Rabu, 30 Juli 2008

Menguak Tabir Pujangga Rabindranath Tagore Ke Tanah Jawa

Pernah dimuat di Jurnal Kebudayaan The Sandour, edisi I 2006
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=66


Prolog:
Di usia ke 69 bagus Burhan (nama kecil R.Ng. Ronggowarsito, 1802-1873), pujangga India Rabindranath Tagore dilahirkan dunia. Tepatnya di Joransko, jantung kota Kalkutta pada tanggal 6 Mei 1861, sebagai putra keempat belas dari lima belas bersaudara atas pasangan Maharishi Debendranath Tagore dan Sarada Devi. Atau 6 tahun setelah wafatnya Pangeran Diponegoro (1785-1855) Kakek buyut R. Tagore adalah penggerak Renaissans India, yang bernama Rommohan Roy.

Dengan sahabat karibnya Mahatma Gandhi (1869-1948), Tagore dianggap oleh masyarakat India sebagai perlambang insan setengah dewa. Tahun lahirnya beliau bersamaan dengan seniman ambisius Frederic Remington (1861-1909) yang karyanya rupa lukisan, pahat dan tulis. Di tahun itu pula Abraham Lincoln (1809-1865) terpilih sebagai presiden Amerika Serikat. Karya-karya Rabidranath Tagore (1861-1941) diantaranya berupa puisi, novel, cerpen, lukisan serta musik. Dalam usianya ke 52, anak Bengali ini dianurahi Nobel Kesusastraan 1913. Dan tahun 1915 mendapat gelar bangsawan dari pemerintahan Inggris, namun beberapa tahun kemudian, dia kembalikan gelar tersebut bagi protes kebijakan-kebijakan kerajaan Inggris di tanah India.

Di sini penulis akan menguak tabir puisi beliau, yang berjudul Kepada Tanah Jawa, tertanda tahun 1927. dia berlawatan ke tanah Jawa setelah perjalanan laut ke Eropa (1924-1925). Di usianya ke enam puluh enam (ke Jawa) masa istirah sebenarnya, namun seperti parikan pernah tersiar berkembang; bahwa tanah Jawa itu bencah kedua India. Di Jawa memang tiada sungai Gangga, tapi bengawan Solo cukup jadi legenda baginya. Kalau tembok Cina dapat terlihat dari bulan, kisah-kisah perdagangan tempo dulu yang melalui aliran bengawan Solo sudah melekat disanubari masyarakat Jawa hingga kini. Jika pesulap David Copervill sanggup menembus benteng Cina, pencipta lagu, Gesang (lahiran 1-10-1917) telah menuturkan alunan bengawan Solo untuk diperdengarkan ke telinga dunia.

Di bawah ini puisi Rabindranath Tagore, yang saya peroleh dari K.R.T. Suryanto Sastroatmodjo, dan kisah tergambar itu, ialah getaran rasa atas kalimat-kalimatnya, yang saya suguhkan bagi bukti Tagore benar-berada ke tanah Jawa atau tidak?

KEPADA TANAH JAWA
Rabindranath Tagore/1927

Dalam zaman yang kalem, yang jauh, yang tidak tertulis
kita bersua, engkau dan aku
dan dalam perkataanku terjalin dalam perkataanmu
dan jiwaku dalam jiwamu.


Rabindranath Tagore seperti tancapkan keyakinan dalam-dalam, bergumul dalam persetubuhan bathin antara dirinya dengan bencah Dwipa. Tangannya yang santun begitu lembut menggenggam lemah Jawa kuat-kuat. Di pandangnya berkesungguhan sangat; ia rasakan keharuan, dijilatnya lempung tersebut bagi tradisi Jawa; mengampuh, lalu diusapkan debu-debu tersebut ke kening, bagi hormat syukur dipertemukan raganya dengan siti Jawa (tanah Jawa). Menurut para wisatawan asing tahun 1803-1939, masih melihat ketujuh candi Singosari (bagi bukti kebenaran terbentuknya dinasti) peninggalan kerajaan Singosari (Kerajaan Singosari berdiri 1222 M, raja pertamanya Ken Angrok, merupakan cikal bakal kerajaan Majapahit), tetapi sayang, peninggalan berupa candi tersebut kini tinggal satu. Inilah bukti keserakan penjajah juga keteledoran anak bangsa (Jawa) merawat peninggalan sejarah.

Di kala itu gunung-gemunung segar bugar, memberi kesejukan mata memandang; Bathin menyaksikan mengalir bagai mataair elok berkumambang di bebatuan hitam, penuh kedalaman renung. Burung -burung pun tidak enggan berkicau, nyaring bersiul di telinga pagi dan petang. Bebunga bermekaran tanpa diusik sebutan mematikan, seperti gengsi ditaruh pada pot kemewahan. Andaipun ada, bunga-bunga di rumah panggung, itu masih menyapa bebunga lainnya, yang tidak diperhatikan pemilik rumah. Alam bersahaja memantul ke jiwa, rupa nyanyian ketentraman dan para gadis bersenandung ketika langkah kaki lincah menuju sendang; membiar kulit halusnya dielus aliran tirta pegunungan, penuh hangat kesejukan. Tagore menatap tanah pertiwi dalam-dalam, lekat hingga tulang sum-sumnya membeku diketidak berdayaan waktu lahirkan kata-kata. Begitu indah menerima tembang-tembang puja alam pada Sang Pencipta. Sampai dirinya dapat rasakan limpahan berkah dari lemah Dwipa, seakan terlahir lagi ke dunia; Segar, seharum tubuh masih muda. Di sama itu, Sultan Hamengku Buwomo IX (1912-1988) baru injakkan usianya yang ke 15 tahun.

Dengan berbaju warna putih layaknya sang resi, ia terus lanjut-kan kisah kembaranya…
Angin timur membawa seruanmu yang merdu
melalui jalan angkasa yang tidak terlihat
jauh, ke tempat matahari menyinari pesisir
yang dipayungi daun-daun kelapa.


Tagore duduk di antara bebetuan dan angin pantai menerpanya, ingatkan awal perjalanan ke bencah Dwipa. Sebelum pelayarannya ke tanah Jawa, dirinya dapati titah pujangga dari Yang Maha Kuasa, menuruti kalbu, menumpangi kapal kecil. Membelah gelombang, membelai cahaya sambil bercanda dengan decak ombak samudra, disamping membaca alamat kembara, awan jiwa.

Kala siang, kulit mulai keriput itu tersengat mentari, tapi seakan perjalanan awalkali, ia nikmati seperti pendakian gunung pertama; sungguh menghibur hingga kulit punggung terkelupas tidak terasa. Ibarat bocah temukan barang mainannya yang lama disembunyikan kedua orang tuanya, karena menyebabkan lupa makan juga istirah. Malamnya, senantiasa berdialok dengan gemintang dan sesekali putri bulan datang menghibur kesendiriannya. Diri Tagore seakan tidak pernah lekang dari keramaian percakapan paling sunyi nan bening; menimbang, merasai dan berfikir di segenap waktu disetia. Ia selalu diingatkan pengajaran para pujangga lama, membuat dirinya tetap teguh pendirian, laksanakan perintah meski dikepayahan sangat dalam rasa kantuk memberat, serta menjaga dari kesambilla-luan menggoda. Orang pilihan itu mampu memilih dan laksanakan pilihannya berteguh hati. Di tempat lain, pemuda Soekarno (1901-1970) baru injakkan kaki diusianya yang ke 26 tahun.

Lalu Tagore beranjak di antara bebatuan. Membuyar ingatannya tentang perjalanan kemarin, terus langkahkan kaki di bencah pasir-pesisir, pantai pasir putih, batu-batu mungil. Sesekali, melihat tarian janur-janur kelapa serasi waktu membiru dan angin kibas rambut panjangnya yang ikal membentang itu, bagai anak-anakan ombak sungai Gangga. Ia senantiasa tersenyum di setiap kesendirian, men-yapa alam pertiwi, harap berbagi teman sepermainan. Sekali waktu kaki-kaki tua itu tergores duri bunga-bunga kaktus liar-meliar, ia ikhlaskan demi salam canda lebih akrabkan ke jiwa. Sementara bunga-bunga mayang jadi saksi kecantikan matanya, yang ranum merangkum pengetahuan alam oleh kembara. Kerling bola matanya berbinar atas tempaan mutiara hayat yang pernah di-nikmati. Dan kini, ia kembali temukan mata air itu; sumber falsafah hidup sahaja, serupa alam tropis luhur penuh kemewahan wibawa. Keindahan batin terjemah kelembutan, bola mata memandang tiada kesudahan, mendapati pancuran bening kesantausaan; kesungguhan cinta dijanjikan, bagi setiap insan yang sudih tebarkan hawa kasih; hakekat kemanusiaan.

Seruan itu bersatu dengan bunyi sangkala
yang ditiup ketika sembahyang
dalam candi di tepi Gangga keramat.


Alunan gending gending sebentar sayu lalu menggenta. Itulah debaran bathiniah maknai seruan Sang Kuasa, tergurat kalimat sakti lewat jemari tangan beliau, kian bergetar ketika benar-benar cahaya kapujanggaan menimpa diri kembara. Seakan diserang demam mendadak, sebelum ucap kata-katanya membahana kepada relung jiwa alam semesta. Menggoyang pucuk-pucuk cemara, meniup benih-benih kembang, hadiah keindahan seterusnya. Inilah putik-putik bunga ditebar tangan beliau saat memasuki jalan ke perkampungan. Senja mulai menghampiri, Tagore menatap mentari sedemikian peluh-rindu, tiada mau berpisah atas perkawanan itu.

Rerumputan pepadi di pinggir desa menguning, runduk tubuh lengkungnya, sulur daunnya matang mentari, tawarkan bau kedewasaan. Dan setiap penciuman adalah awal sebuah musim dan diteruskan menjelma pengertian, sedangkan saling memahami itu bahasa tidak lekang oleh perubahan zaman. Mulanya mengangguk terdiam sambil tebarkan senyum kegaiban. Senja mulai kemerah, anak-anak tidak lagi diperbolahkan bermain, istilah Jawa-nya sandiolo (dekat keburukan). Warna mirah itu makin lama mengungu, menggaris-garis langit senjakala, serupa ada tepian sungai, di sana ia teringat sungai Gangga keramat di negerinya.

Dewi Wisnu yang mulia raya bersabda kepadaku
dan Uma, dewi berlengan sepuluh, demikian pula;
“Sediakanlah kapak dan bawalah menyebrangi laut yang asing,
sekalian ucapkan menyembah kami”


Saat memandang gegaris senjakala seakan lekukan tubuh sungai Gangga. Tagore merasakan dirinya sehawa dalam sebuah candi, denting klenengan kian seru bersusulan, ditabuh angin genderang, begitu pun genta di kalungan leher sapi putih kemerahan, bersahut-sahutan. Dirinya merasa membumbung kepada puncak mega-mega, bersatu dalam kehendak langit masa itu. Kembali, jiwanya digetar-kan seruan kemarin silam (semasa di India). Panggilan kedua yang sama, bagi pelaksanaan tugas setelah injakkan kaki di bencah Dwipa. Sesudah sebrangi lautan asing, di mana tempat mentari kumpulkan energi, bintang-gemintang kuat pancarkan tubuhnya di tanah Jawi.

Senja terus rampungkan tugasnya, tenggelamkan surya, bangun-kan kunang-kunang hiasi malam ganjil, lalu jiwanya balik turun ke bumi (selepas mengawang); mengenang seruan sabda Mulia Raya. Kampung persinggahan kala itu, menerimanya sebagai ruang paling bersahabat. Seorang kembara ialah tamu para pemukim. Pengelana itu raja tidak punya istana mungil (keduniawian), tapi kastilnya rupa alam semesta; tiang-tiang berdiri niat berketeguhan, perabotan-nya terdiri kepasrahaan dari keikhlasan di setiap tingkap cobaan, sedang mahkotanya bernama kesetiaan.

Malam makin menanjak, ia meminum seteguk air putih demi pengganjal lapar dan dihisapnya aroma dini hari, sekuat menyetu-buhi kesungguhan titah. Seorang mulia, persembahkan hidupnya bagi Sang Wenang; seluruh peribadatan di dalam menjalani hidup. Semua tadang dan pergi padanya, menjelma tetembangan yang terus berkumandang. Jika kesedihan mendentang, disusul sukacita kemesraan, sampai temukan kesempurnaan, keseimbangan bathin, keselarasan jiwa, kepaduan nada-nada kalbu pada jantung hidupnya dan amalkan perintah bukanlah hal memberat, setelah bersatu pada tubuh kehendak.

Sungai Gangga mengulurkan tangannya ke lautan timur
dalam gelombang amat dahsyat
dari langit bersabdah dua suara yang kuasa kepadaku- yang satu
yang menyanyikan keindahan sengsara Rama,
yang lain menyanyikan kemenangan Arjun.
Mendesak daku membawa kakawinnya meyebrangi laut
ke pulau-pulau timur.


Fajar menyingsing, Tagore kembali diingatkan keindahan sungai Gangga atas lahirnya mentari timur. Dua suara datang bertubi-tubi padanya, sengsara dan kemenangan. Dirinya seakan diperintahkan seberangi antara keduanya. Pagi itu ia bersemedi, menuwang segala perhatian bathin melangkah, susuri busur pana atas tarikan nafas lama. Melesat bagai kilat, tidak hirau sakit gembira, tidak merasai sedih pun suka memberat, masuk ke alam hampa. Hilang rasa cinta selama ini, begitu pun benci. Jiwanya ampang seampas tebu habis dihisap anak-anak gembala. Seolah tidak bermakna dan terus.

Sampailah bathinnya ditarik oleh kedua arah itu semakin kuat. Ada daya grafitasi antara sengsara Rama juga kemenangan Arjuna, namun ia usahakan tidak bertepuk dalam pesta, juga tidak alirkan airmata kesedihan. Ini lawanan nafsu-nurani. Rabindranath Tagore masih pejamkan mata sambil menghadap mentari. Dirinya telah berada di timur (tanah Jawa), tetapi busur pana itu tetap mengajak melesat, akhirnya menghujam ke matahari. Ia pun merasakan terkena pana; ada titik kebertemuan, jiwanya dengan sang surya, lalu firasat semedinya purna. Ia membukakan mata kala mentari setinggi pohon jambu kelutuk di samping rumah penduduk, letak di mana semalam menginap.

Esoknya, ia lanjutkan perjalanan. Entah berapa bulan berada di tanah Dwipa, tapi dirinya masih terngiang tanah kelahirannya. Atau tengah memadukan energi dari pulau Jawa dan India, sebab dalam benaknya, Jawa-India satu tumpah darah. Langkah berayun terus-kan niatan, baju dikenakannya mulai coklat kekuningan atas tempa-an panas mentari juga hempasan debu kaki pedati. Sampailah ia di lempeng kaki candi Borobudur dan serentak; itu tubuh bersembah sujud pada Yang Asih.

Masa itu penjajah di tanah Jawa tidak begitu hirau orang-orang asing, apalagi dari dataran tanah India. Kiranya sekedar wisata atau ngelukkru beribadah kalau beragama Hindu atau Budha. Dan agama Islam sudah menjadi momok ancaman penjajah, bagi jalan tempuh kemerdekaan kedua, di tanah sumpah Palapa. Masa dimana pendiri organisasi Nahdhotul Ulama:’ Hasyim Asyari (1875-1947) dalam usia -nya yang ke 52 tahun. Kala itu di tempat lain, daerah Ponorogo; desa Tegalsari, Jetis. Pesantren Kyai Ageng Muhammad Besyari sudahlah tersohor atas mutiara santrinya yang bernama R.Ng. Ronggowarsito (dimakamkan 54 tahun lalu di desa Palar, Klaten; dari hitungan Rabindranath Tagore di tanah Jawa). Dan ia terus menaiki tangga tingkatan candi Borobudur, dari tingkatan paling bawah; kamadhatu menuju ke tingkatan rupadhatu, sampai tiga tingkatan arupadhatu. Pada stupa paling akhir itu, atas ketinggian mega jua burung-burung kelana, ia membalik terkenang perjalanan. Kalaulah Goenawan Mohamad pernah menuliskan; “Di mana masa silam datang pada kita, dan kitalah yang menjadi tamu.”

Pagi hari datang; kapalku menari di gelombang biru tua
layarnya yang putih kembang gagah di tiup angin
ia mencium pesisirmu, langit gemetar dan selubung hijau dewi rimbamu
pun bergerak, kita bersua dalam bayang-bayang senjakala,
ketika malam sunyi-senyap, malam menjadi muram;
siang hari menebarkan emasnya di jalan ---tempat kita bersua
jalan jiwa kita berdua menempuh jaman bersama-sama,
dari abad-ke abad, antara impian yang gilang-gemilang yang tidak terbilang.


Pada sap candi Borobudur paling tinggi arupadhatu, ia menuliskan sajak bertitel Candi Borobudur, sambil bersandaran di tubuh stupa terbesarnya. Letak itu, Tagore memandang lepas ke sekeliling candi; pohon-pohon kelapa berdiri tegak, sulur dedaunnya senantiasa digoyang angin pegunungan. Rumput pepadian hijau perawan, menyiarkan berita kesuburan. Sesekali burung-burung hinggap di atas stupa, seperti mengucapkan salam kedatangan. Warna biru langit penuh, bicarakan pelayarannya masa lalu; saat disapa burung pantai, camar berkejar di muka pesisir menebar cerecah. Gunung-gemunung hijau daun pepohon dikenang, selalu menyirap dirinya pada kedalaman bathin keunggulan. Sampai datang senja seakan tiba-tiba atas lamunan lembut melembutkan rasa, lentur melenturkan suara. Bayang-bayang senjakala mulai kelihatan pada tubuh-tubuh stupa, pepohon pisang tampak kecil di ketinggian jauh.

Waktu mulai temaram, seorang gadis belia penduduk setempat datang ke candi, letak Tagore tua tengah menikmati pemandangan. Perempuan itu bertubuh semampai berbusana kebaya, senyumnya bagaikan gula-gula jawa tebarkan pesona, menghatur sang pujangga untuk menikmati bebuahan yang ia bawa. Gadis itu memang setiap temaran ke sini, demi mendatangi kalau-kalau ada seorang kembara singgah di candi. Ritual tersebut dilakukan sebagai hormat perintah orang tuanya; lalu darah kelelakian Bengali itu teringat wajah-wajah gadis di negerinya, yang juga malu-malu ketimuran. Dan tak berapa lama, gadis manis meminta pamit, tinggalkan buah-buahan bagi beliau. Tagore menggaguk tanda terima syukur. Kembali, ia disergap keheningan malam, tiada kunang-kunang pada ketinggian Borobudur, kicauan burung pun telah sirna bersamaan senja pulangkan mentari lewat senja.

Bengi senyap membungkus tubuh tersebut dengan angin dingin yang sangat, raga rentah itu seakan tak kuasa tiupan malam. Tetapi ia tidak mau turun dari ondakan-ondakan pada lereng candi. Barulah ketika wajah bulan muncul, kesenyapannya terhibur, sedikit demi sedikit mulai merasakan kehangatan. Lantas ia bersila di ketinggian candi sampai pagi menjemput mentari kembali.

Sinar pepagi keemasan mulai meniup hawa kehangatan, seperti jalan-jalan angkasa dan fikiran berkendara imaji tetap melangkah, menebar kemungkinan bertemu nilai, sambil bawa setumpuk kisah, untuk diselidik ulang balik pada perhitungan ganjil penentu rasakan kepenuhan, sebuah kesehatan bathin. Dan spiritualitas itu cahaya menempa tubuh berulang-ulang. Memasuki abad-abad lalu tengge-lam, diteruskannya sampai kekinian, hingga jaman gilang-gemilang, puncak dimana dirinya bagi satuan saksi pencerah tanah Dwipa.

Zaman pun silam, malam yang gelap menutupi kita
kita tidak kenal mengenal lagi
tempat kita duduk hilang lenyap, tertimbun abu roda kereta.


Tagore seakan melempar jala kemungkinan teramat mengganjal. Ia lengkingkan kegelisahan akan masa tidak mengenak. Menujum kemungkinan suram tertandakan, dari alam mulai bosan atas anak-anak manusia mengenyam keserakahan. Melihat roda penjajah yang makin mencengkeram lahan-lahan liat, peradaban timpang tambah beringas, kalbu nurani tersisikan ke tepian kesunyian. Akal budhi menjadi asing, semua terhapus; diganti norma-norma kepentingan, jiwa tercampak jauh dan terpencil, sulit diketemukan kembali.

Bencah tanah Jawa dan India terasing kembali dari adat istiadat-nya, serempak berganti baju modernisasi tidak berpribadi pribumi, wewacana asing tenggelamkan rasa, angkat logika setinggi-tingginya hingga tata kerama hilang musnah, semua tergadai oleh perhitungan butuh. Pengertai orang kaya dulu; kurangnya meminta kebutuhan pribadi, tapi senantiasa memberi pengayoman sesama (kasih), atau sedikit kebutuhan diri, tapi penuhi kebutuhan orang lain berikhlas sayang. Wajah-wajah lugu diganti muka molek rayu, senyum rama berubah senyum sungging menginjak sesama.

Di mana para pendahulu telah meramalkan, pun beliau. Seorang pujangga itu mengambil jarak atas jamannya, tidak terhanyut pula tidak berkendara. Ia berada di sebrang kenyataan, tempat lain lebih hakiki dari sekedar realitas tampakan (profan). Pujangga adalah seorang penarik nilai-nilai luhur berkesungguhan sahaja demi dipersembah pada tanah tumpah darah, pertiwi; agar tidak kebablasan melupa. Tapi bukan berarti ambil akar-akaran tidak berfaedah, ia menarik akar-akar penting bagi jamu, guna kesehatan sesama, kelangsungan hayat berbudaya, menjunjung tinggi hakekat fitroh bermasyarakat; kemanusiaan adil penuh wibawa yang dalam istilah R.Ng. Ronggo-warsito; Sastra Jendra Ayuningrat.

Dan aku dihanyutkan pasang surut kelupaan
kembali ke pesisirku sendiri yang sunyi
senyap-tanganku hampa dan semangatku kosong
laut di rumahku jadi bisu,
tidak menceritakan pertemuan kita yang disaksikannya itu,
dan sungai Gangga yang gemar bicara itu
tidak memberitahukan kepadaku di mana jalan yang tersembunyi
dan yang jauh, ke tempatnya yang lain, yang keramat.


Di kala itu Tagore diambang keputusasaan kabut, diseret alunan nujumnya pada alam kelam, kosong ingatan akan kebeningan tekat berbinar-binar kemarin silam, luntur satu persatu benang harapan-nya, ketika melihat alam menjerit meminta tolong. Ia tidak kuasa kembalikan rindu kepada tempat semula; kehendak suci lagi mulia. Semangatnya berangsur menuju hampa, bukan tengah istirah atau kendorkan urat syaraf. Tetapi sedang rasakan tubuh tenggelam di kepiluan memberat. Andai pun ada dendam, itu tidak akan mampu mencuat.

Saat kepiluannya membumbung, tak kuasa lagi terima keadaan. Semua terlihat bisu dihadapan, alam dulunya renyai selalu beri kabar padanya, diganti kesenyapan. Bathinnya sunyi seolah tuhan tinggal-kan kalbu mungil itu. Tanpa ada kesaksian ketika waktu-waktu pilu terus berlalu. Mendiamkan diri bersama kabut pedut, larut ke alam kenangan buram. Ia kehilangan jejak kemuliaan atau seperti masa-masa kebosanan, menutup seluruh pintu kemungkinan, sampai tak ada lagi pengajaran masuk nan mengena. Segala asing jadi hal biasa, dan yang biasa, makin lama hilang pengertiannya.

Warna senjakala tiada lagi bicarakan sungai Gangga pada garis-garis keningnya. Seumpama seekor burung lupa arah, ngapung lupa tujuan ke mana, berputar tetapi bukan mencari mangsa, cari alamat yang hilang dari peredaran kembaranya. Hanya kelelahan; kekosongan itu dipapanya ke pembaringan, menuju alam kegelapan. Tagore tertidur di kepayahan mencari, ruh alam memberkati; memenuhi jiwanya saat ia tidak sadarkan diri, dalam kepulasan.

Saya datang kepadamu, memandang matamu
dan seperti melihat cerlang gaib yang kemilau
ketika kita bersua pertama kalinya dalam hutanmu, cerlang suka cita raya.
ketika kita saling mengikat pergelangan dengan benang merah persaudaraan.


Rabindranath Tagore terbangun dari tidurnya. Memulai kembali ingatan, dari yang mengantarnya lelap dalam kepulasan; kehampaan nujumnya kepada peradaban, kalau-kalau nanti anak kehidupan hanya sekedar menuntut kebutuhan bagi roda jaman. Kalau ditarik dari sejarah, Einsten (1879-1955) berusia 48 tahun di masa itu.

Ia pandangi langit siang terik seperti melihat harapan cemerlang melayang-layang di atas kepala. Awan putih menyebar ke tepi-tepi cakrawala. Ia menyaksikan langit biru lepas tanpa mega keraguan. Matahari memberi cahaya kepenuhan saat itu, menyentakkan sedari lamunan panjang kegagalan.

Bayu menyapa kembali, lewati sulur daun pohon rindang raya antarkan kabar kegembiraan bagi kehampaan jiwa. Lalu kemanusia-annya menari-nari, serasa awalkali injakkan kaki di bumi. Senandu-ng alam tropis tanpa bersolek pun jadi memikat hati. Ia terhanyut kebersamaan, kepaduan panorama sekitar dengan diri, bagi tamu di tanah Jawi. Sekarang Tagore telah jadi tamu sekaligus tuan rumah. Sebab tanah tumpah darah itu keluhuran budi menterjemah alunan timur ke pelosok sejati rasa, dusun terpencil naluri manusia.

Tagore kembali bugar untuk beberapa kalinya di tanah Jawa. Tapi, lalu balik bertanya; Apa ini sekedar halusinasi, sudah merasa persahabatan intim? Jiwanya diantar balik antara sungguh dan ragu, semangat dan sambillalu, yang setiap masanya sanggup menjerat. Ia seolah balik dikemuraman batu, namun ada yang tertahan; masih sungguh mendengar perintah awal perjalanan, titah Sang Wenang, demi diri kembara layari laut temui kepulauan timur Jawa.

Alam tua itu telah muram,
akan tetapi belum lepas dari tanganmu.


Ia kembali tegaskan pada dirinya, akan kabar terang dari selipan mera-mega membuyar. Tagore menancapkan janji-janji bagi jiwa-jiwa kesungguhan, mereka yang teguh tekat, pemilik niat membaja. Ia bukan merayu, inilah teguran amat sungguh bagi bangsa pertiwi yang tidak ingin lepas dari takdir besarnya. Tagore tua berseru kepada tanah Jawa juga India, demi anak-anak nantinya, pewaris terhormat dari tradisi ketimuran mulia. Namun siapakah sanggup menterjemah petuahnya, ketika insan saling berlomba mencari kedudukan duniawi (waktu itu, 12 tahun sebelum Perang Dunia II, 1939-1945). Bathin bukanlah perkara jasad dan jasad berbusana gemerlak, tidak mampu duduk lama dimana tepat di turunkan berkah mahabbah pujangga. Nafsu temu nafsu, nurani berjumpa bangsanya, semuanya mengalir ikuti jalan masing-masing, begitu juga niat bertirakat.

Di jalan yang kita tempuh dahulu
masih tersebar bekas perkataanku,
sehingga aku mendapat jalan lagi ke dalam jantung hatimu,
tempat sinar masih bercahaya, sinar kita nyalakan bersama-sama,
pada malam pertemuan dahulu kala.


Rabindranath Tagore seakan berkata; “Jikalau rindu datanglah menuju tempat semula, letak kita berjumpa sedia kala, sedia jalani keseiramaan bathin atas saling membuka. Buanglah segala curiga juga was-was hantui jiwa, sebab bangunan tertata berasal tumpukan kangen menggebu rasa.”

“Barangsiapa rindu tentu bertemu, yang kayungyung berjumpa pula. Kebertemuan inilah sinar cahaya terang, takdir kebersatuan menambah cerlang kilaunya, meski pada kemalaman gelap. Sebab kelam pun menambah pikat sukma. Merambah kepada keheningan penciptaan paling mulia, bathin menjembatani ke alam timur raya.”

“Sukurlah kebertemuan itu, hingga cerlangnya awet sampai dipembaringan jaman. Persahabatan kita akan abadi seperti muda-mudi setiai janji sehidup semati. Perkataanmu menjelma merkata-anku dan perkataanku juga perkataanmu saat benar-benar diri kita dalam kuluman bibir samudra rindu. Yang jauh tidak lagi jauh dan dekat semakin erat, semua berlangsung berkenikmatan sungguh.”

“Rasa cinta benderang, menghimpun rasa hingga fajar menjelang. Kita satukan senja-fajar pada ingatan jaman, atas perjalanan terus terekam dalam bayang-bayang juga cerecah burung terbang.” “Ruh kita bersama tubuh elang kelana, demi mencari pengalaman, rasa syukur beribadah di segenap tingkah laku hayat terima takdir nyata, atas kaki-kaki disempurnakan doa moyang, dan ridho Sang Wenang. Saat diharuskan berpisah di perempatan jalan, kita masih sejiwa pada kembara, ritual doa.”

Ingatlah aku sebagaimana aku mengingat wajahmu
dan lihatlah padaku sekalian yang telah silam
akan tetapi yang harus kita hidupkan kembali nan kita perbaru.


“Perpisahan bukan akhir persahabatan, sebab kita hakekatnya bersama. Sekedarlah beda tempat, kau di Jawa aku di India. Wajah keelokan pertiwimu senantiasa ku hirup bau kembangnya dan tidak akan ku lepas; bau warna serta gelombang bathin kita saling tebarkan jala, olehnya tidak merasa hilang sampai akhir masa. Mata dunia pun merekam persahabatan langgeng kita, dalam pembaharuan alam tropis, yang terus berhembus kepada kaki-kaki gunung kepulauan. Dan perkataan kita adalah bukti kelangsungan persetubuhan jiwa-jiwa mandiri.”

“Sekali lagi, jarak waktu dan tempat bukanlah apa, setelah kesamaan ombak mencipta daya dinaya. Diriku memandangmu dalam, lekat tak pernah sirna, meski bukan dalam pejaman mata dan pada dirimu pun berlaku sama. Kesatuan saksi ini siarkanlah, agar mereka tahu bahwa aku benar pernah langkahkan kaki di tanahmu. Dan biarkan yang tidak percaya, sebab mereka kan mengerti bagaimana rasanya, kalau kita pergi meninggalkannya.”

“Mari mengibarkan panji-panji kapujanggan di tanah pertiwi kita masing-masing, kesemangatan jadi peleburan nilai atas titah pujangga Sang Asih. Kita alirkan sungai tersebut hingga mereka tersadarkan, di waktu yang tidak terekam selain debur ombak angin dan lautan, antarkan kebaharuan bagi ikut serta dalam perjuangan.”

4-Desember 2005
*)Pengelana dari desa Kendal-kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae