauhan. Sehingga aku tidak berani bergerak. Saat itu Martin lewat di depanku. Tanpa senyum yang sangat ingin kulihat. Padahal semua ini kulakukan hanya demi dia. Demi cintaku padanya. Tentu saja aku kecewa. Namun, apa mau dikata. Aku hanya pasrah.
* * *
Sepekan telah berlalu, di kampus diadakan acara perkemahan. Aku ingin sekali ikut acara itu. Ternyata Jeny juga ikut. Tapi, aku tak perduli.
Hari yang dinantikan tiba. Kami berangkat naik bus. Tanpa disangka aku satu bus dengan Jeny. Dan ternyata disana juga ada Martin. Dia diam membisu. Padahal aku duduk tepat disampingnya. Aku begitu gugup dan bahagia. Namun,…
“Hei,...pindah! Ini tempat dudukku. Nyadar dong, beraninya duduk di dekat Martin.” Bus yang semula ramai menjadi sepi karena tindakan Jeny. Saat itu ekspresi Martin tidak berubah.
Saat malam diadakan penjelajahan, di tengah perjalanan Martin tidak ada di tengah rombongan. Kami mencarinya, namun hasilnya nihil. Pencarian dihentikan dan diteruskan besok. Aku sangat tidak sabar dan khawatir. Akhirnya aku mencarinya sendiri. Dan setelah beberapa lama, aku mendengar suara orang minta tolong.
“Tolong,... tolong,…” Aku seperti tahu pemilik suara itu. Aku mendekatinya.
“Martin?!”
Ternyata Martin hampir jatuh ke jurang dan dia hanya bergantung pada cabang pohon. Aku segera menolongnya.
Akhirnya dia bisa terselamatkan dengan menggunakan tali. Aku sangat shock. Aku hampir jatuh dan tanganku memar-memar. Sebentar aku dan Martin hanya terdiam membisu, lalu Martin berlalu dari pandanganku. Aku tidak menyangka setelah semua itu.
“Martin, kamu tidak apa-apa?” Jeny dan rombongan menemukan kami. Martin hanya menggeleng, lalu pergi. Tidak peduli.
Setelah itu kami kembali. Aku kembali ke rumah. Aku betul-betul kecewa. Padahal aku sudah menolongnya, namun sikapnya tetap sama. Sebenarnya dia diciptakan dari apa?
Aku berangkat pagi seperti biasa. Aku langsung menuju ke kelas hukum. Aku hanya duduk terdiam, membaca tulisan di depan; “DASAR MONSTER PEMBUNUH.” Semua teman-teman memandangiku sinis. Aku begitu marah, tapi aku hanya bisa menangis.
Jeny datang ke ruanganku. Dia dengan teman-temannya mengejekku. Aku tak peduli. Aku hanya takut...
“Dasar monster! Kamu mau membunuh Martin karena tidak bisa memilikinya ‘kan? Ngaca sana! Pikir dong! Martin itu kaya, cakep dan cuma serasi sama aku.”
Semua yang ada di sana memandangku dan Jeny. Mereka seperti mengiyakan perkataan Jeny. Saat itu Martin lewat kelasku dan menuju ke loteng. Sesaat aku terdiam. Dan sepertinya, Martin marah.
“Martin, kenapa sikap kamu seperti itu? Aku tahu kau membenci perempuan. Tapi kenapa? Tidak semua perempuan itu sama. Aku memang jelek, miskin, dan menjijikkan…” Martin menatapku tajam.
“Bagus kalau kau tau itu.”
Martin langsung pergi. Meski kata-katanya menyakitkan, tetapi baru kali ini dia bicara padaku secara langsung. Aku kembali ke kelas dan bertemu dengan pak Doni. Dia satu-satunya dosen yang ramah di kampus. Aku menatapnya sesaat. Aku langsung menuju tempat dudukku. Tapi pada saat itu, pak Doni memulangkan kami karena ada rapat.
Semua sudah pergi, tinggal aku dan pak Doni. Dia menghampiriku.
”Naia, ada apa? Apa ada masalah sampai kamu seperti ini?” Senyumnya yang ramah membuatku jadi luluh dan menceritakan semuanya.
“Sebenarnya, aku bersedih karena Martin. Bapak tahukan, kalau aku mencintainya. Tetapi sikapnya betul-betul dingin.” Airmataku mulai keluar.
“Martin mempunyai masa lalu yang kelam,” kata pak Doni mulai bercerita. “Dulu saat Martin masih kecil, ibunya kecelakaan. Tim SAR mencarinya ke mana-mana, tetapi tidak ditemukan. Saat itu aku adalah dokter muda yang melakukan praktek lapangan. Aku melihat sebuah mayat seorang wanita. Aku mengira wanita itu telah meninggal karena darah yang keluar dari tubuhnya sangat banyak. Tapi setelah kuperiksa, denyut nadinya masih berdetak. Lalu aku membawanya ke rumah sakit. Aku menemukannya tanpa identitas apapun atau nomor telepon yang bisa dihubungi. Selama ini orang-orang menganggapnya telah meninggal. Keadaannya parah, dan baru dua tahun terakhir ini dia mulai membaik. Dan saat ini dia sedang pemulihan. Wanita itu menceritakan semua masa lalunya.”
“Sebenarnya, apa maksud bapak menceritakan semua ini? Dan siapa wanita itu sebenarnya?” Aku agak bingung, namun pak Doni mengerti pikiranku.
“Wanita itu adalah ibu kandung Martin,” pak Doni menjelaskan. “Martin mengalami trauma yang mendalam, karena itu jika ia melihat perempuan, ia ingat akan ibunya. Padahal ia sangat ingin melupakannya. Akhirnya aku mengerti perasaan Martin. Dia kehilangan kasih sayang ibunya dan melampiaskannya kepada para wanita. Sebaknya kamu menemui Martin dan menceritakan semuanya pada Martin.”
“Tapi, dia sudah pulang.”
“Kalau begitu, tunggu sampai besok.”
Pak Doni meninggalkanku. Lalu aku mengikuti di belakangnya. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Martin saat mendengarnya.
Aku pergi ke kantin mengantarkan daganganku. Saat aku keluar, aku melihat Jeny meletakkan sesuatu di sekitar pisang. Aku tidak menaruh curiga sedikitpun. Aku langsung pergi ke loteng. Seperti dugaanku, Martin sudah berada di sana.
“Martin,” aku membuka pembicaraan. “Tolong, untuk saat ini dengarkanlah aku. Ini sangat penting untukmu.” Martin tetap tidak memperdulikanku.
“Martin, ini,... ini,… tentang ibumu.” Akhirnya Martin menoleh padaku.
“Apa yang kau ketahui tentang ibuku?”
Awalnya aku takut menceritakan semuanya. Tapi tatapan Martin memberiku kekuatan, dan aku memberitahukan Martin tentang keberadaan ibunya.
Martin lalu menyeretku menuju rumah sakit di mana ibunya sekarang sedang dirawat. Detak jantungku yang mulanya normal, sekarang menjadi tak beraturan. Setelah bertanya ke ruang resepsionis, dia langsung berlari ke kamar ibunya. Martin lalu masuk dan memeluknya ibunya. Dia merasakan kehangatan seorang ibu setelah bertahun-tahun ia kehilangan ibunya.
“Martin anakku.”
Aku tahu bagaimana perasaan Martin sekarang, karena aku tidak punya ibu.
“Martin, kau,… kau sudah besar.”
Aku begitu terharu melihatnya. Aku membayangkan jika ini terjadi padaku, aku akan sangat bahagia. Selama ini Martin sangatlah menderita. Mungkin detik ini deritanya hilang. Pak Doni masuk ke ruang kami.
“Bagaimana keadaan ibu saya, dok? Saya ingin membawanya pulang.” Martin sangat berharap pak Doni yang seorang dosen dan sekaligus dokter mengizinkannya.
“Jangan sekarang. Ibumu masih harus dirawat di sini. Dia belum sembuh total. Sebaiknya kamu menceritakan tentang ibumu kepada ayahmu. Dia pasti akan bahagia mendengarnya.”
Meski Martin kecewa karena tidak bisa mengajak ibunya pulang, tapi paling tidak dia bisa menemukan ibunya. Ayahnya bahagia mendengar bahwa istrinya masih hidup
Esok harinya Martin ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya. Keadaannya semakin membaik. Martin lalu pergi ke kampus. Aku melihatnya pergi ke loteng dengan wajah berbinar-binar. Dia sekarang pasti sedang bahagia. Aku menyusulnya ke loteng, tapi pandangannya masih tetap dingin kepadaku. Sepertinya dia tidak suka aku mengikutinya. Padahal aku ingin sekali melihat senyum mengembang di wajahnya. Saat marah saja dia begitu manis. Apalagi saat tersenyum, pasti...
“Untuk apa kamu mengikutiku?!” bentaknya membuyarkan lamunanku.
“Pergi!!! Aku tidak mau kau mendekatiku. Bukankah aku orang yang jahat. Bukankah aku terbuat dari batu?!” Baru saja aku membayangkan dia tersenyum padaku, dia malah berkata sekasar itu. Tapi, bagaimana dia tahu pikiranku. Meski begitu aku tidak bisa marah. Jiwanya mungkin masih labil. Trauma yang sudah berakar tidak bisa hilang begitu saja. Dia terus berlalu meninggalkanku.
Aku kembali ke kelas. Jeni memandangku dengan emosi. Dia pasti cemburu melihat kedatanganku dengan Martin. Padahal Martin begitu dingin padaku.
Hari ini aku bangun lebih pagi, karena jam pertama adalah milik pak Affandi. Lima detik saja aku terlambat, aku pasti dikeluarkan dari kelas. Sebelum ke kelas, aku ke loteng. Tapi Martin tidak ada di sana. Aku lalu pergi ke kantin.
Penjaga kantin mengomeliku. Dia bilang makananku ada racunya.
“Naia, selama ini aku percaya padamu. Tapi, kamu merusak semuanya. Kamu membuat semua pelangganku pergi.”
“Maksud ibu apa? Aku nggak ngerti, bu.”
“Nai, ibu sudah mengenal kamu bertahun-tahun dan membolehkan kamu berjualan disini. Tapi, apa balasan kamu?! Gara-gara membeli pisang goreng yang kamu buat, semua yang beli makanan di sini pada sakit perut. Memangnya apa yang kamu campurkan dalam makananmu?! Apa Nai?”
“Bu, Naia tidak tahu apa-apa. Naia tidak pernah bermaksud macam-macam sama para pelanggan dan mahasiswa di sini. Mereka kan ‘juga teman-teman Naia.”
“Ahh,… sudahlah, ibu mau pulang.”
“Bu, Naia...” Suaraku terputus. Ibu kantin tidak menghiraukan. Dia marah kepadaku. Aku terdiam membisu.
Aku tersadar dan terus melangkah. Sepanjang koridor kampus sudah sepi. Aku melangkah pergi ke tempat seperti biasanya. Tempat yang selalu menjadi curahan hatiku. Tempat aku mengadu segala penderitaanku. Aku menangis sepuasnya. Kenapa sih hidupku harus seburuk ini?!
“Naia!” Aku menoleh dan Martin telah berdiri di depanku
“Martin, kenapa kamu disini?”
“Aku ngerti apa yang menimpamu sekarang ini. Tapi, aku percaya. Kamu nggak mungkin melakukan hal seperti ini. Pasti ini semua ulah Jeny.”
“Jeny?! Tapi,… Itu mungkin saja, karena tadi pagi aku melihatnya menaruh sesuatu di makananku. Tapi aku tidak menaruh curiga sedikitpun.”
“Sudahlah jangan terlalu memikirkan itu. Aku pasti membantumu mengatasi masalahmu. Sekarang kamu mau ‘kan ikut aku menjenguk mama?! Apa?! Kamu serius?”
“Tentu saja. Memang aku tipe orang yang suka bercanda.”
Akhirnya aku nurut aja. Aku memang mengiginkannya, dan baru kali ini Martin bicara banyak. Aku merasa dia begitu menenteramkan jiwaku.
Martin berbicara panjang lebar dan mengenalkanku pada ibunya. Ibu Martin kelihatan sudah sehat. Senyumnya menerawang. Begitupun dengan Martin. Dia begitu manis dengan lesung pipit di pipinya. Cukup lama berselang, kami kemudian pulang berjalan kaki.
“Naia, maafkan aku. Tidak bisa mengantarmu pulang. Mobilku sedang di bengkel.”
“Tidak apa-apa. Aku sudah cukup senang kamu mengajakku menjenguk ibumu. Aku ikut senang atas kondisi ibumu yang sudah membaik dan dibolehkan pulang besok. Oya. Nampaknya kita harus berpisah.”
“Ya, aku… Aku harus pulang “
Aku dan Martin berpisah. Aku merasa harus mengungkapkan perasaanku padanya. Aku harus mengatakannya.
“Martin...” Dia menoleh tersenyum.
Ya Allah, sungguh aku seperti tersihir oleh senyumannya yang baru kulihat sekali ini dalam hidupku. Dan baru kuketahui bahwa dia mempunyai lesung pipi yang lebih dalam dan bagus ketika tersenyum.
“Ada apa, Naia?”
“Ehm, nggak apa-apa. Makasih, ya…” Perlahan dia mulai menghapiriku lagi.
“Naia, kenapa harus makasih? Seharusnya aku yang makasih dan minta maaf padamu. Selama ini aku emang nggak punya hati. Salahku banyak sama kamu. Kamu sudah sering banget nolong dan bantu aku. Tapi aku yang nggak tahu diri.” Perlahan aku tersenyum dan menunduk.
“Naia, sampai jumpa besok.” Aku mengangguk dan membiarkannya pergi. Aku tak mampu mengungkapkan kata hatiku. Tapi, Harus.
“Martin…” Aku memanggilnya sekali lagi. Padahal dirinya sudah berjalan agak jauh. Dia menoleh dan melambaikan tangannya.
Tiba-tiba dari kejauhan kulihat sebuah truk berjalan dengan kecepatan tinggi tanpa bisa terkendali. Bagaimana ini? Aku berlari sekencang-kencangnya seperti hendak terbang kalaupun bisa.
“Martin. Awas…!!!” Martin tersentak. Aku mendorong tubuh Martin. Dan…
“Aaauuww... “ aku menjerit kerasku. Tubuhku terpental penuh darah berceceran.
“Naia…“ Martin menghampiriku
“Martin, maa… maafin aku. Ternyata umurku hanya sampai di sini.”
“Tidak, Nai. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit.”
“Nggak. Hanya satu yang aku minta Martin. Kamu mau ‘kan…” Nafasku semakin tersengal-sengal.
“Nai, kamu jangan seperti itu. Kamu harus bertahan.”
“Martin, aku… Aku haa… hanya ingin selalu menyayangimu. Izinkan aku untuk selalu mencinyaimu.” Martin menggangguk. Airmatanya menetes di pipiku yang berlumuran darah
“Nai, asal kamu tahu. Aku juga sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu. Kamu jangan ninggalin aku, Nai.”
Aku tersenyum mendengar kata-kata Martin.
“Sudahlah, Martin. Relakan aku…” Kutatap dirinya sebelum mataku berat terpejam.
“Asyhadu alla ilaaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah…”
Tubuhku terasa ringan. Dan sebelum nafasku terhenti, sempat kudengar tangis Martin. Aku bahagia Martin mau menangis. Menangis untukku. Menangis karena cintaku. Cintaku padanya. For You; Love.
Lamongan, 2007
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 21 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar