Selasa, 29 Juli 2008

Sastra: Menjadikan Perubahan

M. Bagus Pribadi

"Suatu masyarakat yang paling primitif pun, contoh di jantung Afrika, yang tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, dan tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan." (Bumi Manusia, hal. 233). Kalimat yang tersadur dari pernyataan Pramoedya Ananta Tour di atas, paling tepat untuk menggambarkan keadaan, di mana ada suatu negara terbelakang, pun masih terdapat kecintaan pada dunia sastra. Walau mereka belum mengenal tulisan-menulis, namun peduli melestarikan sastra (: lisan), sebagaimana masyarakat kita tempo dulu.

Lalu bagaimana dengan kondisi kita sekarang, yang katanya telah sampai pada alam masyarakat modern? Ini bisa terlihat dari daftar prioritas kebutuhan hidup, yang lebih mementingkan pakaian baru, kosmetik, makanan ringan serta kendaraan, sebagai daftar belanja bulanan. Sehingga bisa dipahami, tingkat kepentingan masyarakat kita terhadap karya sastra, pembelian buku jauh lebih rendah dibanding kebutuhan beli pulsa iseng sms dsb.

Balik kepada pernyataan di atas. Tingkat kebutuhan masyarakat untuk mengkonsumsi sebuah karya sastra dapat diperoleh pengertian, lebih cenderung anti sastra. Ini dapat di golongkan kaum bebal atau malas berpikir. Sehingga tidak menuju kemajuan, tapi melangkah pada bentuk kehancuran.

Apa yang menjadi landasan menyebut masyarakat yang anti sastra itu bebal? Karena karya sastra bagaikan anak tangga menuju peradaban tinggi. Mengenai hal ini dapat diketahui dari bangsa-bangsa terdahulu yang telah memiliki peradaban maju, ketika bangsa lainnya masih bergelut ketidaktahuan, kebodohan terhadap teknologi. Ini bukan lain di sebabkan kemajuan tingkat kesastraan dari masyarakatnya. Lihat saja bangsa Arab yang telah melahirkan para penyair sekaligus ulama’ yang mampu menulis kalimat-kalimat agung di samping indah, dalam karya-karyanya. Kita saksikan pula bangsa Inggris telah melahirkan Shakerspears dengan karya sastranya yang mengguncang.

Dari sini bisa diketahui, taklah mampu menyangkal peran sastra dalam mempengaruhi kehidupan insani. Bahkan mendiang John F. Kennedy, seorang presiden negara adidaya, yang memimpin bangsa paling rajin berperang. Pun pernah mengatakan: Jika sebuah prilaku politik itu kotor, maka puisilah yang membersihkan. Jika prilaku politik itu bengkok, sastralah yang meluruskan.

Pada masyarakat kita yang kurang menghargai atau tak menempatkan kesusastraan pada posisi selayaknya. Kondisi ini dapat mempengaruhi kualitas karya pada sastrawan di negeri kita. Puisi, misalnya. Di tangan penyair yang canggih-mutakhir, hanyalah deretan huruf, barisan kata-kata, dan tumpukan kalimat yang disusun sedemikian rupa. Ia hanya omong besar, bunga plastik. Sebagaimana persepsi masyarakat terhadap kembang palsu, keindahan semu belaka, dan puisi sekadar kata-kata indah menipu, kalimat besar yang tak punya ruh.

Akibatnya, puisi-puisi dari penyair mutakhir di negeri ini dapat dikatakan, hadir sekadar mengadopsi puisi-puisi yang ditulis penyair terdahulu. Baik bentuk, tema pun isi. Seakan-akan penyair itu telah menyerah pada bentuk dan gaya tradisi penulisan puisi yang dirintis para pendahulunya. Sehingga timbullah kesan: generasi sisa yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada upaya atau keberanian melakukan terobosan dalam kerja kreatif berkarya sastra yang mampu “membangunkan” penikmatnya.

Lebih dikhawatirkan lagi, dari akibat tak dihargainya sebuah karya sastra di posisi semestinya, para sastrawan hanya memiliki keinginan menembus koran atau media massa semata. Mereka tidak peduli lagi terhadap isi serta makna karyanya, yang tak mampu dicerna masyarakat awam. Dan menjadi kepedulian paling pokok, kritikus sastra dan penyair papan atas mengakui kualitasnya. “Walau tanpa puisi, Indonesia tetap berlangsung hidup, terus bergerak tiada berubah keadaan” begitu komentarnya bagi penegas sikap eksklusifnya.

Pada akhirnya, kita berharap agar paparan di atas tidak menimpa penyair di negeri ini. Dan puisi-puisi dari penyair kita tetap menjadi karya sastra yang “baik.” Menjadi awal sebuah inspirasi yang mampu dicerna masyarakat awam, bahkan oleh para pembantu rumah tangga sekalipun. Kemudian karya tersebut sanggup menyodokkan inspirasi kepada pembaca, hikmah bagi banyak orang.

Karya sastra yang “baik” dapat memberi inspirasi bagi bangsanya. Karya semacam itulah yang sebenarnya sanggup menggerakkan masyarakat demi mencintainya, sebagai bagian kehidupan. Yang menjadikannya mampu mengasah jiwa, membuka kepekaan pribadi akan situasi yang berkembang. Ketika perang (kekerasan) membuat kemanusiaan beku, kondisi sosial budaya merosot. Ketika ekonomi terjepit, sastra diharapkan melahirkan norma dari yang bersifat estetis menuju kemunculan etika dalam menjalani hubungan antara umat. Penyair Sutardji Calzoum Bachri pernah mengatakan bahwa jika tentara punya panser dan peluru, penyair punya kata-kata. Sesungguhnya yang di harapkan darinya ialah karya sastra yang sanggup membuka mata hati dunia: kata-kata syair, puisi dan bentuk lainnya, merupakan alat terpenting menyelesaikan masalah demi mencapai titik temu menuju perdamaian, pintu pemecah keheningan kosong, dibandingkan dengan cara-cara militeristik, anarkis, kesewenangan, berbagai bentuk penghalalkan segala cara, serupa yang sering kita saksikan. Karena keindahan dapat meningkatkan kepekaan perasaan, sehingga banyak yang memahami: etika itu diperlukan dalam berhubungan sosial.

Yang menjadi pertanyaan sekarang: Adakah karya sastra dari para penyair kita yang mempunyai kriteria “baik,” mampu mengasah jiwa, membuka kepekaan diri, sebagai alat-alat perdamaian dalam keadaan pertikaian, perang, kemelut kehidupan?

Jawabnya; ada! Ya, karya sastra yang di maksud itu tidak pernah di perbincangkan dalam diskusi sastra, karena memang tidak dipandang sebagai suatu puisi. Namun sebagai karya sastra abadi, yakni teks sumpah pemuda 28 Oktober 1928.

Seperti halnya puisi, yang terbangun pada rangkaian larik-larik Sumpah Pemuda itu wahana imaji. Bahasanya sederhana, dan sengaja disusun sebagai visi politik, menciptakan imagined community (istilah Ben Anderson). Daya pukau teks tersebut yang kemudian menggerakkan para pemuda serta pemimpin bangsa, seperti; Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dll, sanggup menempuh pengorbanan panjang, perjuangan merebut makna kemerdekaan, mewujudkan suatu bangsa bersemangat sumpah.

Karya sastra sejenis itulah yang diharapkan kembali untuk negeri yang tengah di landa krisis multidimensi di semua lini kehidupan. Dibutuhkan puisi yang hadir dari imaji, mampu menggerakkan oase pembaca melakukan inovasi. Bukan karya sastra melangit, yang hanya bicara keindahan, cinta lahiriah semata atau mencapai puncak gading retak.

Ada lagi yang seharusnya jadi perhatian lebih bagi pengamat sastra, yaitu kecendrungan para sastrawan di negeri kita yang sekadar membahas seputar sarung (seks), ini menjelma anti klimaks dari peran sastrawan sebagai agent perubahan, yang seyogyanya membawa masyarakat bangsa ini, pada pencerahan penuh santun.

Sedang realitanya saat ini. Sastrawan jatuh dari wakil pencerahan pada peran sekadar menghibur. Sastra jatuh dari transenden kepada yang profan. Semisal karya Ayu Utami, menjadi pemicu dereligiusitasi (gerakan anti visi agama) dalam masyarakat, khususnya mengenai seksual. Gagasannya berhasrat membebaskan seks, dari peran agama semakin tampak jika kita baca esai-esainya.

Kecenderungan itu dapat dianggap kerugian besar bagi sejarah sastra kita, karena karya sastra seksual tak dapat memberi catatan jujur, tajam dan objektif atas perkembangan sastra kita yang sesungguhnya.

Sesuai apa yang menjadi hasil analisis Katrin Bandel di bukunya: Seks, Sastra, Perempuan (2006), bahwa sensasi yang muncul atas novelnya Ayu Utami adalah sebuah metafora (berlebihan). Karena, karya itu sebenarnya biasa saja. Menurut Katrin, sensasi berlebihan itu justru merugikan sastra kita. Sebab sensasi itu mengalihkan perhatian masyarakat dan pengamat sastra dari karya-karya yang sesungguhnya lebih pantas diperbincangkan. Ini bisa kita lihat Joko Pinurbo, berhasil memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2005. Di mana ia lebih mampu mengambil perhatian dewan juri dengan karya sastra yang juga mengangkat citraan sederhana seputar seks, di banding perhatian para juri terhadap sastra kemanusiaan maupun sastra Islam.

Padahal selain sastra seksual, ada yang seharusnya dapat perhatian lebih dari masyarakat dan pengamat sastra, yaitu sastra Islam, karena mayoritas dan yang bertema kemanusiaan (humanisme universal). Sastra Islam kini mulai bangkit, menjadi bacaan alternatif yang mampu memberi pengajaran bagi masyarakat kita. Di antaranya karya Asma Nadia, Pipiet Senja, Habiburrahman El-Shirazy, yang berhasil mencapai best seller dengan Novel Ayat-Ayat Cinta-nya, penuh fenomenal dalam masyarakat kita, dibanding minat baca kepada novel Saman.

Ada juga sastra insani yang mengeksplorasi kearifan serta kekayaan budaya lokal, seperti karya-karya Ahmad Tohari, Kuntowijoyo dll. Belakangan ini, banyak bermunculan novel-novel yang mengangkat sejarah, seperti Dyah Pitaloka (2005) karya Hermawan Aksan dan trilogi novel Gajah Mada (2006-2007) karya Langit Kresna Hariadi

Alih perhatian dari pengamatan sastra seks kepada sastra Islam dan sastra kebudayaan adalah mutlak di perlukan. Karena ini sangat berpengaruh terhadap sastrawan di negeri kita, guna kembali menjadikan karya sastra itu pencerahan. Bukan hanya berbicara keindahan kenikmatan duniawi, tapi yang mampu memberi bonus inspirasi putih, dan kepekaan terhadap lingkungan baik. Diharapkan para sastrawan dapat membuktikan, bahwa mereka adalah “agent of change.”

Mengapa sastra menjadi begitu memegang peranan penting dalam perubahan? Jawaban ini ternyata kembali pada asal teori kebudayaan yang menyatakan sastra ialah tanggapan evaluatif terhadap kehidupan, kaca cermin memantulkan segala pernik kehidupan sehari-hari. Jika membaca sebuah karya sastra, akan utuh melihat diri kita berprilaku dalam kehidupan.

Dengan kita mampu menciptakan karya sastra yang baik (berakhlak mulia), diharapkan para penikmat karya sastra, bisa mengapresiasikan dirinya dalam berbudaya, berprilaku baik sebagai kunci dasar kesuksesan, dari tonggak perjuangan. Meninggalkan krisis multidimensi yang mencekam di segala bidang hidup kita, jikalau mau mengingat perjuangan para pahlawan kita tempu dulu, yang berkorban dengan harta, darah serta nyawa.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae