M. Bagus Pribadi
"Suatu masyarakat yang paling primitif pun, contoh di jantung Afrika, yang tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, dan tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan." (Bumi Manusia, hal. 233). Kalimat yang tersadur dari pernyataan Pramoedya Ananta Tour di atas, paling tepat untuk menggambarkan keadaan, di mana ada suatu negara terbelakang, pun masih terdapat kecintaan pada dunia sastra. Walau mereka belum mengenal tulisan-menulis, namun peduli melestarikan sastra (: lisan), sebagaimana masyarakat kita tempo dulu.
Lalu bagaimana dengan kondisi kita sekarang, yang katanya telah sampai pada alam masyarakat modern? Ini bisa terlihat dari daftar prioritas kebutuhan hidup, yang lebih mementingkan pakaian baru, kosmetik, makanan ringan serta kendaraan, sebagai daftar belanja bulanan. Sehingga bisa dipahami, tingkat kepentingan masyarakat kita terhadap karya sastra, pembelian buku jauh lebih rendah dibanding kebutuhan beli pulsa iseng sms dsb.
Balik kepada pernyataan di atas. Tingkat kebutuhan masyarakat untuk mengkonsumsi sebuah karya sastra dapat diperoleh pengertian, lebih cenderung anti sastra. Ini dapat di golongkan kaum bebal atau malas berpikir. Sehingga tidak menuju kemajuan, tapi melangkah pada bentuk kehancuran.
Apa yang menjadi landasan menyebut masyarakat yang anti sastra itu bebal? Karena karya sastra bagaikan anak tangga menuju peradaban tinggi. Mengenai hal ini dapat diketahui dari bangsa-bangsa terdahulu yang telah memiliki peradaban maju, ketika bangsa lainnya masih bergelut ketidaktahuan, kebodohan terhadap teknologi. Ini bukan lain di sebabkan kemajuan tingkat kesastraan dari masyarakatnya. Lihat saja bangsa Arab yang telah melahirkan para penyair sekaligus ulama’ yang mampu menulis kalimat-kalimat agung di samping indah, dalam karya-karyanya. Kita saksikan pula bangsa Inggris telah melahirkan Shakerspears dengan karya sastranya yang mengguncang.
Dari sini bisa diketahui, taklah mampu menyangkal peran sastra dalam mempengaruhi kehidupan insani. Bahkan mendiang John F. Kennedy, seorang presiden negara adidaya, yang memimpin bangsa paling rajin berperang. Pun pernah mengatakan: Jika sebuah prilaku politik itu kotor, maka puisilah yang membersihkan. Jika prilaku politik itu bengkok, sastralah yang meluruskan.
Pada masyarakat kita yang kurang menghargai atau tak menempatkan kesusastraan pada posisi selayaknya. Kondisi ini dapat mempengaruhi kualitas karya pada sastrawan di negeri kita. Puisi, misalnya. Di tangan penyair yang canggih-mutakhir, hanyalah deretan huruf, barisan kata-kata, dan tumpukan kalimat yang disusun sedemikian rupa. Ia hanya omong besar, bunga plastik. Sebagaimana persepsi masyarakat terhadap kembang palsu, keindahan semu belaka, dan puisi sekadar kata-kata indah menipu, kalimat besar yang tak punya ruh.
Akibatnya, puisi-puisi dari penyair mutakhir di negeri ini dapat dikatakan, hadir sekadar mengadopsi puisi-puisi yang ditulis penyair terdahulu. Baik bentuk, tema pun isi. Seakan-akan penyair itu telah menyerah pada bentuk dan gaya tradisi penulisan puisi yang dirintis para pendahulunya. Sehingga timbullah kesan: generasi sisa yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada upaya atau keberanian melakukan terobosan dalam kerja kreatif berkarya sastra yang mampu “membangunkan” penikmatnya.
Lebih dikhawatirkan lagi, dari akibat tak dihargainya sebuah karya sastra di posisi semestinya, para sastrawan hanya memiliki keinginan menembus koran atau media massa semata. Mereka tidak peduli lagi terhadap isi serta makna karyanya, yang tak mampu dicerna masyarakat awam. Dan menjadi kepedulian paling pokok, kritikus sastra dan penyair papan atas mengakui kualitasnya. “Walau tanpa puisi, Indonesia tetap berlangsung hidup, terus bergerak tiada berubah keadaan” begitu komentarnya bagi penegas sikap eksklusifnya.
Pada akhirnya, kita berharap agar paparan di atas tidak menimpa penyair di negeri ini. Dan puisi-puisi dari penyair kita tetap menjadi karya sastra yang “baik.” Menjadi awal sebuah inspirasi yang mampu dicerna masyarakat awam, bahkan oleh para pembantu rumah tangga sekalipun. Kemudian karya tersebut sanggup menyodokkan inspirasi kepada pembaca, hikmah bagi banyak orang.
Karya sastra yang “baik” dapat memberi inspirasi bagi bangsanya. Karya semacam itulah yang sebenarnya sanggup menggerakkan masyarakat demi mencintainya, sebagai bagian kehidupan. Yang menjadikannya mampu mengasah jiwa, membuka kepekaan pribadi akan situasi yang berkembang. Ketika perang (kekerasan) membuat kemanusiaan beku, kondisi sosial budaya merosot. Ketika ekonomi terjepit, sastra diharapkan melahirkan norma dari yang bersifat estetis menuju kemunculan etika dalam menjalani hubungan antara umat. Penyair Sutardji Calzoum Bachri pernah mengatakan bahwa jika tentara punya panser dan peluru, penyair punya kata-kata. Sesungguhnya yang di harapkan darinya ialah karya sastra yang sanggup membuka mata hati dunia: kata-kata syair, puisi dan bentuk lainnya, merupakan alat terpenting menyelesaikan masalah demi mencapai titik temu menuju perdamaian, pintu pemecah keheningan kosong, dibandingkan dengan cara-cara militeristik, anarkis, kesewenangan, berbagai bentuk penghalalkan segala cara, serupa yang sering kita saksikan. Karena keindahan dapat meningkatkan kepekaan perasaan, sehingga banyak yang memahami: etika itu diperlukan dalam berhubungan sosial.
Yang menjadi pertanyaan sekarang: Adakah karya sastra dari para penyair kita yang mempunyai kriteria “baik,” mampu mengasah jiwa, membuka kepekaan diri, sebagai alat-alat perdamaian dalam keadaan pertikaian, perang, kemelut kehidupan?
Jawabnya; ada! Ya, karya sastra yang di maksud itu tidak pernah di perbincangkan dalam diskusi sastra, karena memang tidak dipandang sebagai suatu puisi. Namun sebagai karya sastra abadi, yakni teks sumpah pemuda 28 Oktober 1928.
Seperti halnya puisi, yang terbangun pada rangkaian larik-larik Sumpah Pemuda itu wahana imaji. Bahasanya sederhana, dan sengaja disusun sebagai visi politik, menciptakan imagined community (istilah Ben Anderson). Daya pukau teks tersebut yang kemudian menggerakkan para pemuda serta pemimpin bangsa, seperti; Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dll, sanggup menempuh pengorbanan panjang, perjuangan merebut makna kemerdekaan, mewujudkan suatu bangsa bersemangat sumpah.
Karya sastra sejenis itulah yang diharapkan kembali untuk negeri yang tengah di landa krisis multidimensi di semua lini kehidupan. Dibutuhkan puisi yang hadir dari imaji, mampu menggerakkan oase pembaca melakukan inovasi. Bukan karya sastra melangit, yang hanya bicara keindahan, cinta lahiriah semata atau mencapai puncak gading retak.
Ada lagi yang seharusnya jadi perhatian lebih bagi pengamat sastra, yaitu kecendrungan para sastrawan di negeri kita yang sekadar membahas seputar sarung (seks), ini menjelma anti klimaks dari peran sastrawan sebagai agent perubahan, yang seyogyanya membawa masyarakat bangsa ini, pada pencerahan penuh santun.
Sedang realitanya saat ini. Sastrawan jatuh dari wakil pencerahan pada peran sekadar menghibur. Sastra jatuh dari transenden kepada yang profan. Semisal karya Ayu Utami, menjadi pemicu dereligiusitasi (gerakan anti visi agama) dalam masyarakat, khususnya mengenai seksual. Gagasannya berhasrat membebaskan seks, dari peran agama semakin tampak jika kita baca esai-esainya.
Kecenderungan itu dapat dianggap kerugian besar bagi sejarah sastra kita, karena karya sastra seksual tak dapat memberi catatan jujur, tajam dan objektif atas perkembangan sastra kita yang sesungguhnya.
Sesuai apa yang menjadi hasil analisis Katrin Bandel di bukunya: Seks, Sastra, Perempuan (2006), bahwa sensasi yang muncul atas novelnya Ayu Utami adalah sebuah metafora (berlebihan). Karena, karya itu sebenarnya biasa saja. Menurut Katrin, sensasi berlebihan itu justru merugikan sastra kita. Sebab sensasi itu mengalihkan perhatian masyarakat dan pengamat sastra dari karya-karya yang sesungguhnya lebih pantas diperbincangkan. Ini bisa kita lihat Joko Pinurbo, berhasil memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2005. Di mana ia lebih mampu mengambil perhatian dewan juri dengan karya sastra yang juga mengangkat citraan sederhana seputar seks, di banding perhatian para juri terhadap sastra kemanusiaan maupun sastra Islam.
Padahal selain sastra seksual, ada yang seharusnya dapat perhatian lebih dari masyarakat dan pengamat sastra, yaitu sastra Islam, karena mayoritas dan yang bertema kemanusiaan (humanisme universal). Sastra Islam kini mulai bangkit, menjadi bacaan alternatif yang mampu memberi pengajaran bagi masyarakat kita. Di antaranya karya Asma Nadia, Pipiet Senja, Habiburrahman El-Shirazy, yang berhasil mencapai best seller dengan Novel Ayat-Ayat Cinta-nya, penuh fenomenal dalam masyarakat kita, dibanding minat baca kepada novel Saman.
Ada juga sastra insani yang mengeksplorasi kearifan serta kekayaan budaya lokal, seperti karya-karya Ahmad Tohari, Kuntowijoyo dll. Belakangan ini, banyak bermunculan novel-novel yang mengangkat sejarah, seperti Dyah Pitaloka (2005) karya Hermawan Aksan dan trilogi novel Gajah Mada (2006-2007) karya Langit Kresna Hariadi
Alih perhatian dari pengamatan sastra seks kepada sastra Islam dan sastra kebudayaan adalah mutlak di perlukan. Karena ini sangat berpengaruh terhadap sastrawan di negeri kita, guna kembali menjadikan karya sastra itu pencerahan. Bukan hanya berbicara keindahan kenikmatan duniawi, tapi yang mampu memberi bonus inspirasi putih, dan kepekaan terhadap lingkungan baik. Diharapkan para sastrawan dapat membuktikan, bahwa mereka adalah “agent of change.”
Mengapa sastra menjadi begitu memegang peranan penting dalam perubahan? Jawaban ini ternyata kembali pada asal teori kebudayaan yang menyatakan sastra ialah tanggapan evaluatif terhadap kehidupan, kaca cermin memantulkan segala pernik kehidupan sehari-hari. Jika membaca sebuah karya sastra, akan utuh melihat diri kita berprilaku dalam kehidupan.
Dengan kita mampu menciptakan karya sastra yang baik (berakhlak mulia), diharapkan para penikmat karya sastra, bisa mengapresiasikan dirinya dalam berbudaya, berprilaku baik sebagai kunci dasar kesuksesan, dari tonggak perjuangan. Meninggalkan krisis multidimensi yang mencekam di segala bidang hidup kita, jikalau mau mengingat perjuangan para pahlawan kita tempu dulu, yang berkorban dengan harta, darah serta nyawa.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar