Jumat, 29 Agustus 2008

Ayat-ayat Cinta & Tuhan sebagai Komoditas

A. Qorib Hidayatullah*
http://indonimut.blogspot.com/

Stok tema soal cinta tak bakal habis diulas. Tema yang satu ini memiliki daya aktual kuat yang didesain khusus mampu berkompromi dengan setiap limit waktu dan ruang. Sifat kekekalan cinta memberi peninggalan ‘rasa’ yang bersemayam di lubuk hati terdalam. Tak dinafi’kan, rasa mencintai merupakan fitrah alamiah tiap-tiap orang.

Kelenturan rasa cinta yang kerap menjadi ‘bunglon’ atas apapun, menyeretnya berubah ‘barang’ dagangan yang bebas dikonsumsi ramai-ramai oleh publik. Kiranya betul bila penyanyi tersohor tanah air ini mengalegori ‘cinta tak kenal logika’, menyebabkan tema cinta mudah menghipnotis para penghambanya. Tema cinta berhasil mengebiri kecanggihan rasio takluk akan buaian romantisme alpa. Tema cinta kini telah dikosmetika secantik mungkin menjadi budaya massa.

Tak dapat ditampik bila para penghamba cinta sekaligus penjilat kapital, tak ambil pusing untuk menyiasati komoditasnya laku keras di pasar, cukup dibumbui dengan kekuatan rasa cinta. Misalnya Habiburrahman El-Shirazy, lewat novel Ayat-Ayat Cinta-nya sejak 2004 hingga akhir 2007 mencapai rating penjualan 400.000 eksemplar. Novel ini mengalahkan angka penjualan karya Asma Nadia (Catatan Hati Seorang Istri), Langit Kresna Hariadi (Gajah Mada), Muammar Emka (Jakarta Undercover), Andrea Hirata (Laskar Pelangi dan Edensor). Bayangkan, saban sebulan alumnus Universitas Al-Azhar Mesir itu menerima royalti sekitar Rp 100 juta. Gila! Tak puas dengan itu, tangan serakah kapital yang lain akhirnya menggubah novel tersebut menjadi film. Film Ayat-ayat Cinta (AAC), yang diledakkan pada pengujung Februari silam.

Film garapan sutradara Hanung Bramantyo itu mencetak fenomena terbaru industri perfilman Indonesia. Dalam pekan pertama pemutarannya di bioskop, AAC mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Disinyalir Harian Kompas (02/03/2008), Manoj Punjabi, produser AAC, memberi kepastian bahwa di gedung-gedung bioskop yang memutar film itu serentak sejak 28 Februari 2008. Pada saat itupun, gedung-gedung bioskop dijubeli penonton mengular hingga kapasitas tempat duduk terisi di atas 95 persen.

Di samping film itu fenomenal, juga memberi pembuktian kesuksesannya yang ditakdirkan sama seperti capaian keberhasilan novel yang mengeruhinya. Ternyata, tenunan sebuah dongeng cinta nuansa religi —yang mengundang derai air mata sehabis menontonnya— mampu menyaingi film berkisah horor serta roman ABG. Selera masyarakat yang keranjingan akan cerita cinta religi gesit dibidik pemain kapital guna meraup keuntungan besar. Untuk tayangan perdana, MD Pictures yang dipimpin Manoj menggandakan pita film itu hingga 100 copy, sebuah angka fantastis sekaliber film nasional. Rata-rata film Indonesia lazim hanya dicetak berkisar 10-20 copy. Bahkan film-film utama Hollywood pun paling banyak dicetak 65-70 copy.

Kesuksesan besar AAC yang mendulang apresiasi hangat dari masyarakat, tak melunasi rasa misteri penasaran akan kisah cinta yang ditawarkan film tersebut. Dongeng kisah cinta klasik yang menjadi nyawa film itu kerapkali membikin diri hendak mual. Alur cinta yang sangat menyehari dan jauh panggang dari api terjadi pada diri seseorang, semakin memperjelas hal klise film garapan sutradara sekaliber Hanung Bramantyo. Hanung kentara betul menyengaja diri siap dicaci-maki perkara mempertaruhkan seorang lelaki yang dicintai empat wanita dan ia harus menentukan pilihannya. Di lanskap inilah kecerdikan Hanung dapat dibilang berhasil mengibuli penonton. Sebuah film yang mampu menyedot penasaran ibu-ibu anggota pengajian.

Lelaki itu adalah Fahri bin Abdillah (diperankan Fedi Nuril), seorang mahasiswa S-2 asal Indonesia yang kuliah di Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir. Ia anak seorang penjual tapai yang polos, sederhana dan sangat taat beragama. Perihal jatuh cinta, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam hidupnya dan pacaran adalah sesuatu yang dilarang menurut keyakinan agamanya.

Proses pemanjaan pun terjadi, buru-buru empat wanita malah jatuh cinta kepada Fahri. Mereka adalah Nurul (Melanie Putria), mahasiswa dari Indonesia yang menjadi teman dekat Fahri di kampus. Kemudian ada Maria Girgis (Carrisa Puteri), gadis Mesir tetangga se-apartemen (Flat) dan sekaligus sahabat dekat Fahri, beragama Kristen Koptik, tetapi mempelajari serta mengagumi al-Qur’an. Sosok ketiga adalah Noura (Zaskia Adya Mecca), seorang perempuan Mesir yang terpisah dari orangtuanya dan jatuh ke tangan seorang penjahat (Bahadur) dan suatu hari ditolong Fahri. Terakhir adalah Aisha (Rianti Cartwright), perempuan berdarah Jerman-Turki yang terkesan saat bertemu Fahri kali pertama di sebuah kereta api.

Sementereng apapun film itu, selera pos-modernisme mengajarkan boleh mencicipinya secara bebas. Kalau hasil mencicipi dirasa tak enak, selera pos-modern absah mencemo’oh ataupun memaki habis film tersebut. Misalkan adegan saat Maria mendaras surat Maryam (al-Qur’an) di sebuah bus dengan aksentuasi nada subal. Ditambah saat Fahri mengaji yang dihaturkan kepada gurunya (Syekh Usman), kentara sekali suaranya yang tak asli. Cacat kecil seperti ini mengganggu kenikmatan penonton menonton film yang batal shooting di Mesir karena terbentur biaya rumah produksi lokal yang mahal (mencapai Rp 15 miliar).

Yang paling menarik diamati di balik keberhasilan film bertemakan populer-religi, semisal AAC, menandakan bahwa masyarakat Indonesia kini pada suka —meminjam judul esai Danarto dalam Horison Esai Indonesia, Kitab 2—, “Menjual Tuhan dengan Harga Murah”. Wujud linearitas selera filmis masyarakat Indonesia yang menjadikan Tuhan sebagai komoditas. Sifat mematung-bisunya Tuhan dijadikan lahan eksploitasi tangan serakah kapital guna meraup laba besar. Tuhan tak banyak berontak dalam hal ini…

*)Penikmat sastra, kerani Komunitas Sandal Jepit.

Rabu, 27 Agustus 2008

Puisi-Puisi Imamuddin SA

DARI ALIF SAMPAI YA’
kepada Sang Nabi

lidahku laksana kutub
dan sarafku tak bergaun wol
hingga bibirku membeku
membisu

imajiku kaku
tiada aksara terangkai untukmu
hampa mengukir puitika puja nan merdu,
sungguh segalanya telah terlampaui keanggunanmu
gontai jalan hatiku

mengangan angan tuk kembali memujimu
sebab abjad terusang olehku

di sisa degup sahadat
merekat
kusisipkan rekaat munajat
lewat tembang-tembang yang kau gurat;

“dari alif sapai ya’
adalah bukti perjalanan waktu
disingkap kebersatuan laku
terkunci keyakinan kalbu,

esok kita kan bersatu
kala kusanggup membongkar tanda
yang kau kisah untukku
sebab yang tertuju hanyalah satu
kuyakin itu”

Kendalkemlagi, Maret 2008



KADO JATI SEREMONI

ia kenal tembangmu
walau ini sepedih rasa
meringkuk telah
di sekutu tanah,
kau rentang saja
sayap-sayap kalbu
merela gala teseru

adalah serimpi misi
mengarang kembang usai
lewat cendawan nanti
tak terbeli
atau tergadai lalui
liat lindu tempo hari
pun entah … ini
sebatas sirkus nadi
bagai kado jati seremoni

tiada seberat hati
melepas diri
bagimu terlalui
mengarang elegi kidung impi
dalam bilik sendiri

ya, rajut kembali
tusah peradaban sempat tercerai
bersama api suci jemari
meniti musim semi
dalam kisah misi
kembali

Kendalkemlagi 2007



LAYANG PERJAMUAN
kepada penyair Lamongan

menyisir waktu
mengeja jejak hampir sayu
ah, syukur aku
di hening samudraku
menyapa purnama rindu
namun, adakah sinar tak lagi merayu?

Kendalkemlagi, September 2006



ADA LUKA
kepada penyair Lamongan

mungkinkah bias nur malam
tak membius hatinya
meski kesempurnaan wajah telah
membumi tak tereja

ada luka,
sebab kehampaan jasad manusianya

batu-batu sangsi menghimpit kesadaran
menyemedikan batin yang tertahan,
ah, yang terdengar hanya kersik sayapnya
meski hati rindu bersua,
mendialogkan kata
tenggelam di kedalaman samudra tanda

adakah esok bulu-bulunya kan setia
mengukir puitika kisah jalan maqomnya?

Kendalkemlagi, Mei 2008

Selasa, 26 Agustus 2008

Tak Ada Kata Terlambat Untuk Menulis

Liza Wahyuninto

Kampanye menulis sedang gencar-gencarnya digalakkan akhir-akhir ini, baik dari individu penulis (ternama maupun pemula) sampai pada pengadaan pelatihan jurnalistik dan penulisan bertarap nasional. Endingnya tentu saja mengharapkan output dari pelatihan tersebut berhasil melahirkan penulis-penulis baru.

Kelahiran penulis-penulis baru ini memang selalu dinanti oleh masyarakat, terutama dari lingkungan akademisi yang dalam hal ini adalah siswa dan mahasiswa. Karena dari kaum akademisilah biasanya penulis-penulis sekaligus pemikir masa depan bangsa. Selama ini di Indonesia sudah banyak ditemukan penulis, namun tulisan yang berkualitas masih jarang ditemui.

Ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan dalam mengawal kelahiran penulis-penulis baru yang nantinya akan kita nanti buah pikiran yang brilian dari mereka.

Menjadi Penulis Adalah Pilihan
Penulis tidak dilahirkan, itulah mottonya. Bahwa menulis bukanlah bakat yang dimiliki oleh orang-orang tertentu, tetapi menjadi penulis adalah proses dari terus berlatih untuk menulis. Penulis sama halnya dengan raja, ia tidak dilahirkan tapi dibentuk. Seorang raja harus melewati beberapa hal untuk kemudian dapat dinobatkan menjadi raja, pun demikian dengan penulis butuh proses yang tidak seperti membuat mie instan.

Namun penting untuk disadari bersama bahwa menjadi penulis adalah suatu pilihan hidup. Jadi tidak ada paksaan untuk menjadi atau tidak menjadi penulis. Menjadi penulis adalah tugas, jadi harus ditekuni dengan serius.

Tidak Ada Tokoh Dunia Yang Tak Menulis
Ya, tidak ada tokoh/pemikir dunia saat ini yang tidak menuliskan pemikirannya. Dari itu dapat disadari pentingnya menulis, yaitu selain sebagai cara menuangkan pemikiran juga ajang untuk berlatih menjadi tokoh besar.

Pentingnya menuliskan pemikiran karena kata yang terucap hanya akan selalu di simpan di dalam hati, akan tetapi tulisan akan tetap dibaca sepanjang zaman dan akan terus dituliskan ulang oleh generasi selanjutnya.

Memulai menulis, kiranya inilah kesulitan terbesar penulis-penulis pemula. Ada ketakutan yang luar biasa, ada rasa malas yang tak bisa dilawan, ada perasaan minder yang terus menghantui dan beribu perasaan yang dapat mengundur bahkan membatalkan kita untuk menjadi penulis.

Perlu disadari bahwa kita semua adalah penulis, hanya saja ada yang mengawali dan sebagian yang belum memulai. Penulis yang telah mengawali mereka bukan berarti lebih hebat dari kita melainkan lebih beruntung dari kita, mereka telah menemukan cara untuk menghindar dari catatan-catatan kecil yang menghambat mereka untuk menjadi penulis.

Yang belum menulis hingga saat ini adalah penulis yang tertunda. Untuk melepaskan diri dari sebutan itu adalah dengan memulai menulis. Dengan memulai menulis berarti kita telah mendeklarasikan diri sebagai penulis baru yang siap menyalip penulis-penulis sebelumnya. Ingat kendaraan untuk menuju kota tujuan telah beragam dan super canggih, tinggal bagaimana kita memilih kendaraan yang cepat dan tepat guna.

Beberapa hal perlu untuk diperhatikan dalam menjaga diri untuk tetap menulis, di antaranya;
Mulailah Menulis, Menulislah dan Teruslah Menulis
Kalimat ini perlu untuk ditanamkan di dalam hati dan kalau perlu penting untuk ditulis serta ditempel di tempat yang sering kita lihat agar sellau ingat dan menjadi alarm atau cambuk tersendiri bagi kita untuk tetap menjaga spirit menulis.

Menulis itu gampang, yang tidak gampang adalah menjaga agar diri tetap menulis. Malas adalah musuh utama dalam menulis. Musuh yang kedua adalah punya ide untuk menulis tapi tidak punya waktu dan keberanian untuk menuangkannya ke dalam tulisan.

Ciptakan Lingkungan Menulis
Cara yang paling tepat untuk menjaga spirit menulis adalah dengan menciptakan lingkungan menulis. Lingkungan penting bahkan harus diciptakan agar ada persaingan di dalamnya. Seseorang yang tak bisa menulis dan membaca sekalipun jika diletakkan di lingkungan penulis, maka ia pun akan menjadi penulis.

Kenapa mesti menciptakan lingkungan penulis, karena di dalamnya ada proses pembelajaran, diskusi, iri hati terhadap satu sama lain dan rasa diakui serta rasa tidak mudah puas. Kesemua hal itu harus ada dalam diri penulis, dan harus tetap dijaga keseimbangannya. Penulis yang baik adalah yang bisa mempengaruhi orang lain untuk ikut menjadi penulis.

Baca Artikel di Media Cetak, Pahami Karakter Tulisannya, Tanggapi Tulisannya, Menulislah untuk Media Cetak Tersebut
Kewajiban lain yang harus ada pada diri penulis yaitu membaca artikel/opini pada media cetak (koran, jurnal, majalah, buletin, dsb.), hal ini dinilai penting untuk menciptakan rasa iri hati dan menumbuhkan perasaan bahwa SAYA PUN BISA!

Membaca media cetak terutama koran berarti kita telah menemukan ide untuk menulis di koran tersebut, tinggal bagaimana memformat tulisan yang bagus untuk koran tersebut. Dan akan tiba saatnya kamu membaca tulisan kamu sendiri di dalamnya. Saat itu ucapkanlah kata SELAMAT dan rayakanlah!

Tulislah Tulisan Terbaikmu
Meskipun media cetak akan tetap menerima tulisan kita (baik/buruk), tetapi usahakanlah menulis dengan sebaik mungkin. Sebaik-baik tulisan adalah yang mempunyai data, dapat mempengaruhi orang lain, dapat melahirkan gagasan-gagasan baru dan memebrikan solusi yang tepat bagi permasalahan yang diangkat.

Penutup
Selamat, kamu telah mempunyai keberanian untuk menulis. Jangan ditunggu keberanian tersebut surut, tuliskanlah mulai sekarang apa yang hendak kamu sampaikan pada dunia. Pramoedya Ananta Toer telah memberi nasihat kepada kita, “Jika kamu bukan putra bangsawan, keturunan orang besar maka menulislah...”. Menulislah, terus menulis, dan tulislah!!!

Parafrase Kesedihan

A Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/

Beragam dongeng atau pun cerita kesedihan yang dipendarkan dalam gerak avonturus hidup ini. Kisah kesedihan dalam hidup layak ditali-temalikan agar proses hidup tidak sombong. Manusia butuh hidup bijak di tengah arus dangkal pemaknaan hidup hedonis. Semisal trah Bohemian di negeri Paman Sam, karena telah teken konsistensi berhidupkan sedih, mereka memarkir dirinya tinggal di pedalaman di negara adidaya (sub-urban) itu. Mereka enggan hidup nyaman dengan kesibukan permanennya yang melulu menghamba pada rotasi mesin berdaya konsumerisme. Mereka membaktikan hidup di desa-desa kumuh dengan tetap menggawangi idealisme berkatologisasi pengetahuan, yaitu memilih hidup keranjingan membaca.

Berbeda dari itu, kisah tokoh Lintang dalam novel Laskar Pelangi di mana Andrea Hirata sebagai arsiteknya, malah mempraktikkan kesengsaran akut demi sebuah arung pendidikan. Lintang bersama sembilan kawannya yang menamakan dirinya dengan sebutan Laskar Pelangi itu pergi ke sekolah berbekal jalan kaki yang jauhnya 80 Km pulang-pergi. Selain itu, Laskar Pelangi harus melintasi sungai yang ada buayanya saat pergi dan pulang dari sekolahnya.

Kisah Lintang serta Laskar Pelangi adalah wujud kesungguhan dalam hidup kendati sedih dijadikan jaminannya. Laskar Pelangi memahami betul pentingnya mengenyam pendidikan meski kesengsaran sedari awal ditelan, semata-mata untuk meledakkan kesuksesannya. Al-hasil, novel bikinan Andrea itu sukses di pasaran disebabkan telah apik menenun kisah berdaya romantik, mampu memantik kucuran air mata pembaca.

Tumpukan-tumpukan kisah menyedihkan dari novel Laskar Pelangi berhasil memprovokasi pembaca agar memiliki ruang reflektif dalam hidup. Hidup sedih maupun sengsara hampir mendekati dan membawa hidup pada amuk/ancaman pesimisme. Kerapkali orang saat dirundung pesimisme, yang semula mengamalkan parafrase hidup sedih, akan alami keputusasaan. Putus asa adalah proses hidup alamiah yang lazim semua orang mengalaminya. Putus asa, “Keberhasilan yang tertunda” tutur pepatah.

Dominique Lappierre, penggubah novel spektakuler publik dunia, The City of Joy, lewat kisah hidup kaum paria mampu menyita keprihatinan pembaca. Kaum paria yang berdomisili di Anand Nagar, tak hanya kisah imajinatif yang hanya berhasil di helat fiksi. Namun, kaum paria telah menyentak hati pembaca tergerak untuk membantu orang-orang yang dirundung kesedihan di bumi Anand Nagar. Dominique Lappierre pernah menerima emas beberapa gram dari pasutri yang berekonomikan mapan, “Silahkan emas ini berikan pada para penghuni di Anand Nagar,” begitu bunyi pesan penyerahan oleh pasutri itu.

Begitulah makna pilihan jalan hidup dari kaum Bohemian, Lintang, dan kaum Paria yang telah menceburkan hidupnya dalam kesedihan. Riwayat hidup sedih oleh mereka sengaja dilakukan untuk merajut hidup bijak-bijaksana. Mereka seakan merasa sumpek hidup di tengah-tengah masyarakat yang melulu merayakan pesta absurd dalam hidup; hedonis, glamour, dan berpahamkan konsumeris.

Senin, 25 Agustus 2008

Perjuangan Mengangkat Sastra Pinggiran

Musfi Efrizal*

Puisiku bukan batu Rubi ataupun Zamrud, Puisiku adalah debu, namun debu Karbala (Fuzuli, 1556)

Sastra jurnal memang jarang diperbincangkan oleh masyarakat pengkaji dan penikmat sastra. Hal ini dikarenakan sastra lebih populer lewat media koran atau buku (baca : sastra koran dan sastra buku). Tidak mengherankan jika muncul pernyataan “jangan sebagai seorang pengarang/pujangga/penyair apabila karyanya belum dimuat di koran”. Hal ini jelas sangat mendeskreditkan sekaligus melecehkan beberapa penulis yang berada di daerah pedalaman atau pinggiran.

Polemik sastra kota dan sastra pinggiran memang sempat didengungungkan, namun yang penting untuk disoroti adalah kualitas karya yang dihasilkan. Sastra pinggiran dengan segala kekurangannya bukan berarti kualitasnya rendahan, pun demikian meskipun sastra kota dengan segala hal yang dapat dijangkaunya dan didukung oleh upaya saling mengangkat nama di antara para penulis belum tentu karya mereka berkualitas.

Jurnal Kebudayaan The Sandour yang sudah menerbitkan edisi III merupakan salah satu upaya untuk mengangkat sastra pinggiran tersbut. Sarat lelah letih kadang memang harus dirasakan untuk mengais remah-remah karya para penulis kecil yang tidak pernah bermimpi karyanya akan dipublikasikan apalagi sampai dibukukan meskipun lewat jurnal.

Secara garis besar Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III ini dipilah menjadi lima bagian. Bagian pertama memuat puisi, puisi-puisi yang ditampilkan yaitu karya dari Budhi Setyawan, Raudal Tanjung Banua, S. Yoga, Kirana Kejora, Alfiyan Harfi, Jibna Sudiryo, Dadang Ari Murtono, Saiful Bakri, Suyitno Ethexs, Jr Dasamuka, Dody Kristianto, Ach. Muchtar Ansyori, dan A. Ginanjar Wilujeng.

Bagian kedua memuat esai dari Hamdi Salad, Gugun El-Guyanie, Y. Wibowo, Fahruddin Nasrullah, Liza Wahyuninto, Achmad Muchlish Amrin, dan Sri Wintala Achmad. Bagian ketiga berisikan cerpen dari naskah Hardjono WS, Azizah Hefni, A. Rodhi Murtadho, dan Salman Rusydie Ar.

Bagian keempat adalah halaman khusus yang dipersembahkan untuk mengenang KH. Zainal Arifin Thoha (5 Agustus 1972-16 Maret 2007) dan KRT. Suryanto Sastroatmodjo (22 Februari 1957-17 Juli 2007) yang diberi topik In Memoriam Suryanto Sastroatmodjo yang ditulis oleh Herry Lamongan. Dan bagian terakhir pada jurnal ini memuat novelet dari Suryanto Sastroatmodjo.

Memang sengaja ada penulis-penulis kenamaan yang diambil naskahnya untuk disejajarkan dengan beberapa penulis lokal. Selain sebagai motivasi juga untuk menghapuskan senioritas dalam sastra. Tidak ada istilah sastrawan junior, tidak ada sastrawan senior, bahwa semuanya ditentukan oleh kualitas karyanya.

Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III ini juga bercerita perihal miskinnnya kritikus sastra di Indonesia. Di tengah karya sastra yang terus membludak, tidak ada kawalan dari para kritikus sastra yang akan menilai dan membuatkan genre-genre terhadap karya-karya yang dihasilkan. Akibatnya, Indonesia kaya akan sastrawan, kaya kaya sastra tapi minim kualitas. Hal ini dituturkan oleh Liza Wahyuninto dalam esainya yang bertajuk “Kritik “Sakit” Sastra Indonesia”.

Jurnal Kebudayaan The Sandour ini cocok dibaca bagi kalangan manapun, dan dikhususkan bagi pengkaji sastra (baik komunitas sastra maupun akademisi sastra), pegiat budaya dan pelajar yang menginginkan literatur baru mengenai sastra, terutama berkenaan dengan sastra pinggiran.

Judul: Jurnal Kebudayaan The Sandour
Dewan Redaksi: Nurel Javissyarqi, dkk.
Edisi: III, 2008
Halaman: 155 Halaman
Penerbit: PUstaka PuJAngga & Forum Sastra Lamongan
Peresensi: Musfi Efrizal
dijumput dari http://koranpendidikan.com

*) Mahasiswa Fak. Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Bergiat dalam Komunitas Sastra Pusat Pengkajian Jalaluddin Rumi Kota Malang dan peneliti sastra pada Lembaga Kajian, Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa (LKP2M) UIN Malang.

Minggu, 24 Agustus 2008

Sajak-Sajak Mashuri

SITI, AYO KAWIN LARI

Di ruang kelas, aku baca cerita
yang sering membuatku berpusing kepala
cerita yang mengingatkanku pada pacarku
yang kepalanya juga sering terancam pecah
cerita yang berpangkal pada cinta tak berpunya
dan berakhir dengan duka carita…

“syamsul bahri berlari-lari ketika siti melamun di tepi
perigi, sambil memuji diri sendiri
: akulah perempuan abadi!”

Aku lalu mengambil penghapus dari ruang guru
Membaca sebentar, meski berlembar-lembar
lalu dengan ringkas kupangkas

Nama yang selalu membuatku was-was
: Siti
pada Syamsul Bahri, aku sisakan hidupnya
karena aku tahu Marah Rusli pun menyisakan hidupnya
dalam cerita,
meski siti telah mati..

aku begitu kawatir, kalau Marah marah lewat guruku
dan menggantungku
di depan kelas, sambil terus menerus menjejaliku
dengan kertas-kertas, yang panjang
dan tak bisa aku ringkas
aku pun menulis begitu tergesa di kertas
: “Syamsul Bahri hanya mati sekali;

sekali nafas
terpangkas, sesudah itu impas, lunas…”
Siti telah mati,
aih, ternyata Syamsul Bahri pun mati
tapi kisahnya terus bersambungan di tv
aku pun menulis surat pada pacarku, Siti terkasih
yang kini sedang menunggu di kampung
: “mari kawin lari, Siti,

mumpung kisah belum ditulis bersambung
di televisi!”

Sidoarjo, 2007



SIHIR PASIR
: Saudara Tua

mampirlah ke rumahku di pesisir, di pinggir pantai, di pinggir segala pinggir, tempat pasir memarkir takdir sebagai pembunuh; pasir yang saban hari tak lelah menjadi injakan kaki dan menjadi muara segala tubuh melabuh: tubuh lautan yang tak pernah mengeluh tapi menyulap keluh dengan nyanyian-nyanyian panjang

debur gelombang

kau akan mendengar karang ditabuh ombak, tubuh ditabuh riuh kehendak, kau akan melihat jejak-jejak retak yang membuatku tetap tegak meski gelap menggelegak bagai anggur memabukkan dan menyentak labirin kerongkonganku, kau akan menyaksikan…

ada gerak nan liar yang terpendam dalam diam

mampirlah ke rumahku; kau akan mengerti apa makna dari tepi: sepi yang berapi, merapi, sepi yang membahasakan diri di pucuk buih; bahasa-bahasa ombak yang menuntun mata; katupkan ufuk dengan cakrawala; rapatkan hiruk dengan rahasia

biduk asa yang tak berhenti untuk kembali

kau akan rasakan zenit meyentuh langit; doa-doa yang berdesing mengakrabi hening; doa putih, doa hitam; kau juga akan mendengar hingar doa yang memberi arus pada pasir, memberi ruh pada pasir, agar tubuh tak lagi berlabuh dalam gerak, tapi rubuh dan retak

lengan-lengan panjang yang merenda sejuta harapan

mampirlah ke rumahku, kau akan tahu, begitu banyak kanak belajar membunuh; mereka menghambur-hamburkan pasir di udara, dengan hembusan nafas yang telah terampas mata; mereka membuat patung-patung pasir gaib sebagai malaikat pencabut nyawa yang menyelinap di balik tangkapan indera

begitu dupa dibakar, doa dihentakkan dan bibir melaju: fuh! pasir-pasir akan beterbangan memintal korban, memburu setiap lubang yang terhampar di sepanjang kulit, bangkitlah kesakitan; pasir pun akan merasuki dan menyerbu darah dengan kekuatan-kekuatan langit; langit hitam —sampai terdengar suara-suara ratap, pantai pun senyap, matahari gelap, awan berhenti, angin menepi; semuanya menyingkir untuk memberi jalan bagi kematian mengukir akhir

akhir penyaksian

kau akan tahu, bagaimana pasir-pasir itu menyatu darah, mengalir lewat aorta; arus hidup akan membawa bulir-bulir pasir lurus ke jantung yang berdegup, asal-akhir takdir Sang Hidup; pasir itu akan terus berasus ke ruas nafas, hingga hidup pun redup; jantung pun akan memberi jalan pada Sang Maut untuk bertitah: “berhentilah langkah, berhentilah darah!”

mampirlah ke rumahku di pesisir, kau akan mengerti, begitu banyak kanak bermain-main takdir, mainkan sihir-sihir pasir, rapalkan mantra-mantra pengusir; mereka berlarian di pantai-pantai tak beratap; membangun bukit-bukit dan patung pasir dari jasad yang telah lumat; jasad yang telah disepuh dengan doa-doa merah; doa kaum teraniaya, blap!

gelap!

Surabaya, 2007



BUNTING

istriku mengandung laut,
laut yang mencederai otakku dengan karang,
karang yang mengutip cakrawala
cakrawala dan kapal-kapal yang berlalu lalang
bahkan tenggelam dan terbakar di selat
selat yang selalu membuat istriku kumat
: “beri aku 1000 rakaat!”

aku pun ingat rabiah —budak yang menapak
lewat batu, ke tangga penuh jejak wahyu
lalu sering kumat dengan mengganyang ribuan
rakaat dalam sekali malam dan sekali sikat
tapi istriku? mungkin ia sedang ngidam
begadang, malam-malam, di atas sajadah coklat
sambil mulutnya komat-kamit, penuh magnit
menarik, menombak dengan tepat
pikiranku yang sedang panik, dalam tidur
agar dengkurku tak lagi menjadi partitur
mimpi
mimpi tentang orang-orang yang terkubur
: kakek, nenek, buyut, canggah, wareng, gantung siwur…

aku bermimpi, tapi istriku sungguh telah mengandung
laut dan kumat dengan komat-kamit ribuan rakaat
dengan doa-doa panjang nan keramat
membanting harga diriku, dari lelap dan bisu
tentang asal-asul, tentang laut, tanah, udara, angin, api
juga sepi

ah, sungguhkah istriku bunting karena angin
laut, yang membawa berjuta plankton
ke ruang kosong… sungguhkah istriku hamil
karena gigil malam yang membugilinya diam-diam
di pantai, ketika lantai tak tepat lagi menjadi ranjang
tempat berbagi

ah, sungguhkah….
istriku mengandung laut
laut yang sering membuatku tercerabut
dari waktu; aih!

Sidoarjo, 2007

Kamis, 21 Agustus 2008

Rindu Yang Tak Terjamah

Yushifull Ilmy*

Brakk…! Dengan kesal kubanting tasku ke lantai. Entah mengapa hari ini nasib buruk selalu menimpaku. Nazril Ilham yang biasa di panggil Aril, siswa kelas 3B yang terkenal sombong itu, membuatku kesetanan. Tadi di kantin ketika aku membawa segelas es teh hendak menuju tempat duduk dia menabrakku hingga gelasnya jatuh. Itu saja tidak cukup. Ketika aku pulang sekolah dia bersama motor gedenya melaju dengan kencang melewati kubangan air di tepi jalan yang tepat di sampingku dan…praatt……muncrat air itu ke bajuku.

"Dasar orang sombong, nggak punya sopan santun," gerutuku. Yang membuatku makin marah ketika dia terus melaju tanpa merasa bersalah sama sekali.
Hari ini team basket dari kelas 3A dan 3C bertanding. Teman-teman yang bukan pemain menjadi penonton para idolanya bersaing. Aku yang tak begitu tertarik dengan olah raga memilih tetap di dalam kelas. Aku membaca buku yang kupinjam dari perpustakaan. Tiba-tiba terdengar suara yang mengganggu konsentrasiku, "Aku cari kemana-mana ternyata kamu di sini."

Aku hanya menoleh sebentar dan kembali sibuk membaca melihat yang dating adalah Aril yang sombong itu.
"Ehmm," dia berdehem hendak menyita perhatianku. "Aku hanya minta maaf atas kejadian kemarin."

Dia menata pantatnya untuk duduk di sampingku.
"Memangnya kamu masih punya rasa bersalah?" tanyaku sewot. Namun dia hanya diam dan tetap duduk di sampingku.
"Kok diam, kenapa?" tanyaku ketus.
"Kemarin aku nggak sengaja! Aku buru-buru ke rumah sakit, karena ayah sangat membutuhkan kehadiranku."

"Kenapa dengan ayahmu ?" tanyaku penasaran.
"Ayah sakit keras. Sudah empat hari dia di rawat di rumah sakit," dia mulai memelas.
"Tapi kamu nggak harus ngebut, kan? Apa tidak ada orang lain yang menunggunya?"
"cuma aku satu-satunya orang yang ayah harapkan. Om dan Tante sibuk mengurus perusahaan Ayah di Jakarta," jelasnya.

"Ibumu?" tanyaku makin terlibat dalam persoalan keluarganya.
"Ibu," Aril menanggalkan kalimatnya. "Ibu sudah meninggal tiga tahun yang lalu."
Mata Aril menerawang. Berdebur gelombang pasang seakan menghantam jiwaku, kini aku yang merasa lebih bersalah pada Aril. Aku memang bodoh, mengapa harus kutanyakan hal itu.

"Ma, maaf?" kataku terbata.
"Memang, seharusnya kamu tahu," balasnya sambil tersenyum.
"Kok begitu?" kataku tak mengerti.
"Karena, kalau aku nggak menjelaskan semua pasti kamu nggak akan pernah mau memaafkanku."

Senyum di bibir Aril makin mengembang. Ternyata selama ini semua orang membuat kesalahan besar. Apa yang mereka katakan tentang Aril itu tidak benar. Aril sebenarnya bukan siswa yang sombong. Dia anak yang baik, jujur, dan bertanggung jawab. Mereka hanya melihat fisik Aril yang bergaya mewah, namun mereka belum tahu rahasia di balik hati Aril.

"Eh, namamu Karin, kan?" tanyanya.
"Kamu kok tahu?"
"Siapa yang nggak tahu kamu, siswi 1A yang super juitek," ledeknya.
"Kalau kamu Aril siswa kelas 3B yang sombong itu kan?" balasku tak mau kalah.

Tawa kami meledak, membaur dalam keakraban, melerai curiga yang ada. Sejak saat itu kami semakin akrab. Setiap kali pulang sekolah Aril sering mengajakku ke RS untuk menjenguk ayahnya.Ia juga sering menumpahkan curahan hatinya padaku, tentang ayah, om dan tante yang begitu menyayanginya.Tak dapat kupungkiri bahwa rasa itu ada dan kini nenjadi sebuah kisah yang indah dan berharga untuk kami.
* * *

Malam itu Aril menjemputku di rumah.Dia mengajakku ke Rumah Sakit untuk memastikan keadaan ayahnya. Keadaan ayah Aril sendiri sudah membaik. Dokter mengatakan kalau lusa sudah boleh pulang. Kebahagiaan kini terpancar di raut wajah Aril dan aku dapat merasakan hal itu. Karena, beberapa hari ini senyum tak pernah lepas dari bibir Aril.

Malam merambat dan Aril mengantarkan aku pulang. Namun, sebelumnya ia mengajakku ke tepi pantai di mana seluruh keindahan alam seakan tertumpah di sana. Kami berdua duduk di atas batu besar sambil merangkai harapan indah untuk esok.

"Rin, bintang itu indah ya?" kata Aril memulai pembicaraan. Sedang aku hanya menganggukkan kepala sambil memandang indahnya bintang.
"Kamu suka?" tanya Aril kembali.

"Suka, tapi aku lebih suka kalau bintang itu bersinar beramaan dengan bulan," jawabku memandang langit yang tak menampakkan rembulan.
"Eh, Ril. Mana bulannya kok nggak ada?"
Aku mendongakkan kepala mencari di mana letak bulan itu.

Aril pun tersenyum dan berbisik lirih, "Sekarang bulan itu telah aku raih. Bulan itu tengah bersandar di pundakku dan mengajakku menatap hitamnya langit dan menjejaki sepi."
Mata Aril menatapku lembut. Kami terdiam saling memandang, menyibak tirai keheningan malam, dan seakan bintang pun turut bertutur tentang kedalaman hatiku.
* * *

Hari ini ayah Aril pulang, seakan membawa kehidupan baru bagi Aril. Kebahagiaan yang dulu pernah hilang kini telah dirangkulnya kembali dan senyum yang sempat pudar itu selalu menghias di setiap langkah dan hari-harinya. Aku pun turut merasakan hal itu. Karena, kabahagiaan itu juga ia curahkan untukku hingga membuatku tak ingin kehilangan cinta itu.

Kriiinggg!
Dengan malas kuangkat gagang telepon.
"Assalamu'alaikum," sapa Aril ramah.
"Wa'alaikum salam. Ada apa, Ril?" Aku langsung bartanya.
"Rin, besok aku mau ke Jakarta."
"Ke Jakarta!? Lama nggak di sana?"
"Nggak lama kok! Mungkin cuma satu bulan," jawab Aril memastikan.
"Satu bulan!?" Aku tersentak.
"Karin, satu bulan itu cuma sebentar. Aku pasti kembali, kok. Ayah cuma mengajakku melihat perkembangan bisnisnya di sana."
"Janji ya cuma satu bulan," aku memastikan kembali.
"Ya, aku janji. Selamat malam dan semoga mimpi indah," Aril pun mengakhiri telponnya.

Dalam keheningan malam ini tiba-tiba aku merasakan kesendirian yang menyakitkan. Sepi dan kesendirian dalam rengkuhan angan-angan rindu yang menjamah jiwa dan kini telah menjadi titik-titik harapan.

Mentari hari ini redup seredup hatiku. Hari enggan berganti dan menit pun enggan berlalu.Aku termenung sendiri di dalam kelas saat istirahat sekolah. Meskipun baru satu hari Aril di Jakarta, namun seakan semuanya hampa.

Embun pagi mulai meninggalkan pucuk rerunputan, mentari pun tersenyum, dan aku seakan tersihir oleh indahnya pagi. Aku melangkahkan kaki dengan pasti menuju sekolah terindahku, karena satu bulan telah berlalu. Aku tak sabar untuk bertemu denggan Aril, sang bintang malamku.

Langkahku terhenti ketika sebuah suara dalam mobil memanggilku.
"Karin, Tunggu!"
Aku menoleh menuju asal suara itu.
"Ada apa, Van?" tanyaku tak mengerti.
"Rin, ayo ikut aku sekarang," ajak Ivan tak jelas ke mana.
"Emangnya ada apa, Van?" desakku kemudian.
"Sudah cepat masuk ke dalam. Aril sudah menunggu kamu," Ivan menegaskan.
"Aril?! Aril sudah pulang? Kok yang menjemputku bukan dia? Memangnya ada apa, Van?" tanyaku bertubi-tubi, namun Ivan hanya diam tak menghiraukan semua pertanyaanku.

Bagaikan seorang pembalap Ivan melajukan mobilnya.Tiba-tiba Ivan menyodorkan sebuah koran terbitan hari itu. Aku bisa membacanya dengan jelas sebuah judul "Garuda Air Mengalami Kecelakaan". Meski telah kubaca berkali-kali aku tak bosan untuk mengulanginya lagi, karena aku belum paham apa sebenarnya maksud Ivan.

Tiba-tiba jantungku bergemuruh. Sebenarnya apa yaang terjadi? Ada apa dengan Aril? Mataku terpejam mencoba untuk menahan rasa pilunya jiwaku dan…chiiittt! Mobil Ivan berhenti di depan halaman rumah.
"Rumah siapa ini dan di mana Aril?"

Seribu pertanyaan menjadi onak di hatiku. Kemudian Ivan membukakan pintu mobil dan mulai bicara. "Rin, Aril menunggumu di dalam!"
Tanpa pikir panjang aku langsung barlari menelusuri halaman yang cukup luas itu dan mencari di mana bintangku berada. Deru tangis menghiasi ruangan itu. Lantunan ayat-ayat suci Al-Quran terdengar jelas di depan pintu. Dan kaki ini belum berani untuk melangkah. Sebenarnya apa yang terjadi di dalam?

Aku tersentak ketika melihat sosok terbujur kaku terbalut kafan itu adalah Aril. Bintang yang sinarnya tak pernah redup dalam hatiku yang pesonanya mampu melerai segala bimbangku. Ingin aku menjerit sekuat tenaga, menyebut namanya, mendekap erat tubuhnya. Namun, seketika aku jatuh tertunduk, tanpa daya, tanpa rasa, diiringi deraian air mata. Aku mencoba bangkit bersama tubuh yang beku dan menahan rasa pilunya jawaku untuk kembali menatap hitamnya mentari. Karena, aku terlalu rapuh untuk menerima kenyataan ini.
* * *

Malam ini bintang bersinar penuh dengan pesonanya, memberi dawai dalam hatiku, dan menjadi teman dalam gundaku. Di atas sana kulihat ada bingkaian senyum yang tersemai di antara bintang-bintang.

Malam, engkau adalah saksi atas sebuah perpisahan dan kedukaan. Aku berharap suatu saat nanti malam akan mampu memulihkan dukaku dan mampu merangkai mimpi indah itu untukku. Dan malam ini biarlah tangisanku yang mengantar kesedihanku.

Lamongan, 2007

* Penulis adalah Pelajar MA. Matholi’ul Anwar, Simo Sungelebak, Karanggeneng, Lamongan.

For You; Love

Nh. Anfalah

Aku Naia. Gadis sebatangkara. Entah mengapa hidupku seperti tak berguna. Hanya Allah-lah satu-satunya sang Kuasa yang takdirnya harus kuterima.
“Pisang,... Goreng,… Pisang gorengnya, Bu. Masih hangat.” Lantang suaraku semakin meramaikan pagi yang cerah. Begitulah, tak ada seorang pun yang mengiraukanku.

Sering kudengar bisik-bisik yang tak menyenangkan. Ejekan, cemooh, caci dan maki sudah terbiasa bersarang di telingaku. Kadang kalau pisang gorengku tak laku, aku membawa dan menjualnya ke kampus, meski banyak yang takut dengan luka bakar di pipiku yang menjijikkan. Semua kulakukan hanya demi kuliahku. Demi ilmu. Demi hidupku. Dan demi cintaku. Cinta yang tak terbalas. Cinta yang tak tersampaikan yang berakhir dengan penantian tak berujung.

“Iih… Si dia ngelamun tuh. Ngelamunin pisang gorengnya, kaleee…. Hey, Naia. Lihat pisang goreng lu…!”
Tak kuhiraukan celoteh si Amel sebelum ku dengar suara yang ramai di kantin yang memang berdekatan dengan kelasku. Aku segera menuju ke kantin tempat penjualan pisang gorengku dan kulihat…

“Astaghfirullahal ‘adzim…” Kulihat pisang goreng dan wadahnya di tendang-tendang dan dibuat main oleh si kaya bergengsi Jeny dan teman-temannya.
“Jeny, jangan…!” cegahku.
“Hey, teman-teman. Ini dia si monster datang,” serunya. “Hey, ini pisang goreng lu ‘kan?! Ambil dong! Kamu bukannya udah terbiasa makan makanan kotor kayak gini, hah?! Gue heran, bisa-bisanya kampus favorit kayak gini nerima gembel kayak lu. Apalagi di kelas gue. Kelas tempat anak tajir semua.”

“Eh, Jen. Denger-denger dia suka sama Martin,” Marta berceloteh. Aku bingung mau berkata apa. Mulutku serasa terkunci.
“Apa?! Nggak salah denger?! Bocah kayak gini suka Martin?! Lu jangan mimpi deh. Martin itu milik gue. Milik Jeny si cantik di kampus ini. Lagian, Martin itu sampai kiamat pun juga gak bakalan mau sama lu. Udah gembel, miskin, monster,… Iih,… jijik.” Dan semua berakhir dengan jitakan keras dari tangan Jeny yang membuat kepalaku terasa sakit.

Aku menangis sesenggukan membereskan pisang gorengku yang sudah kotor dan hancur. Saat itulah, sempat mataku tertuju kepada Martin yang lewat di depanku. Dingin dan acuh tak acuh seperti biasanya. Entah kenapa hatiku terasa tenang melihat dirinya yang begitu mengagumkan.

Martin merupakan salah seorang cowok top dan beken di kampus. Banyak di antara cewek-cewek yang berlomba-lomba mendapatkan hatinya. Tak terkecuali Jeny. Sayang, dengan ketampanan, kekayaan, dan kepintarannya, dia seperti gunung es yang dingin dan angkuh. Tak ada yang bisa meluluhkan hatinya. Apalagi aku.

Ya, Allah. Sungguh, kapankah cintaku akan terwujud. Cinta yang murni. Suci dari lubuk hatiku yang paling dalam. Bukan karena dia kaya, pintar, dan tampan yang membuat semua orang tergila-gila. Bukan. Tetapi karena sesuatu. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sesuatu yang abstrak dan tak kupahami.
* * *

Aku masuk pagi seperti biasanya. Meski lebih awal, daganganku pun aku bawa ke kampus, karena ada kegiatan ekstra. Dan dosennya kali ini bener-bener killer.

Tapi, alangkah malang nasibku hari ini. Sebuah mobil silver menyerempetku. Akibatnya, bajuku yang sudah tak bagus ini terkena sisa air hujan semalam bersama kotoran jalan. Mataku berkaca-kaca. Ingin rasanya aku marah. Tapi, pada siapa. Dan alangkah terkejutnya diriku ketika di kejauhan mobil itu berhenti. Ternyata,… ya Allah, pemilik mobil itu adalah Martin.

Mataku yang berkaca-kaca seketika menunjukkan gurat-gurat senyum. Aku berharap dia menghampiriku, mengucapkan kata maaf, dan memberikan tawaran untuk naik mobil bersamanya. Atau, setidaknya dia memberikan senyumnya kepadaku. Dan entah apa yang dipikirkannya ketika dia hanya menatapku dingin seperti biasanya.
Perlahan aku bangkit. Melangkah penuh ragu. Tetapi, dia malah kembali masuk mobil. Lantas melaju bersama deru yang meninggalkanku. Aku kecewa.

Kenapa?! Padahal hanya sebuah senyum saja. Nggak lebih. Senyum yang tak pernah tampak dan kulihat seumur hidupku. Apa mungkin Martin lahir di dunia ini tanpa senyum? Dia anti senyum? Atau ada yang salah dengan syaraf-syaraf pada bibirnya? Atau mungkin, dia punya kelainan penyakit sehingga tak punya senyum atau yang lainnya? Ah, nggak mungkin. Bukankah senyum itu sebuah shodaqoh? Tapi, apa yang terjadi dengan Martin? Kenapa?!

Aku terus merenung sampai akhirnya mataku menangkap sebuah benda seperti buku, tepat di tempat Martin berhenti tadi. Kupercepat langkah.
Kuambil buku itu. Dan ternyata, buku itu memang milik Martin. Sebentar kubuka lembar demi lembar buku itu, hingga kutemukan;

Aku benci dengan perempuan. Perempuan sangatlah menyebalkan. Semua perempuan sama. Aku benci mereka. Apalagi perempuan di kampusku. Mereka lebih menyebalkan dari yang aku kira. Aku benci mereka sampai kapanpun…


Aku diam terpasak dalam pertanyaan. Kenapa seperti itu?
Aku terus menyusuri jalan yang sepi. Sesampainya di kampus, aku tersontak ketika melihat jam besar menunjukkan 07.30. Padahal aku berangkat pukul 05.30. Apa saja yang aku lakukan?! Jelas saja aku terlambat. Bagaimana ini?!

Aku segera menuju ruang ekonomi semester II. Aku lebih memilih memberikan buku ini ke Martin terlebih dulu. Masalah guru killer itu urusan nanti lah. Akan tetapi, liftnya sedang rusak. Jadi aku harus berjalan lewat tangga dengan lebih cepat. Karena ruangnya ada di lantai 5. Paling atas.

Aduh. Aku nggak bisa berpikir ulang. Malu. Aku malu. Anak ekonomi tuh dari dulu saingan berat sama anak hukum. Apalagi anak ekonomi tuh mayoritas 85% cowok dan terkenal usil. Meski cowoknya cakep-cakep. Bagaimana kalau aku dikerjain dan diusilin?! Ah, sudahlah. Tak ada waktu lagi. Aku harus segera masuk ke ruang kelas itu.
Lewat jendela, kulihat Martin berdiri di depan dosen itu. Prof. Fariqotur Rohman, dosen ter-killer di kampus ini.
Cepat…! batinku berucap. Aku segera berjalan ke ruang itu, meski ragu. Sebentar aku sudah di pintu. Bagaimana ini?!
“Assalamu’ alaikum.”

Hanya dosen ter-killer itu yang menjawab. Sementara semua mahasiswa seperti terbengong-bengong.
Seketika ia mengarahkan matanya kepadaku. Aku semakin gugup. Semua mata menatapku lekat-lekat. Hanya Martin yang tak menoleh sedikitpun, karena memang dia membelakangiku.

Aduh. Lidahku kelu.
“Hallo!” seru dosen ter-killer itu tiba-tiba di depanku.
“Hey, di sini bukan tempat untuk melamun. Kalau tidak ada perlu, cepat pergi. Kamu bukannya anak hukum? Kenapa di sini?!”
“Ehm, sss… sssa… sssaya menemukan buku Martin yang jatuh, Pak.”
Kulirik Martin menoleh padaku. Aku segera menunduk. Tak berani menatapnya. Entah bagaimana reaksinya?! Yang jelas mungkin bukan sebuah senyum. Marahkah? Bencikah dia padaku?
“Ini, Pak. Maaf mengganggu pelajaran anda.”
Aku bergegas pergi dengan malu dan takut. Meninggalkan ruang kelas Martin yang tetap tenang.

Lalu bagaimanakah ini? Bagaimana nanti kalau aku dimarahin Pak Affandi yang juga killer di kelas sekarang? Dengan sedikit keberanian, aku terus melangkah hingga di depan pintu.
“Assalamu ’alaikum,” suaraku memecah keheningan. Seketika Pak Affandi menoleh tanpa menjawab salamku. Tatapan mata yang tajam membuat aku semakin takut. Aku masih menunduk. Terdengar bisik-bisik dan tawa teman-teman.

Perlahan Pak Affandi beranjak dari tempat duduknya dan menghampiriku. Kalaupun pada waktu itu aku memilih pergi, aku akan berlari sekencang-kencangnya.
“Kenapa kamu terlambat?” serunya.

“Jawab pertanyaan saya! Kenapa kamu terlambat?” tambahnya membentak semakin membuatku tak berdaya. Sepertinya mulutku tidak bisa diajak kompromi.
“Ayo jelaskan! kenapa diam?!”
“Sss… sss… sssaaya…”

“Kamu tahu, sekarang jam berapa?! Sekarang sudah jam 07.45. Saya paling benci dengan mahasiswa yang tidak disiplin. Sekarang kamu berdiri di lapangan sampai waktu pulang!”

Aku tersentak. Tapi, apalah daya. Aku harus berdiri di tengah lapangan yang didukung oleh matahari yang membuatku menderita. Meskipun demikian, aku senang. Terlambatku bukan karena keteledoran atau apalah itu. Melainkan karena sebuah pengorbanan cinta?

Waktu berlalu. Jam mata kuliah pun usai. Semua mahasiswa menghambur keluar, meski masih ada yang tetap di ruangan karena masih ada jam ekstra. Ingin aku ikut pulang juga seperti yang lain. Tapi, Pak Affandi masih mengawasiku dari kejauhan. Sehingga aku tidak berani bergerak. Saat itu Martin lewat di depanku. Tanpa senyum yang sangat ingin kulihat. Padahal semua ini kulakukan hanya demi dia. Demi cintaku padanya. Tentu saja aku kecewa. Namun, apa mau dikata. Aku hanya pasrah.
* * *

Sepekan telah berlalu, di kampus diadakan acara perkemahan. Aku ingin sekali ikut acara itu. Ternyata Jeny juga ikut. Tapi, aku tak perduli.

Hari yang dinantikan tiba. Kami berangkat naik bus. Tanpa disangka aku satu bus dengan Jeny. Dan ternyata disana juga ada Martin. Dia diam membisu. Padahal aku duduk tepat disampingnya. Aku begitu gugup dan bahagia. Namun,…

“Hei,...pindah! Ini tempat dudukku. Nyadar dong, beraninya duduk di dekat Martin.” Bus yang semula ramai menjadi sepi karena tindakan Jeny. Saat itu ekspresi Martin tidak berubah.
Saat malam diadakan penjelajahan, di tengah perjalanan Martin tidak ada di tengah rombongan. Kami mencarinya, namun hasilnya nihil. Pencarian dihentikan dan diteruskan besok. Aku sangat tidak sabar dan khawatir. Akhirnya aku mencarinya sendiri. Dan setelah beberapa lama, aku mendengar suara orang minta tolong.
“Tolong,... tolong,…” Aku seperti tahu pemilik suara itu. Aku mendekatinya.
“Martin?!”
Ternyata Martin hampir jatuh ke jurang dan dia hanya bergantung pada cabang pohon. Aku segera menolongnya.

Akhirnya dia bisa terselamatkan dengan menggunakan tali. Aku sangat shock. Aku hampir jatuh dan tanganku memar-memar. Sebentar aku dan Martin hanya terdiam membisu, lalu Martin berlalu dari pandanganku. Aku tidak menyangka setelah semua itu.
“Martin, kamu tidak apa-apa?” Jeny dan rombongan menemukan kami. Martin hanya menggeleng, lalu pergi. Tidak peduli.

Setelah itu kami kembali. Aku kembali ke rumah. Aku betul-betul kecewa. Padahal aku sudah menolongnya, namun sikapnya tetap sama. Sebenarnya dia diciptakan dari apa?
Aku berangkat pagi seperti biasa. Aku langsung menuju ke kelas hukum. Aku hanya duduk terdiam, membaca tulisan di depan; “DASAR MONSTER PEMBUNUH.” Semua teman-teman memandangiku sinis. Aku begitu marah, tapi aku hanya bisa menangis.

Jeny datang ke ruanganku. Dia dengan teman-temannya mengejekku. Aku tak peduli. Aku hanya takut...
“Dasar monster! Kamu mau membunuh Martin karena tidak bisa memilikinya ‘kan? Ngaca sana! Pikir dong! Martin itu kaya, cakep dan cuma serasi sama aku.”

Semua yang ada di sana memandangku dan Jeny. Mereka seperti mengiyakan perkataan Jeny. Saat itu Martin lewat kelasku dan menuju ke loteng. Sesaat aku terdiam. Dan sepertinya, Martin marah.
“Martin, kenapa sikap kamu seperti itu? Aku tahu kau membenci perempuan. Tapi kenapa? Tidak semua perempuan itu sama. Aku memang jelek, miskin, dan menjijikkan…” Martin menatapku tajam.

“Bagus kalau kau tau itu.”
Martin langsung pergi. Meski kata-katanya menyakitkan, tetapi baru kali ini dia bicara padaku secara langsung. Aku kembali ke kelas dan bertemu dengan pak Doni. Dia satu-satunya dosen yang ramah di kampus. Aku menatapnya sesaat. Aku langsung menuju tempat dudukku. Tapi pada saat itu, pak Doni memulangkan kami karena ada rapat.

Semua sudah pergi, tinggal aku dan pak Doni. Dia menghampiriku.
”Naia, ada apa? Apa ada masalah sampai kamu seperti ini?” Senyumnya yang ramah membuatku jadi luluh dan menceritakan semuanya.
“Sebenarnya, aku bersedih karena Martin. Bapak tahukan, kalau aku mencintainya. Tetapi sikapnya betul-betul dingin.” Airmataku mulai keluar.

“Martin mempunyai masa lalu yang kelam,” kata pak Doni mulai bercerita. “Dulu saat Martin masih kecil, ibunya kecelakaan. Tim SAR mencarinya ke mana-mana, tetapi tidak ditemukan. Saat itu aku adalah dokter muda yang melakukan praktek lapangan. Aku melihat sebuah mayat seorang wanita. Aku mengira wanita itu telah meninggal karena darah yang keluar dari tubuhnya sangat banyak. Tapi setelah kuperiksa, denyut nadinya masih berdetak. Lalu aku membawanya ke rumah sakit. Aku menemukannya tanpa identitas apapun atau nomor telepon yang bisa dihubungi. Selama ini orang-orang menganggapnya telah meninggal. Keadaannya parah, dan baru dua tahun terakhir ini dia mulai membaik. Dan saat ini dia sedang pemulihan. Wanita itu menceritakan semua masa lalunya.”

“Sebenarnya, apa maksud bapak menceritakan semua ini? Dan siapa wanita itu sebenarnya?” Aku agak bingung, namun pak Doni mengerti pikiranku.

“Wanita itu adalah ibu kandung Martin,” pak Doni menjelaskan. “Martin mengalami trauma yang mendalam, karena itu jika ia melihat perempuan, ia ingat akan ibunya. Padahal ia sangat ingin melupakannya. Akhirnya aku mengerti perasaan Martin. Dia kehilangan kasih sayang ibunya dan melampiaskannya kepada para wanita. Sebaknya kamu menemui Martin dan menceritakan semuanya pada Martin.”

“Tapi, dia sudah pulang.”
“Kalau begitu, tunggu sampai besok.”
Pak Doni meninggalkanku. Lalu aku mengikuti di belakangnya. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Martin saat mendengarnya.

Aku pergi ke kantin mengantarkan daganganku. Saat aku keluar, aku melihat Jeny meletakkan sesuatu di sekitar pisang. Aku tidak menaruh curiga sedikitpun. Aku langsung pergi ke loteng. Seperti dugaanku, Martin sudah berada di sana.

“Martin,” aku membuka pembicaraan. “Tolong, untuk saat ini dengarkanlah aku. Ini sangat penting untukmu.” Martin tetap tidak memperdulikanku.

“Martin, ini,... ini,… tentang ibumu.” Akhirnya Martin menoleh padaku.
“Apa yang kau ketahui tentang ibuku?”
Awalnya aku takut menceritakan semuanya. Tapi tatapan Martin memberiku kekuatan, dan aku memberitahukan Martin tentang keberadaan ibunya.

Martin lalu menyeretku menuju rumah sakit di mana ibunya sekarang sedang dirawat. Detak jantungku yang mulanya normal, sekarang menjadi tak beraturan. Setelah bertanya ke ruang resepsionis, dia langsung berlari ke kamar ibunya. Martin lalu masuk dan memeluknya ibunya. Dia merasakan kehangatan seorang ibu setelah bertahun-tahun ia kehilangan ibunya.

“Martin anakku.”
Aku tahu bagaimana perasaan Martin sekarang, karena aku tidak punya ibu.
“Martin, kau,… kau sudah besar.”
Aku begitu terharu melihatnya. Aku membayangkan jika ini terjadi padaku, aku akan sangat bahagia. Selama ini Martin sangatlah menderita. Mungkin detik ini deritanya hilang. Pak Doni masuk ke ruang kami.

“Bagaimana keadaan ibu saya, dok? Saya ingin membawanya pulang.” Martin sangat berharap pak Doni yang seorang dosen dan sekaligus dokter mengizinkannya.
“Jangan sekarang. Ibumu masih harus dirawat di sini. Dia belum sembuh total. Sebaiknya kamu menceritakan tentang ibumu kepada ayahmu. Dia pasti akan bahagia mendengarnya.”
Meski Martin kecewa karena tidak bisa mengajak ibunya pulang, tapi paling tidak dia bisa menemukan ibunya. Ayahnya bahagia mendengar bahwa istrinya masih hidup

Esok harinya Martin ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya. Keadaannya semakin membaik. Martin lalu pergi ke kampus. Aku melihatnya pergi ke loteng dengan wajah berbinar-binar. Dia sekarang pasti sedang bahagia. Aku menyusulnya ke loteng, tapi pandangannya masih tetap dingin kepadaku. Sepertinya dia tidak suka aku mengikutinya. Padahal aku ingin sekali melihat senyum mengembang di wajahnya. Saat marah saja dia begitu manis. Apalagi saat tersenyum, pasti...

“Untuk apa kamu mengikutiku?!” bentaknya membuyarkan lamunanku.
“Pergi!!! Aku tidak mau kau mendekatiku. Bukankah aku orang yang jahat. Bukankah aku terbuat dari batu?!” Baru saja aku membayangkan dia tersenyum padaku, dia malah berkata sekasar itu. Tapi, bagaimana dia tahu pikiranku. Meski begitu aku tidak bisa marah. Jiwanya mungkin masih labil. Trauma yang sudah berakar tidak bisa hilang begitu saja. Dia terus berlalu meninggalkanku.

Aku kembali ke kelas. Jeni memandangku dengan emosi. Dia pasti cemburu melihat kedatanganku dengan Martin. Padahal Martin begitu dingin padaku.
Hari ini aku bangun lebih pagi, karena jam pertama adalah milik pak Affandi. Lima detik saja aku terlambat, aku pasti dikeluarkan dari kelas. Sebelum ke kelas, aku ke loteng. Tapi Martin tidak ada di sana. Aku lalu pergi ke kantin.

Penjaga kantin mengomeliku. Dia bilang makananku ada racunya.
“Naia, selama ini aku percaya padamu. Tapi, kamu merusak semuanya. Kamu membuat semua pelangganku pergi.”

“Maksud ibu apa? Aku nggak ngerti, bu.”
“Nai, ibu sudah mengenal kamu bertahun-tahun dan membolehkan kamu berjualan disini. Tapi, apa balasan kamu?! Gara-gara membeli pisang goreng yang kamu buat, semua yang beli makanan di sini pada sakit perut. Memangnya apa yang kamu campurkan dalam makananmu?! Apa Nai?”

“Bu, Naia tidak tahu apa-apa. Naia tidak pernah bermaksud macam-macam sama para pelanggan dan mahasiswa di sini. Mereka kan ‘juga teman-teman Naia.”
“Ahh,… sudahlah, ibu mau pulang.”
“Bu, Naia...” Suaraku terputus. Ibu kantin tidak menghiraukan. Dia marah kepadaku. Aku terdiam membisu.

Aku tersadar dan terus melangkah. Sepanjang koridor kampus sudah sepi. Aku melangkah pergi ke tempat seperti biasanya. Tempat yang selalu menjadi curahan hatiku. Tempat aku mengadu segala penderitaanku. Aku menangis sepuasnya. Kenapa sih hidupku harus seburuk ini?!

“Naia!” Aku menoleh dan Martin telah berdiri di depanku
“Martin, kenapa kamu disini?”
“Aku ngerti apa yang menimpamu sekarang ini. Tapi, aku percaya. Kamu nggak mungkin melakukan hal seperti ini. Pasti ini semua ulah Jeny.”

“Jeny?! Tapi,… Itu mungkin saja, karena tadi pagi aku melihatnya menaruh sesuatu di makananku. Tapi aku tidak menaruh curiga sedikitpun.”
“Sudahlah jangan terlalu memikirkan itu. Aku pasti membantumu mengatasi masalahmu. Sekarang kamu mau ‘kan ikut aku menjenguk mama?! Apa?! Kamu serius?”

“Tentu saja. Memang aku tipe orang yang suka bercanda.”
Akhirnya aku nurut aja. Aku memang mengiginkannya, dan baru kali ini Martin bicara banyak. Aku merasa dia begitu menenteramkan jiwaku.

Martin berbicara panjang lebar dan mengenalkanku pada ibunya. Ibu Martin kelihatan sudah sehat. Senyumnya menerawang. Begitupun dengan Martin. Dia begitu manis dengan lesung pipit di pipinya. Cukup lama berselang, kami kemudian pulang berjalan kaki.
“Naia, maafkan aku. Tidak bisa mengantarmu pulang. Mobilku sedang di bengkel.”

“Tidak apa-apa. Aku sudah cukup senang kamu mengajakku menjenguk ibumu. Aku ikut senang atas kondisi ibumu yang sudah membaik dan dibolehkan pulang besok. Oya. Nampaknya kita harus berpisah.”
“Ya, aku… Aku harus pulang “
Aku dan Martin berpisah. Aku merasa harus mengungkapkan perasaanku padanya. Aku harus mengatakannya.
“Martin...” Dia menoleh tersenyum.

Ya Allah, sungguh aku seperti tersihir oleh senyumannya yang baru kulihat sekali ini dalam hidupku. Dan baru kuketahui bahwa dia mempunyai lesung pipi yang lebih dalam dan bagus ketika tersenyum.

“Ada apa, Naia?”
“Ehm, nggak apa-apa. Makasih, ya…” Perlahan dia mulai menghapiriku lagi.
“Naia, kenapa harus makasih? Seharusnya aku yang makasih dan minta maaf padamu. Selama ini aku emang nggak punya hati. Salahku banyak sama kamu. Kamu sudah sering banget nolong dan bantu aku. Tapi aku yang nggak tahu diri.” Perlahan aku tersenyum dan menunduk.

“Naia, sampai jumpa besok.” Aku mengangguk dan membiarkannya pergi. Aku tak mampu mengungkapkan kata hatiku. Tapi, Harus.
“Martin…” Aku memanggilnya sekali lagi. Padahal dirinya sudah berjalan agak jauh. Dia menoleh dan melambaikan tangannya.

Tiba-tiba dari kejauhan kulihat sebuah truk berjalan dengan kecepatan tinggi tanpa bisa terkendali. Bagaimana ini? Aku berlari sekencang-kencangnya seperti hendak terbang kalaupun bisa.
“Martin. Awas…!!!” Martin tersentak. Aku mendorong tubuh Martin. Dan…
“Aaauuww... “ aku menjerit kerasku. Tubuhku terpental penuh darah berceceran.
“Naia…“ Martin menghampiriku
“Martin, maa… maafin aku. Ternyata umurku hanya sampai di sini.”
“Tidak, Nai. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit.”
“Nggak. Hanya satu yang aku minta Martin. Kamu mau ‘kan…” Nafasku semakin tersengal-sengal.
“Nai, kamu jangan seperti itu. Kamu harus bertahan.”
“Martin, aku… Aku haa… hanya ingin selalu menyayangimu. Izinkan aku untuk selalu mencinyaimu.” Martin menggangguk. Airmatanya menetes di pipiku yang berlumuran darah

“Nai, asal kamu tahu. Aku juga sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu. Kamu jangan ninggalin aku, Nai.”
Aku tersenyum mendengar kata-kata Martin.
“Sudahlah, Martin. Relakan aku…” Kutatap dirinya sebelum mataku berat terpejam.
“Asyhadu alla ilaaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah…”

Tubuhku terasa ringan. Dan sebelum nafasku terhenti, sempat kudengar tangis Martin. Aku bahagia Martin mau menangis. Menangis untukku. Menangis karena cintaku. Cintaku padanya. For You; Love.

Lamongan, 2007

Pernik Kehidupan Masyarakat Kejawen

Judul Buku : Dunia Mistik Orang Jawa
Penulis : Capt. R.P. Suyono
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Cetakan : I, Mei 2007
Tebal : vii + 280 hlm
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*
http://indonimut.blogspot.com/

Meski pola berpikir masyarakat Jawa saat ini terkategori rasional, akan tetapi masih ada sebagian masyarakat Jawa berkeruh dengan sentuhan-sentuhan mistik. Misalkan, mengenai keyakinan mistik yang dianut orang Jawa, beragam agama dan kepercayaan, dunia roh, benda-benda magis, ritual, perhitungan waktu, ramalan Jayabaya, serta tempat-tempat angker yang masih terdapat dipulau Jawa hingga sekarang.

Mistik, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah hal-hal ghaib yang tidak terjangkau oleh akal, tetapi ada dan nyata. Para antropolog dan sosiolog mengartikan mistik sebagai subsistem yang ada pada hampir semua sistem religi guna memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan bersatu setia dengan Tuhan. Mistik merupakan keyakinan yang hidup dalam alam pikiran kolektif masyarakat.

Tak jarang kita temui buku, majalah, dan tayangan-tayangan televisi yang berbau ilmu sihir, ilmu hitam, dunia mistik, ataupun berbagai kejadian aneh. Tayangan cerita itu pun mendapat sambutan hangat dari pemirsa serta pembaca. Ironisnya, tayangan dan bacaan semacam itu hanya untuk tarung kepentingan komersial semata.

Buku Dunia Mistik Orang Jawa, yang disadur oleh Capt. R.P. Suyono dari karya H. A. Van Hien dengan judul asli bahasa Belanda, De Javansche Geestenwereld, menjelaskan seputar dunia mistik Jawa. Sebab, manuskrip kuno semacam ini cukup sukar dan tergolong langka ditemui pada dunia pustaka kita saat ini, bahkan nyaris punah keberadaannya. Maka dari itu, Capt. R.P. Suyono, merasa berkewajiban menyalin ulang naskah tersebut guna memaparkan sejarah pergulatan masyarakat Jawa mulai dulu hingga sekarang dalam dunia roh, ritual dan magis.

Misalkan, cerita kepercayaan masyarakat animis. Animisme merupakan kepercayaan bahwa semua yang berada di alam mempunyai jiwa. Oleh kaum animis, jiwa dan roh di imani dapat menggerakkan semua benda di alam. Dengan begitu, terbentuklah kepercayaan bahwa segala sesuatu yang berasal dari alam lewat pengaruh roh dapat menghadirkan kebahagiaan dan kecelakaan.

Tak hanya itu saja. Di Jawa, orang Animis atau Tiang Pasek memiliki kepercayan sendiri mengenai kehidupan sesudah mati, yang tentu berbeda dengan sudut pandang kepercayaan umat Islam. Ilustrasi ini diperoleh dari tulisan kuno dalam kitab Kadilangu. Serat Kadilangu menjelaskan, bahwa Atma atau Kekuatan, dan Kama atau Kemauan, serta Prana atau Nafas, bersama-sama menghidupkan badaniah dari manusia.

Selain itu, badaniah manusia juga menerima Manas atau Jiwa Pemikir yang bersama dengan Manasa atau Pengertian, serta Jiwa atau Roh Manusia secara utuh menjadi satu badan astral manusia atau Kama Rupa, berarti tubuh yang diinginkan. Menurut tulisan lain, bumi berikut binatang, pepohonan, tumbuhan, rerumputan, biji tambang, batu, dan pusaka-pusaka mempunyai jiwa dan roh.

Ritual Sesajian
Masuknya berbagai agama pra Islam di pulau Jawa berpengaruh besar pada adat-istiadat, tata cara hidup, maupun praktik keagamaan sehari-hari masyarakat Jawa. Keyakinan wujudnya Tuhan, dewa-dewa, utusan, malaikat, setan, demit, roh-roh alam, roh manusia, berbagai jenis hantu, turut mewarnai sosio-religius masyarakat pulau Jawa. Sehingga, bercampurnya kepercayaan mengenai penyebab realitas kehidupan dan kepercayaan kekuatan mistik melahirkan berbagai tahayul.

Salah satu fenomena yang lahir dari kepercayaan terhadap Tuhan, dewa-dewa, rasul atau hantu-hantu adalah pemberian sesaji. Misalkan, bentuk sesaji seperti: Selamatan, Penulakan, Wadima, dan Sedekah (hlm 132). Bagi masyarakat Jawa, sesajian dapat dipilah menjadi empat jenis tersebut. Salah satu jenis sesajian yang dianggap istimewa oleh suatu masyarakat Jawa, belum tentu dianggap istimewa oleh masyarakat Jawa lainnya.

Sesajian selamatan dan penulakan terdiri dari makanan yang telah ditentukan. Pada penulakan, saat upacara disertai dengan kegiatan membakar kemenyan dan mengucap doa serta mantra-mantra sebagai bentuk penolakan terhadap setan atau roh yang mencelakakan. Sementara wadima dan sedekah cukup terdiri dari kembang-kembang yang ditempatkan diatas air dalam bejana, disertai dengan kue-kue dan makanan sekadarnya.

Biasanya, malam Jum’at adalah malam spektakuler bagi orang Jawa dalam hal menyediakan wadima. Misalnya, agar tanaman padi tumbuh subur, pada malam Jum’atlah mereka memberikan sesajen kepada Dewi Sri, sang pelindung tanaman padi. Caranya, dengan membakar ikatan jerami di mana didalamnya sudah diletakkan kemenyan. Bila tanaman padi pertumbuhannya jelek akan ditambah dengan sesajian berupa jamu dan obat. Akan tetapi, bila pertumbuhan padinya subur dan mapan akan diberikan sesajian berupa telur.

Pada malam Senin dan malam Kamis orang Jawa berbeda lagi dalam memberi sesaji. Sesajian biasanya ditujukan kepada Rijal dan Poto di kandang kerbau dan sapi, agar hantu-hantu pembawa penyakit pada hewan ternak akan berbaik hati. Dan juga, memberi sesaji kepada Sambangbanger, Pati, Dhengen, serta Baya dan Bayu untuk mencegah penyakit orang dewasa. Untuk mencegah penyakit anak, sesaji biasanya ditujukan kepada Sawan dan Sarap.

Melihat dari ragam sesajiannya, masyarakat Jawa telah memiliki cara ampuh tersendiri dalam memecahkan persoalan hidup. Banyak ritual sesajian dilakukan guna mendapat keberpihakan dari pengampu kebaikan sehingga hidup tenang, tentram tanpa gangguan menjadi pilihan utama. Misalkan, sesaji untuk mendapat berkah, selamatan upacara pernikahan, selamatan menyambut kelahiran anak, upacara untuk memohon keselamatan, selamatan musiman, selamatan untuk orang meninggal, dll. Kendati pun dunia mistis orang Jawa, persoalan roh, benda magis, dan ritual sesajian merupakan kearifan yang patut dihormati dan dihargai.

Karena spektrum dunia mistik orang Jawa sangat luas, maka karya ini akan diterbitkan dalam tiga jilid. Buku pertama mengenai dunia roh. Buku kedua mengenai petangan, yaitu cara memperhitungkan keberuntungan. Dan buku ketiga mengenai orang Tengger. Buku yang menarik ini disusun oleh Capt. R.P. Suyono, yang gemar mengoleksi buku antik. Kemampuannya menguasai bahasa Belanda lama memungkinkan kita menikmati karya Van Hien yang bagus ini. Kandungan kekayaannya akan nuansa-nuansa mistis memberikan wawasan dan hiburan tersendiri.

Puisi-Puisi Javed Paul Syatha

PUITIKA PURNAMA WAKTU

di atas laut
di hari ketika malam menghempas
waktu diantara celah langit dan bunga karang

buihbuih menepi menggoreskan mata pena
di pasir angin:

- aku pintu menghadap laut
deru gelombang yang sanggup menghempas
1000 purnama

wahai purnama yang tenggelam dalam cahaya
akulah menghapus jejak luka
mengalir teramat panjang
menyayat langit
menjadi gumpalan udara

sungguh
aku telah menyebrangi lorong berderu itu
melenyapkan diri dalam riuh puisipuisi
menjemput rembulan dari celah cakrawala
retak
menjadikan puitika purnama waktu yang berpijar;

meski rerontok
sunyi sesayap zirah
luruh di tangan laut
menjadikan serpihan cahaya;
tempat pengekalan terhadap
matahari matahati.

Lamongan, 2006



METAMORFOSA SUATU LANGIT

jiwajiwa kering itu diterbangkan angin;
adakah tangantangan tak kasat mata
mengantarnya pada darah
cinta di ketinggian mencari cahaya
(dan tak dapat dimaknai hakikatnya)

jiwajiwa itu mengering terlalu cepat
menyangkal jasad tak bersalah
melayang di atas pengingkaran ruang cosmos
menjumpaiku pada kebisuan kebekuan yang menggigil

“duh, apa yang ku ingin di ketinggian sana?
bukankah ini kerinduan telah lama aku benci
pada setiap jejak pengembaraan mencari diri”

o, aku mengutuk waktuku yang hilang
menandai kematian hari
seperti burung bangkai
betapa letih aku menyayat tubuhku sendiri
di ketinggian; metamorfosa suatu langit.

aku cemburu pada formalin
pada virus paling menakutkan
aku cemburu pada tanah, pada air
dan batubatu
aku cemburu pada telinga yang tak mendengarku
aku cemburu pada ketinggian yang terbuka
pada gerimis yang membebaskan matahari.

astaga, apa aku ini!
menghujat langit hari esok
mematahkan sayapsayap burung terbang
menjadi teror menjadi badai
bagi pohonpohon pegunungan.

“hai, siapa menjaga keagungan harapan tertinggiku”

Lamongan, 2006

Selasa, 19 Agustus 2008

Kembang Sepatu di Antara Sepatu

A Rodhi Murtadho

Sepatu berbau busuk. Kembang sepatu berwarna merah. Pemandangan yang selalu ada di setiap hari Minggu. Di antara teriknya sinar matahari dan angin yang terus mengalir pada kesunyian yang membawa bau busuk sepatu. Tentu saja bau itu menjalar ke mana-mana. Yang pasti ke rumahku. Sebagai tetangga yang berdempetan. Bahkan halamannya juga hampir menjadi satu. Aku yakin tetangga yang berada di seberang sana dalam radius seratus meter masih bisa merasakan kebusukan sepatu itu.

“Mas, jangan kau buka pintu dan jendela, aku takut bau busuk sepatu itu akan menjalari rumah kita,” pintaku pada suamiku.

“Tapi udara segar tidak akan masuk, Dik,” kata Harjo, suamiku yang berperawakan kalem dan sangat sabar.
“Itu lebih baik daripada seluruh isi rumah ini akan menjadi sesak dan busuk.”

Kami sebenarnya tidak tahan. Lebih tepatnya, aku sangat tidak tahan. Bagaimana mungkin Kumajas, tetanggaku itu, tahan dengan bau busuk yang menyengat seperti itu. Pintu dan jendela rumahnya terbuka. Sepatu yang dijemur di atas pohon kembang sepatu berada tepat di depan rumahnya.

Kumajas memang seorang pengusaha sukses. Rumah dibeli sendiri dari hasil kerjanya. Bahkan mobilnya sampai tiga. Dia masih lajang dalam usianya yang hampir 30 tahun. Ketampanannya membuat greget para istri yang berada di perumahan Griya Cemara ini. Namun itu hanya berlangsung seminggu sejak kedatangannya. Sejak dia menjemur sepatu di halaman rumahnya, jangankan para istri, semua tetangga menjauhinya.

Hari sabtu, pekan terakhir bulan ketiga sejak kedatangannya, kulihat mobil Kumajas pulang pagi, sekitar pukul 10.00 WIB, tak seperti biasanya. Atau dia sakit. Tapi apa yang kulihat sungguh menyesakkan dada. Dia berjalan ke halaman rumahnya sambil menenteng sepatu. Menjemurnya. Kulihat rumah tetangga yang lain langsung tertutup rapat baik jendela, pintu, maupun seluruh lubang udara.

Aku sudah tidak tahan lagi. Biasanya dia menjemur sepatu busuknya hanya pada hari Minggu. Dan biasanya suamiku, Mas Harjo, selalu menghiburku meskipun aku tahu Mas Harjo juga sangat marah. Sebagai seorang istri, hari Minggu biasanya kugunakan waktu untuk menservis suami menjadi terganggu dengan ulah Kumajas menjemur sepatu busuknya.

“Mas, Mas Kumajas …” kuketok rumahnya, kupanggil sangat keras dan tentu saja sambil menutup hidungku.

Suara langkah dari dalam mendekati pintu. Tak begitu tergesa dan terdengar santai.

“Ya, saya sendiri, ada apa Bu Harjo?” kata Kumajas yang kemudian tersenyum manis.
“Ada apa, ada apa! Sepatu Mas itu lho. Bau! Biasanya hanya hari Minggu menjemurnya. Sekarang masih hari Sabtu kok sudah dijemur!”

“Oh, mungkin hanya perasaan Ibu saja. Sepatu itu tidak bau kok. Kebetulan sekarang ada waktu, jadi saya menjemurnya. Tidak usah menunggu besok.”
Aku semakin kesal dengan perkataan dan sikapnya yang merasa tak punya salah dan dosa atas perbuatannya.

“Kalau Mas mau bukti. Itu lihat! semua tetangga menutup pintu dan jendelanya agar tidak mati sesak napas karena mencium bau busuk sepatu Mas.”
“Saya yakinkan kalau sepatu saya tidak bau, Bu. Oke! Ibu silahkan duduk dulu. Saya ambil sepatunya.”

Aku duduk di ruang tamu sementara Kumajas berlari mengambil sepatu yang dijemurnya. Dia menenteng sepatu tanpa menutup hidung. Sempat terlintas di pikiran, kalau di dalam rumahnya, aku tidak mencium bau busuk sepatu itu. Padahal di rumahku dan rumah tetangga yang lain baunya sungguh menyengat. Aku tidak lagi menutup hidung. Mungkin lupa: terpesona dengan suasana dan harum ruangan rumah Kumajas.

“Ini Bu, kalau kurang percaya. Kalau bau tentu Ibu akan menutup hidung,” kata kumajas sambil menunjukkan dan mendekatkan sepatunya.

Aku merasakan keanehan dan langsung berlagak untuk menutup hidung. Namun perlahan kubuka karena memang sepatu itu tidak bau seperti yang selama ini tercium dari rumahku dan dari rumah-rumah tetangga yang lain. Aku malu. Menundukkan muka dan entah panas dari mana. Wajahku terasa sangat panas dan memerah.

“Bu, Bu Harjo, ada apa Bu? Wajah Ibu kok merah. Apa sepatu ini bau?”

Aku melihat sepatu yang sama yang pernah kuberikan pada Kumajas. Sepatu yang kutulisi namaku di bagian alasnya, ANA, yang kurencanakan sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-27. Namun menjadi sepatu tanda perpisahan kami.

“Ehm ..e .. tidak,” pelan aku menjawab.
Aku langsung mengingsutkan badan. Berlari menuju pintu tapi tanganku terasa tersangkut. Kulihat tangan Kumajas sudah erat memegang tanganku.

Kerinduan yang sudah lama menghilang, kembali lagi. Kumajas, mantan tunanganku, yang pernah kupuja beberapa tahun lalu harus kutinggalkan. Lebih tepatnya tiga tahun lalu sebelum pernikahanku dengan Harjo. Kumajas yang diam-diam mempunyai perempuan pujaan lain selain aku. Satu hal yang tak pernah kumengerti. Padahal kami telah merencanakan pernikahan setelah ulang tahunnya yang ke-27. Sebagai seorang perempuan, aku merasa sangat tidak dihargai. Tanpa pikir panjang, aku memutuskan pertunangan dengannya.

“Kau tahu, aku sangat merindukanmu, An?” didekapnya aku erat-erat dalam tubuh bidangnya.

Entah mengapa aku tak kuasa melepas dekapannya. Malah tanganku pun melingkar di tubuhnya. Erat. Kegairahan pun mulai muncul. Biarpun aku melakukannya dengan Mas Harjo tiga kali seminggu. Namun aku tak bisa membendung gairah yang muncul ini.

Sepi di luar, sepi menelan-mendesak. Lurus kaku pohonan. Tak bergerak. Sampai ke puncak.

“An, kita lakukan seperti dulu. Seperti biasanya,” kata Kumajas pelan.
“Mulutmu mencubit di mulutku,” kata kami bersamaan mengalir pelan.

Kami pun lunglai di bawah bimbingan birahi. Di samping sepatu. Kerinduan demi kerinduan terus terobati dalam dekapan dan cumbuan. Cucuran keringat pun tak sengaja menetes ke dalam sepatu. Panas nafas kami menghembus cepat di atasnya. Di atas sepatu Kumajas. Berguling ke sana kemari juga di atas sepatu Kumajas.

Sore hari, seperti biasa, para istri yang sedang menunggu suaminya pulang bergerombol ngobrol tak karuan.

“Bu, besok Kumajas akan menjemur sepatu atau tidak?” tanya Bu Agus kepada para istri, membuka obrolan.
“Paling, tidak. Soalnya aku tadi sudah merasakan kebusukan sepatunya,” ungkap Bu Tommy.

“Mudah-mudahan saja tidak. Kalau menjemur lagi, wah bisa mati sesak kita,” Bu Andrew berkata sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan mukanya.

“Tapi kulihat Ibu Harjo tadi melabrak Kumajas, ya. Kulihat Kumajas langsung mengambil sepatunya,” Bu Tommy tersenyum memandangku.

Celaka, ibu-ibu ini tahu kalau aku mendatangi Kumajas dan jangan-jangan mereka juga melihat apa saja yang kulakukan bersama Kumajas.

“Iya, Bu. Aku kan tetangganya yang paling dekat, jadi baunya membuat pusing kepala. Mau pecah rasanya,” kataku mengiyakan untuk menghindari tudingan yang macam-macam dari para istri ini.

“Iya lha, kok ada sepatu yang baunya seperti itu,” kata Bu Agus menambahkan.
“Kalau ada pepatah, rumput tetangga lebih hijau dari rumput di halaman rumah kita enaknya diganti saja menjadi bau tetangga lebih busuk dari bau kita,” kata Ibu Tommy melengkapi.

“Atau lebih tepatnya, sepatu busuk tetangga lebih busuk dari tai kita,” kata Ibu Agus menambahkan yang kemudian disambut dengan tawa para istri.

“Bagaimana kalau kita labrak sama-sama. Gabungan para istri. Percuma dong kalau dulu kita diperjuangkan Kartini sementara sekarang hanya bisa tinggal diam. Mangku tangan. Menerima bau busuk sepatu Kumajas sialan itu,” kata Bu Andrew memprovokatori.

“Maaf, Bu. Mas Harjo sudah datang. Saya permisi dulu,” kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah untuk menyambut suamiku.

Lega rasanya kalau aku bisa cepat-cepat meninggalkan tempat ngobrol para istri. Karena aku sendiri yakin kelihaian mereka bisa membuatku terjebak. Mengatakan apa saja yang terjadi di rumah Kumajas ketika aku mendatanginya.

Seperti biasa kusambut Mas Harjo dengan hangat. Kulayani seperti biasa agar tidak timbul curiga. Kusiapkan air hangat untuk mandi. Makan malam sampai jadwal malam minggu yang kami buat. Melakukan hubungan intim suami istri.

Pagi yang masih rabun namun suara tetangga sudah memenuhi suasana. Aku mulai terbangun dengan malas. Begitu juga Mas Harjo yang juga ikut terbangun. Kuintip dari jendela. Para tetangga bercengkrama di halaman rumah masing-masing. Keanehan apa yang terjadi? Mungkin obrolan kemarin sore membuat kami beranggapan bahwa Kumajas tidak akan menjemur sepatunya.

Kualihkan pandanganku ke halaman Kumajas. Tak kusangka, sepatu Kumajas sudah berada di sana. Namun ada yang aneh diantara sepatu itu. Ada sebuah kembang sepatu yang mekar.

Dekapan Mas Harjo dari belakang membuatku kaget. Kurasakan kasih sayang suamiku yang begitu dalam. Pagi hari yang tak berbau meski Kumajas menjemur sepatu. Para tetangga pun melakukan aktivitas selayaknya sebelum Kumajas datang ke perumahan ini.

“Dik, masih pagi,” pelukan dan bisikan Mas Harjo membuat kami kembali ke ranjang dan mengulang kejadian semalam.

Hari mulai siang. Kulihat jendela dan pintu tetangga terbuka semua. Hanya rumahku yang belum terbuka. Aku mendekati pintu dan membukanya.

“Bu, Harjo. Benar kan Kumajas tidak menjemur sepatunya. Bau harum langsung tercium sekarang. Memang sebenarnya lingkungan kita ini bersih dan harum,” kata Bu Agus, yang rumahnya berada di samping kiri rumahku.

Kualihkan pandangan ke halaman Kumajas. Kulihat kembang sepatu yang sudah mekar dari pagi tadi. Kembang sepatu itu semakin mekar. Namun kulihat juga tetap sama. Sepatu Kumajas yang biasanya bau dijemur di sana. Sepatu yang membuat sesak pernapasan hampir satu perumahan. Tapi mengapa sepatu itu kini tidak dirasa bau olehku dan tetangga yang lain? Apakah kembang sepatu itu yang membuatnya tidak bau? Aku pun mulai berpikir kalau sepatu Kumajas memang tidak bau. Mana mungkin ada kembang sepatu yang begitu indah mau mekar di antara sepatu yang busuk.

Surabaya, 24 Maret 2006

Minggu, 17 Agustus 2008

Puisi-Puisi Ahmad Syauqi Sumbawi

Interlude di Remang Malam

terdengar itu,
jam dinding membentak
hitungan waktu yang terpenggal
tak pernah gagal

rupanya,
kita sudah menjadi kebal
terus mengotak-atik waktu
dari 1 ke 1001
: mimpi manusia

tapi,
suara tokek itu
masih sempat membikin kita tersentak juga



Perjalanan Ke Bukit

aku tak ‘kan mengharap
jalan datar di depan sana
dan doa yang mengharapkannya
akan ditertawakan udara
sebagai ketololan yang sia-sia

”telah kering sang Pena”

iklim-cuaca pun mencatat
bahwa perjalanan ke bukit
otot-otot menjadi kawat
butir-butir nasi menjadi keringat
dan semangat ditumbuhi karat

dan manakala aku tergelincir menggelinding
aku tak mau ada di antara ngeri dan mimpi
yang tak lain adalah diam yang menyiksa

biarlah hancur binasa
sebab kehidupan akan tergelar segera
dengan memandang mekar wajahku
di bukit sana



Kepada Waktu

coret saja namaku dalam daftarmu
berkali-kali tak sambut buangan kakimu
dan buang saja ludah pahitmu ke mukaku
seperti yang selalu kaulakukan membikin sesal

memang hijau jari-jari di dada rentan patah
apalagi untuk kali pertama
sekawanan laba-laba membangun sarang
saat mencoba menampakkan udara
yang terjaring malam itu

dalam kamar gelap dan pengap
aku tak peduli lagi itu berbahaya
aku tak peduli iklim dan cuaca yang berubah
juga pada jarum jam dinding
yang menangkapmu di tiap detik
dengan tawa persulangan di remang malam

kutuk aku!
ya, kutuklah!
kutuklah seperti yang selalu kaulakukan
mungkin begitu, aku lebih mengenalmu



Di Sebuah Konser

di sebuah konser
aku ingin menari, bersama
mencebur dalam riaknya
bukan dangdut, rock n’ roll, punk,
grunge, black metal, underground,
ska, campur sari, hip hop, R&B,
dan sebagainya

di sebuah konser
aku ingin menyanyi, bersama
mengalir dalam alunannya
bukan pop, slow rock, blues, jazz
seriosa, keroncong, kasidah,
dan sebagainya

di sebuah konser
aku ingin menari dan menyanyi, bersama
diiringi musik yang tersembul
dari palung diri
yang mengalir mendesir darah
hangat di dada

lebih merdu dari tarikan vokal
lebih lembut dari sentuhan keyboard
lebih kuat dari hentakan drum dan perkusi
lebih lengking dari petikan gitar dan gesekan biola
lebih..
lebih…
membebaskan…



Bila Mata Tiba-tiba Pecah

benarkah, telah binasa mekar wajah?
mata tiba-tiba pecah
jika kautanya, barangkali ‘kan
menyentak juga:
“keruh kening takkan pernah cukup terhapus
oleh lelehan air mata. malah,
rentan melajatkan sepai diri bersama
kesepian bebatang kaktus.”

di bawah malam,
oase menggambar purnama
apakah ada yang lewat?
menyentuh pada kemilaunya
jika kautanya sekali lagi,
barangkali ‘kan menyentak kembali:
“setelah keruh kening luntur,
maka terlihatlah juga
air jatuh dari wajah dan tangan
mengirimkan getar-getarnya
menjelma sungai membayang muara.”

dalam dada menghisap debur samudera
apakah mesti berangkat? merelakan
buih-buihnya

jika kautanya kembali,
barangkali ‘kan menyentak sekali lagi:
“buih-buih adalah pasti.
pasir dan karang membentuk daratan.”
jika masih bertanya-tanya juga,
terkubur lautan tanpa nisan

Senin, 11 Agustus 2008

Sajak-Sajak Anis Ceha

MENJELANG BULAN

Sesederhana itu kau buka benakmu
dengan kata-kata indah;

seperti abu dilarung ke lautan lepas,
dan ikan-ikan menjauh
oleh takut akan kesuciannya
atau enggan berbagi
dengan arwah-arwah penjaga debu.

Akulah menyanjungmu bersegenap dunia
yang kupijak bersama rerumputan muda.

Oh yang jauh,
seperti kiranya waktu tampak membuka mulutnya
dengan hari,
dengan terbit mentari di ujung timur
demi menjelang bulan kemudian.

050613



APA ARTINYA

Telah ku tutup tirai hati sebelum cerminkan diri
akan hamparan teduh wajahmu.

Duhai kasih,
kiranya kau tahu aku tak mencintaimu
tapi orang lain tengah ku tunggu,
dalam kabut hitam rindu.

Parasmu tersenyum begitu saja,
setelah ku tahu tak getarkan sedikit pun
apalagi koyakkan hatiku yang berpacu
bersama perubahan waktu;

waktu-waktu itu darahku membeku,
keringat tak mengalir
apalagi angin,
tak sedikit pun menyapa daun-daun.

Lalu apa artinya dirimu?

051129



PADA SUATU HARI DI UJUNG SUBUH

Ku dapati gelisahmu di ujung subuh,
kupu-kupu sayapnya terluka
tak dapat lagi menyeret pintu samudra
di ambang fajar sentausa.

Kata-katanya terlalu lugas dimaknai, betapa pun
kamus tersaji di hamparan mataku.

Kataku: “aku tak bisa membaca” waktu itu yang
kemudian, telapak tanganmu tenggelamkan
kepalaku pada hangat ketiakmu.

Awan terlalu tinggi untuk kau bisa terbang
serta mengambil segumpal awan,
maka berlatihlah sayapmu agar tak kaku
juga belajarlah terbang keinginan
agar kau bisa ambil lebih
dari segumpalan awan-awan
agar kau bisa jadikannya apa saja
dan tak lagi putih, biru atau kelabu.

Katamu:
tak perlu gelisahmu,
kau hadirkan kupu-kupu terluka sayapnya
tak mungkin menyeret pintu samudra
di pantai kakiku di suatu hari,
di ujung subuh di ambang pagi tragedi.

051011



PERMOHONAN

Ku simpan air mata yang mulai mengering,
namun ku jatuhkan lagi
dan kantong itu sudah tak mampu menjalin
benang berkain.

Apakah sebab air mata terlampau panas,
hingga melepuhkannya?

Maka beri aku kesempatan memunguti,
bekas-bekas yang meski tiada lagi di tanah.



SURAT CINTAKU YANG LALU

Ku tulis surat-suratku di hari-hari lalu
petanda sepi menunggu, belum jua bertemu.

Sengaja tak kirim berprangko
sebab ku faham kedekatan terus meretas
atas kalimat-kalimat mengendap
dari jantung waktu.

Tapi sampai lelah ku menunggu,
tak juga kau penuh walau sepatah kata
aku bertanya tanpa jawab
dan sepertinya diriku mulai resah:

tanah-tanah kering, daun lunglai sekulitan jeruk
kering sampai hilang tanpa rasa kecut.

Ku tulis surat-suratku kembali
hingga jemariku menyusut,
botol-botol kaca cerlangnya memudar
saat membaca raut kusut.

Kau menjelma kesiaan melanda,
ketika aku temukan hujan pertama
pada impian kaki-kaki akan lelaki setia.

050731

Apologia, Absurditas dan Puisi

Mashuri

Abad ini tidak hanya berada di akhir gagasan tentang puisi. Dunia imaji sudah terbelah dan jumbuh dengan realitas yang terfiksikan; dan ide-ide tentang bahasa semakin rapuh dan jauh dari proyeksi kreatif. Dalam kondisi hiperrealitas dan dunia dengan citra yang direkayasa, diperlukan upaya kreatif yang subversif untuk mengoyak kebuntuan itu. Salah satunya adalah dengan menembus batas, dan meradikalkan konsep tradisi dan pembaruan dalam titik yang paling ekstrim.

Tolak ukur yang digunakan dalam melihat puisi selama ini adalah kata, kekuatan kata dan metafora yang melatarbelakanginya. Ada ahli sastra yang menganggap penyair tak lebih hanya pengrajin. Para penyair dalam pandangan mereka, adalah pribadi yang suka mempermainkan bahasa, dengan sikap kebinalan sebagai orang yang mengerti bahasa, potensi serta persilangan yang melekat di dalam dan di luar bahasa. Penyair hanya merakit kata, tanpa tahu lebih jauh tentang kata itu.

Mungkin sebagian pandangan mereka benar, tetapi ketika puisi tidak hanya terpusat pada kata, maka apa yang mereka pikirkan merupakan sebuah pemikiran yang tak berparadigma. Sebab, mereka tidak pernah bisa menembus inti dalam dari puisi, langgam kesenyapan, ruh yang kadang luruh, nafsu binal dan keretakan manusia sekaligus keagungannya. Sehingga mereka hanya berkata dan mengklaimnya dengan hanya mengamati dari sisi luarnya, sisi yang tampak lahiriah, dari sudut bahasa yang rentan, dari sebuah kulit yang bisa tanggal dan terkelupas. Sebuah pengamatan yang sia-sia.
Padahal ide tentang bahasa, sekali lagi telah rapuh. Struktur telah goyah dan segala hal yang menyangkut hubungan petanda dan penanda koyak, kadang jumbuh, berantakan dan kadang berhenti di persimpangan. Sehingga apa yang mereka dapatkan dari pembacaan pada puisi, sebenarnya berasal dari wilayah yang hanya menyentuh bentuk logika yang paling dangkal.

Bagi kalangan surrealis, suprarasionalis dan realis-magis, memihak pada wilayah dalam adalah sebuah kewajiban. Kemudian, puisi pun mengejawantahkan adanya sebuah dunia, ketika manusia dikembalikan pada titik nadirnya, sebuah posisi purba yang meyakini bahwa manusia awalnya adalah binatang sekaligus malaikat. Tak ada pengkotakan bahwa dunia harus termanivestasi seperti apa yang terlihat dan teraba. Sebab dunia harus direbut dari sebuah kungkungan yang tidak lagi menunjukkan sebuah tata yang dapat dipercaya: makna terberi, rekayasa penciptaan dan bermacam prasangka.

Hanya saja, pada taraf tertentu, ada kalanya pemahaman yang dangkal pada surrealis juga menjadikan seseorang, baik kritikus dan penyair terjebak dalam sebuah permainan hampa. Jika permainan itu melibatkan jiwa, maka permainan itu memiliki cara pandang tertentu pada diri manusia, lewat kerapuhan dan keterpecahannya. Sayangnya, kebanyakan sudut pandang yang ada melihat dan berupaya mendramatisir dunia dalam sebuah sistem dan struktrur yang sebenarnya sangat melemahkan, karena berpatok pada sesuatu yang mungkin. Tak ada keberanian dan nyali untuk merambah wilayah ketidakmungkinan, dengan batas ruang tak terkira.

Lalu adakah yang dapat disinyalir adanya konsep pewahyuan dalam kerja kepenyairan, untuk mengenal dan merambah wilayah dalam? Saya kira, seorang penyair yang mengerti puisi adalah penyair yang sudah melampui proses pewahyuan itu. Ia tidak lagi mengandalkan sesuatu yang berasal dari luar dirinya. Tetapi ia bisa mencipta dari dirinya. Ia bisa mencipta peristiwa dalam benak dan dada. Jika itu dianggap sebagai permainan, baik dalam tataran bahasa struktural maupun metabahasa, maka unsur-unsur metafisika memang terlanjur berada dalam proses itu. Ia tidak bisa ditolak kehadirannya atau diundang, karena ia sudah merasuk dalam proses kreatif yang hanya bisa dikenali oleh pribadi penyair dengan segala renik palung jiwanya, untuk melahirkan karya-karyanya yang bermutu.

Jika kemudian yang tampak adalah sebuah dunia yang absurd, tak terkenali, mengiris kenyataan yang bermain di luar realitas si penyair. Maka, hal itu karena puisi, sekali lagi puisi, mampu mengejawantahkan dengan demikian detail diri manusia, dunia, dengan segala absurditasnya. Ia bisa mengenali yang tak bisa dikenali, karena seorang penyair adalah manusia yang berada di luar dari dunia yang dipenuhi prasangka, dengan segudang rekayasa dan makna yang terberi.

Dalam hal ini, saya tak ingin menyamakannya dengan konsep absurditas siapapun. Tapi absurditas di sini bukan hanya terpaku pada sebuah pengerjaan yang sia-sia pada proses menjelajahi dunia dan menghancurkannya, tetapi juga melampaui proses menghancurkan diri sendiri, kesadaran, ketaksadaran dan menjadikan sebuah cara pandang yang berbeda dari mainstream yang ada, baik dalam tataran yang lebih legal maupun tak legal. Ia tidak sekedar sebuah prosesi bunuh diri filosofis. Bahkan, bisa mengacu pada penghancuran diri. Bunuh diri secara total.

Dari sini, bahasa yang menyaran pada sebuah ujaran yang bisa ditarik maknanya tidak bisa mengejar. Puisi terus berada di garda depan dan bahasa akan terpontal-pontal mengikutinya. Dengan catatan, puisi itu menyangkut tentang gagasan tentang puisi yang bisa menerjemahkan sebuah keadaan yang bersifat hakiki dan adikodrati. Sebuah pemetaan yang metabahasa, berada di luar waktu, sekaligus di dalamnya, dan mengedepankan pengucapan yang orisinal dari dasar jiwa manusia, sekalian lubang hitamnya, dengan sebuah pemenuhan standart estetika yang tidak hanya berasal dari olah rasa semata.

Bukankah itu bersifat pewahyuan? Sekali lagi, masalah pewahyuan adalah salah satu cara, selain banyak cara untuk merengkuh suara-suara liar yang berdengung, berdesakan dan merubung segenap indera si penyair dari segenap sisi. Mungkin seperti alat rekam yang berdiam dalam dirinya dan menyaring semua suara yang terdengar, sambil terus berteriak dan merekamnya lalu menerjemahkannya dalam bait-bait, baris-baris, bahkan dalam satu huruf, cukup.

Kita memang berada di akhir gagasan tentang puisi. Kira hanya berhadapan dengan rumah tua yang saatnya didekonstruksi, dibongkar, dikubur dan mendirikan rumah baru, dengan tatanan baru. Kita bisa bertindak sebagai seorang yang historis maupun ahistoris, senyampang setiap langkah pembongkaran kita memang menyaran pada sebuah gagasan tentang pengejawantahan dari sebuah cara pandang pada dunia yang memberikan kesegaran, dibalut tawaran-estetika, meski dengan langgam kekejaman dan titik tragis, dan dibahasakan dalam tata yang melampaui jamannya, baik silam, kini atau masa depan.

Dan, manusia bisa mengenali kedirianya lewat ucapannya sendiri. Sebuah ucapan yang berasal dari dasar, perpaduan naluri purba dengan kemurnian, suara yang bergaung dari sumur yang tak terlihat oleh awam, sebuah wilayah yang tak bisa diraba dan dirasakan dengan frekwensi dan intensitas sekali saja. Kerna di dalam sana, tidak hanya tampak kemilau air, riak ombak atau gelombang udara yang bisa membuat siapapun yang masuk ke dalamnya tercekik dan mati.

Sabtu, 09 Agustus 2008

AMADHAHI POLA-POLA ANGGIT ING CENGKOK GUNA-BUDAYA

Suryanto Sastroatmodjo

Pertama, mungkin sekali, apa yang diketahui oleh Vernon Gill Carter dan Tom Dale, bahwa manusia dan peradabannya itu tergantung dari tanah, sebagai seorang ibu memelihara dan membersihkan anak-anaknya, adalah benar. (The Physical relief features of land, that is, the landforms of earth’s surface, are another measuring-stick for human society: Relief dan tanah, mempengaruhi jaring-jaring lalulintas, pemuatan penduduk, biaya hidup dan jenis pengangkutan serta usaha-usaha di bidang pertanian dan kebudayaan. Yang menekankan, bahwa lingkungan tersebut “diemban” oleh suatu manifestasi kasih sayang yang tulus, dalam pengabdiannya melestarikan sumberdaya energi, insani dan segala gumelar.

Rabu, 06 Agustus 2008

ZAITUN: CAHAYA DI ATAS CAHAYA

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=84


Sebuah Naskah Pendek

Prolog (QS.24:35):
“Ia pemberi cahaya lelangit dan bumi.
Perumpamaan Cahaya-Nya ibarat kurungan pelita
(miskat), yang di dalamnya terdapat pelita. Pelita itu
berada di dalam kaca; kaca tersebut bagaikan bintang
cemerlang serupa mutiara, yang dinyalakan dari pohon
yang banyak berkahnya; yaitu pohon zaitun,
yang berasal bukan dari barat, dan bukan dari timur.
Yang minyaknya saja, hampir-hampir menerangi, meski
tak dinyalakan dengan api. Cahaya di atas segala cahaya!”



I. Pembuka
(Seorang pengembara muda berjalan di atas panggung,
ia berkata):

Segarlah kepemudaanku yang baru mekar,
embun arang di wajah mawar hitam bergulingan
ketika angin sekutu serentak menikam para papa,
dengan mata gemerlap menyetubuhi ruang hampa.

Akukah gembel yang malang itu?
Mengembala domba-domba tak berkepala,
dan para cacing busuk dalam perut ibundanya.

Saatnya memang,
menggelandang dari gang-gang kota,
makan dari sampah harapan para angkara;
makin dalam pekat kelopak-kelopak hatimu
di tepian pantai jalanan itu.

Tanganku tergores duri-duri kaktus,
liar-meliar di pebukitan karang;
pedihnya ke segenap penjuru,
menangis ke sudut cakrawala,
dan bola-bola mata menjadi nanar,
tak ubahnya fajar tersentak
oleh harkat yang nisbi,
diam!

(cahaya menfokus di layar menyerupai bulan,
ia melanjutkan kata-kata):

Tubuh-tubuh pepohonan mati meranggas,
jarum-jarum rumput mematahkan kalbu bulan,
di setiap wujud menandaskan kematian,
di setiap degup menandaskan kelahiran;
aku menjelma, bagianmu yang hantu.

(Pemuda itu menemukan uang logam,
lalu mengamati, dan diteruskan ucapannya):

Sepasang wajah tidak mungkin bertemu,
walau sejatinya menyatu;
adakah tangis di lempengan ini,
kecintaanmu yang malu?
Benarkah ini wajah Tuhan?
Atau raut kekasihku yang lenyap oleh peredaran?

Yang dari kutub utara dan selatan,
yang dari pegunungan timur maupun barat,
kemarilah, ke lembah ngarai peradaban;
pasar kebudayaan menantimu,
walau membeli pertukaran kasih.
Alamlah,
yang semayamkan kehendak utuh
kepada relung terdalam.

(jantungnya keras berdegup kencang,
ia memegangi dadanya lalu lemas, lantas
ia kembali bangkit dari kehitaman panggung.
Dan sorot lampu remang perlahan menerangi
wajah pucatnya, ia melanjutkan berkata-kata):

Akulah anakmu, wahai kehidupan abadi,
di sini tempatnya, balung-belulang ditempa api,
di jalanan malam menyala,
hingga dendam memupus,
serupa buah randu sedang menua,
mengeluarkan kapuk-kapuk beterbangan;
menghampiri langit, menuju kerajaan-Nya.

Gelombang samudra pada ketinggiannya,
awan pukul-menghempas
di awang-uwung dunia panggung,
sejauh hasrat jaman biru memutih
di samping diri manusia yang pergi.

(seorang wanita menghampirinya seperti tersesat,
dan didekatinya lelaki malang itu sambil berucap):

Aku dengar, bisikan sang waktu, katanya segera datang,
ribuan cahaya terang kunang-kunang menari di udara;
inikah jawaban, atau masih petanda?

Di setiap tingkatan itu rona,
ketika pipi terkelupas asmara;
sayap bebuku mengatup di belahan jemari,
menjelma mutu manikam di saku renungan.

Biasanya, kulewati derita dahan; kata angin itu,
menelusup pada kejauhan matamu,
menjangkau rindu dengan kecurigaan.

Inikah perhatianmu yang malang?
Memandang bukit berpelukan kenang?

(lelaki itu menimpali kata-kata):

Pebukitan yang mengelilingi kediamanmu,
itu cawan ganjil bagimu;
setetes embun segelas samudra,
menimang hati nan jauh dirimu,

air putih serta senyum paling perawan kau suguhkan,
sosok itu melayang-layang di awan, entah ke mana
sekarang, hanya angin kukenal, melekat di badan.

(sang gadis itu menandaskan kata):

Kedewasaanmu tidak mungkin melupakan itu,
tarikan nafasmu-nafasku tetap sama,
bersatu dalam sukma merajah.

(lelaki itu menjawab):

Ya benar, kita dari ketinggain timur dan barat,
serupa minyak zaitun cemerlang tanpa nyala api,
sebab si setan belang tak sanggup menjangkau kemari.
Inilah daerah kekuasaan iman;
keyakinanku manunggal,
bimbangku mandek menstupa.

Kuceritakan segala kerahasiaan jiwa,
agar engkau mawas di depan cermin,
Eva Braun, Balkis serta Roro Jonggrang,
akulah Hitler bengis itu, Sulaiman yang setia,
atau Bandung Bandawasa yang meludahi tanah.

Kuusung kerajaan jiwamu, hingga kau tak memilikinya,
dan mereka, membawa nafasmu hadir kemari.

(wanita itu menangis tersedu,
sambil berkata dengan khidmad):

Menuruni lembah-lembah kecilku, tanganmu merentang,
keringat menguap, jantung memberi melodi,
dan darah tandas tak tersisa.

Wahai sahabat jamanku, hisaplah jiwa kekasihmu ini;
aku kini menjelma ibunda keabadian,
di atas anak-anakkan rambutmu sampai kepadaku,

sepi kuwarisi, mengikuti daun-daun terjatuh
di pekuburan sesal kamboja,
siapa mencubit, tak lagi temukan getahnya.

(lalu lelaki itu menyaut):

Yang dari satu kutub, tidak mau meleburkan diri,
dirinya selalu tak sempurna, walau ribuan kitab ia pelajari;
di dekatku tetap seperti orang buta atau tersesat, dan aku
tidak akan membukakan pepintu,
tetapi, terimalah ini perempuanku,
selogam mata uang perak bukan penolakan,
yang kutemukan di tengah jalan kembara.

(Lelaki itu memberikan sekeping uang tersebut,
sambil menekan kata-kata):

Genggamlah kuat-kuat,
bahwa timur dan barat tak kan bertemu,
kutub utara serta selatan, selamanya begitu.
Tetapi ini, dalam satu mata uang yang sama,
aku sebut sebagai perjodohan duniawi.

(wanita dan lelaki itu tiba-tiba kesakitan,
terjatuh lalu mati,
hanya kedua tangannya saling bertemu,
oleh selogam mata uang takdir).



II. Bercampur
(dalam satu keranda ada dua mayat,
sang pengembara, dan wanita tersesat.
Keempat pemikul keranda, serentak berucap):

Bukti setia adalah ajal,
bukti pertemuan, yang tak terpisahkan.
Kita panggul jasad mati,
demi sebuah damai yang hilang;
keduanya saling mengisi kekosongan,
yang menyulam arti, memberi makna dikemudian.

Mereka telah tahu, realitas dan misteri bersulaman,
tak ubahnya angan dan fikiran. Mereka juga mengerti,
hidup senantiasa dalam waktu-waktu percobaan,
demi mengekalkan kesejatian tujuan serta harapan.

Dan mereka pun faham, dunia bukan segala-galanya,
hanya yang sungguh-sungguh menuju batas akhir,
menemukan kilauan cahaya-Cahaya.

Kita pendam nantinya dalam lubang penantian,
penangguhan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan.

Ternyata yang paling berharga di dunia adalah ruh;
nafas-nafas yang sanggup menafaskan kepada sesama.

(Keempat pemikul keranda, simbul orang timur
dan orang barat, yang tak mungkin bersatu,
kecuali dalam pesta kematian)



III. Peleburan
(kedua pengantin kematian itu duduk-duduk
di kursi goyang “surga.” Sang perempuannya
membawa kipas, lelakinya memegang saputangan,
dan empat bidadari datang kepada kedua mempelai)

(bidadari pertama menyuguhkan;
sekuntum kembang, segelas anggur merah,
seunting padi, dan sebutir telur)

(bidadari kedua menyuguhkan;
seranting pohon waru beserta daun-daunnya,
selembar bulu elang, dan segenggam debu)

(bidadari ketiga menyuguhkan;
lembar-lembar kertas, sebotol tinta,
secangkir embun, secawan salju)

(dan bidadari ke empat menyuguhkan;
segelintir kerikil, sebilah pisau, seekor burung
tersembelih, yang masih segar darahnya,
beserta sebuah apel ranum).

(bidadari pertama berkata):
Sekuntum kembang itu kalbumu,
segelas anggur merah perbincanganmu,
seunting padi, sebutir telur
adalah wujud ketulusanmu.

(bidadari kedua berkata):
Seranting pohon waru beserta daun-daunnya
adalah sayap-sayap kasih sayangmu,
selembar bulu elang sebagai penamu,
dan segenggam debu, asal muasalmu.

(bidadari ketiga berkata):
Lelembaran kertas itu usiamu,
sebotol tinta sebagai perjuanganmu,
secangkir embun, tangisan-tangisanmu,
dan secawan salju itu wujud keiklasanmu.

(dan bidadari keempat berkata):
Segelintir kerikil ibarat rembulan atau matahari,
sebilah pisau itu simbul fikiranmu, dan tidakkah
seekor burung tersembelih itu kepasrahan nuranimu,
sedangkan sebuah apel ranum sebagai penyempurna.

(lelaki itu berdiri dari kursi goyang, lalu berucap):

Segalanya dari kekosongan, ketiadaan yang suci,
menuju kepada kehendak-kehendak;
menuangkan anggur di dalam gelas piala,
busanya ke segenap jemari tangan mereka.

Dengan saputangan ini, kuusap,
betapa basah mereka kekasih
(ia memanggil kekasihnya):

Kipasilah lehernya yang hampir putus,
dikarena melihat ketinggian capaian kita.

(lelaki dan perempuan itu serentak berucap):

Kita di atas tanjung karang paling mulia,
di bawahnya gemuruh ombak dan tepuk tangan;
kita dinaungi, oleh Cahaya Keilahian yang pertama.

Nagan Lor 21.Yogyakarta.
*)Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae