Suryanto Sastroatmodjo
Pertama, mungkin sekali, apa yang diketahui oleh Vernon Gill Carter dan Tom Dale, bahwa manusia dan peradabannya itu tergantung dari tanah, sebagai seorang ibu memelihara dan membersihkan anak-anaknya, adalah benar. (The Physical relief features of land, that is, the landforms of earth’s surface, are another measuring-stick for human society: Relief dan tanah, mempengaruhi jaring-jaring lalulintas, pemuatan penduduk, biaya hidup dan jenis pengangkutan serta usaha-usaha di bidang pertanian dan kebudayaan. Yang menekankan, bahwa lingkungan tersebut “diemban” oleh suatu manifestasi kasih sayang yang tulus, dalam pengabdiannya melestarikan sumberdaya energi, insani dan segala gumelar.
Sebagai contoh digambarkan, di bagian timur daerah Kentucky, relief lalu landreformnya sebagian berbukit kasar dan sebagian lagi datar. Kedua tempat tersebut didiami oleh bangsa yang sama atau mengikuti dasar leluhur atau latar sosial serupa. Namun karena pengaruh land reform yang berbeda satu sama lain, maka mereka kini mempunyai kemajuan yang berbeda; demikian pula dalam perkembangan kebudayaannya, dari waktu ke waktu.
Kedua, dalam hal yang lebih azasi, pakar geografi Amerika, E. Huntington mengatakan: “Climate is often the measuring stick of human society, yang tegas-tegas menekankan, bagaimana iklim sebagai kunci dari segala kebudayaan. Iklim memang sanggup mempengaruhi kesehatan dan vitalitas penduduk, tetapi pada masa kini, kalau dikatakan bahwa dia sebagai kunci kultur, apakah masih tepat? Sedangkan jika kita perhatikan negara-negara yang terletak di daerah beriklim tropis, yang menurut beberapa sarjana, punya sifat-sifat negatif, tentunya hal-hal ini tak dijumpai di negara-negara merdeka di kawasan tropis ini.
Kualitas hidup, kelayakan berkarya, berkreasi, bermodalkan semangat yang berbeda-beda – namun demikian aktivitas ruhani tak bisa menguras tenaga. Kemampuan manusia dalam mengatasi perintang yang berasal dari alam, haruslah dicari dari sumber spiritual setiap bangsa yang mengembannya. Andaikata Huntington (dalam bukunya, civilization and climate) mencoba menerangkan, kemunduran peradaban suatu bangsa diakibatkan oleh semakin memburuknya iklim, maka dia memberikan suatu contoh: daerah-daerah yang teramat dingin, daerah teramat panas dan daerah kering, merupakan kawasan yang membatasi kegiatan lahir-batin penduduknya.
Sedangkan wilayah-wilayah yang punya iklim sesuai dengan kebutuhan insani (suitable climates) dan mendukungnya, terletak pada daerah-daerah lintang-tengah (middle lattitude). Namun ditambahkan pula, unsur pengembangan lainnya, seperti kebutuhan primer dan kebutuhan lain yang lebih tinggi (material needs and higher needs) tergantung dari faktor geografis lain: tanah, air, dan sejauh mana warga bangsa ini memiliki motivasi pembangunan dan kredo yang mendukung setiap gaya dan daya paling natural!
Ketiga, tatkala menyimak Babad Perang Dipanegaran, yang berlangsung selama lima tahun; 1825-1830, di mana pasukan Sang pangeran pernah terjebak di rawa-rawa mematikan, serta musuh dari berbagai pihak mengepungnya di kawasan Kalibawang, maka ketika itu bergumamlah Diponegoro seperti berikut: “Saupama Allah isih paring panas lan udan, mbok menawa wadyabalaku unggul-yudane. Ning saupama wus ora ana udan lan panas, lan amung ana langit timbreng sarta wengi kang peteng, aku kabeh ora bisa gumregah tumandang” (Andaikata Allah masih melimpahkan cuaca panas dan hujan, barangkali para prajuritku masih sanggup memenangkan peperangan ini. Akan tetapi, andaikata langit muram mengabut, dan alam diselimuti gelap malam yang pekat, sulit bagi kita untuk menggerakkan tubuh kita sendiri).
Ucapan itu disampaikan kepada Alibasah Sentot Prawiradirdjo dan Kyai Mojo, yang menyertai dalam pertahanan sepetak bukit subur menghijau, pada tahun 1827, tepat di ujung tahun. Dari apa yang dilontarkan tadi, terasa pengakuan akan betapa wigat iklim yang sanggup mengatur peredaran makhluk-makhluk langit, siklus dan konstelasi antariksa, sehingga insan di kaki langit akan menerima pengaruh kebesarannya. Kita sanggup hidup, bergerak, bahkan menang, manakala kesiur angin dapat menentramkan syaraf, dan pemandangan cantik di kaki bukit mengusap batin. Kita teguh, tabah, bertahan!
Keempat, masihkah manusia berbicara tentang perang dan perebutan mahkota, pada saat dirinya menyadari, di mana batas terpasti dari ketahanan diri di mana wibawanya harus dilantunkan untuk membangun solidaritas yang paling kokoh itu? Rasanya beralasan untuk mengatakan, bagaimana para pendekar peperangan melihat perluasan jajahan, kebesaran politik serta kelimpahruahan hasil bumi itu sebagai sesuatu yang kudu direbut dengan darah nan kental – lebih daripada apa yang sanggup dirasakan oleh kawula cilik.
Suatu kesunyatan, dalam sejarah yang kita reguk di Tanah Air, bahwa masalahnya bukan hanya terletak pada pahitnya politik penjajahan dan kolonisasi kaum agresor; tetapi juga karena kita belum sanggup bicara tentang benteng pertahanan diri, kesatuan wawasan Nusantara, yang belum digalikembangkan. Lebih daripada penyerahan individual yang memberikan kemungkinan dari setiap orang untuk meladeni sikap politiknya masing-masing, sebagai “arus-alir” yang prinsipal.
Kalau kita amati perkembangan sejarah perang di Nusantara, di mana pertahanan wilayah jadi masalah wigati, maka kita didewasakan oleh perang-perang gerilya, yang lebih banyak menuntut persatuan suku dan kelompok etnis, dan tandon perbekalan besar, dana dari kaum bangsawan, dan ikatan patrimonial. Andai pembicaraan selingkup geografis ini kita langkahkan kepada pembangunan martabat bangsa pada abad-abad kemudian, rasanya relevan juga, jikalau setiap sosok putera bangsa harus mengikuti tugas-tugas kemiliteran, pada usia relatif muda, di samping setiap saat berusaha mempelajari medan yang terserak, yang memiliki prabeda iklim dan ciri kulturalnya.
Kelima, hujan dan angin telah menjadikan kulit kita peka terhadap iklim yang ada; dan dengan demikian, kita mempersembahkan kehidupan ini kepada seluruh sinar yang membangun adab budaya yang tanpa watas ini. Karena, apabila kita berbicara tentang iklim, niscaya dengan sendirinya terkait pula untuk mengerling tanah sebagai faktor penunjangnya, dalam arti bahwasanya tanah itulah yang paling awal sekali memberikan sumberdaya alami kepada “gerak” dan “tindak” untuk suatu ikhtiar kultural, apa pun soalnya. Lagipula, tanpa mesti lebih ceriwis mempersoalkan guliran pola-tanam yang dimungkinkan oleh sejumlah bibit, serta memperhitungkan kemapanan satwa-satwa tertentu, untuk bisa “lungguh-jenak” pada habitat terpasti, maka tanah telah melemparkan sisi-sisi dinamisnya, secara lebih gemilang.
Kemudian, bagaimana manusia sebagai pengemban firman Yang Maha Tinggi, harus sanggup mengantarkan makhluk-makhluk lainnya kepada lahan dimaksud, tanpa dijejali pamrih bagi diri sendiri. Sudah barang tentu, seraya menghitung arah, ketegaran dan serbuan dari iklim yang dikehendaki, sehingga kehadiran makhluk hidup pada tanah lapang, lembah, lurah, bukit, gunung, bahkan rawa-rawa serta bengawan, bisa menciptakan keteraturan pada lingkungan itu sendiri, sehingga tiada yang dirugikan, tiada yang disepelekan, tiada yang tercicir.
Keenam, keberangkatan setiap gegremet, krumembyah, dan kumelip di kaki langit ini, sepanjang keyakinan agamawi, tiada lain dan tiada bukan adalah untuk menghaturkan sembah kepada Tuhan Yang Maha rahman dan rahim, untuk mewujudkan pengabdian yang setulus-tulusnya. Maka, tiada bisa dipungkiri, bagaimana manusia sebagai titah terluhur ini dapat menyumbangkan suatu suara, yang mungkin bisa berkumandang hingga jauh ke seberang-menyeberang. Tiada ternilai harganya Kebudayaan ini, manakala manusia bisa merambah tanah-tanah yang belum pernah disentuh sebelumnya, kemudian disebarkannya benih-benih (setelah dilambuk dan didangir sebagaimana harusnya) dan cara ini merupakan ungkapan baktinya yang terbaik kepada sesamanya.
Adalah intens, bahwa seraya menyembahkan telempap-telempap ladang yang dimungkinkan bagi hidup lingkar-binar yang maha-lapang, maka cucuran peluh menjadi siraman sempana paling penting untuk menyuburkan kawasan tersebut. Sungguh suatu kekuatan, bahwasanya hawa yang menguasai sepanjang lembah dan perbukitan, yang dipelajari secara seksama oleh angkatan demi angkatan, juga merupakan sekrup-sekrup penguat pasak rumah tinggal kita ini. Masyarakat tak kan melupakan sumbangan “ilmu tentang nuansa iklim” tersebut di tengah pergaulan hidup yang membawa sejahtera bumi, hingga kapan pun.
Ketujuh, lugasnya penghargaan niscaya identik dengan kristalisasi kepercayaan itu sendiri, yang terpanggul oleh anak-anak manusia sepanjang waktu. Dimensi ke-sejarah-an ada diemban oleh perhitungan struktural dari Bumi dan Rakyatnya, di kala kita mempertanyakan bentuk-bentuk dari perlangkahan energi yang menuju hari depan. Di sini, energi harus menjadi sumbu dari keberangkatan kelompok-kelompok etnis, sebelum yang bersangkutan menempuh jalannya sendiri, menyongsong badai. Di sini energi harus dimodifikasikan sebagai runtutan ekologi, sebelum gugus-gugus masyarakat yang mengandalkannya menemukan muara paling wigati.
Di sini energi kudu dimanifestasikan sebagai kegiatan mengolah bumi dengan perangkat canggih, sehingga pengabdian kepada Ibu pertiwi takkan menemu kebuntuan. Di sini energi menjadi rengkuhan kesetiaan terhadap iklim, kadar kesuburan kawasan, derajat kebesaran sejarah, tingkat keilmuan masyarakat, dan kesadaran ekologis setiap individu, sehingga berbicara tentang Sejarah, ibarat bicara hidup nan tegar!
Kedelapan, di kala masih sering menyelenggarakan Kuliah Dinihari dan Seminar Kelana selama satu dasawarsa (1977-1987), saya acapkali mengajak para murid dan peserta untuk menaiki lembah, sebuah tebing sungai, gundukan situs-situs kepurbakalaan dan reruntuhan candi seputar Yogyakarta, untuk menanamkan kesadaran berwawasan lingkungan kepada generasi muda itu. Tiada yang terlewatkan dari jelajah-jelajah yang berlangsung, selain bahwa kami semua berjalan kaki, dari rumah ke pusat pemusatan wacana yang berlangsung, seraya mengungkapkan bahwa perbendaharaan alam di daerah nan rahayu ini, adalah petaruh dari Yang Maha Menjadikan, agar supaya kita menjadi bijak bestari, menjadi faham terhadap cita-cita untuk membangun peradaban lebih mulia, pada masa datang.
Wawasan lingkungan harus senafas dengan konsep-konsep religius yang ada, sehingga di kala angkatan baru ini kepingin memasuki relung-relung yang lebih luas ketimbang sekedar dogma, kita bisa mengajaknya untuk menyalakan nalar wening, perjalin-anyaman batin, serta keinsyafan insaniah itu, sehingga terbina sifat lembut, rendah hati, sikap jujur terhadap fitrahnya sendiri, keberanian bekerja keras dan punya cengkorongan hidup yang genah. Satu studi kelayakan tentang pribadi manusia, di tengah kancah pendewasaan Nur-Hayat sejati, yang tiada bergulir.
Kesembilan, kenalilah diri-Sendiri (Gnoti seauton), yang diteruskan dengan sesanti Tatwam Asi (Aku adalah Dirimu, Aku adalah Semesta, Aku berada pada Setiap Makhluk dan Kejadian), tak pelak lagi, mengajar manusia untuk lebih menekuni keberadaan hayati ini. Kiranya wajar, pengalaman ruhani membuat setiap penjelajahan itu menggumpal dan menciptakan gelombangnya sendiri. Di tengah masyarakat yang sedang membangun, dan di tengah titinada pembangunan yang keras serta menanjak setiap tebing terjal, selumrahnyalah jikalau kita memberikan kesempatan bagi angkatan-angkatan hari kini dan hari esok agar lebih menghargai lumpur sawah ladang bergluprut luluk-hitam, aroma tanah bercampur tahi sebagai rabuk-penyubur lahan. Lebih akrab dengan kambing, kerbau dan sapi, yang dalam istilah Jawa disebut Raja-Kaya (perbendaharaan yang menjadi inti Kerajaan Bumi nan Sejahtera), sehingga keturunan kita akan merasa betah menikmati alam dusun, setia dan mencintainya, sebegitu rupa, sehingga sanggup mempertahankan mati-matian dalam semangat kerja.
Kesepuluh, sewaktu beranjak dewasa, aku banyak menyimak Sastra Pedesaan di sekitar kawasan Sindoro Sumbing, dan dalam bimbingan kakakku yang gemar berolah susastra, kutemukan banyak piwulang kawicaksanaan dari sosok-sosok tetunggul dusun masa lampau, yang pada paruh abad ke-17 masih larut dalam sastra Jawa Hindu tahapan tumilas. Agaknya suatu kebahagiaan tersendiri, bagaimana dalam ilmu-ilmu yang bernuansa rengkuh-rangkah-rungkih, dalam tumpuan tiga setala bakti: pertama, prasetya abadi terhadap Ibu Bumi nan terkasih, dengan kesediaan untuk mengolahnya sepanjang masa. Kedua, keyakinan untuk rajin mempelajari iklim setiap lingkung di kaki langit ini, agar supaya mengetahui konsepsi Widy-Sastra, sejauh yang berhubungan dengan pengawetan alam seisinya. Sedang yang ketiga, suatu kesadaran terhadap lingkungan hidup, sehingga manusia bukan sekadar obyek peradaban nan pasif, melainkan kudu menjadi subyek budaya yang sanggup pula menggelar laku dan langgam kultural sedemikian rupa, sehingga tak pernah tercabut dari akarnya, bahkan dirinya bisa menjadi sepohon beringin yang memperkuat sisi-sisi hidup selengkapnya; di mana persahabatan tak pernah retak oleh keserakahan pribadi.
Penanggung jawab tulisan oleh Penerbit PUstaka puJAngga (PuJa).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar